Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis, setiap
tahun terdapat sekitar 8 juta penderita baru tuberkulosis di seluruh dunia dan hampir 3
juta orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Paling sedikit satu orang akan
terinfeksi tuberkulosis setiap detik, dan setiap 10 detik akan ada satu orang yang
meninggal akibat tuberkulosis di dunia. Tuberkulosis membunuh hampir satu juta
wanita setiap tahun, angka ini lebih tinggi dari kematian wanita akibat proses
kehamilan dan persalinan, dan tuberkulosis membunuh 100.000 anak setiap tahunnya.
Sampai saat ini tidak ada satu negara pun di dunia ini yang telah bebas tuberkulosis.
Data WHO menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah penyumbang kasus
tuberculosis terbesar ketiga di dunia. Jumlah penderita tuberkulosis menular di
Indonesia adalah 262.000 orang setiap tahun dan jumlah seluruh penderita baru
adalah 583.000 orang pertahunnya. Orang Indonesia yang meninggal akibat
tuberkulosis diperkirakan sekitar 140.000 setiap tahunnya. Efusi Pleura TB terutama
disebabkan oleh proses eksudasi. Angka kejadian efusi pleura adalah 31% dari
seluruh penderita TBC Paru. Hipotesis terakhir mengenai patogenesis efusi pleura TB
adalah adanya focus perkejuan di daerah subpleural yang pecah ke dalam rongga
pleura dalam 612 minggu setelah infeksi primer. Antigen Mycobacterium
tuberculosis yang masuk ke dalam ronggga pleura berinteraksi dengan sel-sel T, dan
segera tersensitisasi oleh Mycobacterium tuberculosis tersebut. Hal ini menyebabkan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan akumulasi cairan. Cairan tersebut umumnya
eksudat, namun mungkin juga berupa cairan serous dan biasanya mengandung kuman
Mycobacterium tuberculosis dalam jumlah kecil.
Diagnosis konvensional efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis
selama ini adalah dengan gejala klinik, radiologi dan laboratorium (rivalta,
BTA/kultur sputum dan tes mantoux). Kelemahan diagnosis di atas adalah hasil
rivalta dapat positif diduga karena penyebab selain infeksi tuberkulosis misalnya;
haemoptoe, pneumonia, tumor dan infark paru. Sedangkan untuk diagnosis
tuberculosis paru digunakan gold standard BTA sputum dan radiologi paru atau tanpa
radiologi, sedang untuk tes mantoux karena di Indonesia merupakan daerah endemik
tuberkulosis maka pada infeksi tuberkulosis hasil tes mantoux sering positif palsu.
Pemeriksaan konvensional yaitu dengan mikroskop dan kultur untuk diagnosis
tuberkulosis memiliki keterbatasan yaitu pemeriksaan mikroskopik memerlukan
jumlah kuman yang banyak untuk pendeteksian (5.000 – 10.000 kuman/cc) dan cara
kultur memerlukan waktu pertumbuhan yang lama (6-8 minggu).
Salah satu teknik pemeriksaan yang relatif baru dan sedang populer adalah
Polymerase Chain Reaction (PCR). Prinsip utama teknik ini adalah amplifikasi DNA
kuman sehingga deteksi dapat dilakukan. Identifikasi Mycobacterium tuberculosis
dengan teknik PCR dapat dilakukan dengan cepat dan tidak memerlukan jumlah
kuman yang banyak. Penelitian ini mendeteksi. kuman Mycobacterium tuberculosis
dengan teknik PCR pada sampel penelitian berupa cairan efusi pleura penderita
tuberkulosis paru. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan hasil pemeriksaan
mikroskopik dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dari rekam medis RS Immanuel
Bandung.
BAB II
DASAR TEORI
Bakteri tahan asam (BTA) merupakan bakteri yang memiliki ciri-ciri yaitu
berantai karbon (C) yang panjangnya 8 - 95 dan memiliki dinding sel yang tebal yang
terdiri dari lapisan lilin dan asam lemak mikolat, lipid yang ada bisa mencapai 60%
dari berat dinding sel. Bakteri yang termasuk BTA antara lain Mycobacterium
tuberculose, Mycobacterium bovis, Mycobacterium leprae, Mycobacterium avium,
Nocandia meningitidis, dan Nocandia gonorrhoeae. Mycobacterium tuberculose
adalah bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit tuberculose, dan bersifat
tahan asam sehingga digolongkan sebagai bakteri tahan asam (BTA). Penularan
Mycobacterium tuberculose terjadi melalui jalan pernafasan (Syahrurachman, 1994).
Bakteri ini ada 41 spesies yang telah diakui oleh ICSB (International
Committee on Systematic Bacteriology) yang sebagaian besar sudah saprofit dan
sebagaian kecil lainnya patogen untuk manusia diantaranya Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium leparae dan lain-lainnya yang dapat menyebabkan
infeksi kronik. Golongan saprofit dikenal juga dengan nama atipik (Syahrurachman,
1994).
Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi
DNA secara in vitro. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen
DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Dengan diketemukannya
teknik PCR di samping juga teknik teknik lain seperti sekuensing DNA, telah
merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit
genetik, kedokteran forensic dan evolusi molekular (Handoyo, 2001).
PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang
(siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai
ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan
kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu
pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA.
Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers) dengan
adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya
keadaan ini akan meningkat secara eksponensial setelah siklus keempat dan DNA
non-target (long product) akan meningkat secara linier seperti tampak pada bagan di
atas (Newton,1994).
Untuk melakukan proses PCR menurut Handoyo dan Rudiretna (2001)
diperlukan komponen komponen seperti yang telah disebutkan di atas. Pada bagian
ini akan dijelaskan secara rinci kegunaan dari masing-masing komponen tersebut.
1. Templat DNA
Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk
pembentukan molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa
DNA kromosom, DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam
DNA templat tersebut mengandung fragmen DNA target yang dituju. Penyiapan
DNA templat untuk proses PCR dapat dilakukan dengan menggunakan metode
lisis sel ataupun dengan cara melakukan isolasi DNA kromosom atau DNA
plasmid dengan menggunakan metode standar yang ada. Pemilihan metode yang
digunakan di dalam penyiapan DNA templat tergantung dari tujuan eksperimen.
2. Primer
Primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan diamplifikasi
dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ yang diperlukan
untuk proses eksistensi DNA.
3. dNTPs (deoxynucleotide triphosphates)
dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin
trifosfat), dTTP (deoksitimidin trifosfat) , dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan
dGTP (deoksiguanosin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai
building block DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan
menempel pada gugus –OH pada ujung 3’ dari primer membentuk untai baru
yang komplementer dengan untai DNA templat. Konsentrasi optimal dNTPs
untuk proses PCR harus ditentukan.
4. Buffer PCR dan MgCl2
Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena
itu untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di sini
adalah untuk menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga adanya

ion Mg2+, ion tersebut berasal dariMgCl2. Dalam hal ini MgCl2 bertindak
sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi aktivitas DNA polymerase.
Dengan adanya MgCl2 ini akan meningkatkan interaksi primer dengan templat
yang membentuk komplek larut dengan dNTP (senyawa antara). Dalam proses
PCR konsentrasi MgCl2 berpengaruh pada spesifisitas dan perolehan proses.
Umumnya buffer PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang diperlukan.
Disarankan sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan supaya dapat
dengan mudah dilakukan variasi konsentrasi MgCl2 sesuai yang diperlukan.
5. Enzim Polymerase DNA
Enzim polymerase DNA berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi
DNA. Pada proses PCR enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi DNA.
Enzim polimerase DNA yang digunakan untuk proses PCR diisolasi dari bakteri
termofilik atau hipertermofilik oleh karena itu enzim ini bersifat termostabil

sampai temperatur 950C. Aktivitas polymerase DNA bergantung dari


jenisnya dan dari mana bakteri tersebut diisolasi. Sebagai contoh adalah enzim
Pfu polimerase (diisolasi dari bakteri Pyrococcus furiosus) mempunyai aktivitas
spesifik 10x lebih kuat dibandingkan aktivitas spesifik enzim Taq polymerase
(diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus). Penggunaan jenis polimerase DNA
berkaitan erat dengan buffer PCR yang dipakai (Handoyo & Rudiretna, 2001)
BAB III
PEMBAHASAN
Sampel-sampel penelitian diambil dari para pasien yang secara klinis
didiagnosis menderita efusi pleura tuberkulosis dengan gejala antara lain: sesak, nyeri
dada, batuk dan panas badan. Subjek penelitian sebanyak 11 orang dengan kisaran
usia 15-70 tahun. Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa penderita efusi pleura paling
banyak dijumpai pada usia 31-40 tahun. Data epidemiologi subjek penelitian
menunjukkan bahwa jumlah penderita efusi pria lebih banyak dibandingkan wanita.

Tabel 1. Data Epidemiologi Subjek Penelitian

usia Pria Wanita jumlah


15-20 1 0 1
21-30 2 0 2
31-40 3 1 4
41-50 0 1 1
51-60 0 0 0
61-70 3 0 3
jumlah 9 2 11

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Secara Mikroskopik (Ziehl-Neelsen) dan Hasil PCR

Ziehl-Neelsen PCR Jumlah


 

+ 0 0 0
- 9 2 11
jumlah 9 2 11
Secara radiologis semua penderita menunjukkan adanya gambaran efusi
pleura namun ada yang menunjukkan infiltrat tuberkulosis dan ada pula yang tanpa
infiltrate tuberkulosis. Data hasil pemeriksaan secara mikroskopik (Ziehl-Neelsen)
dan hasil PCR disajikan pada tabel 2.Deteksi Mycobacterium tuberculosis secara
mikroskopik (Ziehl-Neelsen) menunjukkan hasil yang negatif pada semua penderita,
sedangkan dari hasil PCR menunjukkan hasil 9 positif dan 2 negatif. Dari hasil
penelitian tampak bahwa deteksi kuman Mycobacterium tuberculosis dari cairan efusi
pleura dengan menggunakan teknik PCR lebih sensitif bila dibandingkan dengan
pemeriksaan Ziehl-Neelsen secara mikroskopik sehingga dapat memberikan
diagnosis tuberculosis yang lebih akurat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kuman Mycobacterium tuberculosis dalam jumlah kecil dapat dideteksi
dalam cairan efusi pleura dengan teknik PCR sehingga diagnosis pasti dapat
ditegakkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama T.Y. Tuberkulosis Diagnosis,Therapi & Masalahnya. Edisi IV.IDI.
Jakarta,2002; 24-25, 144.
Handoyo, D. dan Rudiretna, A. 2000. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase
Chain Reaction (PCR) [General Principles and Implementation of Polymerase
Chain Reaction]. Unitas, 9(1): P. 17-29
Hanifa U., Soemohardjo S., Achmad H,Widodo M.A. Perbandingan Pemeriksaan
PCR, Kultur M.tuberculosis dan BTA Cairan Pleura Serta Pemeriksaan
Radiologi Paru untuk Menegakkan Diagnose Efusi Pleura Tuberkulosis di
Rumah Sakit Umum Mataram,2001; http://digilib.brawijaya.ac.id
Khatami, K. Pleural Tuberculosis. Shiraz EMedical Journal University of Medical
Sciences, Department of Internal Medicine.2000. Accessed on 20 /5/2005.
Newton, C.R. and A. Graham, 1994, Polymerase Chain Reaction, UK: Bios
Scientific Publisher
Syahrurachman, dkk. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi.
Jakarta: UI Press.
.
MAKALAH DIAGNISTIK MOLEKULER
“DETEKSI MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS DENGAN TEKNIK PCR
PADA CAIRAN EFUSI PLEURA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU”

DI SUSU OLEH ;

KELOMPOK III
MUSTAKIM
IWAYAN ARYA WIRATAMA
MUHAMMAD RUSDIN
LA ODE MUHAMMAD IDRUS
MUHAMMAD BAMBANG ALHIJAYA
LA ODE MUHAMMAD AWALUL ANSHORY

PROGRAM STUDI D-IV ANALIS KESEHATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MANDALA WALUYA
KENDARI
2018

Anda mungkin juga menyukai