PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Oleh karena itu, makalah ini akan mengamati bukti bahwa gangguan tidurya itu
insomnia menjadi faktor risiko dalam perkembangan dan eksaserbasi depresi, mekanisme
umum yang mendasari antara hubungan insomnia dengan depresi dan keterlibatan klinis
mengenai interaksi diantara tidur dan depresi.
2.1 SKENARIO
AKU TERJAGA
Dinda, 38 tahun diantar ke UGD RS di Kota Mataram oleh temannya karena tidak
bisa tidur. Keluhan ini muncul sejak 3 bulan yang lalu sejak Dinda dipecat dari kerjaannya.
Dinda sangat tidak menerima hal ini, karena ia sebagai tulang punggung keluarga yang harus
membantu biaya 3 orang adiknya yang masih bersekolah, sedangkan orang tua Dinda sudah
sakit-sakitan. Dalam 3 bulan ini Dindabiasanya tidur selama 1 jam setiap hari. Selain tidak
bisa tidur, Dinda juga lemas tidak bertenaga. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD:
110/80 mmHg, N: 64x/menit, RR: 12x/m, T: 36 c. Doker UGD kemudian memberikan
beberapa obat yang dapat membantu Dinda untuk tidur, dan menyarankan agar konsultasi ke
psikiater.
2.2 TERMINOLOGI
1. Psikiater: seorang dokter yang mengkhususkan diri dalam pencegahan, diagnosis, dan
pengobatan gangguan mental, emosional, dan perilaku.
2.3 PERMASALAHAN
1. Mengapa pasien tidak bisa tidur dan mengeluh lemas tidak bertenaga?
2. Bagaimana fisiologi atau mekanisme tidur yang normal?
3. Apasaja faktor yang mempengaruhi kualitas tidur?
4. Neurotransmiter yang berperan apa saja ?
5. Apa diagnosa pada skenario?
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat
stadium, antara lain:
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi
dalam stadium seperti dalm tidur NREM.
B. Epidemiologi
C. Klasifikasi
a. Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau
susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita
insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur
seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.
b. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi
medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu
masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1
dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder
juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk
suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun
Organik
Non organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu
buruk, berjalan sambil tidur, dll)
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia
disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah
menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
D. Etiologi
a. Stres
Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat
membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur.
Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang
yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan
insomnia.
b. Kecemasan dan depresi
E. Faktor Resiko
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
insomnia meningkat jika terjadi pada :
1. Wanita
G. Diagnosis
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:
- Pola tidur penderita.
- Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan
pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi,
gerakan mata, dan gerakan tubuh.
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas
tidur yang buruk.
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan.
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan.
e. Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.
f. Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di
H. Penatalaksanaan
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini
umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita
insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi :
Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat
biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu
mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda
mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur
dengan pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada
konseling tatap muka atau dalam grup.
Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu yang dihabiskan
untuk beraktivitas.
Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di
tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :
Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur
Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Lama Pemberian
- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2
minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat
menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological Dependence”
(habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat
ditanggulangi.
Efek Samping
- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam). Gejala rebound lebih berat
pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik.
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan.
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala “hang over” pada
pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”.
Interaksi obat
- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan
“teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester
pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi
(penekanan fungsi SSP)1,3,7.
I. Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur.
Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
J. Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa pasien pada skenario mengalami suatu gangguan tidur
yang disebut Insomnia. Dimana insomnia terdiri dari Insomnia Primer dan Skunder. Tetapi
yang lebih mengarah pada kasus di skenario adalah insomnia primer, karena faktor
penyebabnya yaitu dipecatnya pasien dari pekerjaannya.