Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur
atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.1 Gejala tersebut
biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar
sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan
tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.2
Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada
beberapa waktu selama hidup mereka.1 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7%
penduduk mengalami insomnia.
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam
beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan
penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti
pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang
atau individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering
berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.3
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan
dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian atau
penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia
yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi
medis dan psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari untuk
insomnia.3
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh mengantuk di
siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan konsentrasi yang
buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis hiperarousal. Bahkan,
meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami
kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang.3,4
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya
kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi seperti
diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat dengan pengobatan
tetapi masih tidak mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum.Selain itu,
insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.4

LBM IV – AKU TERJAGA Page 1


Insomnia sasering disertai dengan komorbid kondisi psikologis, khususnya gangguan
mood, seperti depresi. Akan tetapi, sampai sejauh mana masalah tidur menjadi faktor
risiko perkembangan depresi, atau timbul menjadi depresi belum jelas. Fakta yang ada
menunjukkan bahwa, dalam depresi, terjadi hubungan timbal balik, misalnya
masalahtidur berperan dalam meningkatkan manifestasi gejala depresi misalnya gangguan
mood, dan psikopatologi depresi berperan dalam memperburuk gangguan tidur.4

1.2 Tujuan
Oleh karena itu, makalah ini akan mengamati bukti bahwa gangguan tidurya itu
insomnia menjadi faktor risiko dalam perkembangan dan eksaserbasi depresi, mekanisme
umum yang mendasari antara hubungan insomnia dengan depresi dan keterlibatan klinis
mengenai interaksi diantara tidur dan depresi.

LBM IV – AKU TERJAGA Page 2


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SKENARIO

AKU TERJAGA

Dinda, 38 tahun diantar ke UGD RS di Kota Mataram oleh temannya karena tidak
bisa tidur. Keluhan ini muncul sejak 3 bulan yang lalu sejak Dinda dipecat dari kerjaannya.
Dinda sangat tidak menerima hal ini, karena ia sebagai tulang punggung keluarga yang harus
membantu biaya 3 orang adiknya yang masih bersekolah, sedangkan orang tua Dinda sudah
sakit-sakitan. Dalam 3 bulan ini Dindabiasanya tidur selama 1 jam setiap hari. Selain tidak
bisa tidur, Dinda juga lemas tidak bertenaga. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD:
110/80 mmHg, N: 64x/menit, RR: 12x/m, T: 36 c. Doker UGD kemudian memberikan
beberapa obat yang dapat membantu Dinda untuk tidur, dan menyarankan agar konsultasi ke
psikiater.

2.2 TERMINOLOGI

1. Psikiater: seorang dokter yang mengkhususkan diri dalam pencegahan, diagnosis, dan
pengobatan gangguan mental, emosional, dan perilaku.

2.3 PERMASALAHAN
1. Mengapa pasien tidak bisa tidur dan mengeluh lemas tidak bertenaga?
2. Bagaimana fisiologi atau mekanisme tidur yang normal?
3. Apasaja faktor yang mempengaruhi kualitas tidur?
4. Neurotransmiter yang berperan apa saja ?
5. Apa diagnosa pada skenario?

2.4 PEMBAHASAN PERMASALAHAN


1. Mengapa pasien tidak bisa tidur dan mengeluh lemas tidak bertenaga?
Jawab:
Hal ini mungkin disebabkan karena ketidakseimbangan neurotransmitter dalam otak
atau karena kekhawatiran. Serotonin dikatakan memainkan peranan penting dalam
gangguan tidur, karena pada pengamatan yang dilakukan mendapatkan bahwa
ttingginya kadar serotonin sering ditemukan pada pasien dengan keluhan gangguan

LBM IV – AKU TERJAGA Page 3


tidur. Hingga meneyebabkan rasa lemas tidak bertenaga pada siang hari karena
kebutuhan tidur yang tidak tercukupi. Kelelahan ini juga merupakan tanda dari adanya
stress pada diri pasien. Dimana pada saat seseorang tertidur, maka disanalah tubuh
mengumpulkan energi agar kuat menjalani aktivitas. Peningkatan serotonin tersebut
dapat dipicu oleh beberapa faktor yaitu eksternal dan internal.

2. Bagaimana fisiologi atau mekanisme tidur yang normal?


Jawab:
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan
beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia
disebut sebagai irama sirkadian.
Tidur tidak dapat diartikan sebagai menifestasi proses deaktivasi Sistem Saraf
Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di
substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.

Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak


pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur
(sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan
sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut sebagai
pusat penggugah (arousal center).
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)

LBM IV – AKU TERJAGA Page 4


2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.

Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat
stadium, antara lain:

1. Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini


dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan
tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik,
yang disebut gelombang teta.
2. Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur.
EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang
sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang
dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan
mudah.
3. Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan
gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik,
yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar
dibangunkan.
4. Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG
hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah
gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau
delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS).

Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi
dalam stadium seperti dalm tidur NREM.

3. Apasaja faktor yang mempengaruhi kualitas tidur?


Jawab:
Faktor yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur diantaranya adalah
penyakit, lingkungan, kelelahan, gaya hidup, stres emosional, stimulan dan alkohol,
diet, merokok, dan motivasi.
a. Penyakit

LBM IV – AKU TERJAGA Page 5


Penyakit dapat menyebabkan nyeri atau distress fisik yang dapat menyebabkan
gangguan tidur. Individu yang sakit membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak
dari pada biasanya. Siklus bangun-tidur selama sakit juga dapat mengalami
gangguan.
b. Lingkungan
Faktor lingkungan dapat membantu sekaligus menghambat proses tidur. Tidak
adanya stimulus tertentu atau adanya stimulus yang asing dapat menghambat
upaya tidur. Contoh, temperatur yang tidak nyaman atau ventilasi yang buruk
dapat mempengaruhi tidur seseorang. Seiring waktu individu bisa beradaptasi dan
tidak lagi terpengaruh dengan kondisi tersebut.
c. Kelelahan
Kondisi tubuh yang lelah dapat mempengaruhi pola tidur seseorang. Semakin
lelah seseorang, semakin pendek siklus tidur REM yang dilaluinya. Setelah
beristirahat biasanya siklus REM akan kembali memanjang.
d. Gaya hidup
Individu yang sering berganti jam kerja harus mengatur aktivitasnya agar bisa
tidur pada waktu yang tepat.
e. Stres emosional
Ansietas dan depresi sering kali mengganggu tidur seseorang. Kondisi ansietas
dapat meningkatkan kadar norepinfrin darah melalui stimulasi sistem saraf
simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya siklus tidur NREM tahap IV dan
tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur.
f. Stimulan dan alkohol
Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat merangsang SSP
sehingga dapat mengganggu pola tidur. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat
mengganggu siklus tidur REM. Pengaruh alkohol yang telah hilang dapat
menyebabkan individu sering kali mengalami mimpi buruk.
g. Diet
Penurunan berat badan dikaitkan dengan penurunan waktu tidur dan seringnya
terjaga di malam hari. Penambahan berat badan dikaitkan dengan peningkatan
total tidur dan sedikitnya periode terjaga di malam hari.
h. Merokok
Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi pada tubuh.
Perokok sering kali kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di malam hari.

LBM IV – AKU TERJAGA Page 6


i. Medikasi
Obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Hipnotik dapat
mengganggu tahap III dan IV tidur NREM, betablocker dapat menyebabkan
insomnia dan mimpi buruk, sedangkan narkotik (misalnya: meperidin hidroklorida
dan morfin) diketahui dapat menekan tidur REM dan menyebabkan seringnya
terjaga di malam hari.
j. Motivasi
Keinginan untuk tetap terjaga terkadang dapat menutupi perasaan lelah seseorang.
Perasaan bosan atau tidak adanya motivasi untuk terjaga sering kali dapat
mendatangkan kantuk.

4. Neurotransmiter yang berperan apa saja ?


Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem
serotoninergik, noradrenergik, kholonergik, histaminergik.
1) Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam amino
trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin
yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur.
Bila serotonin dari tryptopan terhambat pembentukannya, maka terjadikeadaan
tidak bisa tidur/jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem
serotogenik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana
terdapat hubungan aktifitas serotonis dinukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
2) Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel
nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus
sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang
mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergic akan menyebabkan
penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
3) Sistem Kholinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra vena
dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik ini,
mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga.
Gangguan aktifitas kholinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan
tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi

LBM IV – AKU TERJAGA Page 7


tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat
pengeluaran kholinergik dari lokus sereleus maka tamapk gangguan pada fase
awal dan penurunan REM.
4) Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.
5) Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa
hormone seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-
masing disekresi secara teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui
hipotalamus patway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran
neurotransmitter norepinefrin, dopamin, serotonin yang bertugas menagtur
mekanisme tidur dan bangun (Colten,2006).

5. Apa diagnosa pada skenario?


INSOMNIA
A. Definisi
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal
kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang
berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau
gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases
mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur
yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The
International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur
yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur
tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk
melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang
memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan
pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi
dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.

B. Epidemiologi

LBM IV – AKU TERJAGA Page 8


Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia
pada beberapa waktu selama hidup mereka. Jajak Pendapat Tidur di Amerika yang
dilakukan oleh National Sleep Foundation’s pada tahun 2002, menunjukkan 58%
dari orang dewasa di AS mengalami gejala insomnia pada beberapa malam dalam
seminggu atau lebih. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai
tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya
mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat
11,7% penduduk mengalami insomnia.
Antara wanita dan pria ternyata insomnia banyak terjadi pada wanita daripada
pria. Satu alasan yang mempengaruhi hal ini adalah adanya perubahan hormone
pada siklus haid yang mempengaruhi siklus tidur. Selama perimenopause seorang
wanita dapat mengalami gangguan dalam tidur dan kesulitan dalam tidur. Seorang
wanita tersebut dapat mengalami rasa panas pada wajah dan dapat mengalami
keringat malam yang dapat mengganggu tidur seorang wanita. Selama kehamilan
seorang wanita dapat mengalami perubahan hormone, fisik dan emosional yang
dapat mengganggu tidur seorang wanita. Wanita hamil terutama pada trimester
ketiga dapat menyebabkan rasa tidak enak, keram pada kaki dan sering pergi ke
kamar mandi yang semuanya itu dapat menyebabkan gangguan tidur.

C. Klasifikasi
a. Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau
susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita
insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur
seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.
b. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi
medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu
masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1
dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder
juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk
suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun

LBM IV – AKU TERJAGA Page 9


penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang
menderita insomnia.
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu
International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).

Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

 Organik
 Non organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu
buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia
disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah
menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain


2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu
4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan
kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan
diderita minimal 1 bulan.
5. Menetap dan diderita minimal 1 bulan.

D. Etiologi
a. Stres
Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat
membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur.
Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang
yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan
insomnia.
b. Kecemasan dan depresi

LBM IV – AKU TERJAGA Page 10


Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena
kekhawatiran yang menyertai depresi.
c. Obat-obatan
Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa
antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti
Ritalin) dan kortikosteroid.
d. Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung
kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat
menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu
seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering
menyebabkan terbangun di tengah malam.
e. Kondisi Medis
Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering
buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar
dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan
insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru,
gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan
penyakit Alzheimer.
f. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat
menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur.
Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun,
metabolisme, dan suhu tubuh.
g. 'Belajar' insomnia
Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak bisa tidur
dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang
dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan
tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika
mereka menonton TV atau membaca.

E. Faktor Resiko
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
insomnia meningkat jika terjadi pada :
1. Wanita

LBM IV – AKU TERJAGA Page 11


Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama
siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama
menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering
mengganggu tidur.
2. Usia lebih dari 60 tahun
Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat sejalan dengan
usia.
3. Memiliki gangguan kesehatan mental
Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-
traumatic stress disorder, mengganggu tidur.
4. Stres
Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti
kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia
kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya
insomnia.
5. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja
Bekerja di malam hari sering meningkatkan resiko insomnia.

F. Tanda dan Gejala


 Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
 Sering terbangun pada malam hari
 Bangun tidur terlalu awal
 Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
 Iritabilitas, depresi atau kecemasan
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
 Ketegangan dan sakit kepala
 Gejala gastrointestinal

G. Diagnosis
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:
- Pola tidur penderita.
- Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.

LBM IV – AKU TERJAGA Page 12


- Tingkatan stres psikis.
- Riwayat medis.
- Aktivitas fisik
- Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan


pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian
kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama anda bisa mencatat waktu tidur anda
selama 2 minggu.

Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu


permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah
juga dilakukan untuk menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa
menyebabkan insomnia.

Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan
pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi,
gerakan mata, dan gerakan tubuh.

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ6

Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:

a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas
tidur yang buruk.
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan.
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan.
e. Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.
f. Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di

LBM IV – AKU TERJAGA Page 13


sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian
(F43.2)

H. Penatalaksanaan
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini
umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita
insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi :
 Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
 Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat
biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu
mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda
mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
 Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur
dengan pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada
konseling tatap muka atau dalam grup.
 Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu yang dihabiskan
untuk beraktivitas.
 Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di
tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :
 Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur
 Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
 Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
 Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

LBM IV – AKU TERJAGA Page 14


 Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan
pernapasan atau beribadah
 Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur
pada malam hari.
 Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti
menghindari kebisingan
 Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit
setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.
 Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin.
 Menghindari makan besar sebelum tidur.
 Cek kesehatan secara rutin.
 Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik1,2,3,5

2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)


Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu
golongan benzodiazepine (Short Acting). Misalnya pada gangguan anxietas.
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke
proses tidur selanjutnya). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent
phase Anti-Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi.
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah
menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu
golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting). Misalnya
pada gangguan stres psikososial.

LBM IV – AKU TERJAGA Page 15


Pengaturan Dosis

- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.


- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan
sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah
timbulnya rebound dan toleransi obat).
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-
lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi.
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali
seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut.

Lama Pemberian

- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2
minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat
menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological Dependence”
(habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat
ditanggulangi.

Efek Samping

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia


(waktu paruh) :

- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam). Gejala rebound lebih berat
pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik.
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan.
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala “hang over” pada
pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”.

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi


“disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”.

Interaksi obat

LBM IV – AKU TERJAGA Page 16


- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek
supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and respiratory failure”.
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme
atau “produce protein binding displacement” sehSingga jarang menimbulkan
interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau “CNS
Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.
Perhatian Khusus

- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan
“teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester
pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi
(penekanan fungsi SSP)1,3,7.
I. Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur.
Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

LBM IV – AKU TERJAGA Page 17


Komplikasi insomnia meliputi :

 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.


 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan
reaksi kecelakaan.
 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya
tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

J. Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.

LBM IV – AKU TERJAGA Page 18


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Jadi dapat disimpulkan bahwa pasien pada skenario mengalami suatu gangguan tidur
yang disebut Insomnia. Dimana insomnia terdiri dari Insomnia Primer dan Skunder. Tetapi
yang lebih mengarah pada kasus di skenario adalah insomnia primer, karena faktor
penyebabnya yaitu dipecatnya pasien dari pekerjaannya.

LBM IV – AKU TERJAGA Page 19


DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Sleep Medicine. 2005. ICSD2 - International Classification of


Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding
Manual . Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. Westchester: American Academy of
Sleep Medicine
2. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I
Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
3. Marjdono M, Sidharta P. 1988. Neurologi Klinis Dasar. Edisi ke-11. Jakarta: Dian
Rakyat
4. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
5. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC

LBM IV – AKU TERJAGA Page 20

Anda mungkin juga menyukai