Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ANASTESI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2017


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

RESUSITASI JANTUNG PARU 2015

OLEH :
ASRIMA, S.Ked
10542 0277 11

PEMBIMBING:
dr. ZULFIKAR TAHIR, M.Kes, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANASTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Asrima , S.Ked

Nim : 10542 0277 11

Judul Referat : Resusitasi Jantung Paru 2015

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada


bagian Anastesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, November 2017

Pembimbing

dr. Zulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An

2
KATA PENGANTAR

Assalamua`alaikum, Wr. Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyusun tugas referat yang berjudul “Resusitasi Jantung Paru 2015”.
Penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun penyajiaannya
sehingga diharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak agar
dikesempatan yang akan datang penulis dapat membuat yang lebih baik lagi.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.


ZULFIKAR TAHIR, M.Kes, Sp.An sebagai pembimbing dalam penyusunan
referat ini.

Wassalamu`alaikum, Wr. Wb

Makassar November 2017

Penulis,

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i1

KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi .................................................................................................... 3

2.2 Indikasi .................................................................................................... 3

2.3 Fase RJP .................................................................................................. 4

2.4 Persiapan RJP .......................................................................................... 5

2.5 Prosedur ................................................................................................... 7

2.6 Bantuan hidup dasar ................................................................................ 7

2.7 Bantuan hidup lanjut ................................................................................ 15

2.8 Bantuan hidup terus-menerus .................................................................. 19

2.8 Pasca prosedur ......................................................................................... 20

BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk


mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory
arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut
gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya
bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali.
Setiap menit terdapat sekitar 4-6 orang meninggal didunia karena serangan
jantung. Dan sangat disayangkan jika seseorang tiba-tiba meninggal, yang tadinya
kelihatan segar bugar, dengan kata lain jantungnya yang sehat untuk tiba-tiba
tidak berdenyut lagi.1
Di Amerika penyakit jantung merupakan pembunuh nomor satu. Setiap
tahun hampir 330.000 warga Amerika meninggal karena penyakit jantung.
Setengahnya meninggal secara mendadak, karena serangan jantung
(cardiacarrest).
Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di
rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung paru
(RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR). Menurut American Heart
Association bahwa rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengan tindakan
resusitasi jantung paru, karena bagi penderita yang terkena serangan jantung,
dengan diberikan RJP segera maka akan mempunyai kesempatan yang amat besar
untuk dapat hidup kembali.2
RJP biasanya di pelajari oleh dokter, perawat dan para medis lainya, akan
tetapi di Amerika RJP di pelajari oleh orang-orang yang bertugas di publik
(keramaian orang), seperti satpam, polisi, petugas stasiun dan pekerja publik
lainnya. Setiap tahun RJP menolong ribuan nyawa di Amerika Serikat. Lebih dari
5 juta warga amerika mendapat pelatihan RJP dari American Heart Association
dan American Red Cross Course.3

5
Pedoman Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) dan Emergency
Cardiovascular Care (ECC) tahun 2015 adalah berdasarkan masukan dari 356
ahli resusitasi dari 29 negara. Pedoman ini ditinjau kembali setiap lima tahun, dan
diperbarui hanya bila ada bukti jelas bahwa perubahan akan meningkatkan
kelangsungan kadar hidup. Penelitian yang diterbitkan sebelum dan sejak tahun
2005 telah menunjukkan bahwa (1) kualitas kompresi dada terus membutuhkan
perbaikan, walaupun pelaksanaan tahun 2005 pedoman telah dikaitkan dengan
kualitas yang lebih baik dan kelangsungan hidup CPR lebih besar; (2) ada cukup
banyak variasi dalam kelangsungan hidup pasien yang terkena serangan jantung di
luar rumah sakit hingga sampai ke sistem pelayanan medis darurat (EMS), dan (3)
korban yang sebagian besar di luar rumah sakit yang tiba-tiba serangan jantung
tidak menerima CPR oleh pengamat. Perubahan yang direkomendasikan dalam
Pedoman 2015 AHA untuk CPR dan ECC upaya untuk mengatasi masalah ini dan
juga membuat rekomendasi untuk meningkatkan hasil dari serangan jantung
melalui penekanan baru pada jantung penangkapan pasca perawatan. Pedoman
baru stres pengenalan awal, mendesak orang untuk memanggil 9-1-1 atau nomor
darurat lokal mereka jika mereka pernah menemukan seseorang jatuh dan tidak
responsif, dan tidak menunda dengan "melihat, mendengar, dan merasa" untuk
bernapas atau bernadi. Mereka juga merekomendasikan bahwa alih-alih mencoba
mengingat berapa banyak dan berapa banyak penekanan napas, pengamat
melakukan CPR didesak hanya untuk mendorong cepat dan mendorong keras.
Untuk pasien dengan serangan jantung, prognosa tingkat kelangsungan
hidup dan gangguan neurologis adalah buruk, meskipun resusitasi sedini mungkin
yang melibatkan resusitasi jantung paru, defibrilasi dini dan implementasi yang
tepat pasca perawatan jantung, dapat meningkatkan angka kebertahanan hidup dan
status neurologis pasien.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harfiah menghidupkan kembali,
dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode
henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis.4
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan jantung
dan pada henti napas.5
RJP adalah kombinasi antara bantuan pernapasan dan kompresi jantung
yang dilakukan pada korban serangan jantung.6

2.2. Indikasi
a. Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak
hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,
tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lainnya.7
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan
terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat
henti jantung.7

b. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidaksanggupan curah
jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang

7
tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung
terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti
jantung.7
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis
femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan
berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap
rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.4
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi
melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri
rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut
kembali.7

2.3. Fase RJP


Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya:4
1) Fase I : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan
henti jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
 C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru
 A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
 B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
.
2) Fase II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu
tunjangan hidup dasar ditambah dengan :
 D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
 E (electrocardiography) : diagnosis elektrokardiografis secepat
mungkin setelah dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada
fibrilasi ventrikel, asistole, atau agonal ventricular complex.

8
 F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi
ventrikel.

3) Fase III : Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).


 G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan
kemudian mengobatinya.
 H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti
jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic
yang permanen.
 H (Hypothermia) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan
fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° - 32°C.
 H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong
adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua
tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.

I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan
ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde
lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan
sirkulasi, mengendalikan kejang.4

2.4. Persiapan
1.Anestesi
Karena seseorang dalam serangan jantung adalah hampir selalu
tidak sadar, obat-obat anestesi biasanya tidak diperlukan untuk resusitasi
kardiopulmoner (RJP).8

2.Peralatan
RJP, dalam bentuk yang paling dasar, dapat dilakukan di mana saja
tanpa perlu peralatan khusus. Terlepas dari peralatan yang tersedia, teknik
yang tepat sangatlah penting.8

9
Alat pelindung diri (APD) yaitu, sarung tangan, masker, gaun,
harus digunakan. Namun, pada sebagian besar pasien yang diresusitasi di
luar rumah sakit, RJP dilakukan tanpa perlindungan seperti itu, dan tidak
ada kasus yang telah dilaporkan tentang penularan penyakit melalui
pengiriman pasien yang di RJP.
Beberapa rumah sakit dan sistem pelayanan medis darurat,
menggunakan perangkat elektronik untuk memberikan penekanan dada
mekanik, meskipun sampai relatif baru-baru ini, perangkat tersebut belum
terbukti lebih efektif daripada kompresi manual yang berkualitas tinggi.
Sebuah penelitian yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa adanya
peningkatan angka harapan hidup dengan hasil neurologis yang lebih baik
pada pasien yang menerima kompresi dekompresi-RJP secara aktif,
dengan augmentasi tekanan negatif intrathoracic, dibandingkan dengan
pasien yang menerima standar RJP.
Selain itu, sistem kesehatan lainnya telah mulai menerapkan
perangkat elektronik untuk memantau RJP dan memberikan umpan balik
untuk penyedia audiovisual RJP, sehingga membantu mereka
meningkatkan kualitas kompresi selama RJP.8 Seorang operator Advanced
Cardiac Life Support (ACLS) (yaitu, dokter, perawat, paramedis) juga
dapat memilih untuk memasukkan pipa endotrakeal langsung ke dalam
trakea pasien (intubasi), yang menyediakan ventilasi yang paling efisien
dan efektif. Namun, 2 penelitian kohort retrospektif telah dipertanyakan
nilai intubasi endotrakeal pra-rumah sakit, dan studi lebih lanjut di daerah
ini dibenarkan. Perangkat tambahan yang digunakan dalam pengobatan
serangan jantung adalah defibrilator jantung. Perangkat ini memberikan
kejutan listrik ke jantung melalui 2 elektroda ditempatkan pada dada
pasien dan dapat mengembalikan jantung ke irama perfusi normal.8

3. Pemposisian pasien
RJP adalah yang paling mudah dan efektif dilakukan dengan
meletakkan pasien secara terlentang pada permukaan yang relatif keras,

10
yang memungkinkan kompresi efektif pada sternum. RJP yang dilakukan
di atas bahan yang lembut seperti kasur atau yang lainnya, umumnya
kurang efektif. Petugas kesehatan yang memberikan penekanan harus
ditempatkan cukup tinggi di atas pasien untuk mencapai ketinggian yang
cukup, sehingga ia dapat menggunakan berat badannya untuk kompresi
dada yang cukup.8
Di rumah sakit, di mana pasien berada di atas brangkar atau tempat
tidur, posisi yang tepat sering dicapai dengan menurunkan tempat tidur,
operator RJP yang berdiri di atas bangku pijakan , ataupun
keduanya. Dalam RJP di luar rumah sakit, pasien sering diposisikan di
lantai, dengan operator RJP berlutut di samping pasien.8

2.5 Prosedur RJP


Pada dasarnya resusitasi jantung paru terdiri dari 2 elemen: kompresi
dada dan mulut-ke-mulut (mouth-to-mouth) napas buatan.9
Sebelum menolong korban, hendaklah menilai keadaan lingkungan terlebih
dahulu:
1. Apakah korban dalam keadaan sadar?
2. Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu
korban dan bertanya dengan suara keras “Apakah Anda baik-baik saja?”
3. Apabila korban tidak berespon, mintalah bantuan untuk menghubungi
rumah sakit terdekat, dan mulailah RJP

2.6. Bantuan Hidup Dasar

Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan


hidup (chain of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi
koordinasi rantai kelangsungan hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada
pasien dengan henti jantung (cardiac arrest) dapat berubah tergantung lokasi
kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di dalam lingkungan rumah sakit (HCA)

11
atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA). Gambar 1 menunjukkan “chain of
survival” pada kondisi HCA maupun OHCA

Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA

Dalam melakukan resusitasi jantung-paru, AHA (American Heart


Association) merumuskan panduan BLS-CPR yang saat ini digunakan secara
global. Gambar 2 menunjukkan skema algoritma dalam tindakan resusitasi
jantung-paru pada pasien dewasa.

12
Gambar 2. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa

Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
1. Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat

13
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka
petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa
respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama korban sembari
melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah. Lihat apakah
korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Penolong harus
memanggil bantuan terdekat setelah korban tidak menunjukkan reaksi.
Akan lebih baik bila penolong juga memeriksa pernapasan dan denyut
nadi korban seiring pemeriksaan respon pasien agar tidak menunda waktu
dilakukannya RJP..

2. Resusitasi Jantung Paru dini


Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria
penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah:
 Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per menit
dan maksimal 120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120 kali /
menit, kedalaman kompresi akan berkurang seiring semakin cepatnya
interval kompresi dada.
 Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan
kedalaman maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi
maksimal diperuntukkan mengurangi potensi cedera akibat kedalaman
kompresi yang berlebihan. Pada pasien bayi minimal sepertiga dari
diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk
anak sekitar 2 inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas
(remaja), kedalam kompresi dilakukan seperti pada pasien dewasa.
 Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri
disamping korban jika korban berada di tempat tidur. Tabel 1
mencantumkan beberapa hal yang perlu diperhatikan selama melakukan
kompresi dada dan pemberian ventilasi:

14
Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi pada Pasien Dewasa

 Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama


melakukan siklus kompresi dada, penolong harus membolej\hkan rekoil
dada penuh dinding dada setelah setiap kompresi; dan untuk melakukan
hal tersebut penolong tidak boleh bertumpu di atas dada pasien setelah
setiap kompresi.
 Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya
meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk
mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit.
 Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban
dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw
thrust.
 Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali.
Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan
kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk
adekuat.
 Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal,
Combitube, atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan
1 napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien

15
dewasa, anak-anak, dan bayi sambil tetap melakukan kompresi dada
berkelanjutan
 Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap
2 menit.

Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan


bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-
12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu
siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien
bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas
kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk
pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.

3. Alat defibrilasi otomatis


AED digunakan sesegera mungkin setelah AED tersedia. Bila AED
belum tiba, lakukan kompresi dada dan ventilasi dengan rasio 30 : 2.
Defibrilasi / shock diberikan bila ada indikasi / instruksi setelah pemasangan
AED. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme
tersebut dapat diterapi shock atau tidak, jika iya lakukan terapi shock
sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali.
Namun jika ritme tidak dapat diterapi shock lanjutkan RJP selama 2 menit dan
periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS
(Advanced Cardiac Life Support) datang, atau korban mulai bergerak.

4. Perbandingan Komponen RJP Dewasa, Anak-anak, dan Bayi


Pada pasien anak dan bayi, pada prinsipnya RJP dilakukan sama
seperti pada pasien dewasa dengan beberapa perbedaan. Beberapa perbedaan
ini seperti yang tercantum padatabel2.

16
Tabel 2. Perbedaan Komponen RJP Pada Dewasa, Anak, dan Bayi

Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu


orang penolong atau dua (atau lebih) orang penolong (gambar 3 dan 4).
Bila ada satu orang penolong, rasio kompresi dada dan ventilasi seperti

17
pasien dewasa yaitu 30 : 2; tetapi bila ada dua orang penolong maka rasio
kompresi dada dan ventilasi menjadi 15 : 2. Jika anak/bayi mempunyai
denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan
dengan kecepatan 3-5 detik/nafas atau sekitar 12-20 nafas/menit dan
memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus
perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk satu orang
penolong dan 15 : 2 untuk dua orang atau lebih penolong.

Gambar 3. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Satu Orang
Penolong

18
Gambar 4. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Dua Orang
Penolong

2.7 Bantuan Hidup Lanjut


Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah:
 D (Drugs): Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:
1. Penting:

19
a. Adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta,dosis
yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menitsesuai kebutuhan
dan yang perludiperhatikan dapatmeningkatkan pemakaian O2
miokard, takiaritmi, dan fibrilasiventrikel.4
b. Natrium Bikarbonat: Penting untuk melawan metabolikasidosis,
diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baikberupa bolus
ataupun dalam infus setelah selama periode 10menit. Dapat juga
diberikan intrakardial, begitu sirkulasispontan yang efektif tercapai,
pemberian harus dihentikankarena bisa terjadi metabolik alkalosis,
takhiaritmia danhiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang
efektif makaulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama.4
c. SulfatAtropin:Atropintidak lagi direkomendasikan untuk digunakan
rutin dalampengelolaan pulseless electrical activity (PEA)/asistol.
Mengurangi tonus vagus memudahkankonduksi atrioventrikuler dan
mempercepat denyut jantungpada keadaan sinus bradikardi. Paling
berguna dalammencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi
sekunderkarena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis
yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv.Sebagai bolus dan diulangdalam
interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60/menit, dosis total
tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blokatrioventrikuler derajat 3
yang membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai
efekantiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi
listrikdari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa,
tidakada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard,
tekananarteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini
terutamaefektif menekan iritabilitas sehingga mencegah
kembalinyafibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga
efektifmengontrol denyut ventrikel prematur yang multi fokal
danepisode takikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan ivsebagai
bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapatdilanjutkan

20
dengan infus kontinu 1-3 mg/menit, biasanya tidaklebih dari 4
mg/menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 %larutan (1 mg/ml).4

2. Berguna:
a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatansegera
(bradikardi hebat karena complete heart block). Iadiberikan dalam
infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg
dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diaturuntuk meninggikan denyut
jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Jugaberguna untuk sinus
bradikardi berat yangtidak berhasil diatasi dengan Atropine.4
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek antiaritmianya
terbukti berguna untuk kasus-kasus takikardiventrikel yang berulang
atau fibrilasi ventrikel berulang dimanaritme jantung tidak dapat
diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat
diulang sampai total 3 mg,dengan pengawasan yang ketat.4
c. Kortikosteroid: Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis(5
mg/kgBB metil prednisolon sodium succinate atau 1mg/kgBB
dexametason fosfat) untuk pengobatan syokkardiogenik atau syok
lung akibat henti jantung. Bila adakecurigaan edema otak setelah henti
jantung, 60-100 mgmetil prednisolon sodium succinate tiap 6 jam
akanmenguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumoniapost
aspirasi, maka digunakan dexametason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.4

 E (Electrocardiography)
Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasiventrikel
dan monitoring.

F(Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada ventrikel fibrilasi ini menunjukan gelombang
listriktidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.Terapi
definitifnya adalah syok elektrik (DC-Shock) dan belum ada
satuobatpunyang dapat menghilangkan fibrilasi. Tindakan defibrilasi untuk

21
mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasangsebelah kiri puting susu
kiri dan di sebelah kanan sternum atas.

Gambar 2. EKG abnormal

DC Shock
Indikasi : Shockable

- Ventricular Tachycardia (VT) tanpa pulsasi carotis (pulseless)


- Ventricular Fibrilation (VF) coarse (kasar)
Kontraindikasi : Un-shockable

- Asystole
- Pulseless Electrical Activity (PEA)
- Electro Mechanical Dissociation (EMD)
Cara :

- Gunakan DC shock unsynchronized, single shock 360 Joule


(monophasic), 200 Joule (biphasic)
- Bila tetap VT (pulseless)/VF coarse, lakukan defibrilasi 360/200 J
berulang bergantian dengan pijat jantung
- Adrenalin 1 mg (1 ampul) dimasukkan setiap 3 – 5 menit
- Lidocaine atau amiodarone dapat diberikan setelah pemberian 3 shock
dan irama tetap VT/VF
Penyulit : luka bakar bila jelly kurang, shock listrik (shock electric) bila ada
kebocoran arus listrik

Cara memakai DC Shock:

- Siapkan DC Shock, nyalakan powernya, pilih unsynchronized, pilih


dosis energi 360/200 J.

22
- Beri jelly secukupnya pada electrode pedal, oles pakai tangan.
- Charge elektrode sampai bunyi “tiiiiiiiiiiiiittttttt…………………….”
(pengisian selesai).
- Semua penolong minggir (tidak menempel tempat tidur pasien),
katakan “atas bebas, bawah bebas, samping bebas, saya bebas”, ingat:
BEBASKAN DARI SUMBER OKSIGEN.
- Kejut di Sternum dan di Apex jantung (ICS 5 sinistra, axilla ant.line)
dengan tekanan ± 10 kg (pedal boleh dibolak-balik)

23
VT (pulseless)/VF coarse
Pijat 100 x/menit
Intubasi : as soon as possible, without stop CPR
Nafas 8 – 10 x/menit

Cardiac arrest Adrenalin Adrenalin


VT/VF 2 menit 2 menit

2 menit 2 menit
CPR-1 a single shock a single shock a single shock amiodaron a single shock
30 : 2 CPR-2 CPR-3 CPR-4 a single shock CPR-6
adrenalin CPR-5
Call for
help AMIODARON is the first choice 300 mg, bolus.
Adrenalin : 1mg, Repeated 150 mg for recurrent VT/VF.
Pasang i.v., repeated Followed by 900 mg infusion over 24 hours
monitor every 3-5 minutes LIDOCAINE. Do not exceed a total dose of 3
mg/kg, during the first hour

Evaluasi CPR : tiap 2 menit

ASYSTOLE/PEA/EMD Pijat 100 x/menit


Intubasi : as soon as possible, without stop CPR Nafas 8 – 10 x/menit

Cardiac arrest Evaluasi Evaluasi


Evaluasi Adrenalin Evaluasi Adrenalin
ASYST 2 menit 2 menit

CPR-1 2 menit 2 menit


30 : 2 CPR-2 CPR-3 CPR-4 CPR-5 CPR-6
Call for adrenalin
help Adrenalin : 1mg,
Pasang i.v., repeated Evaluasi CPR : tiap 2 menit
monitor every 3-5 minutes

Gambar 3. Algoritma CPR pada keadaan VT/VF dan Asystole/PEA/EMD

24
Gambar 4. Algoritma baru advanced cardiovascular life support (ACLS)

2.8 Bantuan Hidup terus-menerus


 G (Gauge) :Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus
menerus terutama sistem pernapasan, kardiovaskuler, dan sistem saraf.
 H (Head): Tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim
sarafdarikerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya
kelainanneurologis yang permanen.
 H (Hypothermy) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi
susunansaraf pusat yaitu pada suhu antara 30°-32°C.
 H (Humanization) :Harus diingat bahwa korban yang ditolong
adalahmanusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan
hendaknyaberdasarkan perikemanusiaan.
 I (Intensive care) : Perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi
:trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde

25
lambung,pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan
sirkulasi,mengendalikan kejang.

Keputusan untuk mengakhiri resusitasi


Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah
medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan
kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat
adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasanspontan dan refleks.
Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi
15-30 menit, biasanya menandakan kematians erebral dan usaha-usaha resusitasi
selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila
tidak ada aktivitase lektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10
menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.4

2.9 Pasca prosedur


Komplikasi
Melakukan penekanan dada dapat menyebabkan patahan rusuk atau tulang
dada, meskipun insiden semacam fraktur secara luas dianggap rendah.
Pernapasan buatan menggunakan metode ventilasi yang invasif (misalnya,
mulut ke mulut, bag-valve-mask [BVM]) sering dapat mengakibatkan
insuflasi lambung. Hal ini dapat menyebabkan muntah, yang selanjutnya dapat
menyebabkan napas kompromi atau aspirasi. Masalahnya dapat dihilangkan
dengan menyisipkan saluran napas invasif, yang mencegah udara memasuki
kerongkongan.

26
BAB III

KESIMPULAN

The 2015 American Health Association (AHA) Guidelines for CPR and ECC
menekankan perlunya RJP berkualitas tinggi, termasuk:
 Tingkat kompresi minimal 100/menit (perubahan dari "kira-kira" 100/min)
 Sebuah kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) pada orang dewasa dan
kedalaman kompresi minimal sepertiga dari diameter anteriorposterior dari
dada pada bayi dan anak-anak (sekitar 1,5 inci [4 cm] pada bayi dan 2 inci
[5 cm] pada anak-anak). Perhatikan bahwa kisaran 1 sampai 2 inci tidak lagi
digunakan untuk orang dewasa, dan kedalaman mutlak yang ditetapkan
untuk anak-anak dan bayi lebih dalam dari pada versi sebelumnya dari
Pedoman AHA untuk CPR dan ECC.
 Meminimalkan gangguan dalam penekanan dada
 Menghindari ventilasi berlebihan

Tidak ada perubahan rekomendasi untuk kompresi-untuk ventilasi rasio


dari 30:2 untuk penyelamat tunggal orang dewasa, anak-anak, dan bayi (termasuk
bayi yang baru lahir). The 2015 American Health Association (AHA) Guidelines
for CPR and ECCterus merekomendasikan bahwa napas penyelamatan diberikan
pada sekitar 1 detik. Sekali napas lanjutan di tempat, penekanan dada dapat
dilakukan secara kontinu (pada tingkat minimal 100/menit). Napas penyelamat
kemudian dapat disediakan pada sekitar 1 nafas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8
sampai 10 napas per menit). Ventilasi berlebihan harus dihindari.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Sanif E., 2015. Metode Baru Resusitasi Jantung Paru. Disitasi dari
http://www.jantunghipertensi.com/index.php?option=com_content&task=vi
ew&id=206&Itemid=9
2. Stoppler M.C., 2015. The Importance of CPR. Disitasi dari
http://www.emedicinehealth.com/cardiopulmonary_resuscitation_cpr/article
_em.htm
3. Dar Ahmed B., 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. Assocaiate Prof of
Medicine. Chinkipora Sopore Kashmir, India.
4. Andrey, 2012. Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler.
Disitasi dari http://yumizone.wordpress.com/2017/11/12/resusitasijantung-
paru-pada-kegawatan-kardiovaskuler/
5. Wikipedia, 2015. Cardiopulmonary Resuscitation. Disitasi dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Cardiopulmonary_ resuscitation
6. American Heart Association. 2015. Cardiopulmonary resuscitation. Disitasi
tanggal 11 November 2017 dari
http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4479
7. Latief S.A., 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit
FKUI. Jakarta.
8. Lira .A , Kulkarni R. 2012. Cardiopulmonary Resuscitation. Diperbaharui
tanggal 17 Juni 2011 , disitasi tanggal 11 November 2017. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1344081-overview
9. Mayo Clinic staff. 2015. Cardiopulmonary Resusistation. Disitasi dari
http://www.mayoclinic.com/health/first-aid-cpr/FA00061
10. Agarwal P.S.& Jadon A., 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. TATA
Motors Hospital. Jamshedpur. India.
11. American Heart Association. 2015. Part 4 Adult Basic Life Suppot in
Circulation Journal.

28

Anda mungkin juga menyukai