Anda di halaman 1dari 5

UUPLH no 23 tahun 1997 vs RUU PPLH no 32 tahun 2009

I S I

Secara umum, perbedaan antara UUPLH, 1997 Dengan Rencana Undang-Undang


Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RUUPPLH), 2009 dapat dibagi menjadi
2, yaitu

1. PERBEDAAN STRUKTUR (BATANG TUBUH)

A. UUPLH (UU No 23/1997) terdiri dari 11 bab dan 52 pasal

B. RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009 yang telah disahkan tanggal 8 September
2009 terdiri atas 18 bab dan 86 pasal

1. PERBEDAAN MATERI

A. UUPLH (UU No 23/1997)

1. Isi UUPLH saat ini (UU No 23/1997) lebih menitik beratkan pada isu pencemaran
lingkungan hidup (brown issue), sedangkan pengelolaan sumberdaya alam meskipun
telah diatur dalam berbagai Undang-undang, namun terbatas pada masing-masing
komoditas (hutan, tambang, perkebunan), sedangkan implikasi terhadap dampak
negatif kumulatif di wilayah tertentu, belum ada yang mengaturnya.
1. kelembagaan pemerintah, termasuk hubungan pusat dan daerah, belum
mempunyai sinergi dan kapasitas untuk menjalankan kebijakan, baik yang
terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam maupun pengelolaan lingkungan
hidup.
2. Ruang lingkup pengelolaan lingkungan hidup sebatas pada pencegahan,
pengendalian, dan penanggulangan pencemaran lingkungan
3. Azas subsidaritas

B. RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009

1. Dalam Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada pengaturan


yang memberikan kewenangan kuat kepada penyidik pegawai negeri sipil.
Wewenangnya mulai dari memeriksa kebenaran laporan, dokumen, hingga
menangkap dan menahan pelanggar lingkungan.
2. PPNS. Pada Bab XV tentang Penyidikan, terdapat sembilan kewenangan PPNS,
seperti memeriksa kebenaran laporan, memeriksa orang/badan hukum, meminta
keterangan dan bukti, serta memeriksa pembukuan, catatan, dan dokumen. Lainnya,
menyita bahan dan barang hasil pelanggaran, meminta bantuan ahli terkait
penyidikan, memasuki lokasi untuk memotret, dan membuat rekaman video. Terakhir,
wewenang menangkap dan menahan tersangka pelanggar lingkungan.
3. Dalam RUU PLH yang baru terkandung keinginan untuk memberi mandat yang lebih
luas kepada lingkup pengelolaan lingkungan. Ranah pengelolan lingkungan hidup
yang semula sebatas pada urusan kebijakan pencegahan, pengendalian dan
penanggulangan pencemaran lingkungan; tampak diperluas ke: i) alokasi dan fungsi
ruang; dan ii) pemanfaatan dan/atau pencadangan sumberdaya alam.[1] Pasal 5, 6, 7,
dan 8
4. Dalam RUU PLH, pemulihan diletakkan sebagai bagian elemen pengendalian (bagian
keempat dari Bab V Pengendalian, Pasal 23 dan 24), disamping itu pemulihan atas
kerusakan dan pencemaran yang selama ini telah terjadi belum secara eksplisit
dinyatakan untuk diatasi oleh negara dalam Pasal 23 dan 24. Dalam RUU PLH,
pemantauan hanya diletakkan sebagai bagian dari kewenangan pejabat pengawas
(Pasal 30). DalamPasal 7. kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah
membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KHLS). Hal ini tidak terdapat dalam
UU No. 23 Tahun 1997. Dari penerapan KHLS dalam UU PPLH diharapkan
pembangunan berkelanjutan sebagai dasar dan integrasi suatu kebijakan, rencana, dan
program pembangunan.
5. penguatan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Upaya itu diharapkan
mencegah kerusakan lingkungan dengan peningkatan akuntablitas, penerapan
sertifikasi kompetensi penyusun dokumen Amdal, penerapan sanksi hukum bagi
pelanggar bidang Amdal, dan Amdal sebagai persyaratan utama memperoleh izin
lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin
usaha/kegiatan.
6. Sistem hukum dapat ditegakkan oleh pejabat pengawas dengan penghentian
pelanggaran di lapangan dengan pemberlakukan UU PPLH. Begitu pula
penangkapan, penahan, hasil penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik PNS yang
dibawa ke jaksa penuntut umum (JPU) bersama kepolisian. Pemberi izin lingkungan
tidak sesuai prosedur dan pejabat yang tidak melaksanakan tugas pengawasan
lingkungan dapat dipidana. (bila pejabat publik yang berwenang dengan sengaja
melakukan tindakan yang menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup
dapat dipidana setahun dan didenda Rp1 miliar,”)

III. UU PPLH No 32 tahun 2009

Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang kemudian
digantikan dengan hadirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Undang-undang ini terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan mendasar antara
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan
Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini
tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada
tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta
penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi,
partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan

Beberapa point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain:

1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;


2. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
4. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,
yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu
lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya
pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan,
instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis
lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan
hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
5. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
6. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
7. Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
8. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
9. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
10. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih
efektif dan responsif; dan
11. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai
negeri sipil lingkungan hidup.

Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan
seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga,
Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang
tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini
tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan
kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan,
dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu,
lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber
daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan
fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan
belanja negara yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah
yang memadai untuk pemerintah daerah.

Kita semua berharap, kehadiran UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH ini akan dapat
memberikan lebih banyak manfaat dalam upaya kita, baik pemerintah, masyarakat dan dunia
usaha dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lebih baik dan bijaksana,
sehingga apa yang menjadi titipan anak cucu kita dapat kita serahkan kembali dalam kondisi
yang masih layak. Semoga.

Pergantian adanya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, secara
filosofi Undang-undang ini memandang dan menghargai bahwa arti penting akan hak-hak
asasi berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara.

Munculnya konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1974 oleh Rene
Cassin dalam perkembangannya memasukan juga hak atas lingkungan yang sehat dan baik
(the right to a healthful and decent environment).Hal ini dilatarbelangkani adanya persoalan
lingkungan (khususnya pencemaran industri) yang sangat merugikan perikehidupan
masyarakat.

Secara implisit perlindungan dan fungsi lingkungan hidup telah dinyatakan dalam instrumen
hak asasi manusia, internasional covenant on economic, social and culture right (ICESCR),
namun pengakuan secara eksplisit hak atas lingkungan hidup yang sehat (right to a healthy
environment) dimulai dalam Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio sebagai non binding
principle. Dalam berbagai konsitusi ditingkat nasional, hak atas lingkungan hidup yang sehat
dan baik telah diakui seperti halnya Konsitusi Afrika Selatan, Korea Selatan, Equador,
Hungary, Peru, Portugal dan Philippines.

Untuk Indonesia, pertama kali hak atas lingkungan yang sehat dan baik diakui dalam sebuah
UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang Lingkungan Hidup yang
diganti dengan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian
juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia diakui sebagai HAM
melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia . Di salah
pasal pada Dekrasi Nasional tentang HAM menetapkan bahwa,” setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang sehat dan baik. Dalam perkembanganya dengan keluarnya UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di Bab HAM dan Kebebasan Dasar
Manusia,dibawah bagian Hak untuk Hidup.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dasarnya pada Pasal 28H UUD 1945, dengan
ditempatkan hak lingkungan ini diharapkan semua lapisan masyarakat semakin menjaga
kualitas lingkungan hidup dengan perlu dilakukan suatu perlindungan dan pengelolaan yang
terpadu, intragrasi dan seksama untuk mengantisipasi penurunan akibat pemanasan global.

UU No 32 Tahun 2009, juga memasuhkan landasan filosofi tentang konsep pembangunan


berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi . Ini penting
dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan kedepan semakin
komplek dan syarat dengan kepentingan investasi. Karenannya persoalan lingkungan adalah
persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya.

Reformasi yang ingin dibangun pada UU No.32 tahun 2009 , adanya era otonomi daerah,
yang banyak memberi perubahan dalam hubungan dan kewenangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, perlu suatu landasan filosofi yang mendasar dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di daerah-daerah. Bukan rahasia lagi bahwa dengan otonomi
daerah yang ditandai adanya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah
memberi suatu kekuasaan pada raja-raja baru di daerah dengan membabat habis sumber daya
alam kita, baik berupa hutan, tambang, perkebunan dan lain-lainnya. Yang semua itu tidak
memperhatikan lingkungan dan dianggap tidak penting lingkungan itu.

Kedepan dengan terbitnya UU No.32 Tahun 2009, yang filosofinya begitu menghargai
lingkunga, agar setiap orang menghormati hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,
tidak sewenang-wenang dalam memandang alam nan indah ini.

Dalam UU No 32 Tahun 2009, AMDAL mendapat porsi yang cukup banyak dibandingkan
instrumen lingkungan lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur
tentang AMDAL. Tetapi pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009 berbeda dengan
UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya “dampak besar”. Jika dalam UU No. 23 Tahun
1997 disebutkan bahwa “AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup ……”, pada UU No. 32
Tahun 2009 disebutkan bahwa “ AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan …..”.

Dari ke 23 pasal tersebut, ada pasal-pasal penting yang sebelumnya tidak termuat dalam UU
No. 23 Tahun 1997 maupun PP No.27 Tahun 1999 dan memberikan implikasi yang besar
bagi para pelakuAMDAL, termasuk pejabat pemberi izin.

Hal-hal penting baru yang terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun
2009, antara lain:

1. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran


dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun
dokumen AMDAL;
3. Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi
AMDAL;
4. Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan;
5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai
kewenangannya.

Selain ke – 5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang diamanatkan dalam UU
No. 32 Tahu 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata terkait pelanggaran bidang
AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi-sanksi tersebut, yaitu:

1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin


lingkungan;
2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat
kompetensi;
3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi
dengan dokumen AMDAl atau UKL-UPL.

Kaitan UU No. 32 Tahun 209 dengan Peraturan Menteri LH No. 11 Tahun 2008:

Sebelum disahkannya UU No. 32 Tahun 2009, KLH sudah menerbitkan peraturan menteri
yang mengatur tentang Persyaratan Kompetensi Penyusun Dokumen AMDAL (Permen. LH
No. 11 Tahun 2008). Pada Pasal 4 Permen. LH No. 11 Tahun 2008 disebutkan bahwa
persyaratan minimal untuk menyusun suatu dokumen AMDAL adalah 3 (tiga) orang dengan
kualifikasi 1 orang Ketua Tim dan 2 orang Anggota Tim yang kesemuanya sudah memiliki
sertifikat kompetensi. Sementara amanat dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang tertuang dalam
Pasal 28 adalah ”Penyusun dokumen sebagaimana … wajib memiliki sertifikat penyusun
dokumen AMDAL”. Jika yang dimaksud “penyusun dokumen AMDAL” pada undang-
undang lingkungan yang baru adalah seluruh tim yang ada dalam suatu proses penyusunan
dokumen AMDAL, maka dengan demikian Permen. LH No. 11 Tahun 2008 Pasal 4 sudah
tidak berlaku lagi. Implikasinya selanjutnya adalah masa berlakunya persyaratan tersebut
harus mundur sampai ada peraturan menteri yang secara rinci mengatur tentang hal itu sesuai
amanat dalam Pasal 28 Ayat (4) yang memberikan kewenangan kepada KLH untuk membuat
peraturan yang mengatur lebih rinci hal tersebut..

Anda mungkin juga menyukai