Anda di halaman 1dari 5

Nama : Fitri Febrianti

NIM : 1164010062
Fakultas : Dakwah dan Komunikasi
Jurusan : Bimbingan Konseling Islam/4B
Mata Kuliah : Retorika

MEMBANGUN KESHALEHAN SOSIAL

‫ور‬ّ ‫ش ُر‬ ُ ‫ َونَعُوذُ بّاهللّ ّم ْن‬،ُ‫َـح َمدُهُ َونَ ْست َ ّع ْينُهُ َونَ ْست َ ْغ ّف ُره‬
ْ ‫لِل ن‬ َّ
ّ ‫إن الـ َح ْمدَ ّ ه‬
‫ َو َم ْن‬،ُ‫ض َّل لَه‬ّ ‫ َم ْن يَ ْه ّد ّه هللاُ فَ ََل ُم‬،‫ت أ َ ْع َما ّلنَا‬ َ ‫أ َ ْنفُ ّسنَا َو ّم ْن‬
ّ ‫س ّيهئَا‬
ُ‫ َوأ َ ْش َهدُ أَن الَّ ّإلَهَ ّإالَّ هللا َو ْحدَهُ َال ش َّري َْك لَه‬،ُ‫ّي لَه‬ َ ‫ض ّل ْل فَ ََل هَاد‬ ْ ُ‫ي‬
:ُ‫ أ َ َّما بَ ْعد‬,‫سولُه‬ُ ‫َوأ َ ْش َهدُ أ َ َّن ُمـ َح َّمدا ً َع ْبدُهُ َو َر‬
Pertama–tama marilah kita panjatkan rasa puji dan syukur kehadirat Allah
SWT, Tuhan Semesta Alam yang senantiasa memberikan hidayah dan nikmat-Nya
sehingga kita semua dapat berkumpul dalam ruangan ini dalam keadaan sehat walafiat.
Tak lupa marilah kita haturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW.
Hadirin yang saya hormati, dalam al-Qur’an Allah telah berfirman:

‫الِل ُه َو َم ْو َال ُك ْم ۖ فَ ّن ْع َم‬ َّ ‫فَأ َ ّقي ُموا ال‬


َّ ‫ص ََلة َ َوآتُوا‬
ّ َ ‫الز َكاة َ َوا ْعت‬
ّ َّ ‫ص ُموا ّب‬
‫ير‬
ُ ‫ص‬ ّ َّ‫ْال َم ْولَ ٰى َونّ ْع َم الن‬
“…maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kalian pada
tali Allah. Dia adalah Penolong kalian, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan
sebaik-baik Penolong”. (Q.S. al-Hajj, 22 ; 78)

Bahasa al-Quran merupakan bahasa yang indah dan memiliki kedalaman makna,
kalimat sastra yang menakjubkan mampu memberikan gambaran tentang kandungan
isinya. Seperti pada penggalan ayat di atas, perintah berzakat disandingkan dengan
perintah mendirikan shalat. Redaksi seperti ini setidaknya disebut sebanyak 115
pengulangan dalam al-Qur’an. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya
keseimbangan dalam hubungan kepada Allah (aqimu al-shalat) dan sesame makhluk
(waatu al-zakat). Banyak pemaknaan yang dapat diambil dari sandingan seperti ini
terlepas dari pembahasan hukum keduanya, pada kesempatan kali ini saya berusaha
memaknai dari segi hubungan bermasyarakat.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa manusia adalah makhluk social yang setiap
interaksinya tidak terlepas dari manusia yang lain. Sikap saling membutuhkan akan
menjadi sebuah simbiosis yang akan terus ada, mustahil seorang manusia dapat
menjalani kehidupan di dunia ini seorang diri. Oleh karena itu, sikap saling menghargai
dan menghormati terhadap sesama manusia harus menjadi salah satu fokus dalam
kehidupan ini.

Namun, pada nyatanya masih banyak muslim yang tidak sadar akan pentingnya
berbuat baik terhadap sesama, tak sedikit dari mereka yang membaguskan hubungan
vertikal dengan Allah tetapi lalai terhadap hubungan horizontal kepada sesama
makhluk. Banyak manusia yang rajin shalat, namun tidak peka dengan kerusakan alam.
Banyak manusia yang sering pergi haji dan umroh, namun tidak peka dengan
kemiskinan yang melanda tetangganya. Banyak orang yang suka berpuasa, namun
masih pelit dalam bersedekah harta kepada orang lain. Tidak sedikitpun salah ketika
kita membangun keshalehan personal, akan tetapi bukankah setelah diperintah
mendirikan shalat kita juga diperintah menunaikan zakat? Setelah membangun
keshalehan personal, kita juga harus membangun keshalehan sosial. Surah al-
Mu’minun ayat 1-11 menjelaskan bahwa orang yang beriman (saleh) adalah orang
yang tidak hanya memperhatikan ibadah mahdlah-nya saja, tapi juga memperhatikan
kepentingan sosialnya.

Beberapa ibadah personal juga pada dasarnya menyiratkan untuk menjalin


hubungan baik dengan makhluk sekitar. Shalat dimulai dengan kalimat “Allahu
Akbar”, artinya segala pekerjaan kalau diniatkan mencari ridla Allah akan bernilai
ibadah. Shalat akan tidak bernilai ibadah ketika niatnya adalah riya’. Kemudian
diakhiri dengan salam (doa keselamatan) ke kanan dan ke kiri, hal ini menyiratkan agar
manusia tidak lupa dengan manusia lain disekelilingnya. Manusia diharuskan menjaga
keselamatan dan menyebarkan kedamaian kepada manusia lain. Sehingga shalat akan
berimplikasi pada nahi mungkar atau mencegah perbuatan buruk yang akan merugikan
manusia lain, sebagaimana firman Allah:

‫ص ََلة َ ت َ ْن َه ٰى‬
َّ ‫ص ََلة َ ۖ ّإ َّن ال‬َّ ‫ب َوأَقّ ّم ال‬ ّ ‫ي ّإلَي َْك ّمنَ ْال ّكتَا‬ ّ ُ ‫اتْ ُل َما أ‬
َ ‫وح‬
َ‫صنَعُون‬ ّ َّ ‫َاء َو ْال ُم ْن َك ّر ۗ َولَ ّذ ْك ُر‬
َّ ‫َّللا أ َ ْكبَ ُر ۗ َو‬
ْ َ ‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم َما ت‬ ّ ‫َع ّن ْالفَ ْحش‬
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an) dan
dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar
(keutamaannya daripada ibadah- ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-‘Ankabut, 29; 45)

Di dalam sebuah hadis melalui riwayat Imran dan Ibnu Abbas secara marfu' telah
disebutkan:

“Barang siapa yang salatnya masih belum dapat mencegah dirinya dari
mengerjakan perbuatan keji dan munkar, maka tiada lain ia makin bertambah
jauh dari Allah.”

Puasa selain bertujuan untuk menjaga dari makan, minum, seks dan hal-hal lain
yang membatalkan, juga sebagai ibrah/pelajaran bagi manusia untuk merasakan
kekurangan orang lain (lapar dan dahaga) yang seharusnya mempunyai implikasi peka
terhadap kondisi orang-orang yang serba kekurangan. Sehingga selain sebagai media
melatih diri, puasa diharapkan juga membuat orang yang menjalankannya akan
terbuka untuk menolong orang lain yang kekurangan. Apalagi ditambah dengan
penjelasan Hadist nabi tentang keutamaan bersedekah di bulan Ramadlan. Esensi dari
ibadah shalat dan puasa sebagaimana dijelaskan diatas tidak hanya berhenti pada orang
yang melaksanakannya, namun juga harus disadari bahwa esensi shalat dan puasa
mempunyai implikasi sosial yang tinggi, yang ketika implikasi sosialnya dilupakan,
maka ibadahnya akan sia-sia belaka. Artinya ketika orang tersebut rajin shalat dan
puasa, tapi masih berbuat kemungkaran, maka orang tersebut belum bisa dikatakan
sebagai orang yang saleh.
Sikap saleh tidak hanya diukur dari seberapa banyak orang itu shalat dalam
sehari, puasa dalam satu tahun, pergi umroh dan haji, tapi juga diukur dengan seberapa
banyak jasa yang dia hasilkan untuk orang lain, seberapa besar pengabdian yang
dilakukan dalam melestarikan lingkungan, seberapa baik teladan yang diberikan pada
orang lain dan sebagainya. Artinya saleh tidak hanya memikirkan legalitas formal
seperti yang terdapat dalam rukun Islam misalnya, tapi juga memikirkan implikasi
sosialnya. Ketika hal ini diabaikan, yang terjadi adalah muslim namun tidak Islami.
Karena pada dasarnya tugas manusia sebagai khalifah/wakil Allah dimuka bumi untuk
merawat dan mengelola bumi sebagaimana mestinya akan kembali kepada manusia
sendiri, bukan kepada Allah swt.
Ketika manusia beribadah (personal dan sosial) dimuka bumi, maka
ketentramanlah yang akan didapat, dan sebaliknya ketika manusia mengabaikannya,
maka kehancuranlah yang akan didapat. Pada kesimpulannya, untuk membangun
keshalehan sosial perlu didasari oleh keshalehan secara personal, begitupula
keshalehan personal menuntut dan membimbing manusia untuk mampu shaleh secara
sosial. Maka dalam momentum besar saat ini, dimana ramadhan masih begitu hangat
memeluk tubuh kita, marilah kita melakukan evaluasi terhadap diri kita sejauh mana
telah mampu membangun keshalihan secara keseluruhan. Mudah-mudahan kita
mampu menjadi pribadi shalih yang menshalihkan.
Sekian yang bisa saya sampaikan, mohon maaf apabila ada perkataan yang salah
karena yang benar hanya milik Allah.
‫اب‬ ‫سنَةً َو ّقنَا َ‬
‫عذَ َ‬ ‫سنَةً َو ّفي ّ‬
‫اآلخ َر ّة َح َ‬ ‫َربَّنَا آ ّتنَا ّفي الدُّ ْنيَا َح َ‬
‫النَّ ّ‬
‫ار‬
‫س ْب َحانَ‬ ‫سلَّ َم ‪ُ .‬‬
‫ص ْح ّب ّه َو َ‬‫س ّيه ّدنَا ُم َح َّمد ٍَو َع ٰلى آ ّل ّه َو َ‬
‫َّللاُ َع ٰلى َ‬ ‫صلَّى ه‬ ‫َو َ‬
‫س ّليْنَ َو ْال َح ْمدُ ّ هلِلّ‬
‫سَلَ ٌم َعلَى ْال ُم ْر َ‬
‫صفُ ْونَ َو َ‬ ‫ب ْال ّع َّز ّة َع َّمايَ ّ‬ ‫َر ّبه َك َر ه ّ‬
‫ب ْالعَالَ ّميْنَ‬‫َر ه ّ‬
‫‪Wassalamualaikum, Wr.Wb‬‬

Anda mungkin juga menyukai