net/publication/301771152
CITATIONS READS
0 326
1 author:
Siradj Okta
University of Washington Seattle
11 PUBLICATIONS 81 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Siradj Okta on 02 May 2016.
ABSTRAKSI
ABSTRACT
I. PENDAHULUAN
1
Situs Resmi Bank Dunia,
http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPOVERTY/0,,contentMDK:20153855~me
nuPK:373757~pagePK:148956~piPK:216618~theSitePK:336992,00.html, diakses 26 Maret 2010.
1
nominal tertentu, namun juga harus melihat beban pengeluaran yang mana terkait dengan
kemampuannya secara de facto untuk memenuhi kebutuhan hidup, misalnya dalam hal
pendidikan dan kesehatan. Lebih mendasar lagi, pemenuhan kebutuhan hidup juga sangat
akibat. Teori tersebut berdasar kepada pemikiran bahwa pendapatan masyarakat menjadi
Kemiskinan akan semakin parah ketika pada masyarakat berpendapatan rendah tersebut
terdapat kecenderungan meniru corak konsumsi pada masyarakat yang lebih maju secara
ekonomi. Oleh karena itulah kemudian berkembang diskursus mengenai jeratan atau
lingkaran kemiskinan (poverty circle) dimana masyarakat miskin akan selalu berada
dalam kemiskinan walaupun diberikan permodalan dari luar. Dalam perspektif hak asasi
manusia, kemiskinan sendiri merupakan bentuk dari kegagalan atas pemenuhan hak asasi
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan 1966. Pada mukadimah kovenan tersebut, dikatakan
bahwa pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan merupakan bagian dari
tanggung jawab negara. Sehingga dengan demikian, bahwa negara memiliki peranan
2
yang sangat penting baik pada tataran kebijakan maupun pada tataran pelaksanaan dan
buruknya.
bidang kehidupan masyarakat. Pada tulisan ini akan disinggung mengenai dampak
kemiskinan terhadap peristiwa kejahatan. Lebih dari itu, kemiskinan juga tidak dapat
dilihat hanya sebagai pengaruh sebab terjadinya kejahatan, namun sebagai akibat dari
peristiwa kejahatan itu sendiri. Kejahatan yang mempengaruhi masuknya orang ke dalam
kemiskinan dalam tulisan ini akan mengarah kepada kekhususan permasalahan narkoba2.
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika, narkoba merupakan benda yang secara umum terlarang untuk
Dimensi kedua adalah bahwa penggunaan narkoba memiliki dampak sosial yang
dapat menempatkan pengguna narkoba pada posisi yang rentan untuk melakukan
kejahatan.
Secara kausal (teori kausalitas/causal verband) dalam kajian ilmu hukum pidana,
kemiskinan tidak memiliki hubungan langsung dengan kejahatan yang terjadi. Dengan
kata lain, secara normatif, kemiskinan bukanlah conditio sine qua non atas kejahatan.
Kausalitas dalam hukum pidana memiliki pengertian yang sempit. Pengertian sebab
akibat dalam ilmu hukum pidana baik menurut Von Buri maupun Von Bar mengharuskan
2
Narkoba: Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Berbahaya Lainnya, Situs Resmi Badan Narkotika
Nasional, http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?
nama=Kamus&op=kamus&letter=n&mn=6&smn=i&rows=20, diakses 25 April 2010.
3
adanya hubungan secara langsung antara tindak pidana dan perbuatan pendahulunya. 3
Oleh karena itu penggunaan kajian ilmu hukum pidana secara sempit tidak dapat
Namun demikian, teori determinisme ekonomi sebagai ajaran sosialis Marx dan
Engels dalam kajian kriminologi memandang bahwa kondisi ekonomi merupakan faktor
legitimasi atas kejahatan, kondisi miskin membuat orang ’terpaksa’ menempuh cara-cara
Sebagai contoh adalah seperti yang diberitakan oleh harian Pikiran Rakyat di
bawah ini:
”..."Saya terpaksa menjual ganja untuk biaya anak saya sekolah," kata Ro yang
merupakan warga Kabupaten Cianjur. Ia mengaku bingung harus mencari nafkah untuk
kebutuhan sehari-harinya. Ketika ada teman yang menawarkan untuk menjual ganja, ia
langsung menyetujuinya. "Anak saya lima, dan tiga orang masih sekolah. Apalagi yang
paling besar itu kuliah," tuturnya .”5
menjadi bisnis yang sangat besar. Diperkirakan, akumulasi biaya konsumsi narkoba
periode 2004-2009 adalah setara dengan seperempat anggaran belanja negara pada tahun
2009 atau sekitar 200 triliun rupiah.6 Pada tahun 2006, penggunaan narkoba oleh
narkoba memiliki harga yang bervariasi, namun peningkatan penggunaan dari yang
3
Prodjodikoro, W., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hal 62.
4
Santoso, T., Zulfa, E.A., Kriminologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 29.
5
’Demi Biaya Anaknya, Ro Nekat Jual Ganja’, Pikiran Rakyat, 5 Desember 2009.
6
Colondam, V., ‘Kemiskinan, Narkoba, dan Peningkatan Kriminalitas’, Media Indonesia, 5 April 2008.
7
Ibid.
4
paling murah seperti ganja hingga ke jenis narkoba yang mahal secara bersamaan akan
Hal ini dapat diartikan bahwa penggunaan narkoba merupakan ’jalan pintas’ untuk
menjadi bagian dari kemiskinan. Pengguna narkoba pada awalnya akan menjual barang-
barang yang dimilikinya sendiri, jika telah habis, maka kemudian akan menjual barang-
barang milik kerabat atau temannya. Jika sudah tidak ada lagi yang dapat dijual, maka
akan terpikir untuk mencuri, mencopet, merampok, bahkan menjadi bandar narkoba, atau
dengan kata lain segala cara digunakan untuk mendapatkan narkoba.8 Bahkan perempuan
pengguna narkoba memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk dimanfaatkan secara
”Gue dengan pacar gue udah kehabisan duit buat beli obat. Akhirnya pacar gue nyuruh
gue pergi ke bandar yang katanya temannya. Gue melakukan hubungan seksual dengan
bandar itu biar gue bisa pakaw. Pacar gue juga ikut make bareng gue (Y, 17 tahun,
mahasiswi).”9
Tentu saja, kondisi seperti ini dapat memperparah dampak ekonomi kehidupan
pengguna narkoba. Perilaku seks yang tidak terlindungi tersebut dapat menimbulkan
kehamilan yang tidak diinginkan dimana kondisi tersebut akan memperberat beban
juga akan meningkatkan jumlah narapidana, baik yang menjalani hukuman karena
kejahatannya itu sendiri maupun yang menjalani hukuman karena tertangkap sebagai
pengguna narkoba.
8
Gordon, J. S. H, Hasan, A. B. P., Gordon, D. D., Perempuan di Balik Tirai Narkoba: Menguak Realita
Menjangkau Harapan, Jakarta: Ford Foundation, 2004, hal. 91.
9
Ibid. Hal. 69.
5
Tulisan ini akan mengangkat bagaiman penjara sebagai muara baik bagi kejahatan
karena kemiskinan, maupun kejahatan karena narkoba, dapat berperan dalam upaya
penanggulangan kemiskinan.
II. PEMBAHASAN
sebagai tempat pelaksanaan hukuman. Pidana Pokok dalam Pasal 10 Kitab Undang-
1. Pidana Mati;
2. Penjara;
3. Kurungan;
4. Tutupan ;
5. Denda;
setelah Perang Dunia II. Pemenjaraan yang sebelumnya bertujuan semata-mata untuk
tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966; Aturan-aturan Standar Minimum untuk
6
Hukum 1978; Prinsip-prinsip Etika Kedokteran Terkait Peranan Petugas Kesehatan
dalam Perlindungan Narapidana dari Penyiksaan dan Perlakuan Kejam, Tidak Manusiawi
Semua Orang dalam Semua Jenis Penahanan atau Pemenjaraan 1988; Prinsip Dasar
1.aman;
2.terlindungi;
Penjara pada umumnya dapat dikatakan belum terlepas dari berbagai masalah. 11
Pertama, masalah overcrowding atau tingkat hunian yang terlalu padat. 12 Indonesia yang
10
Hayton, P., ‘Protecting and Promoting Health in Prisons: A Settings Approach’, Health in Prisons:
WHO Guide to the Essentials in Prison Health, WHO, 2007, hal. 17.
11
UNODC, HIV/AIDS in Places of Detention: A Toolkit for Policy Makers, Managers, and Staff, UNODC
and WHO, 2007, hal. 15.
12
Ibid.
7
terdiri dari Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dihuni oleh
137.000 orang dimana kapasitas normalnya adalah 88.000 orang. Ini berarti terdapat
kelebihan sebesar hampir 100%.13 Kepadatan yang berlebih ini membawa masalah
lanjutan berupa menurunnya tingkat kesehatan lingkungan di dalam penjara. Selain itu,
psikologis yang pada tingkat tertentu dapat memicu konflik antar narapidana.
dikenal sebagai geng.14 Gejala munculnya geng serta adanya kekuasaan beberapa
Masalah ketiga adalah terkait dengan fakta bahwa setiap penjara dihuni oleh satu
jenis kelamin dan bahwa penjara didominasi oleh laki-laki. Kenyatan ini mendorong
terjadinya hubungan seks sesama jenis.15 Permasalahan yang muncul adalah bahwa
hubungan seks sesama jenis tersebut ada yang dilakukan tidak konsensual karena terkait
permasalahan ini adalah bahwa hubungan seks tersebut, baik yang konsensual maupun
yang tidak, dilakukan secara tidak aman dalam perspektif kesehatan dalam arti
khusus, penggunaan narkoba suntik di dalam penjara akan meningkatkan juga penularan
13
Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM, http://hukumham.info/index.php?
option=com_content&task=view&id=2793&Itemid=99999999, diakses 27 Maret 2010.
14
Op. cit. UNODC, hal. 16.
15
Ibid.
16
Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM, http://hukumham.info/index.php?
option=com_content&task=view&id=361&Itemid=99999999, diakses 26 Maret 2010.
8
penyakit menular. Ketiadaan suntik di dalam penjara membuat penggunaan narkoba
suntik dilakukan secara bersama-sama dengan peralatan yang tidak steril. Beberapa
penyakit yang dapat menular melalui darah dengan kegiatan penggunaan narkoba suntik
secara bersama-sama adalah HIV/AIDS dan hepatitis. Indonesia memiliki 54% pengguna
narkoba suntik diantara total kasus HIV di seluruh nusantara. 17 Sebagai gambaran, di
Ukraina, prevalensi HIV di dalam penjara adalah sepuluh kali lebih tinggi daripada
prevalensi HIV pada populasi umum.18 Terbatasnya layanan kesehatan di dalam penjara
Adanya peredaran narkoba suntik di dalam penjara19 secara tidak langsung telah
sebelumnya bukan pengguna narkoba dapat beralih menjadi pengguna narkoba suntik
ketika menjalani hukuman di dalam penjara. Selain itu, bukan tidak mungkin adanya
pertemuan bandar besar dan bandar kecil di dalam penjara justru akan memperkuat
jaringan peredaran narkoba setelah narapidana keluar dari penjara. Untuk jangka panjang,
memperbesar angka kemiskinan karena akan munculnya masalah kecanduan yang dapat
17
Open Society Institute (OSI), Harm Reduction Development 2008: Countries with Injection-Driven HIV
Epidemics, OSI International Harm Reduction Development Program, 2008, hal. 52
18
Ibid. Hal. 29.
19
Op. cit. Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM (note 16).
9
Prevalensi HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba secara umum adalah 22%20,
sementara jumlah pengguna narkoba semakin meningkat yang salah satu indikasinya
prevalensi tersebut juga akan tercermin di dalam penjara narkoba sebagai kelompok
bagian dari kalangan pengguna narkoba secara umum. Hal ini dapat menggambarkan
tingginya risiko penularan HIV/AIDS, serta penyakit menular lainnya, di dalam penjara.
Ilustrasi yang dapat dikembangkan adalah ketika narapidana yang terinfeksi HIV/AIDS
atau penyakit menular lainnya telah selesai menjalani hukuman, maka akan ada potensi
seperti ini kemudian akan menambah beban kesehatan pada populasi umum, yang pada
terjebak pada lingkaran kemiskinan akan semakin besar karena buruknya penerimaan
C. Penanggulangan Narkoba
berikut:
20
Winarso, I., Irawati, I., Eka, B., Nevendorff, L., Handoyo, P., Salim, H., Mesquita, F., ‘Indonesian
National Strategy for HIV/AIDS Control in Prisons: A Public Health Approach for Prisoners’,
International Journal of Prisoner Health, 2(3), 2006, hal. 243-249.
21
Irawati I., Mesquita F., Winarso I., Hartawan , Asih, P.,‘Indonesia Sets Up Prison Methadone
Maintenance Treatment’, Addiction (News and Notes), Volume 10, 2006, hal. 15
22
Giguere, R., & Dundes, L., ‘Help Wanted: A Survey of Employer Concerns About Hiring Ex-Convicts’,
Criminal Justice Policy Review 13, 2002, hal. 396-408
23
WartaAIDS, Menanggapi Epidemi HIV di Kalangan Pengguna Narkoba Suntikan: Dasar Pemikiran
Pengurangan Dampak Buruk Narkoba, Jakarta: WartaAIDS, 2001, hal. 54.
10
berupaya membongkar sindikat peredaran narkoba internasional, melakukan
Pada pendekatan ini, pemerintah Indonesia memiliki dukungan instrumen hukum berupa
tersebut memiliki 39 pasal dengan ancaman pidana yang tidak memperhatikan unsur
kesengajaan atau dengan kata lain bahwa peraturan tersebut memiliki motif kriminalisasi
yang sangat luas. Demikianlah ironisnya bahwa di tengah rentannya kondisi penjara
supply reduction memiliki konsekuensi untuk melahirkan narapidana lebih banyak lagi.
pemulihan kecanduan yang dikembangkan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-
masyarakat dapat menolak kehadiran narkoba. Pendekatan ini juga dilakukan kepada
narapidana karena, oleh karena itu karena telah mengabaikan perawatan dan kesehatan.
Pada konsiderans Melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 tentang
bahwa karena sebagian besar narapidana kasus narkoba merupakan golongan pemakai
narkoba maka pemenjaraan bukanlah langkah yang tepat, selain itu kondisi lembaga
oleh perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan
24
Ibid. Hal. 61.
11
kesehatan pengguna narkoba. Oleh karena itu, terhadap pengguna narkoba dalam kategori
narkoba.25
kepada semangat bahwa pengguna narkoba sejatinya adalah korban dari kejahatan yang
dilakukan oleh para pengedar narkoba. Pengedar narkoba dipandang sebagai pihak yang
mengambil keuntungan dari adanya kecanduan pada diri pengguna narkoba. Sementara,
pengguna narkoba dan orang-orang di sekitarnya (contoh: teman sebaya dan pasangan
seks) berada pada posisi yang rentan terhadap penularan penyakit. Oleh karena itu,
metadon27 dan juga melalui layanan jarum suntik steril, serta dukungan sebaya.
Pendekatan ini dilindungi oleh Peraturan Menko Kesra Nomor 02 Tahun 2007 tentang
Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik yang menyatakan
25
Pasal 2 (b) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai
Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
26
WHO, Status Paper on Prisons, Drugs, and Harm Reduction, WHO, 2005, hal. 5.
27
Terapi rumatan metadon: Terapi substitusi terutama ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida.
Sasaran terapi; mengurangi perilaku kriminal, mencegah penularan HIV/AIDS, mempertahankan hidup
yang produktif dan menghentikan kebiasaan penggunaan rutin Napza, khususnya opioida. Substitusi yang
digunakan dapat bersifat agonis (methadone), agonis partial (buphrenorphine) atau antagonis (naltrexone).
Methadone Maintance Therapy (MMT), sering disebut Terapi Rumatan Metadone (TRM) yang paling
umum dijalankan. Pasien yang mengikuti terapi substitusi tidak memerlukan hospitalisasi (rawat residensi)
jangka panjang. Terapi ini akan berjalan dengan sangat efektif bila disertai dengan konsultasi dan intervensi
perilaku. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 567/SK/VIII/2006, Hal. 37.
12
Ketiga pendekatan ini dilakukan secara bersamaan karena jika hanya dilakukan
supply reduction saja maka demand akan mencari jalur peredaran baru, sementara harm
reduction harus dilakukan untuk melindungi pengguna narkoba dari dampak buruk baik
secara sosial maupun fisik. Untuk penjara, ketiga pendekatan ini juga sudah mulai
diterapkan walaupun belum menyeluruh. Akan tetapi, tantangan yang menghalang juga
semakin membesar bahwa selain peredaran narkoba tetap berlangsung, dampak lanjutan
dari penggunaan narkoba juga semakin luas dan belum dapat tertangani seluruhnya baik
III. KESIMPULAN
Salah satu cara untuk menekan kemiskinan dan dampaknya adalah dengan
kemiskinan dengan narkoba pada lingkungan mana pun akan memperluas dan
penduduk miskin di luar penjara memiliki pilihan yang lebih leluasa untuk terhindar dari
narkoba. Sementara, narapidana yang berada dalam suatu lingkungan tertutup dengan
segala permasalahan pada kondisi penjara, memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
bersentuhan dengan narkoba. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penjara merupakan
reduction karena narapidana berhak atas perlindungan dirinya dari infeksi penyakit dan
13
perlindungan demikian tidak dapat menunggu keberhasilan demand reduction. Sejalan
dengan hal tersebut, dalam kaitannya dengan adanya hubungan seks sesama jenis yang
tidak aman, maka harm reduction berupa penyediaan pengaman seks (kondom) bagi
narapidana juga menjadi bentuk perlindungan narapidana atas hak untuk kesehatan.
Sebagai tempat yang ideal untuk bertemunya kemiskinan dengan narkoba, maka
upaya pemutusan lingkaran kemiskinan harus menempatkan penjara sebagai area utama.
Paling tidak, penjara harus mendapat perhatian yang cukup dan setara dengan masalah
sosial lainnya di luar penjara. Populasi narapidana secara statistik sangat kecil jika
narapidana tidak dapat dipisahkan dari populasi umum karena para narapidana pada suatu
waktu akan kembali ke masyarakat. Narapidana yang telah bebas dan kembali ke
masyarakat akan membawa serta apa yang didapat di dalam penjara, termasuk faktor-
faktor kemiskinan. Kondisi penjara yang tidak layak dapat membawa narapidana keluar
sebagai pengguna narkoba, jaringan pengedar narkoba, atau sebagai orang dengan infeksi
berbagai penyakit yang pada akhirnya menambah beban ekonomi bagi masyarakat.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi penjara merupakan salah satu pengaruh dalam
dalam segala aspek, termasuk dalam hal pengelolaan populasi, perbaikan sarana dan
petugas penjara. Layanan kesehatan yang memadai dapat meliputi tersedianya layanan
tes HIV, penyuluhan seks aman, penyuluhan narkoba, layanan harm reduction termasuk
kondom, pengobatan, dan dukungan sosial. Selain itu, penjara juga harus memiliki
14
program pra-pelepasan dimana narapidana yang dalam waktu dekat akan segera
dibebaskan supaya mendapatkan persiapan terlebih dahulu. Persiapan ini dapat mencakup
pelepasan ini, diharapkan narapidana dapat melanjutkan program harm reduction yang
sudah dikenalnya di dalam penjara. Perbaikan kondisi penjara akan mengurangi risiko
Nomor 7 Tahun 2009 yang memerintahkan program rehabilitasi bagi terdakwa kasus
narkoba dalam kategori pemakai dapat secara signifikan mengurangi dampak negatif
penularan penyakit, selain itu, melalui rehabilitasi maka narapidana terhindar dari stigma
penjara sehingga dapat lebih diterima di dunia kerja untuk pemenuhan kebutuhan
ekonominya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
16
Situs Internet
17