Anda di halaman 1dari 45

HORDEOLUM

Definisi
Peradangan pada satu atau lebih kelenjar palpebra akibat dari infeksi akut bakteri
(Staphylococcus aureus). Jika terjadi infeksi pada beberapa kelenjar maka disebut sebagai
hordeolosis. Berdasarkan kelenjar yang terkena hordeolum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu
hordeolum eksternum merupakan peradangan supuratif akut dari kelenjar Zeis atau Moll dan
hordeolum internum adalah peradangan supuratif dari kelenjar Meibomian yang terkait dengan
penyumbatan duktus.

Anamnesis
Keluhan Utama : mata kemerahan, nyeri, dan berair pada kelopak atas mata kiri
Riwayat Perjalanan Penyakit :
a) Benjolan di kelopak atas mata kiri sejak 3 hari yang lalu.
b) Awalnya dirasakan nyeri pada kelopak atas mata kiri dan diikuti pembengkakan sebesar
biji kacang hijau sehari setelah nyeri dirasakan. 2 hari kemudian bengkak dirasakan
semakin membesar sebesar biji jagung, terasa nyeri bila ditekan, dan berair. Penderita juga
mengeluh keluar nanah dari benjolan tersebut.
c) R/ demam (-)
d) R/ penurunan penglihatan (-)
e) R/ mata silau karena cahaya (-)
f) R/ pakai kacamata (-)
g) R/ trauma (-)
h) R/ alergi (-)
Riwayat Penyakit Dahulu : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal
Riwayat Pemakaian Obat : disangkal
Riwayat Kebiasaan Sosial : sering menggosok-gosok mata dengan tangan (+)
1. Gejala klinis hordeolum eksternum:
- Edem pada kelopak mata
- Nyeri akut
- Epifora ringan
- Fotofobia

Gambar 1.1 Hordeolum Eksternum

2 Gejala klinis hordeolum internum:


- Edem pada jaringan fibrosa (konjungtiva
tarsal)
- Nyeri hebat
- Sensasi panas di daerah sekitar benjolan

Gambar 1.2 Hordeolum Internum

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Pada pemerikasaan fisik status generalis didapatkan keadaan umum baik, kesadaran
kompos mentis, dengan tanda-tanda vital dalam batas normal, tidak terdapat pembesaran KGB,
jantung dan paru tidak ada kelainan, abdomen datar, lemas, peristaltik normal, ekstremitas hangat.
Dari status psikiatrik penderita bersikap kooperatif, ekspresi wajar dan respon baik.

Pemeriksaan Oftalmologi
- Pada pemeriksaan hordeolum eksternum, terdapat kemerahan, nyeri tekan, dan edem pada
tepi kelopak mata dimana kelenjar keringat berada.
- Pada pemeriksaan hordeolum internum, nyeri tekan dan edem jauh dari batas kelopak mata
dan pus berada di konjungtiva tarsal (tampak daerah kekuningan pada kelopak mata) dan
bukan pada akar silia. Biasanya pus hanya terlihat apabila dilakukan pemeriksaan eversi
dan sering kali terjadi bersamaan dengan reaksi yang lebih berat seperti konjungtivitis atau
kemosis konjungtiva bulbar.

Pemeriksaan Penunjang
Secara histopatologi, hordeolum didapatkan abses dan fokal infeksi disertai jaringan
nekrosis dan kumpulan leukosit PMN. Dikatakan hordeolum berulang berkaitan dengan defisiensi
dari IgM.

Diagnosis Banding
Kalazion, blefaritis, selulitis, sebasea gland carcinoma, dan basal cell carsinoma.

Tatalaksana
- Kompres hangat sebanyak 3 kali sehari selama 10 menit sampai pus keluar.
- Salep antibiotik maupun antibiotik oral juga dapat digunakan. Antibiotik lokal terutama
bila terjadi gejala rekuren atau terjadinya pembesaran kelenjar preaurikel. Antibiotik
sistemik diberikan ciprofloksaxim 250-500 mg atau amoksisilin 3 kali sehari. Bila terdapat
infeksi Staphylococcus di bagian tubuh lain maka sebaiknya diobati juga bersamaan.
- Pada nanah dari kantung nanah yang tidak dapat keluar dilakukan insisi dan kuretase. Pada
insisi hordeolum terlebih dulu diberikan anestesi topikal dengan tetrakain tetes mata.
Kemudian, lakukan anestesi filtrasi dengan prokain atau lidokain di daerah hordeolum dan
dilakukan insisi pada daerah:
o Hordeolum internum
Insisi pada daerah fluktuasi pus, tegak lurus (vertikal) dengan margo palpebra.
o Hordeolum eksternum
Insisi sejajar dengan margo palpebra (horizontal).
- Hordeolum dapat terjadi berulang sehingga perlu diberikan edukasi pada penderita dan
keluarga untuk menjaga kebersihan dan higenitas lingkungan.
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Analisis
Diagnosis pada penderita ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan oftalmologi. Dari anamnesis, penderita mengeluh mata kemerahan, nyeri, dan berair
pada kelopak atas mata kiri. Benjolan ini awalnya kecil berwarna kemerahan dan bengkak pada
kelopak mata kiri. Benjolan ini kemudian semakin membesar dan disertai nyeri bila ditekan.
Keadaan ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa hordeolum awalnya
hanya berupa benjolan kecil yang berwarna kemerahan yang
makin lama makin membesar disertai nyeri tekan. Benjolan ini menjadi besar dan mengalami
reaksi radang akibat infeksi bakteri Staphylococcus aureus pada kelenjar Zeis. Dari pemeriksaan
oftalmologi didapatkan adanya edema, hiperemi, pus, dan nyeri tekan pada palpebra superior oculi
sinistra. Benjolan yang terjadi pada kulit kelopak mata menunjukkan bahwa hordeolum yang
terjadi adalah hordeolum eksternum. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa
hordeolum eksternum merupakan infeksi pada kelenjar Zeis atau Moll yang menunjukkan
penonjolan terutama ke daerah kulit kelopak dan nanah dapat keluar dari pangkal rambut.
Salah satu faktor yang menjadi pemicu terjadinya hordeolum adalah faktor kebersihan diri
dan lingkungan. Kondisi kelopak mata yang kotor atau kebiasaan mengucek-ngucek mata dengan
tangan kotor dapat memicu terjadinya infeksi. Hordeolum merupakan infeksi yang menular, oleh
karena itu sangat penting untuk menjaga kebersihan terutama daerah mata.
Pada umunnya hordeolum dapat sembuh sendiri dalam 1-2 minggu. Namun tak jarang
memerlukan pengobatan secara khusus, obat topikal (salep atau tetes mata antibiotik) maupun
kombinasi dengan obat antibiotik oral serta tindakan insisi untuk menangani infeksi yang disertai
dengan pembentukan pus.
Umumnya prognosis pada penyakit ini baik dan penyakit ini dapat dicegah dengan
beberapa cara, salah satunya adalah menjaga kebersihan diri.
EPISKLERITIS

Definisi
Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera. Episkeliritis terdiri dari 2 jenis, yaitu episkleritis difus
(sederhana) dan episkleritis nodular. Episkleritis sederhana adalah kondisi self-limited, sering
berulang, dan kemerahan pada sektorial episklera anterior. Tidak terdapat hubungan dengan
trauma sebelumnya atau penyakit sistemik. Pada pemeriksaan histologi menunjukkan kongesti
vaskular, edema stroma, dan infiltrasi inflamasi perivaskular non-granulomatosa kronis, terutama
terdiri dari oflymphocytes. Berbeda dengan episkleritis difus, episkleritis nodular lebih sering
menyerang wanita yang disertai penyakit sistemik, seperti rheumatoid arthritis. Hal ini ditandai
dengan nodul merah muda hingga merah pada epitel anterior. Secara histologi, nodul ini tersusun
oleh necrobiotic granulomatous inflammatory infiltrate, palisading histiosit epiteloid di sekitar inti
pusat kolagen nekrotik. Pada mikroskop cahaya, tampak polanya sama dengan yang terlihat pada
nodul rheumatoid di jaringan subkutan.

Gambar 2.1 Episkleritis Difus


Spesimen biopsi episkleral menunjukkan infiltrasi inflamasi non-granulomatosa kronis.

Anamnesis
Keluhan Utama : mata merah dan perasaan mengganjal pada mata kanan
Riwayat Perjalanan Penyakit :
a) Mata merah dan perasaan mengganjal pada mata kanan sejak 4 hari yang lalu.
b) Penderita juga mengeluh mata kanan mengeluarkan banyak air tiap kali bangun tidur tetapi
tidak ada sekret.
c) R/ mata silau karena cahaya (+)
d) R/ penurunan penglihatan (-)
e) R/ pakai kacamata (-)
f) R/ demam (-)
g) R/ trauma (-)
h) R/ alergi (-)
Riwayat Penyakit Dahulu : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal
Riwayat Pemakaian Obat : disangkal
Riwayat Kebiasaan Sosial : sering menggosok-gosok mata dengan tangan (+)

Gambar 2.2 Episkleritis Difus Gambar 2.3 Episkleritis Nodular

Gejala klinis episkleritis:


- Mata merah pada bagian putih mata
- Sakit mata dengan rasa nyeri atau sensasi terbakar
- Kepekaan terhadap cahaya
- Tidak terdapat sekret
- Mata terasa kering dengan rasa sakit yang ringan
- Perasaan mengganjal
- Konjungtiva kemosis
Gambaran khusus: benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah
konjungtiva, nyeri tekan pada benjolan yang menjalar ke sekitar mata. Perjalanan penyakit mulai
dengan episode akut dan terdapat riwayat berulang dan dapat berminggu-minggu atau beberapa
bulan. Kelainan berulang yang ringan, jarang terlibat kornea dan uvea, penglihatan tetap normal.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Pada pemerikasaan fisik status generalis didapatkan keadaan umum baik, kesadaran
kompos mentis, dengan tanda-tanda vital dalam batas normal, tidak terdapat pembesaran KGB,
jantung dan paru tidak ada kelainan, abdomen datar, lemas, peristaltik normal, ekstremitas hangat.
Dari status psikiatrik penderita bersikap kooperatif, ekspresi wajar dan respon baik.

Pemeriksaan Oftalmologi
- Pada pemeriksaan episkleritis difus (sederhana), meskipun seluruh mata dapat terlibat
sampai batas tertentu, peradangan maksimum terbatas pada satu atau dua kuadran.
- Pada pemeriksaan episkleritis nodular, nodul datar berwarna merah ungu yang dikelilingi
injeksi konjungtiva, terletak 2-3 mm dari limbus. Konsistensi nodul keras, terdapat nyeri
tekan, dan konjungtiva diatasnya dapat bergerak bebas.
a) Pemeriksaan Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah serangan yang berat
dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan translusen juga dapat muncul dan juga
terlihat uvea yang gelap. Area hitam, abu-abu dan coklat yang dikelilingi oleh inflamasi yang
aktif yang mengindikasikan adanya proses nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut, area pada
sklera bisa menjadi avaskular yang menghasilkan sekuester putih di tengah yang dikelilingi
lingkaran coklat kehitaman. Proses pengelupasan bisa diganti secara bertahap dengan jaringan
granulasi meninggalkan uvea yang kosong atau lapisan tipis dari konjungtiva.
b) Pemeriksaan Slit Lamp
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera dengan beberapa
bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit lamp
bergeser ke depan karena episklera dan sklera edema. Pada skleritis dengan pemakaian
fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan
pada jaringan dalam episklera.
c) Pemeriksaan Red-free Light
Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai kongesti vaskular
yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang baru dan juga area yang avaskular total.
Selain itu perlu pemeriksaan secara umum pada mata meliputi otot ekstra okular, kornea, uvea,
lensa, tekanan intraokular dan fundus.

Pemeriksaan Laboratorium
- Hitung darah lengkap dan laju endap darah
- Kadar komplemen serum (C3)
- Kompleks imun serum
- Faktor rematoid serum
- Antibodi antinukleus serum
- IgE
- Kadar asam urat serum
- Urinalisis
- Tes serologis
- HbsAg
- BTA

Diagnosis Banding
Skleritis, konjungtivitis, uveitis anterior

Tatalaksana
- Dapat sembuh sempurna atau bersifat residif yang dapat menyerang tempat yang sama
ataupun berbeda-beda dengan lama sakit umumnya berlangsung 1-2 minggu.
- Mata merah satu sektor yang disebabkan melebarnya pembuluh darah di bawah
konjungtiva. Pembuluh darah ini mengecil bila diberi phenylephrine 2,5% topikal.
- Kompres dingin pada kelopak mata yang tertutup dapat mengurangi gejala sementara.
- Pada keadaan berat, obat kortikosteroid tetes mata dapat diberikan selama 2-3 jam.
- Obat NSAID seperti, flurbiprofen (300 mg OD), indometasin (25 mg tiga kali sehari), atau
oxyphenbutazone mungkin diperlukan dalam kasus-kasus berulang.

Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Analisis
Diagnosis pada penderita ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan oftalmologi. Dari anamnesis, penderita merupakan seorang wanita dengan diagnosis
episkleritis pada mata kanan. Secara epidemiologi, episkleritis terjadi pada usia dewasa muda
hingga usia 50 tahunan. Episkleritis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria dan dua
pertiga penderita dengan episkleritis mengalami peradangan unilateral.
Penderita datang dengan keluhan mata merah dan perasaan mengganjal pada mata kanan
sejak 4 hari yang lalu secara terus menerus. Penderita juga mengeluh silau apabila terkena cahaya
dan mengeluarkan banyak air tiap kali bangun tidur, tetapi tidak ada sekret. Riwayat penyakit
sitemik seperti rheumatoidarthritis, herpes zoster dan tuberculosis disangkal. Penderita tidak
pernah memakai kacamata sebelumnya dan menyangkal adanya penglihatan yang buram saat
melihat jauh maupun dekat. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan status generalis dalam batas
normal. Pada pemeriksaan oftalmologi, didapatkan injeksi episklera dan penebalan konjungtiva
pada mata kanan, penekanan pada mata menunjukan nyeri positif. Sesuai dengan manifestasi
klinik dari episkleritis, onset penyakit ini akut dan kemerahan dapat terlokalisir.
Pada penderita dilakukan tes phenylephrine dengan hasil positif. Tes phenylephrine
bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis banding skleritis. Tes phenylephrine positif menandakan
inflamasi terdapat pada daerah pembuluh darah episkleral (episkleritis), ditandai dengan
memucatnya warna kemerahan pada mata. Apabila tes phenylephrine negatif, menandakan
inflamasi berada di daerah yang lebih dalam sehingga warna kemerahan pada mata akan menetap.
Episkleritis merupakan self-limiting disease dalam waktu 1-2 minggu. Episkleritis tidak
menyebabkan kerusakan yang permanen pada mata, oleh sebab itu prinsip pengobatan pada
episkleritis adalah mengurangi gejala yang timbul.
BUTA SENJA

Definisi
Nyctalopia atau rabun senja adalah suatu kondisi dimana seseorang kesulitan atau
tidak dapat melihat dalam cahaya yang relatif kurang. Hal ini merupakan gejala dari beberapa
penyakit mata, antara lain defisiensi vitamin A, degenerasi tapetoretinal (retinitis pigmentosa),
miopia progresif, refraksi, glaukoma lanjut, atrofi papil berat, pupil kecil (akibat miotika), dan obat
seperti klorokuin dan kinina. Penderita rabun senja memiliki kesulitan untuk melihat pada saat hari
sudah senja (keadaan penglihatan mesopic) dan di lingkungan yang kurang cahaya (keadaan
penglihatan scotopic).
Pada sel batang di retina mata terdapat rhodopsin atau visual purple (pigmen ungu) yang
mengandung vitamin A yang terikat pada protein. Pada mata normal, apabila menerima cahaya,
rodopsin akan terkonversi menjadi visual yellow dan kemudian menjadi visual white. Konversi ini
membutuhkan vitamin A. Regenerasi visual purple hanya akan terjadi apabila tersedia vitamin A
yang cukup. Tanpa regenerasi, maka pengelihatan mata pada cahaya remang akan terganggu. Oleh
karena itu, apabila kekurangan vitamin A, maka mata akan sulit melihat ketika berada di
lingkungan kurang cahaya.
Pada sistim pengelihatan, ada tiga macam pengelihatan, yakni pengelihatan photopic,
pengelihatan mesopic, dan pengelihatan scotopic.Pengelihatan photopic adalah pengelihatan pada
kondisi lingkungan yang banyak cahaya sehingga sel kerucut bekerja maksimal.Tiga jenis sel
kerucut, yakni hijau, biru, dan merah, bekerja menghasilkan persepsi warna di tempat
terang.Pengelihatan mesopic adalah ketika sel batang dan sel kerucut bekerja secara bersamaan
untuk menghasilkan persepsi warna. Pada keadaan ini, lingkungan tetap memiliki kadar cahaya
namun kurang, seperti pada saat matahari akan terbenam. Sedangkan pengelihatan scotopic adalah
pada saat lingkungan benar-benar kurang cahaya, seperti pada saat malam hari ketika hanya
disinari oleh bulan.Pada keadaan ini, hanya sel batang yang bekerja dan tidak ada lagi warna yang
dapat dilihat.

Anamnesis
Mendeteksi rabun senja dapat dilakukan dengan banyak cara. Cara yang dilakukan untuk
mendiagnosis rabun senja dikelompokkan menjadi dua, yaitu anamnesis dan pemeriksaan secara
biofisik. Anamnesis merupakan diagnosis awal terhadap suatu penyakit.Sedangkan pemeriksaan
biofisik terdiri dari Tes adaptasi gelap secara sederhana, tes adaptasi gelap dengan adaptometri
gelap, dan pemeriksaan mata dengan Electroretinography.
Ada beberapa gejala yang muncul pada penderita Nyctalopia atau rabun senja, yaitu:
- Sulit melihat pada tempat dengan cahaya minimal
- Kesulitan melihat saat mengemudi di sore hari
- Perasaan bahwa mata memerlukan waktu yang lebih lama untuk penyesuaian terhadap
perubahan dari terang ke gelap juga dapat merupakan gejala rabun senja.
- Riwayat pola makan (apakah mengkonsumsi makanan bervitamin A atau tidak)
Pemeriksaan Mata
a) Tes Adaptasi Gelap sederhana
Tes adaptasi gelap sederhana dilakukan dengan merancang sebuah ruangan dengan suasana
gelap (kurang cahaya). Dapat dilakukan beberapa cara untuk mendiagnosa seseorag menderita
rabun senja atau tidak. Salah satu cara yang sederhana adalah dengan memerintahakan orang
yang akan diperiksa tersebut untuk melakukan sesuatu, misalnya mengambil barang berbentuk
segitiga. Orang yang penglihatan skotopikya normal masih dapat membedakan bentuk karena
masih dapat melihat dalam keadaan kurang cahaya setelah beradaptasi beberapa waktu.
Sedangkan orang yang menderita rabun senja sudah tidak dapat lagi membedakan bentuk,
karena penglihatannya akan hitam dan gelap sama sekali.

b) Tes Adaptasi Gelap dengan menggunakan alat Adaptometri Gelap


Adaptometri gelap adalah suatu alat yang dikembangkan untuk mengetahui kadar vitamin
A tanpa mengambil sampel darah menggunakan suntikan. Mengingat bahayanya suntuikan
apabila tidak digunakan dalam keadaan steril.
Pemeriksaan kekurangan vitamin A dengan adaptometri gelap menggunakan alat
iluminator yang dibuat di Laboratorium Fisika Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. Iluminator terdiri dari dua lampu LED (light emitting diode) yang digunakan untuk
pemeriksaan.Lampu pertama memancarkan cahaya kuning-hijau dengan panjang gelombang
572 nanometer.Lampu itu memiliki spesifi kasi 22 tingkatan rentang intensitas cahaya mulai
dari -1,208 sampai dengan 1,286 log candela per meter persegi (log cd/m2).Sedangkan lampu
kedua memancarkan cahaya kuning-merah dengan panjang gelombang 626
nanometer.Sebelum pemeriksaan, pasien menjalani binocular partial bleach, cahaya terang
ditimpakan pada mata dengan menggunakan blitz kamera.
Selanjutnya, pasien akan diminta untuk beradaptasi dengan kondisi gelap selama 10 menit
di suatu ruangan yang telah dibuat gelap. Jendela-jendela yang ada di ruangan itu ditutup
dengan menggunakan kain hitam. Derajat gelap yang dijadikan patokan berdasarkan kondisi
seseorang yang berada di dalam ruang gelap tersebut tidak dapat melihat huruf berukuran
tinggi 10 sentimeter dan tebal 1,5 sentimeter dengan tinta hitam pada kertas putih.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan meletakkan lampu kuning-hijau dengan wadah
berbentuk corong di hadapan mata kiri.Bentuk corong tersebut dirancang sedemikian rupa
sehingga dapat menutup mata kiri.Sedangkan lampu kuning merah diarahkan dari sisi temporal
atau samping mata kanan untuk memberikan iluminasi (datangnya cahaya ke suatu objek) yang
mempermudah pengamatan respons pupil mata kanan.
Pengamatan mata sebelah kanan itu dilakukan dengan bantuan lup 2,5 kali pembesaran.
Saat pemeriksaan, perhatian sub jek diarahkan pada suatu objek berluminasi yang diletakkan
pada jarak enam meter.Pada mata kiri diberikan stimulus cahaya kuninghijau selama satu detik
mulai dari intensitas terkecil.
Intensitas stimulus dinaikkan bertahap mulai dari intensitas cahaya paling rendah dengan
selang interval 10 detik hingga pupil (mata sebelahnya) memberikan respons mengecil yang
dapat dilihat dengan jelas oleh pemeriksa.Pada dua pengujian berturut-turut, hasil yang didapat
dicatat pada formulir data subjek.Skor pemeriksaan adaptasi gelap kurang dari -1,11 log cd/
m2, dianggap sebagai bukti adanya defisiensi vitamin A.

c) Pemeriksaan dengan Electroretinography (ERG)


Electroretinography adalah alat yang digunakan untuk mengukur respons elektrik dari
fotoreseptor cahaya di mata, yaitu sel batang dan sel kerucut di retina. Mata pasien akan dibuka
dengan sebuah retraktor setelah mata dibuat mati rasa dengan ditetesi cairan. Elektroda akan
ditempatkan pada setiap mata dan elektroda tersebut akan mengukur aktivitas listrik ke retina
sebagai respons terhadap cahaya. Petugas pemeriksa akan mengukur hasilnya saat berada di
keadaan terang dan dalam keadaan gelap.

Diagnosis Banding
Rabun senja memiliki kesamaan gejala dengan suatu penyakit, yaitu retinitis pigmentosa.
Namun, penyakit ini memiliki perbedaan yang cukup mendalam dengan penyakit rabun senja.
Retinitis Pigmentosa adalah suatu kemunduran yang progresif pada retina yang
mempengaruhi penglihatan pada malam hari dan penglihatan tepi dan pada akhirnya bisa
menyebabkan kebutaan. Retinitis pigmentosa dengan tanda karekteristik degenerasi sel epitel
retina terutama sel batang dan atrofi saraf optik, menyebar tanpa gejala peradangan. Merupakan
kelainan yang berjalan progresif dan bermula sejak masa kanak- kanak.
Penyebab :
Retinitis pigmentosa merupakan penyakit keturunan yang jarang terjadi. Beberapa bentuk penyakit
ini diturunkan secara dominan, hanya memerlukan 1 gen dari salah satu orang tua; resesif atau
bentuk yang lainnya diturunkan melalui kromosom X, hanya memerlukan 1 gen dari ibu. Penyakit
ini terutama menyerang sel batang retina yang berfungsi mengontrol penglihatan pada malam hari.
Sel batang pada retina (berperan dalam penglihatan pada malam hari) secara bertahap mengalami
kemunduran sehingga penglihatan di ruang gelap atau penglihatan pada malam hari menurun.
Lama-lama terjadi kehilangan fungsi penglihatan tepi yang progresif dan bisa menyebabkan
kebutaan. Pada stadium lanjut, terjadi penurunan fungsi penglihatan sentral.

Tatalaksana
Pemberian vitamin A akan memberikan perbaikan nyata dalam 1-2 minggu. Dianjurkan
bila didiagnosis defisiensi vitamin A dibuat maka diberikan vitamin A 200.000 IU peroral dan
pada hari kesatu dan kedua. Bila belum ada perbaikan maka diberikan obat yang sama pada hari
ketiga. Biasanya diobati gangguan protein kalori malnutrisi dengan menambah vitamin A sehingga
perlu diberikan perbaikan gizi pasien. Pemberian salep antibiotik dapat digunakan untuk
mengurangi risiko infeksi bakteri.

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Analisis
Patofisiologi kebutaan senja sangat kompleks, dan tergantung pada proses penyakit yang
mendasarinya. Mutasi gen warisan menghasilkan versi abnormal atau bahkan tidak ada protein
esensial untuk fungsi fotoreseptor.
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak, diuraikan oleh enzim pankreas dan
diserap di bagian proksimal usus kecil. Kondisi yang mempengaruhi fungsi pankreas, seperti cystic
fibrosis dan pankreatitis kronis, atau kondisi lain yang mengarah pada pengurangan kemampuan
menyerap vitamin A, seperti operasi lambung atau Crohn disease, dapat menyebabkan defisiensi
vitamin A sehingga nutrisi untuk rhodopsin (suatu zat peka cahaya; tersusun atas protein dan
vitamin A) pada sel batang tidak tercukupi. Rhodopsin akan terurai jika ada cahaya dan berperan
dalam penglihatan di tempat gelap. Vitamin A (retinol) diperlukan oleh fotoreseptor untuk
memproduksi protein esensial yang terlibat dalam siklus fototransduksi.Ketika kekurangan protein
ini, disfungsi fotoreseptor dapat menyebabkan gejala rabun senja/kebutaan malam/nyctalopia.
Rabun senja disebabkan oleh gangguan dari sel-sel di retina yang bertanggung jawab untuk
penglihatan dalam cahaya redup. Hal ini memiliki banyak penyebab, termasuk:
 Miopi (rabun jauh)
 Obat-obatan glaukoma yang bekerja dengan konstriksi (mengecilkan) pupil
 Katarak, membuat area berkabut pada lensa mata
 Bentuk dari degenerasi retina seperti Retinitis pigmentosa
 Kekurangan vitamin A, yang dapat mengakibatkan kelainan pada retina dan
membuat mata menjadi kering
 Cacat bawaan lahir
ULKUS KORNEA

Definisi
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan
kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung dan
diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.
Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea, yaitu:
1. Ulkus kornea sentral
a. Ulkus kornea bakterialis
b. Ulkus kornea fungi
c. Ulkus kornea virus
d. Ulkus kornea acanthamoeba
2. Ulkus kornea perifer
a. Ulkus marginal
b. Ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden)
c. Ulkus cincin (ring ulcer)

1. Ulkus Kornea Sentral


a. Ulkus Kornea Bakteri
Ulkus Streptokokus: Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea
(serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang
menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena
eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.
Ulkus Stafilokokus: Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putik kekuningan disertai
infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel. Apabila tidak diobati secara adekuat, akan
terjadi abses kornea yang disertai edema stroma dan infiltrasi sel leukosit. Walaupun terdapat
hipopion ulkus seringkali indolen yaitu reaksi radangnya minimal.
Ulkus Pseudomonas: Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral kornea. ulkus sentral ini
dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea. Penyerbukan ke dalam dapat mengakibatkan
perforasi kornea dalam waktu 48 jam. gambaran berupa ulkus yang berwarna abu-abu dengan
kotoran yang dikeluarkan berwarna kehijauan. Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti cincin.
Dalam bilik mata depan dapat terlihat hipopion yang banyak.

Ulkus Pneumokokus : Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam. Tepi ulkus akan
terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga memberikan gambaran karakteristik yang
disebut Ulkus Serpen. Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh dan berwarna kekuning-
kuningan. Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat ulkus yang menggaung dan di
daerah ini terdapat banyak kuman. Ulkus ini selalu di temukan hipopion yang tidak selamanya
sebanding dengan beratnya ulkus yang terlihat.diagnosa lebih pasti bila ditemukan
dakriosistitis.

b. Ulkus Kornea Fungi


Mata dapat tidak memberikan gejala selama beberapa hari sampai beberapa
minggu sesudah trauma yang dapat menimbulkan infeksi jamur ini. Pada permukaan lesi
terlihat bercak putih dengan warna keabu-abuan yang agak kering. Tepi lesi berbatas tegas
irregular dan terlihat penyebaran seperti bulu pada bagian epitel yang baik. Terlihat suatu daerah
tempat asal penyebaran di bagian sentral sehingga terdapat satelit-satelit disekitarnya.
Tukak kadang-kadang dalam, seperti tukak yang disebabkan bakteri. Pada infeksi kandida bentuk
tukak lonjong dengan permukaan naik. Dapat terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan
radang. Terdapat injeksi siliar disertai hipopion.

c. Ulkus Kornea Virus


Ulkus Kornea Herpes Zoster: Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan perasaan lesu.
Gejala ini timbul satu 1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit. Pada mata ditemukan vesikel
kulit dan edem palpebra, konjungtiva hiperemis, kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat
subepitel dan stroma. Infiltrat dapat berbentuk dendrit yang bentuknya berbeda dengan dendrit
herpes simplex. Dendrit herpes zoster berwarna abu-abu kotor dengan fluoresin yang lemah.
Kornea hipestesi tetapi dengan rasa sakit keadaan yang berat pada kornea biasanya disertai
dengan infeksi sekunder.
Ulkus Kornea Herpes simplex: Infeksi primer yang diberikan oleh virus herpes simplex dapat
terjadi tanpa gejala klinik. Biasanya gejala dini dimulai dengan tanda injeksi siliar yang kuat
disertai terdapatnya suatu dataran sel di permukaan epitel kornea disusul dengan bentuk dendrit
atau bintang infiltrasi. terdapat hipertesi pada kornea secara lokal kemudian menyeluruh.
Terdapat pembesaran kelenjar preaurikel. Bentuk dendrit herpes simplex kecil, ulceratif, jelas
diwarnai dengan fluoresin dengan benjolan diujungnya.
d. Ulkus kornea Acanthamoeba
Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya, kemerahan dan
fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat
perineural.

2. Ulkus Kornea Perifer


a. Ulkus Marginal
Bentuk ulkus marginal dapat simpel atau cincin. Bentuk simpel berbentuk ulkus superfisial
yang berwarna abu-abu dan terdapat pada infeksi stafilococcus, toksit atau alergi dan
gangguan sistemik pada influenza disentri basilar gonokok arteritis nodosa, dan lain-lain. Yang
berbentuk cincin atau multiple dan biasanya lateral. Ditemukan pada penderita leukemia
akut, sistemik lupus eritromatosis dan lain-lain.
b. Ulkus Mooren
Merupakan ulkus yang berjalan progresif dari perifer kornea kearah sentral. ulkus
mooren terutama terdapat pada usia lanjut. Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui.
Banyak teori yang diajukan dan salah satu adalah teori hipersensitivitas tuberculosis, virus, alergi
dan autoimun. Biasanya menyerang satu mata. Perasaan sakit sekali. Sering menyerang seluruh
permukaan kornea dan kadang meninggalkan satu pulau yang sehat pada bagian yang sentral.

c. Ring Ulcer
Terlihat injeksi perikorneal sekitar limbus. Di kornea terdapat ulkus yang berbentuk melingkar
dipinggir kornea, di dalam limbus, bisa dangkal atau dalam, kadang-kadang timbul perforasi.
Ulkus marginal yang banyak kadang-kadang dapat menjadi satu menyerupai ring ulcer. Tetapi
pada ring ulcer yang sebetulnya tak ada hubungan dengan konjungtivitis kataral. Perjalanan
penyakitnya menahun.
Anamnesis
Keluhan Utama : mata kiri tidak bisa melihat
Riwayat Perjalanan Penyakit :
a) Penderita mengeluh mata kiri tidak bisa melihat sejak 2 bulan yang lalu.
b) Sejak 1 bulan yang lalu, mata kiri mulai bertambah merah dan bengkak juga muncul putih
pada mata pasien dan penglihatan mulai kabur dan silau. Saat datang, penderita mengeluh
nyeri pada mata kiri sampai merambat ke kepala bagian kiri dan ke bahu kiri. Nyeri akan
membaik saat istirahat dan akan bertambah nyeri jika bola mata digerakkan.
c) Saat sakit mata 2 bulan yang lalu pasien minum paracetamol dan sempat menetesi matanya
dengan obat yang diberikan dokter namun pasien tidak mengingat nama obat tersebut.
Setelah ditetesi dengan obat dan sejak 1 bulan yang lalu mata mulai merah, bengkak,
muncul keputihan, dan penglihatan kabur.
d) R/ demam (-)
e) R/ pakai kacamata (-)
f) R/ trauma (-)
g) R/ alergi (-)
Riwayat Penyakit Dahulu : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal
Riwayat Pemakaian Obat : disangkal
Riwayat Kebiasaan Sosial : sering menggosok-gosok mata dengan tangan (-)
Gejala klinis ulkus kornea:
- Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
- Sekret mukopurulen
- Merasa ada benda asing di mata
- Pandangan kabur
- Mata berair dengan peningkatan pembentukan air mata
- Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
- Fotofobia
- Nyeri disertai gatal
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya injeksi siliar, kornea
edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang
disertai dengan hipopion. Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti:
- Tes refraksi
- Sensibilitas kornea
- Tes air mata
- Pemeriksaan slit-lamp
- Respon reflek pupil
- Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi
- Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)
- Dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula kimura dari dasar dan
tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan pewarnaan KOH, gram atau Giemsa.
Lebih baik lagi dengan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan periodic acid Schiff.
Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar sabouraud atau agar ekstrak maltosa.

Diagnosis Banding
Keratitis, endoftalmitis sikatrik kornea, keratomalasia, dan infiltrat sisa karat benda asing.

Tatalaksana
Pengobatan umumnya untuk ulkus kornea adalah dengan sikloplegik, antibiotika yang sesuai
topikal dan subkonjungtiva, dan pasien dirawat bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat
memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat, dan perlunya obat sistemik.
Secara umum ulkus diobati sebagai berikut:
- Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan berfungsi sebagai
inkubator
- Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali satu hari
- Kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder
- Debridement sangat membantu peyembuhan
- Antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasa diberi lokal kecuali keadaan berat
Pengobatan dihentikan bila sudah terjadi epitelisasi dan mata terlihat tenang kecuali bila
penyebabnya Pseudomonas yang memerlukan pengobatan ditambah 1-2 minggu.
Dilakukan pembedahan atau keratoplasti apabila:
- Pengobatan tidak sembuh
- Terjadinya jaringan parut yang mengganggu penglihatan

Prognosis
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat lambatnya
mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi yang
timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu penyembuhan yang lama, karena jaringan
kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan
serta timbulnya komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama
mungkin juga dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila tidak ada ketaatan
penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat menimbulkan resistensi. Ulkus
kornea harus membaik setiap harinya dan harus disembuhkan dengan pemberian terapi yang tepat.
Ulkus kornea dapat sembuh dengan dua metode; migrasi sekeliling sel epitel yang dilanjutkan
dengan mitosis sel dan pembentukan pembuluh darah dari konjungtiva. Ulkus superfisial yang
kecil dapat sembuh dengan cepat melalui metode yang pertama, tetapi pada ulkus yang besar, perlu
adanya suplai darah agar leukosit dan fibroblas dapat membentuk jaringan granulasi dan kemudian
sikatrik.

Analisis
Diagnosis pada penderita ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan oftalmologi. Dari anamnesis, penderita mengeluh mata kiri tidak bisa melihat dan
terasa sangat nyeri sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan mata diawali dengan demam 2 bulan yang
lalu. Sejak 1 bulan yang lalu mata kiri mulai merah, bengkak, muncul putih dan pandangan juga
dikatakan buram serta silau. Hal ini didukung dari hasil pemeriksaan oftalmologi,
didapatkan visus mata kiri lambaian tangan pada jarak 1 meter, injeksi siliar dan perisiliar, serta
dengan terlihat ulkus sentral ukuran 3x3mm berbatas tegas. Reflek pupil mata kiri penderita
negatif dan tidak dapat dievaluasi.
Dari pemeriksaan yang dilakukan didapatkan gejala-gejala yang sesuai dengan diagnosis
ulkus kornea. Penderita mengeluh nyeri, silau, mata merah, pandangan kabur, serta muncul
bercak putih kornea sesuai dengan lokasi ulkus. Penderita merasa nyeri dan silau dikarenakan
kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial
maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan
adanya gesekan palpebra, terutama palbebra superior, pada kornea dan menetap sampai sembuh.
Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan
iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan
timbulnya dilatasi pada pembuluh iris.
Pandangan kabur pada penderita disebakan karena kornea merupakan salah satu media
refraksi yang memiliki kekuatan lensa terbesar. Kornea merupakan bagian anterior dari mata,
yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih,
sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya
terutama terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan
kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan
sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila
letaknya di daerah pupil. Pada penderita ini ulkus terletak di sentral sehingga sangat menganggu
pengelihatan penderita.
Penatalaksanaan dari ulkus kornea pada penderita ini adalah tetes mata antibiotik yang
mengandung ciprofloxacin. Ciprofloxacin merupakan antibiotik spektrum luas yang aktif pada
bakteri gram positif dan negatif. Pemberian obat ini bertujuan untuk mengatasi infeksi pada ulkus.
Cendo Lyteers merupakan air mata buatan. Pemberian tetes ini bertujuan untuk menjaga mata agar
tetap lembab sehingga mencegah perlukaan yang lebih dalam lagi. Atropin merupakan sikloplegik.
Sikloplegik memiliki fungsi untuk mengistirahatkan otot badan siliaris sehingga mata tidak
mempunyai daya akomodsi untuk mencegah sinekia posterior. Natrium diclofenac diberikan untuk
mengatasi nyeri yang dirasakan penderita.
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat lambatnya mendapat
pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi yang timbul.
Penderita ini memiliki ulkus yang luas, sehingga memerlukan waktu penyembuhan yang lama,
karena jaringan kornea bersifat avaskular. Ulkus penderita terletak di sentral sehingga sangat
menganggu kemampuan pengelihatan penderita sehari-hari. Proses penyembuhan dipengaruhi
oleh kepatuhan penderita dalam berobat. Apabila tidak ada ketaatan penggunaan obat terjadi pada
penggunaan antibiotika maka dapat menimbulkan resistensi.
HIFEMA

Definisi
Hifema adalah suatu keadaan dimana adanya darah dalam bilik mata depan yang bersal
dari pembuluh darah iris dan badan siliar yang pecah yang dapat terjadi akibat trauma ataupun
secara spontan sehingga darah terkumpul di dalam bilik mata yang hanya mengisi sebagian
ataupun seluruh isi bilik mata depan. Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi
akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
Perdarahan bilik depan bola mata akibat rudapaksa ini merupakan akibat yang paling sering
dijumpai karena persentuhan mata dengan benda tumpul. Berat ringannya traumatik hifema ini
selain tergantung pada tingginya perdarahan juga tergantung pada ada tidaknya komplikasi yang
menyertainya. Darah yang terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang.
Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat menurunkan penglihatan.
Bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul dibawah bilik mata depan dan hifema dapat
memenuhi seluruh ruang bilik mata depan.
Hifema dapat terjadi akibat suatu trauma tembus ataupun tumpul pada mata yang merobek
pembuluh darah iris atau badan siliar dan dapat juga terjadi secara spontan. Perdarahannya bisa
juga bersal dari pembuluh darah kornea atau limbus dan badan siliar. Pada pengamatan akan
tampak darah dibalik kornea dan menutupi gambaran iris. Hifema dapat disertai dengan atau tanpa
perdarahan pada konjungtiva. Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman
penglihatan mungkin masih baik dan TIO normal. Perdarahan yang mengisi setengah COA dapat
menyebabkan gangguan visus dan TIO sehingga mata terasa sakit. Jika hifema mengisi seluruh
COA, rasa sakit bertambah dan visus lebih menurun lagi karena TIO meningkat.

Anamnesis
Keluhan Utama : mata kiri merah, terasa nyeri, dan penglihatan kabur.
Riwayat Perjalanan Penyakit :
a) Mata kiri merah, terasa nyeri, dan penglihatan kabur sejak 1 hari yang lalu.
b) Keluhan dirasakan setelah penderita tidak sengaja terkena bola bulu tangkis saat sedang
bermain bulu tangkis dengan kakaknya. Awalnya mata kiri tidak begitu merah, nyeri dan
kabur. Namun setelah dibiarkan sehari, penderita merasa mata kirinya semakin nyeri,
terlihat merah dan penglihatannya semakin kabur.
c) R/ demam (-)
d) R/ penurunan penglihatan (-)
e) R/ mata silau karena cahaya (-)
f) R/ pakai kacamata (-)
g) R/ trauma (-)
h) R/ alergi (-)
Riwayat Penyakit Dahulu : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal
Riwayat Pemakaian Obat : disangkal
Riwayat Kebiasaan Sosial : sering menggosok-gosok mata dengan tangan (-)

Gejala klinis hifema:


- Nyeri
- Epifora
- Blefarospasme
- Visus menurun
- Ekimosis
- Laserasi kelopak mata
- Proptosis
- Enoftalmus
- Fraktur yang disertai dengan gangguan gerakan mata
- Kadang diemukan kelainan berupa defek epitel, edema kornea, dan imbibisi kornea bila
hifema sudah terjadi lebih dari 5 hari.
- Ditemukan darah di dalam bilik mata bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul
dibagian bawah bilik mata depan, perdarahan yang mengisi setengah bilik mata depan
dapat menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intraokuler sehingga mata terasa
sakit oleh karena glaukoma. Jika hifema mengisi seluruh bilik mata depan, rasa sakit
bertambah dan penglihatan lebih menurun lagi.
- Pada iris dapat ditemukan robekan atau iridodialysis dan iridoplegia.
- Pada hifema karena trauma, jika ditemukan penurunan tajam penglihatan segera maka
harus dipikirkan kerusakan seperti luksasi lensa, ablasio retina, edemwa makula.

Pemeriksaan Mata
Pemeriksaan mata harus dilakukan secara lengkap. Semua hal yang berhubungan dengan
cedera bola mata ditanyakan. Dilakukan pemeriksaa hifema dan menilai perdarahan ulang. Bila
ditemukan kasus hifema, sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara teliti keadaan mata luar, hal ini
penting karena mungkin saja pada riwayat trauma tumpul akan ditemukan kelainan.
Menentukan derajat keparahan hifema antara lain, menurut Edward Layden:
1) Hyphaema tingkat 1: bila perdarahan kurang dari 1/3 bilik depan mata.
2) Hyphaema tingkat II: bila perdarahan antara 1/3 sampai 1/2 bilik depan mata.
3) Hyphaema tingkat III bila perdarahan lebih dari ½ bilik depan mata
Rakusin membaginya menurut:
1) Hyphaema tk I: perdarahan mengisi 1/4 bagian bilik depan mata.
2) Hyphaema tk II : perdarahan mengisi 1/2 bagian bilik depan mata.
3) Hyphaema tk III: perdarahan mengisi 3/4 bagian bilik depan mata.
4) Hyphaema tk IV : perdarahan mengisi penuh biIik depan mata.
Hifema paling banyak memenuhi kurang dari 1/3 bilik mata depan. Saat melakukan
pemeriksaan, hal terpenting adalah hati-hati dalam memeriksa kornea karena akan meningkatkan
resiko bloodstaining pada lapisan endotel kornea. Keadaan iris dan lensa juga dicatat, kadang-
kadang pada iris dapat terlihat iridodialisis atau robekan iris. Akibat trauma yang merupakan
penyebab hifema ini mungkin lensa tidak berada ditempatnya lagi atau telah terjadi dislokasi lensa
bahkan lensa.
Pada hifema sebaiknya dilakukan pemeriksaan tekanan bola mata untuk mengetahui
apakah sudah terjadi peningkatan tekanan bola mata.Penilaian fundus perlu dicoba tetapi biasanya
sangat sulit sehingga perlu ditunggu sampai hifema hilang. Pemeriksaan funduskopi perlu
dilakukan untuk mengetahui akiba trauma pada segmen posterior bola mata.

Pemeriksaan Penunjang
- Tonometri, untuk memeriksa tekanan intra okuler.
- Funduskopi
Untuk mengetahui akibat trauma pada segmen belakang bola mata, kadang-kadang
pemeriksaan ini tidak mungkin karena terdapat darah pada media refraksi disegmen
belakang bola mata, yaitu pada badan kaca.
- USG untuk menyingkirkan adanya perdarahan vitreus atau ablasio retina.
- X-ray
- CT-scan orbita
- Gonioskopi

Diagnosis Banding
Ablasio retina, glaukoma, conjungtival bleeding

Tatalaksana
Pada dasarnya penatalaksanaan hifema ditujukan untuk:
- Menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan ulang
- Mengeluarkan darah dari bilik mata depan
- Mengendalikan tekanan bola mata
- Mencegah terjadinya imbibisi kornea
- Mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut, salah satunya uveitis
- Menemukan sedini mungkin penyulit yang mungkin terjadi
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan traumatic hyphaema
pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu perawatan dengan cara konservatif (tanpa
operasi) dan perawatan yang disertai dengan tindakan operasi.
Perawatan Konservatif / Tanpa Operasi
1) Tirah baring sempurna (bed rest total)
Pasien dengan hifema yang tampak mengisi lebih dari 5% bilik mata depan sebaiknya
diistirahatkan . Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala di angkat
(diberi alas bantal) kurang dari 600, hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh
darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada persesuaian
pendapat dari banyak sarjana mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama
yang harus dikerjakan bila mengenai kasus traumatic hyphaema. Bahkan Darr dan Rakusin
menunjukkan bahwa dengan tirah baring sempurna absorbsi dari hyphaema dipercepat dan
sangat mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder. Hifema biasanya akan
membaik dengan istirahat , namun dapat terjadi kembali 5-6 hari pertama setelah cedera . Anak
anak biasanya harus dirawat di Rumah Sakit selama beberapa hari , sementara orang dewasa
dapat dirawat dirumah bila mereka dapat beristirahat dan tidak terjadi komplikasi .
2) Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, gunakan bebat mata pada mata yang terkena trauma saja,
untuk mengurangi pergerakan bola mata yang sakit. Bila mungkin kedua mata ditutup untuk
memberika istirahat pada mata. Selanjutnya dikatakan bahwa pemakaian bebat pada kedua
mata akan menyebabkan penderita gelisah, cemas dan merasa tidak enak, dengan akibat
penderita (matanya) tidak istirahat. Akhirnya Rakusin mengatakan dalam pengamatannya tidak
ditemukan adanya pengaruh yang menonjol dari pemakaian bebat atau tidak terhadap absorbsi,
timbulnya komplikasi maupun prognosis dari tajamnya penglihatannya.
3) Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatic hyphaema tidaklah mutlak, tapi
cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya dan menekan
komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan seperti:
a. Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteraI,
berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona AC,
Coagulen, Transamin, vit K, dan vit C
b. Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika
atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-
sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongesti dan
midriatika akan mengistirahatkan perdarahan.
c. Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi iritis
dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotik. Tetes mata steroid diberikan jangka
pendek bersama dengan dilatasi pupil . Steroid berfungsi untuk mencegah terjadinya
perdarahan sekunder.
d. Obat-obat lain
Sedatif diberikan bilamana penderita gelisah. Bila ditemukan rasa sakit diberikan
analgetik aau asetozalamid bila sakit pada kepala akibat tekanan bola mata naik. Analgetik
diberikan untuk mengatasi nyeri seperti asetaminofen dengan atau tanpa kodein.
Perawatan Operasi
Dalam kasus ini , ada perbedaan pendapat antara Darr dan Rakusin . Darr menentukan cara
pengobatan traumatic hyphaema, sedang Rakusin menganjurkan tindakan operasi setelah hari
kedua bila ditemukan hyphaema dengan tinggi perdarahannya ¾ bilik depan bola mata. Tindakan
operasi yang dikerjakan adalah:
a. Parasentesis: merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah atau
nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi kornea
2mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya
biladilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan
keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan
garam fisiologik.
b. Iridosiklitis: Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga
menimbulkan iridosiklitis atau radang uvea anterior. Pada mata akan terlihat mata
merah, akibata danya darah dalam bilik mata depan akan terdapat suar dan pupil
yang mengecil dengan tajam penglihatan menurun. Pada uveitis anterior diberikan
tetes midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat tanda radang berat maka dapat
diberikan steroid sistemik.S ebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk
persiapan memeriksa fundus dengan midriatika.
c. Cara lain untuk membersihkan bilik mata depan adalah dengan evakuasi
viskoelastik. Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan
viskoelastik dan sebuah insisi yang lebih besar berjarak 180 derajat untuk
memungkinkan hifema didorong keluar.
Tindakan pembedahan parasentesis dilakukan bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea,
glaukoma, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila darah setelah 5 hari tidak memperlihatka
tanda-tanda berkurang.
Untuk mencegah atropi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila:
 Tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari
 Tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari
Untuk mencegah imbibisi kornea,dilakukan pembedahan bila:
 Tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari
 Bila terdapat tanda-tanda dini imbibisi kornea
Untuk mencegah sinekia posterior perifer dilakukan pembedahan bila:
 Hifema total bertahan selama 5 hari
 Hifema difus bertahan selama 9 hari
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia

Dikatakan bahwa prognosis hifema bergantung pada jumlah darah di dalam bilik mata
depan. Bila darah sedikit di dalam bila mata depan, maka darah ini akan hilang dan jernih dengan
sempurna. Sedangkan bila darah lebih dari setengah tingginya bilik mata depan, maka prognosis
buruk yang akan disertai dengan beberapa penyulit. Hifema yang penuh di dalam bilik mata depan
akan memberikan prognosis lebih buruk di bandingkan dengan hifema sebagian. Pada hifema
akibat trauma bila terjadi kemunduran tajam penglihatan dapat dipikirkan kemungkinan adanya
kerusakan langsung pada mata akibat trauma tersebut, seperti luksasi lensa, ablasi retina dan edema
makula. Hifema sekunder yang terjadi pada hari ke 5-7 sesudah trauma, biasanya lebih masif
dibanding dengan hifema primer dan dapat memberikan rasa sakit sekali. Dapat terjadi keadaan
yang disebut hemoftalmitis atau peradangan intraokular akibat adanya darah yang penuh didalam
bola mata. Dapat juga terjadi siderosis akibat hemoglobin atau siderin tersebar dan diikat oleh
jaringan mata.
Prognosa dari hifema sangat bergantung pada:
- Tingginya hifema
- Ada/tidaknya komplikasi dari perdarahan/traumanya
- Cara perawatan
- Keadaan dari penderitanya sendiri
Analisis
Berdasarkan anamnesis di dapatkan penderita datang dengan keluhan mata kiri terasa
nyeri, merah dan penglihatan kabur, serta terdapat darah 1/2 bilik matadepan, setelah terkena bola
bulu tangkis saat bermain. Berdasarkan kepustakaan, gambaran klinik pada penderita ini sesuai
dengan gambaran klinik pada hifema dimana pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai
dengan epifora. Penglihatan pasien kabur dan akan sangat menurun. Terdapat penumpukan yang
terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Hifema biasanya disebabkan oleh
trauma tumpul pada mata, seperti terkena bola, batu peluru senapan angin, dan lain-lain.
Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan
bagian dalam bola mata,misalnya terjadi robekan-robekan jaringan iris, korpus siliaris dan koroid.
Jaringan tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akanmenimbulkan perdarahan.
Perdarahan yang timbul dapat berasal dari kumpulanarteri utama dan cabang dari badan siliar,
arteri koroid, vena badan siliar, pembuluh darah iris pada sisi pupil. Perdarahan didalam bola mata
yang berada dikamera anterior akan tampak dari luar. Timbunan darah ini karena gaya berat
akan berada di bagian terendah.
Berdasarkan waktu terjadinya, penderita termasuk dalam hifema primer dimana
merupakan perdarahan yang langsung terjadi setelah trauma. Perdarahan primer dapat sedikit
dapat pula banyak. Perdarahan sekunder biasanya timbul pada hari keluma setelah trauma dan
perdarahannya lebih hebat dibandingkan hifema primer. Oleh karena itu, seseorang dengan hifema
harus dirawat sekurang-kurangnya lima hari mengingat kemungkinan akan terjadinya perdarahan
sekunder. Perdarahan sekunder dapat terjadi akibat reabsorbsi dari bekuan darah yang terlalu cepat
sehingga pembuluh darah tidak mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali, misalnya
pada proses peradangan iris dan badan siliaris yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah
sehingga memungkinkan fibrin yang telah menutup terlepas lagi. Akibat yang ditimbulkan adalah
penurunan ketajaman penglihatan yang dapat sedang atau berat. Hal ini terjadi segera atau lambat
sampai berbulan-bulan setelah trauma.
Berdasarkan pemeriksaan objektif didapatkan pada inspeksi okuli sinistra: pada COA
tampak adanya darah dalam ½ bilik mata depan. Berdasarkan kepustakaan pasien ini tergolong
dalam hifema grade II dimana perdarahan mengisi 1/2 bilik mata depan.
Dari pemeriksaan oftalmologi didapatkan konjungtiva hiperemis terdapat injeksi siliaris
dan terdapat juga darah yang mengisi 1/2 bilik mata depan sehingga pasien ini di diagnosis dengan
hifema grade II okulussinistra disebabkan trauma tumpul. Pada pasien ini dilakukan rawat inap
untuk mengamati jika terjadi perdarahan sekunder. Setelah dilakukan observasi selama kurang
lebih lima hari di rumah sakit, tampak adanya penurunan dari volume darah yang mengisi bilik
mata depan. Berdasarkan kepustakaan hal inimenunjukan penyerapan darah melalui trabekula dan
kanal schlemm berjalanlancar artinya tidak terdapat bekuan darah atau epitel yang menyumbat
saluran tersebut.
Darah pada hifema dikeluarkan dari kamera okuli anterior dalam bentuk sel darah merah
melalui sudut kamera okuli anterior menuju kanal sclemm dan juga melalui permukaan depan iris.
Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini. Sebagian hifema
dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari
hemosiderinini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi
berwarnakuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang hanya dapatditolong
dengan keratoplasti. Komplikasi dari hifema dapat terjadi glaukoma dandapat pula menimbulkan
uveitis.
Penanganan pada pasien ini dilakukan secara konservatif hal ini dikarnakan adanya
penurunan dari volume darah yang mengisi bilik mata depan. Penanganan yang dilakukan antara
lain tirah baring total dengan posisi kepala dielevasi 30-45 derajat dimaksudkan untuk melokalisir
darah di bilik mata depan bawah supaya pupil tidak terhalang oleh darah dan memperkecil lokasi
hemosiderosis. Pengukuran Tekanan Intra Okuler (TIO) setiap hari dilakukan untuk mengawasi
terjadinya glaukona sebagai komplikasi dari hifema pada penderita ini.
Pada pasien ini juga diberikan sulfat atropin 2 kali sehari pada mata kiri. Berdasarkan
kepustakaan sulfat atropin yaitu merupakan suatu antikolinergik yang menghasilkan dilatasi pupil
dan paralisis. Bekerja dengan cara menghambatrespon otot sfingter iris dan otot akomodasi badan
siliar terhadap perangsangan kolinergik, menghasilkan dilatasi pupil (midriasis) dan paralisis
akomodasi (siklopegia).
Prognosis pada pasien ini adalah ad vitam bonam karena pada pasien
ini penyakit yang dideritanya tidak mengancam jiwa karena telah mendapatkan penanganan
yang baik dan setelah dilakukan observasi selama kurang lebih tujuh hari di rumah sakit, pada hari
keenam pada bilik mata depan sudah tidak terdapat darah dan keadaan umunya sudah membaik.
Berdasarkan kepustakaan hal, ini menunjukan penyerapan darah melalui trabekula dan kanal
schlem berjalan lancar artinya tidak terdapat bekuan darah atau epitel yang menyumbat saluran
tersebut. Ad fungsionam bonam karena pada pasien ini mata kiri yang awalnya terdapat penurunan
fungsi penglihatan, namun setelah mendapatkan penangan pada hari ke tiga telah
mengalami perbaikan dimana penglihatan pasien telah kembali norma. Ad sanationan bonam
karena pada pasien ini fungsi penglihatanya telah membaik dan kembali normal.
NEUROPATI OPTIK TOKSIK

Definisi
Neuropati optik toksik merupakan sindrom yang ditandai oleh kerusakan papillomakular
bundle, defek penglihatan skotoma sentral atau cecosentral dan defisit pada penglihatan warna
atau suatu kondisi yang ditandai oleh gangguan penglihatan yang disebabkan oleh toksin yang
merusak nervus optikus. Walaupun gejala yang ditemukan dikelompokkan ke dalam neuropati
optik, lesi primer bisa saja ditemukan pada retina, kiasma, atau bahkan traktus optik.

Anamnesis
Banyak penyebab neuropati optik toksik dapat diidentifikasi melalui anamnesis riwayat
pasien. Gejala yang muncul biasanya progresif. Umumnya penderita datang dengan keluhan
hilangnya penglihatan yang bersifat simetris bilateral tanpa disertai nyeri. Beberapa penderita
awalnya datang dengan keluhan diskromatopsia terhadap warna tertentu, seperti warna merah yang
tidak terlalu terang. Biasanya melibatkan hanya satu mata pada tahap awal, yang kemudian
memberat dan akhirnya melibatkan mata yang lainnya. Pada neuropati optik toksik, dari anamnesis
dapat diketahui riwayat eksposur zat toksik atau obat yang dikonsumsi, riwayat keluarga, dan
riwayat konsumsi makanan. Umumnya penderita mempunyai riwayat mendapat terapi antibiotik
atau agen kemoterapi, penyalahgunaan zat atau obat, atau mengalami eksposur dari limbah
industri.

Pemeriksaan Fisik
Evaluasi sistemik
Pemeriksaan penderita dengan suspek neuropati optik dimulai dengan evaluasi keadaan
sistemik meliputi kesehatan fisik, status mental, dan tanda vital. Hal ini sangat penting mengingat
banyak penyakit neuropati optik yang dipengaruhi oleh kelainan sistemik seperti hipertensi,
obesitas, hipertiroidisme, dan lain-lain. Pada penderita neuropati optik toksik, kelainan sistemik
perlu disingkirkan untuk memastikan kausa neuropati optik toksik. Selain itu, kelainan sistemik
seperti diabetes, gagal ginjal, dan penyakit tiroid dapat meningkatkan kadar zat-zat toksik dalam
tubuh.
Pemeriksaan Okuler
Hampir semua penderita neuropati optik dapat diidentifikasi melalui adanya penurunan
tajam penglihatan, defisiensi penglihatan warna, defek lapangan pandang, defek jalur aferen pupil
(RAPD), dan abnormalitas gambaran nervus optik pada funduskopi.
1) Tajam Penglihatan
Umumnya tajam penglihatan baik jauh maupun dekat berkurang pada neuropati optik,
meskipun penurunan tajam penglihatan tersebut bervariasi pada setiap penderita. Pada
neuropati optik toksik penurunan tajam penglihatan dapat bersifat akut maupun kronik. Pada
neuropati optik toksik biasanya mempunyai tajam penglihatan ≥ 20/400, kecuali toksik oleh
metanol, dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang berat hingga mencapai
kebutaan.

2) Penglihatan Warna
Adanya ketidakseimbangan antara tajam penglihatan yang baik dan penglihatan warna
yang buruk merupakan indikator yang sangat penting dan sensitif terhadap disfungsi nervus
optik. Hal ini mungkin didasari bahwa nervus optik mengandung banyak akson sel ganglion
yang berasal dari area makula, dan akson-akson ini mempunyai satu hubungan dengan satu sel
cone densitas tinggi pada area makula. Diskromatopsia yang sering terjadi utamanya
melibatkan defek warna merah dan hijau. Teknik yang sederhana untuk mendeteksi adanya
defek penglihatan warna uniokuler yaitu dengan meminta pasien untuk membandingkan objek
warna merah antara kedua mata.Untuk penilaian yang lebih akurat dapat digunakan tes
pseudoisokromatik Ishihara atau tes Farnsworth-Munsell 100-hue.

3) Sensitivitas Kontras
Sensitivitas kontras yang abnormal merupakan tanda lain dari disfungsi nervus optik.
Beberapa pasien dengan neuropati optik mempunyai tajam penglihatan yang baik, tetapi
sensitivitas kontrasnya menurun. Sensitivitas kontras diuji dengan meminta pasien untuk
mengidentifikasi secara bertahap peningkatan kontras dengan Arden plate. Tes ini sangat
sensitif terhadap hilangnya penglihatan yang tersembunyi, walaupun tidak spesifik terhadap
penyakit nervus optik. Sensitivitas kontras juga dapat ditentukan dengan Pelli-Robson chart,
dimana huruf yang dibaca, dicetak dengan kontras berkurang secara bertahap.
4) Pupil
Identifikasi relative afferent pupil defect (RAPD) sangat membantu untuk menentukan
lokasi hilangnya penglihatan pada nervus optik dan merupakan tanda adanya kelainan
asimetris pada lintasan penglihatan anterior. RAPD dapat dinilai dengan test swinging
flashlight. Pada neuropati optik toksik biasanya defeknya simetris dan bilateral, maka RAPD
tidak selalu dapat ditemukan. Refleks cahaya pupil biasanya bilateral menurun atau tidak
ditemukan. Pupil sering dilatasi pada penderita yang hampir buta atau buta total.

5) Lapangan Pandang
Salah satu tanda penting dari neuropati optik adalah adanya defek lapangan pandang yang
ditemukan pada pemeriksaan perimetri baik dengan perimetri statik (Humprey) atau kinetik
(Goldman). Pada neuropati optik toksik defek lapangan pandang yang paling banyak ditemui
berupa defek sentral meliputi ; skotoma sentral, defek parasentral, dan skotoma cecosentral.
Ketiga tipe ini menunjukkan kelainan terjadi pada bagian sentral dari nervus optik. Defek
lapangan pandang ini cenderung relatif simetris. Selain itu, defek lapangan pandang sentral
juga dapat terjadi pada penderita dengan kelainan pada makula. Defek bitemporal atau
konstriksi lapangan pandang perifer kadang terjadi, masing-masing pada penderita yang toksik
terhadap etambutol atau amiodarone.

Gambar 4. Defek lapangan pandang pada penyakit nervus optik (a) skotoma sentral, (b) skotoma
cecosentral (c) nerve fiber bundle (d) altitudinal.
6) Funduskopi
Pada tahap awal neuropati optik toksik, diskus optik biasanya memberi gambaran yang
normal. Edema dan hiperemia pada diskus optik sering terlihat pada intoksikasi akut. Beratnya
penyakit dan kecepatan perkembangan ke arah atrofi papilomacular bundle dan temporal diskus
optik tergantung pada jenis toksin.

Gambar 5. Gambaran funduskopi yang atrofi pada bagian temporal diskus optik pada penderita
dengan neuropati optik toksik.

7) Optical Coherence Tomography (OCT)


Saat ini OCT sering digunakan untuk mengukur ketebalan lapisan serabut saraf terutama
pada pasien dengan glaukoma. Selain itu, OCT ternyata juga dapat menilai perubahan pada
neuropati optik toksik seperti yang disebabkan oleh etambutol. Dari beberapa penelitian,
perubahan dini yang belum dapat di deteksi secara klinis dengan funduskopi, telah dapat
dideteksi dengan OCT. Dengan menggunakan OCT, kita dapat menilai hilangnya serabut saraf
retina dari nervus optik pada penderita yang diduga mengalami toksisitas dari obat. Oleh
karena itu, OCT merupakan pemeriksaan obyektif tambahan yang mendukung pemeriksaan
lapangan pandang untuk memonitor pasien yang mendapat pengobatan seperti etambutol.
Gambar 6. Ketebalan lapisan serabut saraf dengan menggunakan OCT.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Neuroimaging
Walupun pemeriksaan imaging dalam penelitian memberikan gambaran yang normal pada
neuropati optik toksik, pemeriksaan ini hampir selalu dianjurkan, kecuali jika diagnosis sudah
dapat dipastikan. Pemeriksaan imaging yang paling sering dilakukan adalah Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dari nervus optik dan kiasma optik dengan atau tanpa penambahan gadolinium.
Apabila riwayat medis dari anamnesis tidak khas sehingga sulit untuk menentukan penyebab dan
mengkorfirmasi diagnosis, maka dibutuhkan pemeriksaan neuroimaging untuk menyingkirkan
penyebab neuropati optik kausa kompresif dan iskemik, dimana hilangnya penglihatan sentral
bilateral dapat juga terjadi akibat adanya lesi oksipital bilateral. MRI pada nervus optik dan kisma
optik juga dibutuhkan untuk menilai tanda inflamasi dan atau adanya demielinasi pada neuritis
optik.
Gambar 7. Potongan aksial orbita dan otak pada MRI scan.

Pemeriksaan Elektrofisiologi
Secara fisiologis, adanya persepsi dari penglihatan dihasilkan dari adanya sinyal elektrik
yang dihasilkan di retina untuk dialirkan melalui lintasan penglihatan dan berakhir pada korteks
oksipital. Visual evoked response (VER) merupakan pemeriksaan elektrofisiologi untuk
mengukur potensial elektrik yang dihasilkan dari stimulus visual dari retina ke korteks visual..
Adanya hambatan dalam konduksi neural akan menghasilkan penurunan amplitudo pada VER.
Berkurangnya kecepatan konduksi akan memperpanjang periode laten dari VER. Penyakit
unilateral prekiasma dapat dideteksi secara terpisah dengan membandingkan respon antara
keduanya.

Gambar 8. VER pada OS normal berlawanan dengan VER pada OD yang menunjukkan tidak
adanya respon oleh karena adanya lesi yang berat pada nervus optik.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan pada penderita yang kita curigai neuropati optik toksik dan
nutrisional mencakup pemeriksaan jumlah sel darah lengkap dan apusan darah tepi. Pemeriksaan
lain yang dibutuhkan meliputi kadar folat sel darah merah, VDRL (Venereal Disease Research
Laboratory), kadar vitamin, konsentrasi protein serum, kimia darah, urinalisis, dan skrining kadar
logam berat seperti timah, talium, dan merkuri. Identifikasi toksin yang dicurigai perlu diperiksa
dalam darah dan urine. Pemeriksaan laboratorium ini tergantung pada dugaan yang diperoleh dari
hasil pemeriksan sebelumnya.

Diagnosis Banding
a. Neuropati optik nutrisional
Neuropati optik nutrisional dapat didefinisikan sebagai gangguan penglihatan akibat
kerusakan nervus optik yang disebabkan oleh adanya defisiensi nutrisi. Gambaran klinis
dan gejala neuropati umumnya sama dengan neuropati optik toksik.
Neuropati optik nutrisional terjadi utamanya berhubungan dengan adanya defisiensi
vitamin. Defisiensi tiamin (vitamin B1), sianokobalamin (vitamin B12), piridoksin
(vitamin B6), niacin (vitamin B3), riboflavin (vitamin B2), dan atau asam folat telah
dibuktikan dapat mengakibatkan terjadinya neuropati optik. Gejala klinik dan patofisiologi
dasar terjadinya penyakit hampir sama dengan neuropati optik toksik. Umumnya neuropati
optik nutrisional bermanifestasi sebagai neuropati optik retrobulber non-spesifik. Saat ini,
terapi yang dianjurkan terbatas pada pemberian intensif vitamin dosis tinggi dengan hasil
bervariasi pada setiap kasus.
b. Neuropati optik mitokondria
Neuropati optik mitokondria dapatan (inherited), Leber’s hereditary optic neuropathy
(LHON) dan atrofi optik dominan (Kjer’s) merupakan neuropati optik non-sindrom yang
disebabkan oleh adanya kelainan pada mitokondria. Pada LHON atau atrofi optik Leber
terjadi degenerasi mitokondria sel-sel ganglion retina dan akson-aksonnya yang
diwariskan (dari ibu) yang mengakibatkan hilangnya penglihatan sentral akut atau
subakut. Penyakit ini biasanya mengenai laki-laki dewasa muda. Kelainan ini tidak
tergolong neuropati optik toksik, tetapi dapat diinduksi kejadiannya oleh adanya perubahan
lingkungan. Pada LHON, onset hilangnya penglihatan bersifat akut dan jarang simetris.
Pemeriksaan genetik dibutuhkan pada beberapa kasus.

Gambar 9. Leber optic neuropathy


Adanya lesi kompresif atau infiltratif pada kiasma optik dapat menjadi salah satu
diagnosis banding untuk penyakit neuropati optik toksik. Oleh karena itu, harus selalu
dilakukan pemeriksaan neuroimaging untuk menyingkirkan kausa ini. Defek lapangan
pandang cecosentral dan bitemporal pada penyakit kiasma optik mirip satu sama lain dan
ada banyak penyebab skotoma sentral dan cecosentral bilateral yang berasal dari tumor.
c. Neuritis optik akibat demielinasi, inflamasi, atau infeksi
Neuritis optik akibat demielinasi, inflamasi, atau infeksi dapat terjadi simultan
pada kedua mata, dan kadang membingungkan dengan neuropati optik toksik. Defek
lapangan pandang keduanya mirip, tetapi pada neuritis optik biasanya disertai nyeri dan
atau edema diskus optik lebih dari 90 % penderita. Untuk memastikan biasanya dilakukan
pemeriksaan cairan serebrospinal dan pemeriksaan laboratorium khusus untuk memastikan
adanya infeksi sistemik dan inflamasi.
Pada umumnya, analisis gejala dan tanda penyakit dimulai dari detail anamnesis
dan pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang akan menentukan diagnosis neuritis
optik toksik. Sangat bijaksana jika kita menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan
neuroimaging kecuali diagnosis yang dibuat sudah pasti. MRI dengan kontras dan
dikhususkan pada nervus optik dan kiasma optik merupakan pemeriksaan optimal pada
banyak kasus. Pemeriksaan laboratorium mengenai level vitamin B12 dan folat dapat
dipikirkan jika neuropati optik toksik dianggap berhubungan juga dengan adanya defisiensi
nutrisi. Selain itu, ketika suatu intoksikasi spesifik disuspek, maka harus dicoba untuk
mengidentifikasi toksin atau metabolit pada cairan (darah atau urine) atau jaringan
penderita.

Tatalaksana
Terapi neuropati optik toksik tergantung pada agen toksik yang menyebabkan neuropati
optik toksik tersebut. Langkah pertama dalam terapi neuropati optik toksik karena alkohol adalah
menghentikan penggunaan alkohol. Selain itu, terapi dapat dilakukan dengan hemodialisis
dan metilprednisolon 1000 mg/hari selama 3 hari berturut -turut dan dilanjutkan dengan
prednison 1 mg/kgbb/hari selama 11 hari dan selanjutnya dosis diturunkan sesuai kondisi
klinis. Tujuan hemodialisis adalah menghilangkan kadar metanol dari tubuh penderita
dan untuk mengeliminasi asam format. Hemodialisis dilakukan bila kadar metanol dalam
darah lebih dari 50mg/dL atau bila pH darah kurang dari 7,35. Pemberian
metilprednisolon dan prednison bertujuan untuk mengurangi edema papil saraf optik yang
terjadi pada fase akut sehingga diharapkan mencegah terjadinya kebutaan. Terapi medis
termasuk suplemen multivitamin yang dibutuhkan pada neuropati toksik khususnya dengan
ambliopia akibat alkohol-tembakau.
Penderita dengan neuropati optik toksik harus diobservasi setiap 4-6 minggu, dan
selanjutnya tergantung pada proses penyembuhannya, umumnya setiap 6-12 bulan. Tajam
penglihatan, pupil, nervus optik, penglihatan warna, dan lapangan pandang harus dinilai pada
setiap kunjungan. Penglihatan akan membaik secara bertahap lebih dari beberapa minggu,
pemulihan penuh membutuhkan waktu beberapa bulan dan selalu ada risiko defisit penglihatan
yang permanen. Tajam penglihatan biasanya membaik mendahului penglihatan warna,
berkebalikan dengan onset proses penyakit, dimana penglihatan warna biasanya lebih dahulu
memburuk dibanding tajam penglihatan.

Prognosis
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia
Kejadian morbiditas penyakit tergantung pada faktor risiko, etiologi penyebab, dan
lamanya gejala muncul sebelum mendapat terapi. Penderita dengan atrofi optik yang berat akan
mengalami kesulitan dalam perbaikan fungsi visual dibandingkan dengan penderita yang tidak
mempunyai perubahan patologis. Prognosisnya bervariasi tergantung pada total eksposur sebelum
terapi, dan derajat beratnya hilangnya penglihatan pada saat diagnosis penyakit atau sebelum
mendapat terapi awal.

Analisis
Pada banyak kasus, penyebab optik neuropati toksik adanya gangguan suplai pembuluh
darah jaringan atau gangguan metabolisme. Konfigurasi dari suplai pembuluh darah ke diskus
optikus dapat menjadi penyebab berakumulasinya zat toksik, namun hal tersebut masih belum
dapat dibuktikan.
Alkohol, seperti tembakau memproduksi efek toksik melalui metabolik. Paparan alkohol
dalam tubuh secara kronis dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Seiring
berjalannya waktu, defisiensi tersebut mengakibatkan berakumulasinya formic acid. Formic acid
dapat menginhibisi rantai transportelektron dan fungsi mitokondria, yang mengakibatkan
terganggunya produksiATP dan mengganggu ATP-dependent axonal transport system.
Mengonsumsi alkohol dan merokok berefek pada fosforilasi oksidatifmitokondria.
Sehingga, optik neuropati toksik sebenarnya yaitu optik neuropatimitokondrial yang didapat.

Anda mungkin juga menyukai