Anda di halaman 1dari 3

Kesiapan Menghadapi MEA 2015

Red: Maman Sudiaman


blogspot.com

Masyarakat Ekonomi ASEAN

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Alfian Helmi (Mahasiswa Kandidat Master, Regional Science


Division, Hokkaido University, Jepang)

Perhelatan pergantian tahun sudah di depan mata. Seakan berpacu dengan waktu, pada tahun
2015 ini pula (tepatnya pada Desember 2015) kita akan dihadapkan pada Masyarakat
Ekonomi ASEAN / MEA (ASEAN Economic Communities). Suatu era yang menyatukan
Negara-negara di kawasan Asia Tenggara menjadi “satu basis pasar dan produksi”. Dimana
akan terjadi arus bebas produk, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal, yang semuanya
bermuara pada prinsip pasar terbuka bebas hambatan.

Ambisi ASEAN membentuk MEA salah satunya didorong oleh perkembangan eksternal dan
internal kawasan. Dari sisi eksternal, Asia diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi baru,
dengan disokong oleh India, Tiongkok, dan negara-negara ASEAN. Saat ini saja, berdasarkan
Laporan Bank Dunia (2014), dengan menggunakan paritas daya beli (PPP) dolar
internasional, ekonomi ASEAN menyumbang 6 persen terhadap PDB global. Hal ini
menjadikan ASEAN sebagai blok ekonomi terbesar kelima di dunia setelah NAFTA (20
persen), EU (17 persen), China (16 persen), dan India (7 persen). Sedangkan dari sisi internal
kawasan, krisis keuangan Asia pada tahun 1997/1998 memberikan motivasi lebih lanjut
terhadap agenda integrasi regional guna membangun ketahanan yang lebih kuat menghadapi
ketidakstabilan keuangan makro. Selain itu, ASEAN juga memiliki pertumbuhan kelas
menengah berusia muda yang sangat pesat yang dapat memberikan sumber pertumbuhan
baru di kawasan ini.

Kini, MEA sudah didepan mata, dan kita paput bertanya, sejauh mana persiapan Indonesia
dalam menghadapi era liberalisasi perdangan ini? Karena sebagai Negara dengan ekonomi
paling besar di ASEAN, dengan sekitar 40 persen dari PDB ASEAN, dan hampir setengah
dari populasi ASEAN, Indonesia merupakan aktor penting dalam MEA yang akan
berlangsung ini.

Sayangnya, kalau kita lihat data dari BPS per Oktober 2014 saja, belum-belum MEA
dilaksanakan, Indonesia sudah mengalami defisit dagang dengan Thailand yang mencapai
3,36 miliar dolar AS. Tentu ini bukan angka yang kecil. Belum lagi jika kita melihat
peringkat Indonesia menurut Global Competitiveness Index yang masih berada pada posisi
ke-38 dari 148 negara, tertinggal jauh dari Singapura yang menempati posisi ke 2, Malaysia
di posisi ke 24, dan Thailand di posisi 37. Lalu, apa yang harus dioptimalkan selama satu
tahun ini agar kita bisa memetik untung dari MEA yang akan berlangsung ini.

Dua Strategi

Paling tidak ada dua strategi yang harus segera dilakukan jika negeri ini mau memetik
keuntungan dengan adanya MEA. Pertama, strategi kedalam. Strategi kedalam merupakan
upaya-upaya yang dilakukan di dalam negeri guna menghadapi MEA, seperti penggunaan
produk dalam negeri, perbaikan infrastruktur dan perbaikan sistem logistik nasional,
peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan membangun industri yang berbasis nilai
tambah.
Sebagaimana kita ketahui, kurangnya dukungan infrastruktur, buruknya sistem
transportasi/logistik, lemahnya perangkat hukum, serta terbatasnya jumlah sumber daya
manusia yang kompeten merupakan hambatan utama yang dihadapi bangsa ini. Sudah lumrah
kita dengar bahwa masalah infrastruktur yang buruk seringkali menyebabkan tingginya biaya
produksi dan ini menyebabkan, sebagai contoh, buah lokal hasil petani-petani kita seringkali
lebih mahal daripada buah impor dari Tiongkok yang menyebabkan buah lokal tidak bisa
bersaing di dalam negeri sendiri.

Strategi kedua adalah strategi keluar. Strategi ini meliputi penerapan standard mutu untuk
produk atau jasa yang akan masuk ke pasar Indonesia, perbaikan sistem pengelolaan ekspor
impor serta memperketat pengawasan ekspor impor, selain itu yang penting juga adalah
memperluas akses pasar di luar negeri. Dalam hal penerapan standard mutu, kita sebenarnya
sudah memiliki UU Perdagangan yang salah satunya mengatur bahwa produk yang masuk ke
Indonesia harus berbahasa Indonesia dan memenuhi standard yang telah ditetapkan di
Indonesia. Akan tetapi, dalam beberapa kasus kita masih sering menemukan produk-produk
makanan dan obat-obatan yang belum ada label yang berbahasa Indonesia sudah bisa masuk
ke pasar-pasar dalam negeri, terutama di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan negara
tetangga.

Selain itu, hal yang tak kalah pentingnnya untuk segera dilakukan adalah perluasan akses
pasar di luar negeri (ASEAN). Hal ini penting dilakukan, karena ekspor Indonesia ke pasar
ASEAN pada periode Januari-Agustus 2013 misalnya, baru mencapai 23 persen dari nilai
total ekspor. Hal ini antara lain karena tujuan ekspor kita masih terfokus pada pasar
tradisional seperti Amerika Serikat, Tiongkok dan Jepang. Padahal kalau kita perhatikan
trend ekonomi dunia saat ini, banyak Negara-negara berpendapatan tinggi dengan perlahan
pulih dari defisit dan hutang yang tinggi akibat krisis keuangan global, dan permintaan
mereka terhadap barang impor menjadi lebih lemah dibandingkan sebelumnya, dan ini berarti
perluasan akses pasar di negara-negara ASEAN menjadi penting.

Sejatinya, perdagangan bebas kawasan memang dapat menjadi peluang sekaligus tantangan.
Di satu sisi dapat membuka pasar bagi industri dalam negeri yang semakin meningkat.
Namun, di sisi lain apabila Indonesia tidak menyiapkan diri dengan baik dapat menjadi pasar
bagi gempuran produk asing yang dapat menghancurkan kemampuan produktif dalam negeri
sendiri. Tentu sebagai warga bangsa kita selalu berharap MEA yang akan dimulai Desember
2015 nanti dapat membawa kebaikan bagi seluruh warga bangsa. Semoga!

Anda mungkin juga menyukai