Anda di halaman 1dari 7

Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan agenda pembangunan global pasca

tahun 2015 yang terdiri dari seperangkat tujuan dan target baru yang
menggantikan Millenium Development Goals (MDGs). Millenium Development
Goals (MDGs) sendiri merupakan target pembangunan yang dideklarasikan pada
Konferensi Tingkat Tinggi Millenium yang diikuti oleh 189 negara anggota Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada September 2000. Semua negara yang
berpartisipasi dalam deklarasi ini berkomitmen untuk mengembangkan MDGs sebagai
sebuah paket arah pembangunan global yang berisi beberapa tujuan yang mencakup
kesehatan, pendidikan, keamanan, perdamaian, dan kebebasan hak asasi manusia.
Konsep MDGs ini berakhir pada tahun 2015 lalu dimana diharapkan tujuan dan target
MDGs dapat tercapai pada tahun tersebut. Sesudah MDGs berakhir, para pemimpin
negara anggota PBB merasa agenda MDGs ini perlu untuk dilanjutkan sehingga
terbentuklah usulan dokumen baru yang dinamakan Sustainable Development
Goals (SDGs). SDGs ini diterbitkan oleh PBB pada 21 Oktober 2015 dan menjadi acuan
pembangunan bagi negara-negara peserta PBB hingga tahun 2030 menggantikan
MDGs yang telah berakhir pada tahun 2015 lalu.
SDGs merupakan kelanjutan dari cita-cita MDGs sehingga secara garis besar SDGs
memiliki kesamaan tujuan dengan MDGs yaitu memberantas kemiskinan, kebodohan,
kelaparan, serta peningkatan taraf hidup masyarakat. Namun, ada beberapa perbedaan
serta pengembangan konsep yang lebih dalam lagi pada SDGs. Jika pada MDGs
terdapat 8 tujuan, maka pada SDGs terdapat 17 tujuan dan 169 capaian yang meliputi
masalah-masalah pembangunan berkelanjutan seperti pengentasan kemiskinan dan
kelaparan, perbaikan kesehatan, pendidikan, pembangunan kota yang berkelanjutan,
mengatasi perubahan iklim, serta melindungi hutan dan laut.
Di dalam SDGs, perhatian pada sektor kesehatan terdapat pada tujuan 2 (zero
hunger atau nol kelaparan), tujuan 3 (kesehatan yang baik), tujuan 5 (kesetaraan
gender), serta tujuan 6 (air bersih dan sanitasi). Tujuan 2 melingkup gizi kesehatan
masyarakat, yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, meningkatkan
gizi, serta mendorong pertanian yang berkelanjutan (8 target). Tujuan 3 melingkup
sistem kesehatan nasional, yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong
kesejahteraan bagi semua orang di segala usia (13 target). Tujuan 5 melingkup
kesehatan reproduksi menjamin kesetaraan gender serta memberdayakan seluruh
wanita dan perempuan (9 target). Sedangkan tujuan 6 melingkup sanitasi dan air
bersih, yaitu menjamin ketersediaan dan pengelolaan air serta sanitasi yang
berkelanjutan bagi semua orang (8 target).
Tujuan 2 SDGs (nol kelaparan) memiliki tujuan khusus yaitu, menanggulangi kelaparan
dan kemiskinan, mencapai ketahanan pangan, meningkatkan gizi, serta mendorong
pertanian yang berkelanjutan. Selain itu, terdapat dua target yang diharapkan dapat
terwujud pada tujuan 2 SDGs ini. Target pertama yaitu, pada tahun 2030, mengakhiri
kelaparan dan menjamin akses pangan yang aman, bergizi, dan mencukupi bagi semua
orang, khususnya masyarakat miskin dan usia rentan seperti bayi. Sedangkan target
kedua yaitu, pada tahun 2030, mengakhiri segala bentuk malnutrisi, termasuk mencapai
target internasional 2025 untuk penurunan stunting dan wasting pada balita dan
mengatasi kebutuhan gizi remaja perempuan, wanita hamil dan menyusui, serta
lansia. Unfinished business atau urusan yang belum selesai dari SDGs di tujuan ke 2 ini
adalah melanjutkan pembangunan gizi.
Perjuangan melawan kelaparan telah berkembang selama 15 tahun terakhir. Secara
global, prevalensi kelaparan telah menurun, dari 15 persen pada tahun 2000 ke 2002,
sampai 11 persen pada 2014 ke 2016. Namun, lebih dari 790 juta orang di seluruh
dunia masih mengalami kekurangan akses dalam mengkonsumsi makanan yang cukup
energi. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, target nol kelaparan pada 2030 akan
sulit diwujudkan. Banyak negara yang gagal mencapai target Millenium Development
Goals (MDGs) lalu dalam mengurangi separuh proporsi penduduk yang menderita
kelaparan sehingga mengakibatkan krisis berlarut dengan peningkatan kerawanan
pangan dan kekurangan gizi yang mempengaruhi sebagian besar populasi. Masalah
kelaparan ini tidak lagi hanya masalah ketersediaan pangan, melainkan juga akses ke
makanan yang dapat menjadi panduan intervensi dalam melawan kerawanan pangan
dan kekurangan gizi.
Secara global, pada tahun 2014, hampir 1 dari 4 anak di bawah usia 5 tahun (perkiraan
total 159 juta anak), mengalami perhambatan pertumbuhan
(stunting). Stunting didefinisikan sebagai tinggi tidak memadai untuk usia, indikator efek
kumulatif gizi dan infeksi. Asia Selatan dan Afrika menyumbang tiga perempat dari total
anak di bawah 5 tahun yang mengalami stunting pada tahun 2014.
Di Indonesia, pada tahun 2013, prevalensi balita stunting (pendek) sebesar 32,9%,
balita underweight (kurang gizi) sebesar 19,6%, balita wasting (kurus) sebesar 12%
(Riskesdas 2013). Berdasarkan angka prevalensi tersebut, kementrian kesehatan RI
membuat target jangka panjang yang menyesuaikan dengan tujuan dan target SDGs.
Target tersebut yaitu menurunkan angka prevalensi kejadian sebesar 40% pada tahun
2019 sehingga pada tahun 2019 angka prevalensi stunting dapat turun menjadi
28%, underweight turun menjadi 17%, dan wastingturun menjadi 9,5%. Sedangkan pada
tahun 2025, angka prevalensi stunting diharapkan dapat turun menjadi 22,3% dan
angka prevalensi wasting diharapkan dapat turun menjadi kurang dari 5% (Direktorat
Bina Gizi Kementrian Kesehatan RI).
Untuk mewujudkan target ini, perbaikan di sektor gizi penting untuk menjadi perhatian.
Hal tersebut dikarenakan gizi mempunyai peran penting dalam meningkatkan status gizi
balita seperti mencegah dan /atau memperbaiki kejadian stunting, underweight,
serta wasting. Tidak hanya kejadian stunting, underweight, serta wasting saja, perbaikan
gizi pada ibu hamil, bayi, dan balita dapat meningkatkan taraf kesehatan anak pada
fase usia selanjutnnya yang menjadi fokus pada tujuan ketiga SDGs, yaitu kesehatan
dan kesejahteraan yang baik. Hal ini dijelaskan melalui ‘Teori Barker’ yang menyatakan
bahwa berkurangnya pertumbuhan janin berhubungan kuat dengan terjadinya beberapa
penyakit degeneratif kronis di usia dewasa. Menurut teori tersebut, kekurangan gizi
pada periode kritis pertumbuhan dan perkembangan janin di dalam uterus memiliki efek
jangka panjang terhadap terjadinya penyakit kronis di usia dewasa dengan cara
adaptasi struktur, fisiologis, dan metabolisme tubuh. dimana janin terpaksa
melakukan trade off dengan mengurangi perkembangan organ yang relatif non-esensial
seperti ginjal dan pankreas demi berkembangnya organ yang lebih esensial yaitu otak,.
Adaptasi awal inilah yang kemudian membuat setelah janin tersebut tumbuh dewasa
memiliki beberapa masalah kesehatan, seperti penyakit degeneratif.
Melihat peran penting gizi dalam mencapai tujuan kedua dan ketiga SDGs, maka sektor
gizi perlu mendapatkan perhatian khusus. Perhatian khusus ini dapat
diimplementasikan dalam program kesehatan nasional yang sudah dan /atau akan
dicanangkan oleh pemerintah, khususnya kementerian kesehatan RI. Perhatian ini tidak
hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, melainkan juga menjadi tanggung
jawab bersama, baik dari praktisi kesehatan maupun dari masyarakat umum sehingga
terbentuk masyarakat yang sehat dan sejahtera.

Gizi dan Pembangunan

Gizi seharusnya tidak dipandang penting semata karena perannya dalam


tumbuh kembang individu. Sebaliknya, gizi harus ditempatkan sebagai aset
(input) yang penting dalam pembangunan. Gizi juga menjadi indikator
keberhasilan (output) pembangunan yang dilakukan oleh negara. Gizi bersama
dengan faktor non gizi seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi merupakan
fondasi dalam pembangunan manusia yang berkualitas.

Saat Millennium Development Goals (MDGs) diprakarsai 15 tahun yang lalu,


kelaparan menjadi tujuan pertama. Sayangnya, gizi tidak disebut secara spesifik
dalam MDGs dan hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang
hubungan antara gizi dengan penanggulangan kelaparan dan kemiskinan.
Walaupun begitu, pemikiran ini perlahan berubah pada dekade terakhir dan gizi
mulai menjadi prioritas global.
Kedudukan Gizi dalam SDGs

Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai agenda global untuk


pembangunan pasca 2015 merupakan seperangkat tujuan dan target baru yang
menggantikan MDGs pada tahun ini. Perlu adanya komitmen kuat dari negara-
negara di dunia terkait gizi agar menjadi aksi nyata. Selain itu, perlu lebih banyak
dana yang diinvestasikan dalam penyediaan makanan yang bergizi.
Gizi seharusnya dimasukkan secara tepat ke dalam SDGs mengingat mahalnya
biaya yang harus ditanggung apabila hal ini tidak diupayakan. Hak mendapatkan
status gizi yang baik bukan saja hak asasi manusia yang perlu diperjuangkan.
Lebih dari itu, biaya global dari kehilangan produktivitas ekonomi akibat
defisiensi gizi mikro bisa mencapai 2 Trilyun USD per tahun dari dana investasi
pembangunan manusia. Pembangunan sekolah dan pelatihan guru akan
mubazir bila anak-anak sulit belajar karena kelaparan bahkan jika mereka
mengalami gizi kronis (stunting). Mustahil untuk memerangi kemiskinan jika kita
tidak menangani fakta bahwa 1 dari 9 orang di dunia tidak makan makanan
bergizi agar hidup sehat dan mencapai potensi mereka.
Tabel Indikator Gizi Prioritas untuk Kerangka Konsep Pembangunan
Berkelanjutan Pasca 2015.

Area Indikator Tujuan yang relevan

Prevalensi gizi pendek (stunting) pada


Tujuan 2 (target 2.2)
balita

Prevalensi gizi kurus (wasting) pada balita Tujuan 2, target 2.2

Persentase bayi usia <6 bulan yang


Tujuan 2 (target 2.1)
diberikan ASI eksklusif saja tanpa
Target Gizi Global dan tujuan 3 (target 3.2)
tambahan makanan minuman apapun
dalam World
Health Assembly
(2012) Persentase wanita usia produktif (15-49 Tujuan 2 (target 2.2)
tahun) termasuk ibu hamil dengan anemia dan tujuan 3 (target 3.1)

Proporsi balita yang kelebihan berat badan Tujuan 2 (target 2.2)


(overweight) dan tujuan 3 (target 3.4)

Persentase bayi berat lahir rendah (<2.500 Tujuan 2 (target 2.2)


gr) dan tujuan 3 (target 3.2)

Persentase wanita, usia 15-49 tahun, yang


Penganekaragaman
mengkonsumsi minimal 5 dari 10 Tujuan 2 (target 2.1)
Makanan
kelompok pangan

Persentase alokasi anggaran nasional


Kebijakan Tujuan 2 (target 2.2a)
untuk gizi

Di dalam SDGs, gizi diletakkan di dalam tujuan kedua yaitu Zero Hunger. Namun,
tujuan di dalam SDGs tidak cukup menangani masalah gizi yang sedang
dihadapi dunia saat ini. SDG juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa gizi
merupakan fondasi pembangunan manusia. Pada tahun 2012, 194 negara-
negara menyepakati 6 target gizi global pada World Health Assembly. SDGs
seharusnya dibangun di atas komitmen ini dan selayaknya diberikan perhatian
lebih, bukan dikurangi melalui tujuan yang terlalu umum.
Gizi merupakan salah satu fokus pembangunan kesehatan di Sustainable Development
Goals (SDG's) tahun 2016-2030. Ia menjadi faktor kunci dalam keberhasilan perbaikan
status kesehatan masyarakat Indonesia dan dunia. Gizi yang baik meningkatkan standar
kesehatan masyarakat.

Indikator keberhasilan SDG's diterjemahkan dalam enam poin, yakni peningkatan ASI
eksklusif, makanan pada ibu hamil serta anak, menekan jumlah balita pendek, ibu hamil
penderita anemia, kurang energi, dan balita kurus. "Tujuan dalan SDG's sudah ada dalam
RPJMN 2015-2019 bidang kesehatan," kata Direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) RI Doddy Izwardy, Kamis (17/9).

Pemilihan enam poin dalam bidang gizi terkait laporan Global Nutrition Report tahun 2014
yang menyatakan Indonesia merupakan satu dari 117 negara yang menderita tubuh pendek
(stunting), kurus (wasting), dan obesitas akibat ketidakseimbangan asupan gizi.

Karenanya, perbaikan status gizi dimulai pada asupan di 1.000 hari pertama kelahiran.
Kecukupan gizi untuk janin selama 9 buan dalam kandungan memungkinkan anak lahir
dalam kondsi sehat. sayangnya, sampai saat ini 10 persen dari bayi yang lahir memiliki
berat kurang dari 2.500 gram dan panjang tubuh tak lebih dari 48 sentimeter. Sekitar 20
persen anak Indonesia lahir dalam kondisi kurus dan pendek akibat minimnya asupan.

Untuk itu, kata Doddy, langkah pertama untuk mengubah kondisi tersebut adalah
memperbaiki asupan untuk ibu sebelum dan saat hamil. Ibu hamil harus mengonsumsi
cukup gizi, zat besi, dan vitamin supaya tidak mengalami kurang energi kronis yang
berdampak buruk panda kondisi janin dan dirinya. "Jangan lupa untuk rutin
memeriksakan kehamilan sebelum persalinan," ujarnya.

Kedua, menjaga status gizi anak ketika sudah lahir dan harus menjalani inisiasi menyusui
dini (IMD) minimal satu jam untuk memastikan kecukupan konsumsi kolostrum yang
merupakan protein pembangun daya tahan tubuh manusia.

Meski tak ada data yang pasti, namun bayi yang lahir umumnya menjalani IMD kurang dari
satu jam mengakibatkan konsumsi kolostrum tak cukup. Untuk itu, perbaikan konsumsi
kolostrum bisa dilakukan dengan menjalani perawatan gabung antara ibu dan bayi yang
baru lahir.

Ketiga, memastikan anak mengonsumsi ASI eksklusif selama 6 bulan pertama


kelahirannya. Dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, cakupan ASI
eksklusif di Indonesia mencapai 42 persen. Dengan keberhasilan, Indonesia mampu
memenuhi target 2025 yang mengharuskan cakupan ASI ekslusif mencapai 50 persen.

"Bayi yang mengonsumsi ASI biasanya lapar tiap 10 menit sekali, akibatnya ibu akan
merasa sangat lelah. Pada tahap inilah suami dan lingkungan sekitar harus memberi
dukungan supaya tak beralih pada susu formula," kata Doddy.
Keempat, memastikan anak mengonsumsi makanan pengganti ASI (MP-ASI) yang bergizi
pada usia 6 bulan-2 tahun. Kecukupan konsumsi MP-ASI memastikan anak tidak
mengalami stunting yang menjadi momok turunnya fungsi tubuh akibat tumbuh kembang
yang tak optimal.

Meksi menyisakan sejumlah pekerjaan rumah, Doddy optimis indikator keberhasilan SDG's
bisa tercapai, karena dilaksanakan secara partnership antar intansi pemerintah pusat dan
daerah. "Kita bekerja sama sehingga peluang keberhasilan SDG's menjadi lebih besar.
Partnerhip memastikan ada pola yang menunjang keberhasilan SDG's," ujarnya.

Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Kerja Sama dan MDG's Diah Saminarsih senada.
Selain kerja sama lintas intansi, masyarakat juga harus mengerti SDG's dan keuntungan
yang diperoleh bila berhasil melaksanakannya, antara lain memastikan kesehatan
masyarakat dan keturunannya kelak.

"Pastinya akan selalu ada yang tidak paham SDG's. Namun, kita tidak boleh bosan bicara,
sehingga seluruh komponen masyarakat bisa melaksanakan tujuan SDG's," katanya.

Anda mungkin juga menyukai