Anda di halaman 1dari 7

Ada pertanyaan yang sudah lama muncul, berulang dan dua hari ini kembali mengemuka ke

penulis. Kasusnya adalah ada pasien yang memulai perawatan di RS sebagai pasien non JKN
meskipun dia sendiri sebenarnya memiliki kartu JKN. Tetapi ternyata tidak boleh pindah
menjadi pasien JKN. Kenapa? Kan sudah bagus dia mau menggunakan dulu uangnya sendiri?
Apa ruginya bagi JKN? Apa ruginya bagi RS?

Agar tidak menimbulkan salah paham, ada baiknya dijernihkan. Apa bedanya dengan
umumnya skema di Asuransi Kesehatan lain?

Pada umumnya asuransi kesehatan, pertanggungan dihitung berdasarkan biaya yang timbul.
Mudahnya berbasis fee for service. Besar pertanggungan adalah semua biaya yang timbul
sesuai klausul akad, sampai batas jumlah tertentu. Dengan konsep ini, maka sebagai ilustrasi
mudahnya: semakin lama dirawat, semakin banyak tindakan (operasi misalnya atau tindakan
lain) dilakukan, semakin banyak obat diberikan, maka klaim juga semakin besar, sampai
batas maksimal pertanggungan.

tonang, 2017

Pada skema JKN, yang digunakan adalah prospective payment dengan tarif INA-CBGs.
Klausul JKN membiayai perawatan di RS adalah berbasis EPISODE. Satu episode dapat
diajukan satu klaim. Tidak boleh satu episode diajukan sebagai lebih dari 1 klaim. Dalam satu
episode perawatan suatu penyakit dengan diagnosis X misalnya, maka berapa lamapun
dirawat, berapa banyak tindakan dilakukan, berapapun banyaknya obat diberikan, tetap saja
pertanggunganya adalah satu episode dengan satu tarif INA-CBGs.

Tonang, 2017

Perbedaan ini yang membuat perlu mekanisme khusus untuk mengatur bila ada keinginan
untuk melakukan koordinasi manfaat (Coordination of Benefit atau CoB). Amanah untuk
CoB ini sudah muncul pada pasal23 ayat (4) UU SJSN 40/2004 yang kemudian diturunkan
pada pasal 24 dan 27 Perpres 12/2013 sebagaimana terakhir diubah dengan Perpres 28/2016.
Secara teknis, pengaturan CoB ditugaskan kepada BPJSK. Terakhir dengan Peraturan BPJSK
nomor 4/2016. Ada beberapa skema:
BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan

Bagaimana dengan pertanyaan pembukadi tulisan ini? Bolehkah "masuk sebagai pasien
umum kemudian di tengah-tengah episode berpindah menggunakan manfaat JKN"?

Di awal JKN dulu, kalau pasien masuk rawat inap, maka masih diberi kesempatan sampai 3 x
24 jam untuk menunjukkan kepesertaan JKN. Masalah timbul ketika ternyata sebelum 3 hari
sudah sembuh, atau sudah meninggal dan belum sempat membuktikan kepesertaan. Menjadi
ganjalan, karena kemudian menjadi tarik ulur, siapa yang bertanggung jawab atas biayanya?
Faskes yang lebih sering menerima dampak buruknya.

Masalah lain, dapat terjadi orang masuk hari pertama sampai hari ketiga, tidak menggunakan
manfaat JKN. Tetapi setelah itu menyatakan pindah menjadi pasien JKN. Siapa yang akan
menanggung? Bolehkah semua menanggung?
Tonang, 2017

Kebijakan di awal JKN, dengan Permenkes 71/2013, untuk hal seperti ini, berlaku
mekanisme cuf-off. Selama belum menggunakan JKN, maka pasien menanggung biayanya
langsung ke RS. Setelah berpindah ke JKN, baru RS mengajukan klaim.

Tonang, 2017

Namun kemudian disadari bahwa ini berisiko besar terkait penggunaan uang negara. JKN
menanggung berbasis diagnosis. Seperti dijelaskan sebelumnya, mau berapa hari pun,
pertanggungan itu bersifat paket. Jadi tidak bisa dipotong sebagian episode perawatan saja.
Bila dilakukan cut-off maka sebenarnya terjadi pertanggungan ganda karena pasien sudah
membayar sendiri sebagian episode, tapi masih tetap ditanggung oleh JKN.

Maka pada bulan Juni 2014, terbit Permenkes 28/2014 yang mengatur bahwa peserta harus
sudah menetapkan sejak awal episode bahwa akan menggunakan atau tidak menggunakan
manfaat JKN. Bila menyatakan akan menggunakan, maka peserta diberi waktu maksimal 3 x
24 jam atau sebelum pulang atau sebelum meninggal, untuk menyerahkan bukti
kepesertaannya tersebut. Bila tidak dapat dipenuhi, maka pertanggungan JKN tidak dapat
diberikan. Dengan regulasi ini, maka tidak bisa dilakukan lagi perpindahan status pasien dari
Non JKN ke JKN di tengah-tengah episode perawatan.

Saat ini, RS banyak dan relatif sering menghadapi situasi seperti itu: pasien masuk sebagai
pasien non JKN, tetapi di tengah-tengah episode ingin pindah status ke JKN. Tentu saja RS
tidak dapat memenuhi permintaan tersebut. Terjadilah salah paham. Kadang peserta sampai
mengajak "pihak ketiga" untuk memaksa RS. Akibatnya, RS mendapat beban tambahan.

Kadang argumennya: kenapa sih RS tidak mau? Kan RS malah untung dapat dari dua
sumber?

Masalahnya, kalau RS menerima, itu berarti berpotensi terlibat dalam pelanggaran


penggunaan uang negara terkait "double-funding": satu kegiatan dibiayai dari dua atau lebih
sumber anggaran. Itu bisa berujung pada dugaan tindak fraud dan tipikor. Memang bisa saja
dianggap "kan yang salah BPJSK kok mau mencairkan klaim". Ilustrasinya: kalau misalnya
bendahara kantor pemerintah memberikan uang melebihi seharusnya kepada seorang
pegawai, maka memang bendahara itu salah dan mendapat sanksi, tetapi pegawai yang
bersangkutan tetap juga harus mengembalikan uangnya. Bahkan bila pegawai itu dianggap
layak tahu bahwa ada kesalahan tetapi tetap menerima, maka risikonya bisa dianggap ikut
bersalah.

Hal lain adalah sisi keadilan. Tidak adil bila orang yang mampu diperbolehkan "pindah
status" karena misalnya punya uang sendiri untuk membayar dulu atau ada asuransi lain yang
menanggung, baru kalau sudah melebihi plafon, berpindah status menggunakan JKN.
Bagaimana dengan yang kurang mampu? Tentu ini bukan yang diharapkan dalam konsep
Gotong Royong JKN.

Bahwa skema CoB barangkali dianggap kurang menarik, mari diperbaiki skemanya, tanpa
harus berarti menerobos regulasi yang sekarang ada.

Semoga masyarakat memahami kondisi demikian, agar tidak mudah menudingkan kesalahan
pada RS. Ada mekanisme yang harus dipatuhi dan ada sisi keadilan yang harus dijaga.

Anda mungkin juga menyukai