Anda di halaman 1dari 9

BAB V

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK LUAR RUMAH DENGAN KEJADIAN


FILARIASIS DI RT 02 RW 02 KELURAHAN JATISAMPURNA KECAMATAN
JATISAMPURNA DITINJAU DARI PANDANGAN ISLAM

5.1. Konsep Penyakit

A. Mukadimah
Sakit dan penyakit merupakan suatu peristiwa yang selalu menyertai hidup manusia
sejak jaman Nabi Adam a.s.. Kita memahami apapun yang menimpa manusia adalah takdir,
sakit pun merupakan takdir. Lantas kalau sakit merupakan takdir, kalau kita sakit kenapa
harus mencari sehat/kesembuhan? Lantas buat apa dan apa manfaat berobat? Dari sinilah
landasan kita berpijak dalam memahami sehat, sakit, obat dan upaya pengobatan.
B. Sehat dan Sakit Pandangan al-Quran
‫ش ْفنَا َما ِب ِه‬
َ ‫) فَا ْست َ َج ْبنَا لَهُ فَ َك‬٨٣( َ‫اح ِمين‬ِ ‫الر‬ َّ ‫ت أ َ ْر َح ُم‬ َ ‫ي الض ُُّّر َوأ َ ْن‬ َّ ‫ُّوب ِإ ْذ نَادَى َربَّهُ أ َ ِني َم‬
َ ‫س ِن‬ َ ‫َوأَي‬
)٨٤( َ‫ض ٍّر َوآتَ ْينَاهُ أ َ ْهلَهُ َو ِمثْ َل ُه ْم َم َع ُه ْم َر ْح َمةً ِم ْن ِع ْن ِدنَا َو ِذ ْك َرى ِل ْل َعا ِبدِين‬
ُ ‫ِم ْن‬
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya
aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara
semua Penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan
penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat
gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi
peringatan bagi semua yang menyembah Allah”. (QS al-Anbiyâ’, 21: 83-84)
Ayat di atas mengisahkan bahwa Nabi Ayyub a.s. yang ditimpa penyakit, kehilangan
harta dan anak-anaknya. Dari seluruh tubuhnya hanya hati dan lidahnya yang tidak tertimpa
penyakit, karena dua organ inilah yang dibiarkan Allah tetap baik dan digunakan oleh Nabi
Ayyub a.s. untuk berdzikir dan memohon keridhaan Allah, dan Allah pun mengabulkan
doanya, hingga akhirnya Nabi Ayyub a.s. sembuh dan dikembalikan harta dan keluarganya.
Dari sini dapat diambil pelajaran agar manusia tidak berprasangka buruk kepada
Allah, tidak berputus asa akan rahmat Allah serta bersabar dalam menerima takdir Allah.
Karena kita sebagai manusia perlu meyakini bahwa apabila Allah menakdirkan sakit maka
kita akan sakit, begitu pula apabila Allah menakdirkan kesembuhan, tiada daya upaya kecuali
dengan izin-Nya kita sembuh.

ِ ‫ضتُ فَ ُه َو َي ْش ِف‬
‫ين‬ ْ ‫) َو ِإذَا َم ِر‬٧٩( ‫ين‬ ِ ‫ُط ِع ُم ِني َو َي ْس ِق‬ْ ‫) َوالَّذِي ُه َو ي‬٧٨( ‫ِين‬ ِ ‫الَّذِي َخ َل َق ِني َف ُه َو َي ْهد‬
)٨۲( ‫ِين‬ ِ ‫َطيئ َ ِتي يَ ْو َم الد‬ ْ َ ‫) َوالَّذِي أ‬٧۱( ‫ين‬
ِ ‫ط َم ُع أَن يَ ْغ ِف َر ِلي خ‬ ِ ‫) َوالَّذِي ي ُِميت ُ ِني ث ُ َّم ي ُْح ِي‬٨٠(
“(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakaku, maka Dialah yang memberi petunjuk kepadaku.
Dan Tuhanku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit,
Dialah yang menyembuhkanku. Dan yang akan mematikan aku, kemudian akan
menghidupkanku (kembali). Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada
hari kiamat”. (QS asy-Syu’arâ’ 26: 78-82)
1. Konsep Sehat
Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad s.a.w.) melalui ayat-ayat al-Quran dan sunnah
Rasulullah s.a.w. memberi perhatian yang serius terhadap kesehatan manusia. Nabi
Muhammad s.a.w. bahkan menganggap keselamatan dan kesehatan sebagai nikmat Allah
yang terbesar yang harus diterima dengan rasa syukur.
Firman Allah dalam QS Ibrâhîm, 14: 7,

َ َ‫عذَابِي ل‬
‫شدِيد‬ َ ‫َوإِ ْذ تَأَذَّنَ َربُّ ُك ْم لَئِن‬
َ ‫ش َك ْرت ُ ْم أل َ ِزيدَنَّ ُك ْم َولَئِن َكفَ ْرت ُ ْم ِإ َّن‬
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Bentuk syukur terhadap nikmat Allah melalui kesehatan ini adalah senantiasa menjaga
kesehatan sesuai dengan sunnatullah.
Rasulullah s.a.w. bersabda:

.ُ‫الص َّحةُ َو ْالفَ َراغ‬


ِ ‫اس‬ِ َّ‫ان َم ْغبُون فِي ِه َما َك ِثير ِمنَ الن‬
ِ َ ‫نِ ْع َمت‬
“Dua nikmat yang sering tidak diperhatikan oleh kebanyakan manusia yaitu kesehatan dan
waktu luang.”(Hadis Riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abbas)

2. Konsep Sakit
Di hadapan Allah, orang sakit bukanlah orang yang hina. Mereka justeru memiliki kedudukan
yang sangat mulia.
َّ ‫ب َو ََل ه ٍَّم َو ََل ُح ْز ٍّن َو ََل أَذًى َو ََل غ ٍَّم َحتَّى ال‬
‫ش ْو َك ِة‬ َ ‫ب َو ََل َو‬
ٍّ ‫ص‬ َ ‫يب ْال ُم ْس ِل َم ِم ْن َن‬
ٍّ ‫ص‬ ُ ‫ُص‬ ِ ‫َما ي‬
َّ ‫يُشَا ُك َها ِإ ََّل َكفَّ َر‬
َ ‫َّللاُ ِب َها ِم ْن َخ‬
ُ‫طا َياه‬
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan,
dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan
menghapus kesalahan-kesalahannya”. (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)
Bahkan Allah menjanjikan kepada orang yang sakit apabila ia bersabar dan berikhtiar dalam
sakitnya, Allah akan menghapus dosa-dosanya.
َّ ‫ات َو َر ُق ال‬
‫ش َج ِر‬ ُّ ‫طايَاهُ َك َما تَ َح‬ ْ َّ ‫ُصيبُهُ أَذًى ِإ ََّل َحات‬
َ ‫ت َع ْنهُ َخ‬ ِ ‫َو َما ِم ْن ُم ْس ِل ٍّم ي‬
“Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit kecuali Allah hapuskan dengannya
(dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya) sebagaimana gugurnya
dedaunan sebuah pohon”.(Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud)

5.2. Penyakit Menular

Dalam berbagai hadits Nabi yang berhubungan dengan penyebaran penyakit ada
kontradiksi, di satu sisi ada larangan memasuki zona yang sedang terserang suatu wabah
penyakit sebagaimana diuraikan di atas, dan di sisi lain ada keterangan Nabi yang
menegaskan tidak ada penularan penyakit. Kedua keterangan kontradiktif ini bersumber pada
hadits yang sahih. Sebagian ulama mencoba mengkompromikannya dengan teori nasikh-
mansukh, bahwa hadits yang berisi adanya penularan penyakit me-nasakh hadits yang tidak
ada penularan, karena dari segi kronologis penyampaiannya lebih akhir disampaikan. Di
samping itu, hadits yang menyampaikan tidak ada penularan hanya sekedar berita ( kalam al-
khabar ) yang dapat salah dan dapat pula benar, seangkan yang lain berupa perintah dan
berita. Berdasarkan kaidah jika ‘perintah’ berhadapan dengan ‘berita’, maka yang dipegangi
adalah perintah. Dengan demikian, hadits tentang tidak ada penularan penyakit boleh
diabaikan.

Hal-hal yang berhubungan dengan penyebaran penyakit dengan mengambil


keterangan yang terdapat dalam nash al-Quran maupun hadits yang dapat dipercaya
menunjukan bahwa prinsip-prinsip kedokteran dalam Islam adalah sejalan dengan kaidah-
kaidah kesehatan. Banyak jenis penyakit menulatr dan berbahaya menular lewat hubungan
seksual, seperti zina, liwath ( homoseks ), sodomi, analseks, yang berakibat dapat menularkan
berbagai penyakit kelamin, di samping penyakit-penyakit keturunan, juga syphilis, kencing
nanah, AIDS, dan lain-lain.

5.3. Mencegah Penyakit

Diantara upaya untuk menjaga kesehatan yang dapat digali dari pengobatan Nabi
adalah melalui preventif ( pencegahan ), mencegah individu atau masyarakat agar jangan
ditimpa penyakit dengan cara memperhatikan kesehatan lingkungan, membasmi atau
menghindari berbagai penyakit menular, dan memberikan penerangan dan pengetahuan
tentang kesehatan kepada masyarakat. Salah satu cara mencegah dari penularan penyakit
adalah dengan sistem karantina. Dalam sistem pengobatan Nabi juga ditekankan pentingnya
pemeliharaan diri dari penyakit menular yang dikenal dengan sistem karantina, atau
mengisolasi sebagai upaya sistematis untuk menghindarkan diri dari tersebarnya suatu virus
atau wabah tertentu yang juga merupakan prinsip penting dalam dunia kedokteran.

5.4. Karantina

Banyak riwayat menyebutkan, Nabi saw menganjurkan agar menjauhkan diri dari
pegaruh penyakit menular seperti Tha’un, waba, bala, judzam, lepra, barash, dan sejenisnya.
Al-Tha’un adalah wabah yang bersifat umum, meliputi berbagai virus yang penularannya
melalui udara dan berakibat menyerang phisik. Kata al-Barash pada stadium dini
diterjemahkan dengan kusta, pasiennya disebut al-Abrash. Pada stadium lanjut yang disertai
cacat pada anggota tubuh disebut al-Judzam.

Menurut penilaian ulama, disamping menjauhkan diri agar tidak terkena, juga karena
akibat terkena penyakit judzam tersebut muka penderita menjadi banyak ple-plek hitam
( bopeng ) menyerupai singa.

Untuk menghindarkan diri dari penyebaran penyakit akibat virus ke suatu daerah
tertentu, bagi yang berpenyakit menular dianjurkan agar tidak dibawa kepada yang sehat,
tidak masuk kedaerah itu, atau jika sudah berada di dalamnya agar tidak keluar dari situ.
Ketika utusan rombongan Bani Tsaqif yang ingin berbaiat kepada Nabi, di antara
mereka ada yang terjangkit judzam, Nabi menyampaikan pesan bahwa beliau telah
membaiatnya dan segera menyuruhnya pulang. Tidak bergaul akrab dengan orang yang
sedang menderita penyakit menular juga ditunjukkan dalam larangan Nabi memandangi terus
menerus pasien lepra. Jika harus berbicara kepada mereka, agar dari jarak yang jauh, sekitar
sepanjang busur atau dua busur panah. Konsep ini sejalan dengan anjuran dikalangan ahli
medis bahwa penularan suatu penyakit dapat melalui pernapasan, bersentuhan kulit, dan yang
lain.

Dalam rangka mengikuti anjuran Nabi tersebut ‘Umar bin al-Khaththab dan para
shahabat pernah membatalkan kunjungan mereka ke syam yang ketika itu sedang berjangkit
wabah Tha’un, dengan alasan ‘pindah dari satu qadar Allah ke qadar Allah ( yang lain )’.
Konsep qadar dan taqdir yang dipahami sebagai sunnatullah ini mendukung anjuran
menghindari suatu wabah, lari dari suatu wabah ke zona yang aman untuk membatasi
penyebaran suatu virus penyakit tertentu sesempit mungkin. Dalam keterangan lain
disebutkan, ketik Nabi ditanya tentang menggunakan pengobatan tertentu, apakah berarti
menolak takdir Allah. Nabi menjawab itu adalah takdir Allah.

Penggunaan kata takdir disini sedikit berbeda dengan yang dipersoalkan dikalangan
ulama kalam. Dalam jawaban Nabi diatas ditetapkan adanya hukum kausalitas, mengatasi
suatu takdir menggunakan takdir yang lain, seperti mengatasi takdir makan dengan lapar,
haus dengan minum, sakit dengan berobat, dan sebagainya. Hal serupa juga terdapat dalam
pernyataan ‘Umar bin al-Khaththab yang tidak memmasuki zona yang sedang dilanda wabah
suatu penyakit.

Dari perspektif hukum Islam, kalangan fukaha berbeda pendapat tentang hukum
tindakan keluar zona yang sedang dilanda wabah penyakit. Sebagian ulama memakruhkan
saja. Sebagian yang lain, diantaranya adalah yang rajih dikalangan Ulama Syafi’iyyah
hukumnya haram. Ini diperkuat dengan penegasan hafits lain, bahwa pemukim yang sedang
dilanda Tha’un seperti posisi syahid meninggalkan tempat seperti melarikan diri dari
peperangan.

Dalam konteks perkembangan teknologi kedokteran, kini penyakit lepra telah


ditemukan obatnya maka batasan mengisolir mantan pasien berbagai jenis penyakit menular,
termasuk menyangkut informasi tentang proses penularannya seharusnya disampaikan secara
akurat dan bijaksanadengan mempertimbangkan dampak aspek psikologis dan sosiologis.
Dengan demikian si pasien dalam kondisi tertentu tidak teersinggung meski diperlakukan
secara wajar dan terhormat, sebagaimana Nabi pernah bersama seorang pasien judzam makan
dalam satu piring dan bertawakkal kepada Allah. Nampaknya, saat itu Nabi telah mengetahui
kondisi pasien judzam dengan baik, sehingga tidak perlu khawatir tertulari dan tidak
menjauhinya.

Sistem karantina yang disebutkan dalam hadits Nabi diatas tidak dikhisiskan hanya
untuk manusia, bahkan menyangkut kesehatan hewan, bagi yang mempunyai unta-unta sakit
( menular ) dianjurkan agar tidak dibiarkan minum bersama-sama dengan unta-unta yang
sehat. Penyebutan unta disini dipahami bukan dalam batasan pengkhususan, tetapi sekedar
hanya menunjukan yang diketahui saat itu, karena kini telah diketahui berbagai jenis binatang
dapat menjangkitkan penyakit tertentu seperti anjing gila, kucing, burung tertentu, sapi, dan
sebagainya. Anjuran ini sejalan pula dengan penegasan Allah dalam al-Quran :

‫َو ََل ت ُ ْلقُوا ِبأ َ ْيدِي ُك ْم ِإلَى الت َّ ْهلُ َك ِة‬


“...Janganlah jatuhkan dirimu dalam kebinasaan...” ( Q.s al-Baqarah (2):195 )

5.5. Tentang nyamuk atau khasarot dalam Islam

Sebagaimana yang telah disebutkan, dalam banyak ayat Al Quran Allah


memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam dan melihat “tanda-tanda” di dalamnya.
Semua makhluk hidup dan tak hidup di alam semesta diliputi oleh tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa mereka semua “diciptakan”, bahwa mereka menunjukkan kekuasaan,
ilmu, dan seni dari “Pencipta” mereka. Manusia bertanggung jawab untuk mengenali tanda-
tanda ini dengan menggunakan akal budinya, untuk memuliakan Allah.

Walau semua makhluk hidup memiliki tanda-tanda ini, beberapa tanda dirujuk Allah
secara khusus dalam Al Quran. Nyamuk adalah salah satunya. Di surat Al Baqarah , nyamuk
disebutkan:

“Sesungguhnya, Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih
rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu
benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, “Apakah maksud Allah
menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang
disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya
petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.”
(QS. Al Baqarah, 2: 26)

Pada umumnya, nyamuk dikenal sebagai pengisap dan pemakan darah. Hal ini
ternyata tidak terlalu tepat, karena yang mengisap darah hanya nyamuk betina. Selain itu,
nyamuk betina tidak membutuhkan darah untuk makan. Baik nyamuk jantan maupun betina
hidup dari nektar bunga. Nyamuk betina mengisap darah hanya karena ia membutuhkan
protein dalam darah untuk membantu telurnya berkembang. Dengan kata lain, nyamuk betina
mengisap darah hanya untuk memelihara kelangsungan spesiesnya.

Teknik nyamuk untuk mengisap darah ini bergantung pada sistem kompleks yang
mengatur kerja sama antara berbagai struktur yang sangat terperinci.Setelah mendarat pada
sasaran, mula-mula nyamuk mendeteksi sebuah titik dengan bibir pada belalainya. Sengat
nyamuk yang mirip alat suntik ini dilindungi bungkus khusus yang membuka selama proses
pengisapan darah.
Tidak seperti anggapan orang, nyamuk tidak menusuk kulit dengan cara
menghunjamkan belalainya dengan tekanan. Di sini, tugas utama dilakukan oleh rahang atas
yang setajam pisau dan rahang bawah yang memiliki gigi yang membengkok ke belakang.
Nyamuk menggerakkan rahang bawah maju-mundur seperti gergaji dan mengiris kulit
dengan bantuan rahang atas. Ketika sengat diselipkan melalui irisan pada kulit ini dan
mencapai pembuluh darah, proses pengeboran berakhir. Sekarang waktunya nyamuk
mengisap darah.

Nyamuk dilengkapi dengan penerima panas yang sangat peka. Mereka mengindra
segala sesuatu di sekitar mereka dalam berbagai warna menurut panasnya, seba-
gaimana terlihat pada gambar di sebelah kanan. Karena pengindraannya tidak
bergantung pada ca-haya, nyamuk sangat mudah menentukan letak pembuluh darah
dalam ruangan yang gelap sekalipun.
Penerima panas pada nyamuk cukup peka untuk mendeteksi perbedaan suhu hingga
sekecil 1/1000C.

Namun, sebagaimana kita ketahui, luka seringan apa pun pada pembuluh darah akan
menyebabkan tubuh manusia mengeluarkan enzim yang membekukan darah dan
menghentikan kebocoran. Enzim ini tentunya menjadi masalah bagi nyamuk, sebab tubuh
manusia juga akan segera bereaksi membekukan darah pada lubang yang dibuat nyamuk dan
menutup luka tersebut. Artinya, nyamuk tidak akan bisa mengisap darah lagi.

Akan tetapi, masalah ini dapat diatasi. Sebelum mulai mengisap darah, ia
menyuntikkan cairan khusus dari tubuhnya ke dalam irisan yang telah terbuka. Cairan ini
menetralkan enzim pembeku darah. Maka, nyamuk dapat mengisap darah yang ia butuhkan
tanpa terjadi pembekuan darah. Rasa gatal dan bengkak pada titik yang digigit nyamuk
diakibatkan oleh cairan pencegah pembekuan darah ini.

5.6. Hukum Berobat

Menurut kalangan ahli medis, pengobatan terdiri atas dua bentuk, pencegahan dan
penyembuhan. Dari sisi fungsinya obat merupakan bahan yang digunakan untuk mengurangi,
menghilangkan penyakit, atau menyembuhkan seseorang dari penyakit. Menurut kalangan
ahli medis ia adalah senyawa atau campuran senyawa untuk mengurangi gejala atau
menyembuhkan penyakit. Dibangunnya sekolah kedokteran dan yang terkait adalah dalam
rangka menolong menyembuhkan orang sakit atau agar orang tetap sehat.

Dalam Islam, berobat termasuk tindakan yang dianjurkan . Dalam berbagai riwayat
menunjukan bahwa Nabi pernah berobat untuk dirinya sendiri, serta pernah menyuruh
keluarga dan sahabatnya agar berobat ketika sakit. Diantara teknik pengobatan yang
dilakukan Nabi adalah menggunakan cara-cara tertentu sesuai dengan perkembangan zaman
saat itu.

Perintah berobat dalam Islam juga dapat dipahami dari iformasi yang dipahami
sebagai salah satu bentuk perintah. Diantara cara berobat Nabi yang dianjurkannya
sebagaimana banyak disebutkan dalam hadits adalah dengan cara berbekam ( al- Hijamah =
cupping ) , yang dulu dilakukan secara bedah dengan besi panas. Dalam kedokteran, al-
Hijamah dipahami sebagai pengeluaran darah dengan menoreh pembuluh darah . Secara
umum teknik pengobatan di zaman Nabi ada 3, seperti disebutkan dalam hadits shahih :

Artinya : Pengobatan ada 3 cara, meminum madu, berbekam, dan mencasnya dengan api,
dan aku melarang mencas dengan api. ( HR al-Bukhari, Ibn Majah, dan Ahmad ).

Al- Hijamat, saat zaman teknik dan farmakologi belum maju merupakan teknik
pengobatan yang populer masa itu dengan cara mengeluarkan darah kotor, teknik lain seperti
disebutkan dalam hadits di atas adalah dengan mengobati luka dengan api, dan dengan
meminum susu. Maksud hadits ‘pengobatan dengan 3 hal’ tersebut hanya merupakan
dekskripsi dari tindakan pengobatan yang dilakukan di masa Nabi, hanya menunjukan pada
yang pokoknya saja.

Juga dinyatakan dalam hadits yang secara khusus menyuruh agar berobat, antara lain
hadits Nabi :

Artinya : Dari Usman bin Syarik, seorang laki-laki dari kaumnya berkata, datang seorang
dusun kepada Rasulillah saw dan bertanya : Ya Rasullallah, manusia yang bagaimana yang
baik ? Nabi menjawab : “ Yang terbaik akhlaknya di antara mereka”, kemudian dia bertanya
lagi, Ya Rasullallah apakah kami mesti berobat ? Nabi menjawab : Berobatlah, sebab, Allah
tidak menurunkan penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, diketahui oleh orang yang
mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.” ( HRAhmad )

Juga dinyatakan dalam hadits lain :

Artinya : Dari Abi al-Darda’, ia berkata Rasulullah saw bersabda : Bahwa Allah-lah yang
menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia yang menjadikan setiap penyakit ada obatnya,
berobatlah, dan jangan berobat dengan yang haram. ( HR Abu Dawud )

Pesan teologis ini menekankan dan mengisyaratkan pencarian obat yang


sesungguhnya telah tersedia, sesuai dengan hukum sunnatullah.

Pesan atau catatan yang terdapat dalam hadits-hadits tentang perlunya berobat bahwa
dalam keyakinan Islam proses penyembuhan terhadap suatu penyakit disamping berdasarkan
hukum kausalitas atau sunnatullah, hukum atau keteraturan ciptaan Allah, juga karena turun
dan campur tangan langsung Tuhan. Karena kesadaran demikianlah maka dalam hadits,
banyak dijumpai tuntunan Nabi dalam bentuk doa mohon kesembuhan atau kesehatan, maka
sebenarnya penyembuh yang hakiki adalah Tuhan.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berobat. Al-Quran, mengutip ucapan
Nabi Ibrahim yang menyebutkan :

ُ ‫َو ِإذَا َم ِرض‬


‫ْت فَ ُه َو‬
‫يَ ْش ِفين‬
Artinya : dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, ( al-syu’ara’:80 )

Ayat ini menekankan agar orang yang sakit mengupayakan sehat sebagai anjuran
agama. Dalam menafsirkan ayat ini, al-Dzahabi menyatakan, bahwa tindakan upaya
penyebuhan penyakit secara medis merupakan perbuatan baik dan terpuji. Ini juga
berdasarkan pesan Nabi: “Lakukanlah penyembuhan secara medis”

Dikalangan ulama masa lalu terdapat perbedaan pendapat mengenai upaya berobat
dihadapkan dengan tawakkal, lebih baik yang mana, berobat atau pasrah dengan tidak
melakukan pengobatan ? Dalam hal hukum berobat itu sendiri, mereka sepakat
memperbolehkan, namun dalam hal yang mana lebih utama, terdapat perbedaan pendapat.
Sebagian mereka berpendapat berobat lebih utama, sebagian yang lain menyatakan tawakkal
lebih utama. Diantara pangkal perbedaan itu adalah menyangkut kandungan hukum dan
redaksi perintah ( amr) dalam hadits diatas , yang dimaksud wajib, sunah, atau sekedar
imbauan yang bernilai hukum mubah ? Iman –imam madzhab dan Jumhur Ulama
menyatakan, perintah tersebut tidak menunjukan wajibnya hukum berobat, tetapi hanya
mubah, sedangkan menurut sbagian ashhab ( pendukung madzhab ) al-syafi’i dan Ashhab
Ahmad bin Hanbal bahwa perintah tersebut menunjuksn wajib.

Ibnu Taimiyah menyimpulkan, menurut 4 madzhab hukum berobat bersifat fleksibel


dan kondisional, berobat dapat haram, makruh, mubah, sunah ( mustahab ) dan kadang-
kadang bisa wajib. Hal itu sangat tergantung dengan tetap ‘hidup atau tidaknya orang yang
sakit jika berobat’, bukan yang lain seperti wajib makan bangkai dalam keadaan darurat yang
menurut 4 madzhab dan Jumhur Fuqaha adalah wajib makan bangkai tersebut.

Yusuf al – Qaradhawi juga menyimpulkan bahwa hukum berobat berkisar antara


mubah, sunnah, dan wajib. Secara khusus ia berpendapat wajib dalam situasi khusus, seperti
jika sakitnya parah dan obat penyakit dimaksud telah ditemukan sesuai dengan sunnatullah.
Dasar pendirian ini adalah hadits yang menganjurkan berobat, paling kurang anjuran tersebut
bernilai sunnah. Ia menambahkan, jika penyakitnya secara medis dapat disembuhkan
hukumnya bisa sunnah atau wajib, tapi jika sudah jelas tidak dapat diharapkan sembuhnya
sesuai hasil diagnosis orang-orang yang benar-benar ahli/pakarnya dalam bidang terkait ,
maka tak seorang ulama pun yang mengatakan sunnah, apalagi mewajibkannya.

Pada masa lalu, sebagian ulama dalam menentukan hukum sesuatu tidak semata
didasarkan pada pertimbangan yuiridis ( fikih ), tetapi kadang –kadang nilai sufistik juga
turut mempengaruhinya. Dalam hadits syi’ah misalnya, dinyatakan bahwa orang yang sakit
sangat dianjurkan untuk menanggung rasa sakit dan diperbolehkan berobat ke dokter jika
penyakitnya itu telah mengancam jiwanya atau rasa sakitnya sudah tak tertahnkan lagi..
Menurut faham mereka yang disemangati oleh faham kesyahidan, berdasarkan hadits Nabi,
orang yang sakit yang melewatkan satu malam menanggung rasa sakit akan mendapatkan
pahala lebih besardibandingkan dengan shalat sepanjang tahun. Mereka berpendirian, orang
yang sakit sangat dianjurkan untuk menanggung rasa sakitnya dan diperbolehkan berobat ke
dokter jika penyakitnya itu telah mengancam jiwanya atau rasa sakitnya sudah tak
tertahankan lagi.
Demikianlah kehidupan dikalangan sufi pada masa lalu jika mereka sakit tidak
berobat, cukup berserah tanpa berusaha mengobatinya, bersabar saja dalam arti tidak berobat.
Sikap demikian juga yang dilakukan oleh sebagian para shahabat seperti Ubaiy bin Ka’b, Abi
Dzarr, dan sebagian Tabi’in, merekatidak berobat sewaktu sakit. Elemen kuat faham
Jabariyah dalam teologi Islam seperti tampak dalam pendirian kaum sufi di atas juga
ditunjukkan oleh al-Ghazali, dengan kacamata sufistiknyadalam membahas ‘tawakkal’ dalam
kitab Ihya ‘Ulumiddin, ia menyatakan bahwa tidak berobat dalam kondisi apapun adalah
lebih utama.

Dengan adanya perbedaan pandangan dan sikap seperti diuraikan diatas, maka dalam
menentukan hukum berobat antara kelompok ulama yang mempertimbangkannyamsecara
yuridis murni dan yuridis tetapi telah dimasukkan pula unsur sufistik didalamnya terjadi
perbedaan pendapat. Kontradiksi itu juga terjadi dalam mempertimbangkan dua kondisi,
kesehatan disertai syukur di satu sisi dan sakit disertai dengan kesabaran dan tawakkal di sisi
yang lain, mana yang lebih afdhal ?

Dalam pandangan kaum sufi yang memposisikan maqam tawakkal dan ridha lebih
tinggi dari maqam yang masih terkait dengan hukum kausalitas, Sifat demikian, menurut Ibn
al – Atsir, itulah sifat para auliya’ yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Sebagian
kalangan ulama yang moderat mencoba men-tarjih dan memadukan dua pendapat yang
berbeda itu, bahwa berobat tidak berarti menafikan tawakkal, seperti halnya, menolak lapar
dan haus dengan makan dan minum, demikian juga, menjauhkan diri dari hal-hal yang
sifatnya merusak dengan minta doa minta sehat dan dijauhkan dari segala hal yaang
membahayakan.

5.7. Kesehatan Lingkungan

Diantara upaya untuk menjaga kesehatan melalui upaya preventif, mencegah individu
atau masyarakat agar jangan ditimpa penyakit adalah dengan cara memperhatikan kesehatan
lingkungan, membasmi dan menghindari berbagai penyakit menular, dan memberikan
penerangan serta pengetahuan tentang kesehatan kepada masyarakat. Terhadap adanya
gangguan kesehatan akibat pengaruh tercemarnya udara, tanah, air, dan yang lain akibat
terkena polusi atau limbah tertentu yang berbahaya, Nabi pernah menyuruh orang yang
melaporkan daerahnya sedang tercemar, tertimpa polusi udara agar segera meninggalkan
daerah itu.

Anda mungkin juga menyukai