Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/301771152

Penjara dan Narkoba dalam Konteks Kemiskinan

Article · December 2008

CITATIONS READS

0 326

1 author:

Siradj Okta
University of Washington Seattle
11 PUBLICATIONS   81 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Siradj Okta on 02 May 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Penjara dan Narkoba dalam Konteks Kemiskinan
Siradj Okta, SH., LLM.
Fakultas Hukum Unika Atma Jaya

ABSTRAKSI

Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya


kejahatan. Di satu sisi, maraknya penggunaan narkoba juga memiliki pengaruh terhadap
terjadinya kejahatan. Walaupun kemiskinan secara umum tidak secara mutlak akan
bersinggungan dengan dunia narkoba, akan tetapi, kemiskinan dan narkoba akan bertemu
pada satu muara, yaitu penjara. Kondisi penjara serta efektifitas penanggulangan narkoba
juga pada gilirannya akan mempengaruhi sukses atau gagalnya penjara. Tulisan ini akan
mengangkat bagaimana intervensi pada penjara dapat berperan dalam upaya
penanggulangan kemiskinan.

ABSTRACT

Poverty is considered as one of the reason of crime commission. On the other


side, illegal drug use also plays a significant role in crime commission. Poverty is not
absolutely associated with drug use, however, both will end up in the same pot, that is
the prison. Prison condition and the effectiveness of the fight against drug use are
influential to the success of prison. This paper is emphasizing on how certain
intervention (including drug interventions) in prison setting can contribute to poverty
alleviation.

I. PENDAHULUAN

Secara sosiologis, kemiskinan mencerminkan ketidakmampuan orang untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. 1 Mengukur kemiskinan tidak dapat dilakukan hanya

dengan menggunakan indikator kemampuan ekonomi secara kuantitatif yang biasa

digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan administratif. Kemiskinan tidak dapat

diukur hanya dengan melihat besarnya pendapatan seseorang berdasarkan satndar

1
Situs Resmi Bank Dunia,
http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPOVERTY/0,,contentMDK:20153855~me
nuPK:373757~pagePK:148956~piPK:216618~theSitePK:336992,00.html, diakses 26 Maret 2010.

1
nominal tertentu, namun juga harus melihat beban pengeluaran yang mana terkait dengan

kemampuannya secara de facto untuk memenuhi kebutuhan hidup, misalnya dalam hal

pendidikan dan kesehatan. Lebih mendasar lagi, pemenuhan kebutuhan hidup juga sangat

dipengaruhi oleh kemampuan untuk menjadi produktif atau meningkatkan produktivitas

dalam rangka melepaskan diri dari kemiskinan itu sendiri.

Teori Nurkse mengatakan bahwa kemiskinan merupakan sebab sekaligus sebagai

akibat. Teori tersebut berdasar kepada pemikiran bahwa pendapatan masyarakat menjadi

rendah (miskin) karena produktivitas rendah, sementara produktivitas menjadi rendah

karena rendahnya permodalan pada masyarakat berpendapatan rendah tersebut.

Kemiskinan akan semakin parah ketika pada masyarakat berpendapatan rendah tersebut

terdapat kecenderungan meniru corak konsumsi pada masyarakat yang lebih maju secara

ekonomi. Oleh karena itulah kemudian berkembang diskursus mengenai jeratan atau

lingkaran kemiskinan (poverty circle) dimana masyarakat miskin akan selalu berada

dalam kemiskinan walaupun diberikan permodalan dari luar. Dalam perspektif hak asasi

manusia, kemiskinan sendiri merupakan bentuk dari kegagalan atas pemenuhan hak asasi

manusia. Amanat konstitusional dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan.”.

Pasal tersebut dicerminkan juga oleh Kovenan Internasional tentang Hak-hak

Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan 1966. Pada mukadimah kovenan tersebut, dikatakan

bahwa pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan merupakan bagian dari

tanggung jawab negara. Sehingga dengan demikian, bahwa negara memiliki peranan

2
yang sangat penting baik pada tataran kebijakan maupun pada tataran pelaksanaan dan

pengawasan untuk menyelamatkan rakyat dari kemiskinan serta dampak-dampak

buruknya.

Persoalan mengenai dampak kemiskinan menjadi meluas menyentuh berbagai

bidang kehidupan masyarakat. Pada tulisan ini akan disinggung mengenai dampak

kemiskinan terhadap peristiwa kejahatan. Lebih dari itu, kemiskinan juga tidak dapat

dilihat hanya sebagai pengaruh sebab terjadinya kejahatan, namun sebagai akibat dari

peristiwa kejahatan itu sendiri. Kejahatan yang mempengaruhi masuknya orang ke dalam

kemiskinan dalam tulisan ini akan mengarah kepada kekhususan permasalahan narkoba2.

Permasalahan narkoba sendiri memiliki dua dimensi. Pertama, menurut Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1997 tentang Psikotropika, narkoba merupakan benda yang secara umum terlarang untuk

dimiliki oleh warga negara.

Dimensi kedua adalah bahwa penggunaan narkoba memiliki dampak sosial yang

dapat menempatkan pengguna narkoba pada posisi yang rentan untuk melakukan

kejahatan.

Secara kausal (teori kausalitas/causal verband) dalam kajian ilmu hukum pidana,

kemiskinan tidak memiliki hubungan langsung dengan kejahatan yang terjadi. Dengan

kata lain, secara normatif, kemiskinan bukanlah conditio sine qua non atas kejahatan.

Kausalitas dalam hukum pidana memiliki pengertian yang sempit. Pengertian sebab

akibat dalam ilmu hukum pidana baik menurut Von Buri maupun Von Bar mengharuskan

2
Narkoba: Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Berbahaya Lainnya, Situs Resmi Badan Narkotika
Nasional, http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?
nama=Kamus&op=kamus&letter=n&mn=6&smn=i&rows=20, diakses 25 April 2010.

3
adanya hubungan secara langsung antara tindak pidana dan perbuatan pendahulunya. 3

Kemiskinan sebagai sebuah ’kondisi’ tidaklah memenuhi kriteria sebagai ’perbuatan’.

Oleh karena itu penggunaan kajian ilmu hukum pidana secara sempit tidak dapat

menguraikan kaitan antara kemiskinan dan kejahatan.

Namun demikian, teori determinisme ekonomi sebagai ajaran sosialis Marx dan

Engels dalam kajian kriminologi memandang bahwa kondisi ekonomi merupakan faktor

yang mempengaruhi terjadinya kejahatan.4 Walaupun kemiskinan tidak dapat dijadikan

legitimasi atas kejahatan, kondisi miskin membuat orang ’terpaksa’ menempuh cara-cara

yang bertentangan dengan hukum untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebagai contoh adalah seperti yang diberitakan oleh harian Pikiran Rakyat di

bawah ini:

”..."Saya terpaksa menjual ganja untuk biaya anak saya sekolah," kata Ro yang
merupakan warga Kabupaten Cianjur. Ia mengaku bingung harus mencari nafkah untuk
kebutuhan sehari-harinya. Ketika ada teman yang menawarkan untuk menjual ganja, ia
langsung menyetujuinya. "Anak saya lima, dan tiga orang masih sekolah. Apalagi yang
paling besar itu kuliah," tuturnya .”5

Peredaran narkoba, baik di Indonesia maupun di tingkat internasional sudah

menjadi bisnis yang sangat besar. Diperkirakan, akumulasi biaya konsumsi narkoba

periode 2004-2009 adalah setara dengan seperempat anggaran belanja negara pada tahun

2009 atau sekitar 200 triliun rupiah.6 Pada tahun 2006, penggunaan narkoba oleh

kalangan pengangguran diperkirakan melonjak sampai lima kali lipat. 7 Kendatipun

narkoba memiliki harga yang bervariasi, namun peningkatan penggunaan dari yang

3
Prodjodikoro, W., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hal 62.
4
Santoso, T., Zulfa, E.A., Kriminologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 29.
5
’Demi Biaya Anaknya, Ro Nekat Jual Ganja’, Pikiran Rakyat, 5 Desember 2009.
6
Colondam, V., ‘Kemiskinan, Narkoba, dan Peningkatan Kriminalitas’, Media Indonesia, 5 April 2008.
7
Ibid.

4
paling murah seperti ganja hingga ke jenis narkoba yang mahal secara bersamaan akan

meningkatkan kemungkinan penggunaan kejahatan untuk pemenuhan rasa kecanduan.

Hal ini dapat diartikan bahwa penggunaan narkoba merupakan ’jalan pintas’ untuk

menjadi bagian dari kemiskinan. Pengguna narkoba pada awalnya akan menjual barang-

barang yang dimilikinya sendiri, jika telah habis, maka kemudian akan menjual barang-

barang milik kerabat atau temannya. Jika sudah tidak ada lagi yang dapat dijual, maka

akan terpikir untuk mencuri, mencopet, merampok, bahkan menjadi bandar narkoba, atau

dengan kata lain segala cara digunakan untuk mendapatkan narkoba.8 Bahkan perempuan

pengguna narkoba memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk dimanfaatkan secara

seksual, termasuk oleh pasangannya sendiri, sebagaimana kesaksian berikut ini:

”Gue dengan pacar gue udah kehabisan duit buat beli obat. Akhirnya pacar gue nyuruh
gue pergi ke bandar yang katanya temannya. Gue melakukan hubungan seksual dengan
bandar itu biar gue bisa pakaw. Pacar gue juga ikut make bareng gue (Y, 17 tahun,
mahasiswi).”9

Tentu saja, kondisi seperti ini dapat memperparah dampak ekonomi kehidupan

pengguna narkoba. Perilaku seks yang tidak terlindungi tersebut dapat menimbulkan

kehamilan yang tidak diinginkan dimana kondisi tersebut akan memperberat beban

ekonomi pengguna narkoba.

Adanya kecenderungan pengguna narkoba untuk masuk ke dalam dunia kejahatan

juga akan meningkatkan jumlah narapidana, baik yang menjalani hukuman karena

kejahatannya itu sendiri maupun yang menjalani hukuman karena tertangkap sebagai

pengguna narkoba.

8
Gordon, J. S. H, Hasan, A. B. P., Gordon, D. D., Perempuan di Balik Tirai Narkoba: Menguak Realita
Menjangkau Harapan, Jakarta: Ford Foundation, 2004, hal. 91.
9
Ibid. Hal. 69.

5
Tulisan ini akan mengangkat bagaiman penjara sebagai muara baik bagi kejahatan

karena kemiskinan, maupun kejahatan karena narkoba, dapat berperan dalam upaya

penanggulangan kemiskinan.

II. PEMBAHASAN

A. Penjara Sebagai Lembaga Koreksional

Penjara sebagai lembaga koreksional mendapatkan amanat undang-undang

sebagai tempat pelaksanaan hukuman. Pidana Pokok dalam Pasal 10 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana:

1. Pidana Mati;

2. Penjara;

3. Kurungan;

4. Tutupan ;

5. Denda;

Pada abad ke-20, pemenjaraan narapidana mengalami pergeseran tujuan, terutama

setelah Perang Dunia II. Pemenjaraan yang sebelumnya bertujuan semata-mata untuk

pembalasan, kini bergeser menjadi cenderung ke arah perbaikan. Pergeseran ini

dicerminkan dengan kemunculan berbagai perjanjian internasional yang mengangkat

masalah kelayakan penjara serta adanya upaya penghapusan hukuman mati.

Di tingkat internasional, penjara harus mengikuti standar minimum yang

ditetapkan oleh prinsip-prinsip sebagaimana tercantum dalam: Kovenan Internasional

tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966; Aturan-aturan Standar Minimum untuk

Perlakuan terhadap Narapidana 1955/1977; Peraturan Pelaksanaan Petugas Penegakan

6
Hukum 1978; Prinsip-prinsip Etika Kedokteran Terkait Peranan Petugas Kesehatan

dalam Perlindungan Narapidana dari Penyiksaan dan Perlakuan Kejam, Tidak Manusiawi

atau Perlakuan atau Hukuman yang Merendahkan 1982; Prinsip-Prinsip Perlindungan

Semua Orang dalam Semua Jenis Penahanan atau Pemenjaraan 1988; Prinsip Dasar

Perlakuan terhadap Narapidana 1990.

Menurut standar-standar minimum tersebut, secara umum penjara harus memenuhi

kriteria sebagai berikut:10

1.aman;

2.terlindungi;

3.reformis dan menjaga kesehatan;

4.mengutamakan ketentraman dan menghormati hak asasi manusia;

5.perlakuan terhadap narapidana sesuai hukum;

6.fasilitas yang bersih dan terawat;

7.memberikan perhatian kepada narapidana dengan kebutuhan khusus;

8.melindungi narapidana dari dampak buruk pemidanaan;

9.penyelenggaraan yang membuat pemidanaan mudah dilalui;

10. perlakuan yang adil dan konsisten dari petugas ;

B. Permasalahan Kondisi penjara

Penjara pada umumnya dapat dikatakan belum terlepas dari berbagai masalah. 11

Pertama, masalah overcrowding atau tingkat hunian yang terlalu padat. 12 Indonesia yang

10
Hayton, P., ‘Protecting and Promoting Health in Prisons: A Settings Approach’, Health in Prisons:
WHO Guide to the Essentials in Prison Health, WHO, 2007, hal. 17.
11
UNODC, HIV/AIDS in Places of Detention: A Toolkit for Policy Makers, Managers, and Staff, UNODC
and WHO, 2007, hal. 15.
12
Ibid.

7
terdiri dari Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dihuni oleh

137.000 orang dimana kapasitas normalnya adalah 88.000 orang. Ini berarti terdapat

kelebihan sebesar hampir 100%.13 Kepadatan yang berlebih ini membawa masalah

lanjutan berupa menurunnya tingkat kesehatan lingkungan di dalam penjara. Selain itu,

overcrowding juga membawa masalah sosial yaitu dengan terjadinya ketidaknyamanan

psikologis yang pada tingkat tertentu dapat memicu konflik antar narapidana.

Masalah kedua adalah adanya kelompok-kelompok narapidana atau yang biasa

dikenal sebagai geng.14 Gejala munculnya geng serta adanya kekuasaan beberapa

narapidana tertentu mendorong terjadinya kekerasan di dalam penjara, baik berupa

perkelahian ataupun penyiksaan serta pelecehan.

Masalah ketiga adalah terkait dengan fakta bahwa setiap penjara dihuni oleh satu

jenis kelamin dan bahwa penjara didominasi oleh laki-laki. Kenyatan ini mendorong

terjadinya hubungan seks sesama jenis.15 Permasalahan yang muncul adalah bahwa

hubungan seks sesama jenis tersebut ada yang dilakukan tidak konsensual karena terkait

dengan permasalahan geng atau kekuasaan sekelompok narapidana. Lanjutan dari

permasalahan ini adalah bahwa hubungan seks tersebut, baik yang konsensual maupun

yang tidak, dilakukan secara tidak aman dalam perspektif kesehatan dalam arti

mengandung risiko tinggi akan penularan berbagai penyakit.

Masalah keempat adalah adanya peredaran narkoba di dalam penjara. 16 Secara

khusus, penggunaan narkoba suntik di dalam penjara akan meningkatkan juga penularan

13
Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM, http://hukumham.info/index.php?
option=com_content&task=view&id=2793&Itemid=99999999, diakses 27 Maret 2010.
14
Op. cit. UNODC, hal. 16.
15
Ibid.
16
Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM, http://hukumham.info/index.php?
option=com_content&task=view&id=361&Itemid=99999999, diakses 26 Maret 2010.

8
penyakit menular. Ketiadaan suntik di dalam penjara membuat penggunaan narkoba

suntik dilakukan secara bersama-sama dengan peralatan yang tidak steril. Beberapa

penyakit yang dapat menular melalui darah dengan kegiatan penggunaan narkoba suntik

secara bersama-sama adalah HIV/AIDS dan hepatitis. Indonesia memiliki 54% pengguna

narkoba suntik diantara total kasus HIV di seluruh nusantara. 17 Sebagai gambaran, di

Ukraina, prevalensi HIV di dalam penjara adalah sepuluh kali lebih tinggi daripada

prevalensi HIV pada populasi umum.18 Terbatasnya layanan kesehatan di dalam penjara

juga memperburuk hal ini.

Adanya peredaran narkoba suntik di dalam penjara19 secara tidak langsung telah

membelokkan cita-cita penjara sebagai lembaga koreksional dimana narapidana yang

sebelumnya bukan pengguna narkoba dapat beralih menjadi pengguna narkoba suntik

ketika menjalani hukuman di dalam penjara. Selain itu, bukan tidak mungkin adanya

pertemuan bandar besar dan bandar kecil di dalam penjara justru akan memperkuat

jaringan peredaran narkoba setelah narapidana keluar dari penjara. Untuk jangka panjang,

permasalahan penjara sebagai ’sekolah’ untuk menjadi pengguna narkoba akan

memperbesar angka kemiskinan karena akan munculnya masalah kecanduan yang dapat

menurunkan produktifitas. Lebih jauh lagi, permasalahan kecanduan akan mendorong

kembali terjadinya kejahatan sebagai cara untuk dapat membeli narkoba.

Dari aspek kesehatan, penggunaan narkoba suntikan di dalam penjara juga

meningkatkan penyebaran penyakit menular bahkan hingga ke luar lingkungan penjara.

17
Open Society Institute (OSI), Harm Reduction Development 2008: Countries with Injection-Driven HIV
Epidemics, OSI International Harm Reduction Development Program, 2008, hal. 52
18
Ibid. Hal. 29.
19
Op. cit. Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM (note 16).

9
Prevalensi HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba secara umum adalah 22%20,

sementara jumlah pengguna narkoba semakin meningkat yang salah satu indikasinya

adalah langkah pemerintah untuk menambah 13 penjara narkoba.21 Dengan demikian,

prevalensi tersebut juga akan tercermin di dalam penjara narkoba sebagai kelompok

bagian dari kalangan pengguna narkoba secara umum. Hal ini dapat menggambarkan

tingginya risiko penularan HIV/AIDS, serta penyakit menular lainnya, di dalam penjara.

Ilustrasi yang dapat dikembangkan adalah ketika narapidana yang terinfeksi HIV/AIDS

atau penyakit menular lainnya telah selesai menjalani hukuman, maka akan ada potensi

penyebaran penyakit-penyakit tersebut ke populasi umum. Model penyebaran penyakit

seperti ini kemudian akan menambah beban kesehatan pada populasi umum, yang pada

gilirannya akan memperberat kemiskinan. Bagi mantan narapidana, potensi untuk

terjebak pada lingkaran kemiskinan akan semakin besar karena buruknya penerimaan

mantan narapidana di dunia kerja.22

C. Penanggulangan Narkoba

Penanggulangan narkoba secara internasional mengambil langkah-langkah sebagai

berikut:

Pendekatan pertama adalah supply reduction atau pengurangan pemasokan.23

Untuk pendekatan ini, pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah represif dengan

20
Winarso, I., Irawati, I., Eka, B., Nevendorff, L., Handoyo, P., Salim, H., Mesquita, F., ‘Indonesian
National Strategy for HIV/AIDS Control in Prisons: A Public Health Approach for Prisoners’,
International Journal of Prisoner Health, 2(3), 2006, hal. 243-249.
21
Irawati I., Mesquita F., Winarso I., Hartawan , Asih, P.,‘Indonesia Sets Up Prison Methadone
Maintenance Treatment’, Addiction (News and Notes), Volume 10, 2006, hal. 15
22
Giguere, R., & Dundes, L., ‘Help Wanted: A Survey of Employer Concerns About Hiring Ex-Convicts’,
Criminal Justice Policy Review 13, 2002, hal. 396-408
23
WartaAIDS, Menanggapi Epidemi HIV di Kalangan Pengguna Narkoba Suntikan: Dasar Pemikiran
Pengurangan Dampak Buruk Narkoba, Jakarta: WartaAIDS, 2001, hal. 54.

10
berupaya membongkar sindikat peredaran narkoba internasional, melakukan

penggrebekan tempat pembuatan narkoba, dan menangkap pengedar-pengedar narkoba.

Pada pendekatan ini, pemerintah Indonesia memiliki dukungan instrumen hukum berupa

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, selain juga memperkuat

lembaga kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Namun demikian, undang-undang

tersebut memiliki 39 pasal dengan ancaman pidana yang tidak memperhatikan unsur

kesengajaan atau dengan kata lain bahwa peraturan tersebut memiliki motif kriminalisasi

yang sangat luas. Demikianlah ironisnya bahwa di tengah rentannya kondisi penjara

terhadap peredaran gelap narkoba, upaya penanggulangan narkoba dari pendekatan

supply reduction memiliki konsekuensi untuk melahirkan narapidana lebih banyak lagi.

Pendekatan kedua adalah demand reduction atau pengurangan permintaan.24 Pada

pendekatan ini strategi diarahkan kepada pencegahan primer dan pemberdayaan

masyarakat melalui penyebarluasan informasi, penyuluhan, serta program-program

pemulihan kecanduan yang dikembangkan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-

lembaga swadaya masyarakat. elalui kegiatan-kegiatan pencegahan maka diharapkan

masyarakat dapat menolak kehadiran narkoba. Pendekatan ini juga dilakukan kepada

narapidana karena, oleh karena itu karena telah mengabaikan perawatan dan kesehatan.

Pada konsiderans Melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 tentang

Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi dikatakan

bahwa karena sebagian besar narapidana kasus narkoba merupakan golongan pemakai

narkoba maka pemenjaraan bukanlah langkah yang tepat, selain itu kondisi lembaga

pemasyarakatan tidak mendukung perawatan dan pengobatan karena keterpengaruhan

oleh perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan
24
Ibid. Hal. 61.

11
kesehatan pengguna narkoba. Oleh karena itu, terhadap pengguna narkoba dalam kategori

pemakai, hakim diperintahkan untuk menjatuhkan pemidanaan berupa rehabilitasi

narkoba.25

Pendekatan ketiga adalah harm reduction atau pengurangan dampak buruk.26

Perkembangan peraturan perundang-undangan mengenai narkotika semakin mengarah

kepada semangat bahwa pengguna narkoba sejatinya adalah korban dari kejahatan yang

dilakukan oleh para pengedar narkoba. Pengedar narkoba dipandang sebagai pihak yang

mengambil keuntungan dari adanya kecanduan pada diri pengguna narkoba. Sementara,

pengguna narkoba dan orang-orang di sekitarnya (contoh: teman sebaya dan pasangan

seks) berada pada posisi yang rentan terhadap penularan penyakit. Oleh karena itu,

pemerintah melakukan kegiatan pengurangan dampak buruk berupa terapi rumatan

metadon27 dan juga melalui layanan jarum suntik steril, serta dukungan sebaya.

Pendekatan ini dilindungi oleh Peraturan Menko Kesra Nomor 02 Tahun 2007 tentang

Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Melalui Pengurangan Dampak

Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik yang menyatakan

bahwa kegiatan harm reduction merupakan komponen penting dalam program

penanggulangan AIDS di Indonesia.

25
Pasal 2 (b) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai
Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
26
WHO, Status Paper on Prisons, Drugs, and Harm Reduction, WHO, 2005, hal. 5.
27
Terapi rumatan metadon: Terapi substitusi terutama ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida.
Sasaran terapi; mengurangi perilaku kriminal, mencegah penularan HIV/AIDS, mempertahankan hidup
yang produktif dan menghentikan kebiasaan penggunaan rutin Napza, khususnya opioida. Substitusi yang
digunakan dapat bersifat agonis (methadone), agonis partial (buphrenorphine) atau antagonis (naltrexone).
Methadone Maintance Therapy (MMT), sering disebut Terapi Rumatan Metadone (TRM) yang paling
umum dijalankan. Pasien yang mengikuti terapi substitusi tidak memerlukan hospitalisasi (rawat residensi)
jangka panjang. Terapi ini akan berjalan dengan sangat efektif bila disertai dengan konsultasi dan intervensi
perilaku. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 567/SK/VIII/2006, Hal. 37.

12
Ketiga pendekatan ini dilakukan secara bersamaan karena jika hanya dilakukan

supply reduction saja maka demand akan mencari jalur peredaran baru, sementara harm

reduction harus dilakukan untuk melindungi pengguna narkoba dari dampak buruk baik

secara sosial maupun fisik. Untuk penjara, ketiga pendekatan ini juga sudah mulai

diterapkan walaupun belum menyeluruh. Akan tetapi, tantangan yang menghalang juga

semakin membesar bahwa selain peredaran narkoba tetap berlangsung, dampak lanjutan

dari penggunaan narkoba juga semakin luas dan belum dapat tertangani seluruhnya baik

itu masalah kesehatan maupun kejahatan.

III. KESIMPULAN

Salah satu cara untuk menekan kemiskinan dan dampaknya adalah dengan

membuat jarak sejauh-jauhnya antara kemiskinan dan narkoba. Kombinasi antara

kemiskinan dengan narkoba pada lingkungan mana pun akan memperluas dan

memperparah kemiskinan itu sendiri. Pemerintah melalui tiga pendekatan

penanggulangan narkoba telah berupaya memperbesar jarak tersebut. Pada posisinya,

penduduk miskin di luar penjara memiliki pilihan yang lebih leluasa untuk terhindar dari

narkoba. Sementara, narapidana yang berada dalam suatu lingkungan tertutup dengan

segala permasalahan pada kondisi penjara, memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk

bersentuhan dengan narkoba. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penjara merupakan

tempat yang sangat ideal untuk bertemunya kemiskinan dengan narkoba.

Ketiga pendekatan penanggulangan narkoba yang kuat di dalam penjara akan

memperbesar jarak antara kemiskinan dan narkoba. Keberlanjutan kegiatan harm

reduction karena narapidana berhak atas perlindungan dirinya dari infeksi penyakit dan

13
perlindungan demikian tidak dapat menunggu keberhasilan demand reduction. Sejalan

dengan hal tersebut, dalam kaitannya dengan adanya hubungan seks sesama jenis yang

tidak aman, maka harm reduction berupa penyediaan pengaman seks (kondom) bagi

narapidana juga menjadi bentuk perlindungan narapidana atas hak untuk kesehatan.

Sebagai tempat yang ideal untuk bertemunya kemiskinan dengan narkoba, maka

upaya pemutusan lingkaran kemiskinan harus menempatkan penjara sebagai area utama.

Paling tidak, penjara harus mendapat perhatian yang cukup dan setara dengan masalah

sosial lainnya di luar penjara. Populasi narapidana secara statistik sangat kecil jika

dibandingkan dengan keseluruhan populasi Republik Indonesia, namun demikian

narapidana tidak dapat dipisahkan dari populasi umum karena para narapidana pada suatu

waktu akan kembali ke masyarakat. Narapidana yang telah bebas dan kembali ke

masyarakat akan membawa serta apa yang didapat di dalam penjara, termasuk faktor-

faktor kemiskinan. Kondisi penjara yang tidak layak dapat membawa narapidana keluar

sebagai pengguna narkoba, jaringan pengedar narkoba, atau sebagai orang dengan infeksi

berbagai penyakit yang pada akhirnya menambah beban ekonomi bagi masyarakat.

Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi penjara merupakan salah satu pengaruh dalam

bergulirnya lingkaran kemiskinan.

Upaya perbaikan kondisi penjara tersebut adalah dengan melakukan perbaikan

dalam segala aspek, termasuk dalam hal pengelolaan populasi, perbaikan sarana dan

sanitasinya, perbaikan aspek sosial hubungan antar narapidana, dan pemberdayaan

petugas penjara. Layanan kesehatan yang memadai dapat meliputi tersedianya layanan

tes HIV, penyuluhan seks aman, penyuluhan narkoba, layanan harm reduction termasuk

kondom, pengobatan, dan dukungan sosial. Selain itu, penjara juga harus memiliki

14
program pra-pelepasan dimana narapidana yang dalam waktu dekat akan segera

dibebaskan supaya mendapatkan persiapan terlebih dahulu. Persiapan ini dapat mencakup

pemberian informasi mengenai ketersediaan layanan-layanan kesehatan lanjutan dan

informasi mengenai kemungkinan pemberdayaan ekonomi keluarga. Dengan adanya pra-

pelepasan ini, diharapkan narapidana dapat melanjutkan program harm reduction yang

sudah dikenalnya di dalam penjara. Perbaikan kondisi penjara akan mengurangi risiko

lahirnya pengguna narkoba baru disamping menurunkan risiko penularan penyakit.

Dengan demikian, penjara dapat menjadi lembaga koreksional sebagaimana mestinya.

Selain perbaikan kondisi penjara, pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung

Nomor 7 Tahun 2009 yang memerintahkan program rehabilitasi bagi terdakwa kasus

narkoba dalam kategori pemakai dapat secara signifikan mengurangi dampak negatif

pemenjaraan. Pemilihan rehabilitasi sebagai pemidanaan dapat mengurangi risiko

penularan penyakit, selain itu, melalui rehabilitasi maka narapidana terhindar dari stigma

penjara sehingga dapat lebih diterima di dunia kerja untuk pemenuhan kebutuhan

ekonominya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Colondam, V., ‘Kemiskinan, Narkoba, dan Peningkatan Kriminalitas’, Media Indonesia,


5 April 2008.
’Demi Biaya Anaknya, Ro Nekat Jual Ganja’, Pikiran Rakyat, 5 Desember 2009
Giguere, R., & Dundes, L., ‘Help Wanted: A Survey of Employer Concerns About Hiring
Ex-Convicts’, Criminal Justice Policy Review 13, 2002
Gordon, J. S. H, Hasan, A. B. P., Gordon, D. D., Perempuan di Balik Tirai Narkoba:
Menguak Realita Menjangkau Harapan, Jakarta: Ford Foundation, 2004
Hayton, P., ‘Protecting and Promoting Health in Prisons: A Settings Approach’, Health
in Prisons: WHO Guide to the Essentials in Prison Health, WHO, 2007
Irawati I., Mesquita F., Winarso I., Hartawan , Asih, P.,‘Indonesia Sets Up Prison
Methadone Maintenance Treatment’, Addiction (News and Notes), Volume 10,
2006
Open Society Institute (OSI), Harm Reduction Development 2008: Countries with
Injection-Driven HIV Epidemics, OSI International Harm Reduction Development
Program, 2008
Prodjodikoro, W., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama,
2003
Santoso, T., Zulfa, E.A., Kriminologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
UNODC, HIV/AIDS in Places of Detention: A Toolkit for Policy Makers, Managers, and
Staff, UNODC and WHO, 2007
WartaAIDS, Menanggapi Epidemi HIV di Kalangan Pengguna Narkoba Suntikan:
Dasar Pemikiran Pengurangan Dampak Buruk Narkoba, Jakarta: WartaAIDS,
2001
WHO, Status Paper on Prisons, Drugs, and Harm Reduction, WHO, 2005
Winarso, I., Irawati, I., Eka, B., Nevendorff, L., Handoyo, P., Salim, H., Mesquita, F.,
‘Indonesian National Strategy for HIV/AIDS Control in Prisons: A Public Health
Approach for Prisoners’, International Journal of Prisoner Health, 2(3), 2006

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan 1966
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 567/SK/VIII/2006
Peraturan Menko Kesra Nomor 02 Tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk
Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai
Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.

16
Situs Internet

Situs Resmi Badan Narkotika Nasional,


http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?
nama=Kamus&op=kamus&letter=n&mn=6&smn=i&rows=20, diakses 25 April
2010.
Situs Resmi Bank Dunia,
http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPOVERTY/0,,co
ntentMDK:20153855~menuPK:373757~pagePK:148956~piPK:216618~theSiteP
K:336992,00.html, diakses 26 Maret 2010.
Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM, http://hukumham.info/index.php?
option=com_content&task=view&id=361&Itemid=99999999, diakses 26 Maret
2010.
Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM, http://hukumham.info/index.php?
option=com_content&task=view&id=2793&Itemid=99999999, diakses 27 Maret
2010.

17

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai