Anda di halaman 1dari 4

Sepasang suami istri sesenggukan di hadapan saya, tepat dibibir loket kasir Rumah Sakit

Bhakti Yudha. Saya yang tengah menanti penghitungan obat untuk kedua anak kembar yang
kala itu berusia dua tahun, hanya terpana melihat bagaimana dua sosok itu lunglai dibawah
tatapan nanar dari petugas kasir.

“ Saya cuma kasir bapak , ibu… jadi nggak bisa kasih kebijakan apa-apa!” si kasir pria
tampak empatii namun tak bisa berbuat banyak. Dua orang lelaki dan perempuan itu menuju
deretan kursi panjang untuk sedikit menopang tubuh mereka yang bagai tak bertenaga.

Ketika saya bertanya pada kasir, ia menceritakan bahwa anak dari ibu dan bapak muda itu
sedang dirawat karena diare dan boleh keluar hari itu. Mereka hanya punya uang seratus ribu
rupiah sedang biaya untuk perawatan sisanya adalah tiga ratus dua puluh ribu rupiah. Karena
telah berusaha mengurus surat miskin di hari minggu itu namun tidak membuahkan hasil
karena kantor kelurahan tutup maka mereka terpaksa harus meminta kebijakan untuk bisa
membawa sang anak segera keluar agar biaya perawatan tidak bertambah sehari.

“ Jumlah tagihan tiga ratus dua puluh ribu rupiah itu sudah di kurangi oleh pimpinan rumah
sakit pak, tapi mereka tetap nggak bisa bayar, jadi terpaksa tunggu besok!” ujar si kasir.

“Jadi kalau tunggu besok, biaya kamar tambah lagi dong mas?” Tanya saya.

“ Ya sudah pasti, itu yang bikin mereka bingung.” Jawab kasir.

Saya melongok saku kemeja dan menggenggam uang tiga ratus ribu rupiah yang sedianya
untuk membeli obat. Kala itu matahari kehidupan kami sekeluarga sedang surut, karena saya
nekat jadi pengusaha dan menemui kegagalan dalam mengelolanya hingga jaminan kesehatan
dan kenikmatan ketika jadi pegawai saya lepaskan demi meraih cita-cita jadi pengusaha. Tiga
ratus ribu rupiah itu uang terakhir kami, untuk membeli obat, sementara kebutuhan untuk
menggaji pegawai dua hari kedepan belum tahu dapat dari mana.

Saya hampiri kursi panjang depan loket dan mencoba menyapa keduanya. Saya menawarkan
untuk memberi uang sejumlah dua ratus ribu dari tiga ratus ribu rupiah yang saya punya.

“Jangan pak..itu pasti untuk buat beli obat, nanti bapak nggak bisa bayar obat!” sang suami
menggeleng menolak. Saya meyakinkan mereka bahwa saya hanya perlu menebus satu resep
saja karena anak saya seusia dan bisa berbagi obat untuk sementara.

Dengan tambahan uang itu mereka menuju kasir dan membayar jumlah tagihan yang harus
mereka setorkan sore itu. Uang masih kurang dua puluh ribu rupiah namun kasir memberi
kebijakan yang datang dari dirinya sendiri.

“Kalau cuma dua puluh ribu rupiah, saya bisa bantu kasih keringanan dengan uang saya
sendiri !” ujar kasir yang baik budi itu. Transaksi selesai dan suami istri itu mendapatkan
surat lunas untuk membawa pulang si buah hati dari kamar perawatan segera.

Sang suami mencium tangan saya yang segera saya tepis. Berkali kali ucapan Terima kasih
meluncur dari mulutnya.

“ Bapak kerja dimana?” Tanya saya.


“ Kerja sama tukang jahit pak, di jagakarsa!” jawabnya.

“ Kasihan yang punya kios jahit pak, jahitannya mulai nggak laku. Saya juga beberapa hari
ini bingung nggak dapat pemasukan, anak sakit diare ..untung ada bapak, terima kasih pak
semoga Allah membalasnya!” Rupanya ia seorang penjahit yang bekerja pada tukang jahit.
Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tukang jahit jaman sekarang ditengah banjirnya
produk tekstil jadi dari mana mana. Jangankan ia yang cuma pekerja di kios jahit, sedang
majikannyapun juga terhempas dalam kondisi yang sama. Saya hanya sedikit mengingat
wajahnya hingga ia dan istrinya pamit meninggalkan saya untuk mengambil anak mereka.

Sampai dirumah saya menceritakan pada istri tercinta bahwa obat hanya bisa dibeli separuh
saja, karena ada orang lain yang lebih membutuhkannnya. Meski itu adalah uang terakhir
yang dipegang namun dengan kebesaran hati ia mau menerimanya. Penderitaan mereka
masih lebih buruk tak sebandng dengan kondisi bisnis kami yang masih bisa menghasilkan
sedikit rejeki.

Lima tahun setelahnya, ketika saya membelokan kendaraan di jalan yang sepi pukul setengah
Sembilan malam. Tiba-tiba tiba sebuah palu godam seperti menghantam tengkuk saya. mobil
yang tengah saya kendarai membanting ke kiri masuk keselokan kecil dan saya tak sadarkan
diri. Kelelahan yang amat sangat seharian membuat saya tak sadarkan diri ketika menyetir
dan membawa saya dalam ketidak sadaran di pinggir jalan selama dua jam lebih tanpa ada
yang menolong karena mereka mengira saya sedang parkir. Lamat-lamat ketika sedikit sadar
saya paksa melajukan mobil menuju satu titik terang dan kembali tak sadar diri di depan
sebuah wartel.

Bau alcohol menyengat ketika seseorang berbaju putih mengoles sesuatu kehidung saya
dengan selang infus yang siap ditancapkan ke lengan. Saya tergolek dan berusaha bangkit
dari ruang UGD rumah sakit cilandak, entah siapa yang membawa saya kesana. Seorang ibu
setengah baya mengusap-usap kening saya dan membacakan beberapa doa dan di
sampingnya berdiri dua lelaki yang tampak khawatir.

“ Alhamduilillah bapak sudah sadar, tadi pingsan di depan wartel , saya ibu hajjah Homsah
yang punya wartel, tadi kita bertiga bawa kesini naik taksi. Sebetulnya bisa bawa pakai mobil
bapak, tapi nggak ada yang bisa bawa mobil matik!” Ibu hajjah homsah adalah penolong saya
malam itu bersama dua lelaki disampingnya.

Dokter datang dan mereka menyingkir sementara, saya diberi beberapa obat untuk
mengembalikan kondisi. Usai itu ketiga orang ini menghampiri saya kembali dan memastikan
kondisi diri saya lalu memberikan kembali dompet saya berisi uang dua juta rupiah, hand
phone beserta kunci mobil yang mereka amankan ketika saya tak sadarkan diri di kampung
mereka.

“ Ini dompetnya, tadi dipakai untuk bayar taksi seratus ribu dan bayar administrasi rumah
sakit seratus ribu , jadi habisnya dua ratus ribu. Mobil masih aman di depan wartel ibu, jadi
nggak usah khawatir. Yang penting istri di rumah sudah dihubungi dan akan menuju kesini!”
ujar bu Hajjah Homsah.
“ Masya Allah, sebegitu baik ibu hajjah juga bapak-bapak bawa saya kesini, untung masih
ada orang baik di Jakarta ini, kalau nggak , habislah semua uang dan mobil saya, dan
mungkin nyawa saya juga nggak akan tertolong” saya mengucapkan beribu terima kasih pada
mereka.

“ Ini Bang Udin dan Edi yang nolong bu haji bawa bapak kesini!” kata bu haji, saya
menggengam erat tangan Bang udin.

“ Bang Udin ini montir yamaha di bengkel depan wartel bu haji!” seru bu hajjah Homsah
menambahkan.

Lalu saya menjulurkan tangan pada Pak Edi untuk mengucapkan terima kasih dalam kondisi
yang lemah.

“ Terima kasih pak, sudah menyelamatkan saya, juga sudah bikin repot bapak sama bang
Udin!” tukas saya.

“Pak Edi ini Tukang Jahit disamping wartel, tadi dia masih njahit baju dan dia yang duluan
nolong dan teriak ke bu haji sama bang udin!” ujar bu hajjah.

“ Ah..kebetulan aja. Saya kalau lihat orang sakit jadi ingat saya juga pernah di tolong orang
dulu, di rumah sakit bhakti yudha, tapi saya nggak pernah ingat orang itu karena sibuk
ngurusin anak saya yang di tahan rumah sakit!” Pak edi tersenyum.

Entah mengapa. Saya menitikkan air mata. Lamat-lamat saya mengingat sedikit wajah Pak
Edi ketika dulu wajah kurusnya yang kini berubah gemuk menangis di bibir loket kasir. Saya
menarik tangannya dan memeluknya erat mendekat ke tempat tidur saya.

“ Allah mengirim bapak untuk saya, terima kasih!” seru saya lirih. Ia tak mengerti apa arti
seruan saya.

Pagi itu pukul tiga dini hari , Pak Edi menjadi sebuah Episode ‘Rahasia Ilahi’ yang
menghampiri hidup saya.

Lima tahun lalu uang dua ratus ribu menyelamatkan urusannya di Rumah sakit Bhakti Yudha
dan kini ia membalasnya dengan membawa saya ke rumah sakit cilandak untuk
menyelamatkan nyawa .

Ibu Hajjah homsah, Bang Udin dan Pak Edi kini rutin saya kunjungi di jagakarsa, karena
disana persaudaraan tercipta dari sebuah sedekah yang balasannya hanya ada pada hak Tuhan
untuk menentukan kapan mengembalikannya.

Hingga kami saling kunjung sampai kini, tak pernah saya ungkapkan bahwa sayalah orang di
Rumah Sakit Bhakti Yudha dulu. Ini untuk melenyapkan sikap “Ria” dan membiarkan
persaudaraan berjalan tanpa masing masing membanggakan amal yang sudah diperbuatnya.

Cerita ini bukan bermaksud menyombongkan sedekah saya, namun bisa menjadi pelajaran
bahwa sebuah sedekah dalam sebuah kesempitan akan berubah menjadi sebuah balasan
kebaikan yang dahsyat pada suatu saat episode hidup kita.
Masya Allah!

Anda mungkin juga menyukai