Anda di halaman 1dari 54

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diare hingga saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama
kesakitan dan kematian hampir di seluruh daerah geografis di dunia dan semua
kelompok dapat terserang diare, tetapi penyakit diare berat dengan kematian yang
tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Di negara berkembang, anak-
anak menderita diare lebih dari 12 kali per tahun dan hal ini yang menjadi
penyebab kematian sebesar 15-34% dari semua penyebab kematian (Evayanti, et
al, 2014).
Penyakit diare di Indonesia merupakan salah satu masalah utama
kesehatan masyarakat, hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan
diare yang menimbulkan banyak kematian terutama pada balita. Angka kesakitan
diare di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Angka kesakitan
diare pada tahun 2006 yaitu 423 per 1000 penduduk, dengan jumlah kasus 10.980
penderita dengan jumlah kematian 277 (CFR 2,52%). Di Indonesia dilaporkan
terdapat 1,6 sampai 2 episode kejadian diare per tahun pada balita, sehingga
secara keseluruhan diperkirakan kejadian diare pada balita berkisar antara 40 juta
setahun dengan kematian sebanyak 200.000-400.000 balita. Pada survei tahun
2000 yang dilakukan oleh Ditjen P2MPL Depkes di 10 provinsi, didapatkan hasil
bahwa dari 18.000 rumah tangga yang disurvei diambil sampel sebanyak 13.440
balita, dan kejadian diare pada balita yaitu 1,3 episode kejadian diare pertahun
(Kliegman, et al. 2004).
Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan kejadian diare, yaitu tidak
memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan sarana
kebersihan, pembuangan tinja yang tidak higienis, kebersihan perorangan dan
lingkungan yang buruk, serta penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak
semestinya (Ferllando et al, 2015). Banyak faktor yang secara langsung maupun
tidak langsung dapat menjadi faktor pendorong terjadinya diare, terdiri dari faktor
agent, penjamu, lingkungan, dan perilaku. Faktor penjamu yang menyebabkan
2

meningkatnya kerentanan terhadap diare, diantaranya tidak memberikan ASI


selama 2 tahun, kurang gizi, penyakit campak, dan imunodefisiensi. Faktor
lingkungan yang paling dominan yaitu sarana penyediaan air bersih dan
pembuangan tinja, kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku
manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta
berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, maka penularan
diare dengan mudah dapat terjadi (Depkes, 2005).
Wilayah kerja puskesmas Mayang meliputi tujuh desa yaitu Desa Mayang,
Desa Mrawan, Desa Tegalrejo, Desa Seputih, Desa Sumber Kejayan, Desa
Sidomukti, dan Desa Tegal Waru, berdasarkan hasil laporan bulanan program
P2M mengenai jumlah penderita diare yang ditemukan di sarana kesehatan pada
bulan September 2016 didapatkan angka kejadian diare pada balita; Desa Mayang
sebanyak 5 kasus, Desa Mrawan 3 kasus, Desa Tegalrejo 5 kasus, Desa Seputih 3
kasus, Desa Sumber Kejayan 4 kasus, Desa Sidomukti 4 kasus, dan terbanyak di
Desa Tegal Waru sebanyak 6 kasus.
Mengingat banyaknya kasus diare di Desa Tegalrejo berdasarkan data
epidemiologi tersebut, penulis ingin mengaitkan antara angka kejadian diare di
Desa Tegalrejo dengan beberapa faktor yang mempengaruhi. Dimana Desa
Tegalrejo merupakan desa dengan jumlah pederita diare terbanyak kedua di
Kecamatan Mayang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut maka didapatkan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Faktor resiko apa saja yang mempengaruhi tingginya angka kejadian diare
pada balita?
2. Faktor resiko apa yang berhubungan dengan angka kejadian diare pada balita
di Desa Tegalrejo?
3

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini terdiri atas tujuan umum dan khusus,
yaitu:
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis faktor-faktor resiko yang mempengaruhi tingginya angka
kejadian diare pada balita.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui faktor resiko yang berhubungan dengan angka kejadian diare
pada balita di Desa Tegalrejo.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti yakni dapat menambah pengalaman,
pengetahuan seputar penyakit diare dan mendapat kesempatan untuk
menerapkan ilmu serta berinteraksi dengan pasien.

2. Bagi Rekan Sejawat


Bagi teman-teman sejawat diharapkan dapat memberi tambahan pengetahuan
baru dan dapat memberikan Evidence Based Medicine (EBM) dalam
melaksanakan praktik kedokteran.

3. Bagi Iptekdok
Bagi perkembangan IPTEK, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi baru mengenai kejadian penyakit diare. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut dalam
penanggulangan faktor resiko penyakit diare, serta dapat berkontribusi
terhadap pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi Kedokteran (Iptekdok).

4. Bagi Puskesmas Mayang


Bagi Puskesmas Mayang diharapkan dapat memberikan data mengenai faktor
resiko yang mempengaruhi angka kejadian diare di Desa Tegalrejo sehingga
4

dapat menemukan solusi yang tepat dalam mengurangi angka kejadian diare
tersebut.
5

BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Diare


2.1.1 Definisi
Diare adalah buang air besar lembek atau cair dapat berupa air saja yang
frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari)
(Depkes RI, 2000). Pengertian lain, diare merupakan buang air besar (defekasi)
dengan tinja lembek (setengah cair) dengan frekuaensi lebih dari tiga kali sehari
atau dapat berbentuk cair saja. Batasan diare akut pada balita, kurang dari 7 hari
sedangkan diare akut pada dewasa, berlangsung beberapa jam sampai 14 hari
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

2.1.2 Etiologi
Diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi (gangguan penyerapan
zat gizi), makanan, dan faktor psikologis (Widjaja, 2002):
a. Faktor Infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak.
Jenis-jenis infeksi yang umumnya menyerang antara lain:
1) Infeksi oleh bakteri: Escherichia coli, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae
(kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan
patogenik seperti pseudomonas.
2) Infeksi basil (disentri).
3) Infeksi virus rotavirus.
4) Infeksi parasit oleh cacing (Ascaris lumbricoides).
5) Infeksi jamur (Candida albicans).
6) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang
tenggorokan.
7) Keracunan makanan.
6

b. Faktor Malabsorpsi
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan
lemak. Malabsorpsi karbohidrat pada bayi akibat hipersensitifitas terhadap
laktoglobulis dalam susu formula dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa
diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan
malabsorpsi lemak terjadi apabila dalam makanan terdapat lemak triglyserida.
Triglyserida dengan bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles
yang siap diabsorpsi usus. Diare dapat muncul apabila dalam tubuh anak tidak
memproduksi enzim lipase atau terjadi kerusakan mukosa usus. Diare muncul
karena lemak tidak terserap dengan baik (Zein et al, 2004).

c. Faktor Makanan
Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi,
beracun, terlalu banyak lemak, makanan mentah (sayuran) dan kurang matang.
Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak-
anak balita (Wulandari, 2009).

d. Faktor Psikologis
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan
diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita, umumnya terjadi pada anak
yang lebih besar (Wulandari, 2009).

2.1.3 Epidemiologi Diare


Epidemiologi penyakit diare adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2005):
a. Penyebaran Kuman Penyebab Diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain
melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung
dengan tinja penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman
enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak memberikan
ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, penggunaan botol susu,
menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang
7

tercemar, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar atau sesudah membuang
tinja anak atau sebelum makan/ menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan
benar.

b. Faktor Pejamu
Faktor pada pejamu dapat meningkatkan insiden, beberapa penyakit, dan
lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah tidak memberikan ASI sampai umur
2 tahun, kurang gizi, infeksi campak, imunodefisiensi atau imunosupresi, dan
secara proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.

c. Faktor Lingkungan dan Perilaku


Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan.
Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua
faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan
tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang
tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan
kejadian diare.

2.1.4 Jenis Diare


Berdasarkan jenisnya diare dibagi empat yaitu:
a. Diare Akut
Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang
dari 7 hari) dapat mengakibatkan dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan
penyebab utama kematian bagi penderita diare.

b. Disentri
Disentri yaitu, diare yang disertai darah dalam tinjanya. Disentri dapat
mengakibatkan anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan
kemungkinan terjadinnya komplikasi pada mukosa.
8

c. Diare Persisten
Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus. Diare persisten dapat menyebabkan penurunan berat badan dan
gangguan metabolisme.

d. Diare dengan Masalah Lain


Anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten) mungkin juga
disertai dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi, atau penyakit
lainnya (Depkes RI, 2000).

2.1.5 Patogenesis
Penyakit diare dapat terjadi melalui transmisi faecal oral, sumber patogen
berasal dari kotoran manusia atau hewan dan sampai kepada manusia secara tidak
langsung melalui makanan atau minuman. Transmisi dapat terjadi melalui tangan,
lalat, tanah, air permukaan, air tanah, tempat sampah, saluran pembuangan air
limbah, pembuangan tinja hingga makanan dan minuman yang tercemar tinja
penderita diare. Selain itu dapat berasal dari muntahan penderita yang
mengandung kuman penyebab diare (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
2011).

2.1.6 Gejala
Gejala-gejala diare adalah sebagai berikut:
a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah.
b. Suhu badannya dapat meningkat.
c. Tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah.
d. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu.
e. Lecet pada anus.
f. Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang.
g. Muntah sebelum dan sesudah diare.
h. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).
i. Dehidrasi (kekurangan cairan).
9

Dehidarsi dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan, dehidrasi sedang
dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang
5%. Jika cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada
dehidrasi berat, volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah
cepat tetapi melemah, tekanan darah menurun, penderita lemah, kesadaran
menurun, dan penderita sangat pucat (Widjaja, 2000).

2.1.7 Derajat Dehidrasi


Derajat dehidrasi dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik, yaitu dinilai
keadaan umum dan tanda-tanda vital. Dalam menentukan derajat dehidrasi perlu
diketahui tanda utama dan tanda tambahan . Tanda utama terdiri dari keadaan
umum gelisah/ cengeng atau lemah/ letargi/ koma, rasa haus, turgor kulit abdomen
menurun. Tanda tambahan yaitu ubun-ubun besar cekung, kelopak mata cowong,
mukosa bibir, mulut, dan lidah kering. Dapat disertai penurunan berat badan dan
tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, seperti napas cepat dan
dalam (asidosis metabolik), kembung (hipokalemia), kejang (hipo atau
hipernatremi).
Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai dengan kriteria berikut:
a. Tanpa Dehidrasi (Kehilang Cairan <5% Berat Badan):
- Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan.
- Keadaan umum baik, sadar.
- Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cowong, air mata ada, mukosa
mulut dan bibir basah.
- Turgor abdomen baik, bising usus normal.
- Akral hangat.

b. Dehidrasi Ringan Sedang (Kehilang Cairan 5-10% Berat Badan):


- Didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda tambahan.
- Keadaan umum gelisah atau cengeng.
- Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cowong, iar mata kurang,
mukosa mulut dan bibir sedikit kering.
10

- Turgor kurang, akral hangat.

c. Dehidrasi Berat (Kehilang Cairan >10% Berat Badan):


- Ditemukan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda tambahan.
- Keadaan umum lemah, letargi, atau koma.
- Ubun-ubun sangat cekung, mata cowong, air mata tidak ada, mukosa
mulut dan bibir kering.
- Turgor kulit sangat kurang dan akral dingin.
- Pasien harus rawat inap (IDAI, 2010).

2.2 Faktor-Fator yang Mempengaruhi Penyakit Diare


2.2.1 Riwayat Terjangkit Diare
Pencegahan diare akut yang berlanjut, harus dilakukan karena merupakan
faktor risiko untuk terjadinya diare persisten. Secara umum, diare akan
menyebabkan peningkatan ekskresi zinc feses, membuat balans negatif, dan
mengurangi kadar zinc dalam jaringan. Semakin lama dan sering diare, tentunya
akan meningkatkan kerentanan defisiensi zinc. Riwayat diare berulang
berhubungan dengan diare yang berlanjut. Subjek dengan riwayat diare berulang
memiliki risiko 3,4 kali untuk terjadinya diare melanjut. Diare berulang dapat
disebabkan kerusakan mukosa usus akibat infeksi yang belum sempurna
penyembuhannya, alergi makanan, atau defisiensi disakaridase. Namun,
mekanisme penyembuhan mukosa usus yang belum sempurna pasca infeksi
maupun infeksi baru dipercaya paling mempengaruhi terjadinya diare berulang
(Marlia et el, 2015).

2.2.2 Pemberian ASI Eksklusif


Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu faktor perilaku yang dapat
menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan resiko terjadinya
diare (Depkes RI, 2005), namun sebenarnya ASI sendiri turut memberikan
perlindungan terhadap diare. Tidak memberikan ASI Eksklusif secara penuh
selama 6 bulan, bayi berisiko untuk menderita diare lebih besar dari pada bayi
11

yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih
besar. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai
dengan susu formula (Kemenkes, 2011).

2.2.3 Kepemilikan Jamban


Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan
lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak sesuai aturan memudahkan terjadinya
penyebaran penyakit tertentu yang penulurannya melalui tinja, salah satunya
penyakit diare. Syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan
adalah (Notoatmodjo, 2003):
1. Tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya.
2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.
3. Tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya.
4. Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai sebagai tempat lalat
bertelur atau perkembangbiakan vektor penyakit lainnya.
5. Tidak menimbulkan bau.
6. Pembuatannya murah.
7. Mudah digunakan dan dipelihara.
Macam-macam tempat pembuangan tinja, antara lain (Entjang, 2000):
a. Jamban cemplung (Pit latrine)
Jamban cemplung ini sering dijumpai di daerah pedesaan. Jamban ini
dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan diameter 80-120
cm sedalam 2,5 sampai 8 meter. Jamban cemplung tidak boleh terlalu dalam,
karena akan mengotori air tanah dibawahnya. Jarak dari sumber minum
sekurang-kurangnya 15 meter.

b. Jamban air (Water latrine)


Jamban ini terdiri dari bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah
sebagai tempat pembuangan tinja. Proses pembusukkanya sama seperti
pembusukan tinja dalam air kali.
12

c. Jamban leher angsa (Angsa latrine)


Jamban ini berbentuk leher angsa sehingga akan selalu terisi air.
Fungsi air ini sebagai sumbat sehingga bau busuk dari kakus tidak tercium.
Bila dipakai, tinjanya tertampung sebentar dan bila disiram air, baru masuk ke
bagian yang menurun untuk masuk ke tempat penampungannya.

d. Jamban bor (Bored hole latrine)


Tipe ini sama dengan jamban cemplung hanya ukurannya lebih kecil
karena untuk pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan
sementara. Kerugiannya bila air permukaan banyak mudah terjadi pengotoran
tanah permukaan (meluap).

e. Jamban keranjang (Bucket latrine)


Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang
di tempat lain, misalnya untuk penderita yang tak dapat meninggalkan tempat
tidur. Sistem jamban keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah besar,
tidak di lokasi jambannya, tetapi di sepanjang perjalanan ke tempat
pembuangan. Penggunaan jenis jamban ini biasanya menimbulkan bau.

f. Jamban parit (Trench latrine)


Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30 - 40 cm untuk tempat
defaecatie. Tanah galiannya dipakai untuk menimbunnya. Penggunaan jamban
parit sering mengakibatkan pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama yang
berhubungan dengan pencegahan pencemaran tanah, pemberantasan lalat, dan
pencegahan pencapaian tinja oleh hewan.

g. Jamban empang/ gantung (Overhung latrine)


Jamban ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas kolam, selokan,
kali, rawa dan sebagainya. Kerugiannya mengotori air permukaan sehingga
bibit penyakit yang terdapat didalamnya dapat tersebar kemana-mana dengan
air, yang dapat menimbulkan wabah.
13

h. Jamban kimia (Chemical toilet)


Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi caustic soda sehingga
dihancurkan sekalian didesinfeksi. Biasanya dipergunakan dalam kendaraan
umum misalnya dalam pesawat udara, dapat pula digunakan dalam rumah.

Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan


meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali
lipat dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang
tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi. Menurut hasil penelitian Irianto (1996),
anak balita yang berasal dari keluarga yang menggunakan jamban yang dilengkapi
dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa.
Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare
terjadi di kota dan 8,9% di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluarga
yang mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu 17% di kota
dan 12,7 di desa.
Penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penularan
risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban sebaiknya
membuat jamban dan keluarga harus buang air besar di jamban. Bila tidak
mempunyai jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat orang-orang buang
air besar, hendaknya buang air besar jauh dari rumah kira-kira berjarak kurang
lebih 10 meter dari sumber air, serta hindari buang air besar tanpa alas kaki
(Hidayanti, 2012).

2.2.4 Riwayat Imunisasi


Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi
campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu segera memberikan anak
imunisasi campak setelah berumur 9 bulan. Diare sering terjadi dan berakibat
berat pada anak-anak yang sedang menderita campak, hal ini sebagai akibat dari
penurunan kekebalan tubuh penderita (IDAI, 2010).
14

2.2.5 Jenis Lantai Rumah


Syarat rumah yang sehat, jenis lantainya tidak berdebu pada musim
kemarau dan tidak basah pada musim penghujan (Notoatmodjo, 2003). Lantai
rumah dapat terbuat dari: ubin atau keramik, semen, kayu, dan tanah yang disiram
kemudian dipadatkan. Lantai yang basah dan berdebu dapat menimbulkan sarang
penyakit. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak
lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, paling tidak perlu
disemen dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah
dibersihkan (Depkes, 2002).

2.2.6 Perilaku Mencuci Tangan


Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan,
mempunyai dampak dalam kejadian diare (menurunkan angka kejadian diare
sebesar 47%). Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat
berhubungan dengan penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran
sumber perantara oleh tinja serta menghalangi masuknya sumber perantara
tersebut ke dalam tubuh melalui mulut. Kejadian diare terutama yang
berhubungan langsung dengan makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan
makanan, serta tempat keluarga membuang tinja anak (Kemenkes, 2011).

2.2.7 Penanganan Sampah


Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang
berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Sampah terdiri dari sampah
anorganik yaitu sampah yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya:
logam/besi, pecahan gelas, dan plastic, sedangkan sampah organik yaitu sampah
yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya: sisa makanan, daun-daunan,
buah-buahan. Cara pengolahan sampah antara lain sebagai berikut (Notoatmodjo,
2003):
15

a. Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah


Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan yang
mudah dibersihkan, tidak mudah rusak, harus tertutup rapat, ditempatkan di
luar rumah. Pengangkutan dilakukan oleh dinas pengelola sampah ke tempat
pembuangan akhir (TPA).

b. Pemusnahan dan Pengelolaan Sampah


Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill), dibakar
(Inceneration), dijadikan pupuk (Composting).

2.2.8 Kebersihan Makanan dan Minuman


Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air, terutama air
minum yang tidak dimasak dapat juga terjadi sewaktu mandi dan berkumur.
Kontak kuman pada kotoran dapat langsung ditularkan pada orang lain apabila
melekat pada tangan, kemudian dimasukkan ke mulut saat makan atau dapat
melalui kontaminasi alat-alat makan dan dapur.
Faktor susunan makanan berpengaruh terhadap terjadinya diare
disebabkan karena kemampuan usus untuk menghadapi kendala yang berupa:
a. Antigen
Susunan makanan mengandung protein yang tidak homolog, sehingga dapat
berlaku sebagai antigen. Lebih-lebih pada bayi dimana kondisi kesehatan lokal
usus belum sempurna sehingga terjadi disfungki penyerapan molekul makro.

b. Osmolaritas
Susunan makanan baik berupa formula susu maupun makanan padat yang
memberikan osmolaritas yang tinggi sehingga dapat menimbulkan diare.

c. Malabsorbsi
Kandungan nutrient makanan yang berupa karbohidrat, lemak, maupun
protein dapat menimbulkan intoleransi, malabsorbsi, maupun alergi sehingga
terjadi diare pada balita maupun pada anak.
16

d. Mekanik
Kandungan serat yang berlebihan dalam susunan makanan secara mekanik
dapat merusak fungsi mukosa usus sehingga timbul diare. (Notoatmodjo,
2003)
Air sangat penting bagi kehidupan manusia. Di dalam tubuh manusia
sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa sekitar 55-60% berat badan
terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80%.
Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak,
mandi, mencuci, dan sebagainya. Di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia tiap orang memerlukan air antara 30-60 liter per hari. Di antara
kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk
minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum dan masak air harus mempunyai
persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia
(Notoatmodjo, 2003).
Sumber air minum utama merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak
kalah pentingnya berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius
penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat ditularkan
dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan
tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan, dan makanan yang disiapkan dalam
panci yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2000).
Macam-macam sumber air minum antara lain (Slamet et al, 2001):
a. Air permukaan adalah air yang terdapat pada permukaan tanah. Misalnya air
sungai, air rawa dan danau.
b. Air tanah berdasarkan kedalamannya terdiri dari air tanah dangkal dan air
tanah dalam. Air dalam tanah adalah air yang diperoleh dari pengumpulan air
pada lapisan tanah yang dalam. Misalnya air sumur dan air dari mata air.
c. Air angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir, seperti hujan dan salju.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air bersih adalah
(Depkes RI, 2000):
a. Mengambil air dari sumber air yang bersih.
17

b. Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta
menggunakan gayung khusus untuk mengambil air.
c. Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh binatang, anak-
anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum dengan sumber
pengotoran seperti septictank, tempat pembuangan sampah, dan air limbah
harus lebih dari 10 meter.
d. Mengunakan air yang direbus.
e. Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang bersih dan
cukup.

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Balita yang mengikuti kegiatan


Posyandu dan kunjungan rumah

Kuesioner

 Usia
 Jenis kelamin
 Pemberian ASI ekslusif
 Kepemilikan jamban
 Riwayat imunisasi
 Jenis lantai rumah Kejadian diare
 Perilaku mencuci tangan
 Penanganan sampah di rumah
 Hygenitas makanan dan
minuman

Gambar 2.1 Kerangka Kosnsep


18

2.4 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya pengaruh faktor-faktor beriku
(Jenis kelamin, usia, pemberian ASI eksklusif, riwayat imunisasi, kepemilikan
jamban, jenis lantai rumah, prilaku cuci tangan, penangan sampah dan hygenitas
makanan dan minuman) terhadap kejadian diare pada balita di Desa Tegalrejo.
19

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini termasuk dalam penelitian epidemiologis. Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif-analitik.
Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner dengan desain cross
Sectional. Survei Cross Sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari
dinamikan korelasi antar faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point
time approach). Artinya, tiap subyek penelitian hanya diobservasi satu kali, dan
pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subyek pada saat
pemeriksaan.
Variabel yang diamati dalam waktu yang sama adalah jenis kelamin,
usia, pemberiaan asi ekslusif, kepemilikan jamban, riwayat imunisasi. Jenis lantai
rumah, prilaku cuci tangan, penanganan sampah dirumah, dan kebersihan
makanan dan minuman. Pada penelitian cross Sectional ini,tidak berarti seluruh
obyek penelitian diamati dalam waktu yang sama. Penelitian Cross Sectional ini
sering disebut juga penelitian transversal dan sering digunakan dalam penelitian
epidemiologi (Notoadmojo, 2012).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat yang dipilih untuk melakukan penelitian ini adalah Posyandu desa
Tegal Rejo, karena pada tempat ini merupakan prevalensi tertinggi kerjadian diare
pada balita selama bulan september. Penelitian ini dilakukan pada kegiatan
posyandu dan kunjungan rumah selama bulan Oktober 2016.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang dapat terdiri dari
manusia, hewan, tumbuhan, gejala, nilai tes, atau peristiwa, sebagai sumber data
20

yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian (Notoadmodjo, 2002).


Populasi yang penelitia gunakan sebagai obyek penelitian adalah seluruh balita
yang mengikuti kegiatan Posyandu Desa Tegal Rejo kecamatan Mayang yang
dipilih secara consecutive.

3.3.2 Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan stratified random
sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Dimana dalam setiap dusun
akan diambil jumlah yang sama hingga memenuhi kebutuhan sampel minimal
menurut Roscoe (1975) yaitu sebanyak 30 balita.

3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi


Kriteria inklusi dari sampel penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pernah mengalami diare dalam kurun waktu tiga bulan terakhir (agustus,
september, oktober).
b. Bersedia menjadi sampel penelitian.
c. Mengikuti kegiatan posyandu Desa Tegalrejo pada bulan Oktober 2016.
d. Tinggal di Desa Tegal Rejo

Sedangkan, kriteria ekslusi dari sampel penelitian adalah sebagai berikut:


a. Balita menderita penyakit kronis, atas diagnosis dokter.
b. Tidak bersedia mengisi kuesioner penelitian.

3.5 Variabel Penelitian


Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independen) dan
variabel terikat. Berikut ini adalah variabel-variabel dalam penelitian ini:
a. Variabel bebas
 Jenis kelamin
 Usia
 Pemberian ASI eksklusif
 Riwayat imunisasi
21

 Kepemilikan jamban
 Jenis lantai rumah
 Perilaku cuci tangan ibu
 Penangan sampah
 Kebersihan makanan dan minuman

b. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian diare pada balita.

3.6 Definisi operasional


Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Cara
pengukuran
1. Balita Semua anak berusia kurang dari 5 Wawancara
tahun yang terdaftar kegiatan
Posyandu desa Tegal Rejo
2. Diare Penyakit yang ditandai dengan Wawancara
perubahan bentuk dan konsistensi tinja
lembek atau setengah cair dan
frekuensinya 3 kali atau lebih dalam
sehari. Berlangsung beberapa jam
sampai 14 hari.
3. Jenis kelamin Keadaan tubuh secara gender yang Wawancara
dibedakan secara fisik
4. Usia Umur responden yang dihitung Wawancara
berdasarkan ulang tahun terakhir
5. Pemberian ASI Pemberian ASI secara ekslusif tanpa Wawancara
eksklusif makanan pendamping lain selama
enam bulan
6. Kepemilikan Ada tidaknya jamban di rumah Wawancara
22

jamban responden
7. Riwayat imunisasi Imunisasi yang diperoleh responden Wawancara
berdasarkan Program Program
Pengembangan Imunisasi (PPI)
8. Jenis lantai rumah Permukaan lantai rumah tempat Wawancara
tinggal responden
9. Perilaku cuci Kebiasaan responden setiap hari Wawancara
tangan membersihkan tangan
10. Penanganan Ketersediaan dan jenis tempat sampah Wawancara
sampah baik di dalam ataupun di luar rumah
responden
11. Kebersihan Kebiasaan sehari-hari responden Wawancara
makanan dan dalam menjaga kebersihan makanan
minuman dan minuman sehari-hari saat akan di
konsumsi

3.7 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data merupakan salah satu aspek yang berperan
dalam kelancaran dan keberhasilan dalam suatu penleirian. Dalam penelitian ini
metode pengumpulan dara yang digunakan adalah angker atau kuesioner. Angket
atau kuesioner adalah teknik pengumpulan data melalui formulir pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau sekumpulan orang
untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan dan informasi yang diperlukan oleh
penelitia (Mardalis, 2008). Penelitian ini menggunakan angket atau kuesioner,
daftar pertanyaan dibuat secara berstruktur dengan bentuk pertanyaan tertutup.

3.8 Teknik Penyajian Data


Penyadian data merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan dalam
pembuatan laporan hasil penelitian yang telah dilakukan agar dapat dipahami,
dianalisis sesuai dengan tujuan yang diinginkan dan kemudian ditarik kesimpulan
23

sehingga menggambarkan hasil penelitian (Suyanto, 2005). Adapun teknik


penyajian data yang dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan dara (Edititng)
Editing dimaksudkan agar sebelum diolah, data sudah tertata dan
terinsi dengan baik. Editing dilakukan sebelum pengolahan data. Data yang
dikumpulkan dari kuesioner dibaca dan diperbaiki, apabila terdapat hal-hal
yang salah atau meragukan.
b. Pemeriksaan Kode (Coding)
Pemberian kode pada setiap atribut dari setiap variabel yangditeliti
untuk mempermudah waktu saat mengadakan tabulasi dan analisis.
c. Pemberian Nilai (Scoring)
Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan skor atau nilai jawaban
dengan nilai tertinggi sampai nilai terendah dari kuesioner yang dianjurkan
kepada para responden.
d. Tabulasi (Tabulating)
Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasukkan data yang diperoleh
ke dalam tabel sesuai dengan variabel yang diteliti.
e. Entry
Merupakan kegiatan memsukkan data ke dalam aplikasi untuk diolah
lebih lanjut.

3.9 Analisis Data


Pemrosesan data dalam penelitian ini dilakukan dengan program SPSS
16.0 for Windows. Data yang telah terkumpul dari kuesioner dianalisis dengan
menggunakan 3 metode analisis, yaitu analisis univariat, bivariat dan multivariat.
Metode analisis ini adalah analisis yang dilakukan untuk menjelaskan hipotesis
hubungan variabel bebas dan variabel terikat. Analisis dalam penelitian ini
dilakukan dengan uji chi square. Setelah dilakukan uji Chi Square, analisis
bivariat dianggap bermakna jika nilai P<0,05 dan dianggap berpotensi untuk
dilakukan analisis multivariat bila nilai P<0,25.
24

Metode analisis multivariat merupakan metode pengolahan variabel


dalam jumlah banyak, untuk mencari pengaruhnya terhadap suatu obyek secara
simultan (Santoso, 2004). Dalam analisis multivariat, akan diketahui variabel
bebas yang paling berpengaruh terhadap variabel terikat. Analisis multivariat
dalam penelitian ini menggunakan metode regresi logistik. Regresi logistik
digunakan untuk menganalisis hubungan satu atau beberapa variabel bebas
dengan variabel terikat.

3.10 Alur Penelitian

Balita yang mengikuti Pernah diare dalam 3


kegiatan Posyandu dan bulan terakhir
keluarga yang memiliki balita

Bebas diare dalam 3 Kuesioner


bulan terakhir

 Usia
 Jenis kelamin
 Pemberian ASI ekslusif
 Riwayat imunisasi
 Kepemilikan jamban
 Jenis lantai rumah
 Perilaku mencuci tangan
 Penanganan sampah di rumah
 Kebersihan makanan dan minuman

Pengolahan dan analisis


data

Gambar 3.1 Alur penelitian


25

3.11 Izin penelitian


Perijinan mini research ini diajukan kepada Kepala UPT Puskesmas
Mayang.
26

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan cara analisis dengan mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Pada umumnya analisis
ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel. Analisis
univariat pada penelitian ini terdiri dari jenis kelamin, usia, pemberian ASI
eksklusif, kepemilikan jamban, riwayat imunisasi, jenis lantai rumah, perilaku
mencuci tangan ibu, penanganan sampah dirumah, kebersihan makanan dan
minuman. Jumlah sampel pada mini riset ini diambil secara straffied random
sampling sebesar 32 responden.
Dalam diagram batang berikut adalah distribusi karakteristik responden:
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

20

0
perempuan laki-laki

Gambar 4.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan tabel dan diagram di atas, dari total 32 responden, persebaran


karekteristik responden berdasar jenis kelamin menunjukkan bahwa sebanyak 18
responden berjenis kelamin perempuan dan 14 responden berjenis kelamin laki-
laki. jadi, terlihat presentase tertinggi adalah responden dengan jenis kelamin
perempuan, yaitu sebesar 56,2 % dan presentasi terendah adalah responden
dengan jenis kelamin laku-laki yaitu sebesar 43,8 %
27

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

40

20

0
1-12 bulan 13-60 bulan
Gambar 4.2 Karakteristik reponden berdasarkan usia

Berdasarkan diagram di atas, dari total 32 responden di Desa Tegalrejo


persebaran karakteristik responden berdasar usia menunjukkan bahwa sebanyak 5
responden (15,6%) merupakan kelompok umur 1-12 bulan dan 27 responden
(84,4%) merupakan kelompok umur 13-60 bulan. Jadi, terlihat presentase
responden dengan kelompok umur 1-12 bulan yaitu 15,6 % lebih tinggi dari
presentase responden dengan kelompok umur 13-60 bulan yaitu sebesar 84,4 %.

c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif

40

20

0
mendapat ASI eksklusif tidak mendapat ASI eksklusif
Gambar 4.3 Karakteristik responden berdasarkan pemberian ASI eksklusif

Berdasarkan diagram di atas, dari total 32 responden di Desa Tegalrejo


persebaran karakteristik responden berdasar pemberian ASI eksklusif
menunjukkan bahwa sebanyak 22 responden (68,8%) merupakan kelompok yang
mendapat ASI eksklusif dan 10 responden (31,2%) merupakan kelompok yang
tidak mendapatkan ASI ekslusif. Jadi, terlihat presentase responden yang
mendapat ASI eksklusif yaitu 68,8 % lebih tinggi dari presentase responden yang
tidak mendapat ASI eksklusif yaitu sebesar 31,2 %.
28

d. Karakteristik Responden Berdasarkan Riwayat Imunisasi

40

20

0
lengkap tidak lengkap
Gambar 4.5 Karakteristik responden berdasarkan riwayat imunisasi

Berdasarkan diagram di atas, dari total 32 responden di Desa Tegalrejo


persebaran karakteristik responden berdasar kelompok yang mendapatkan
Imunisasi Dasar Lengkap menunjukkan bahwa sebanyak 29 responden (90,6%)
merupakan kelompok yang mendapat Imunisasi Dasar Lengkap dan 3 responden
(9,4%) merupakan kelompok yang tidak mendapatkan Imunisasi Dasar Lengkap.
Jadi, terlihat presentase responden yang mendapat Imunisasi Dasar Lengkap yaitu
90,6 % lebih tinggi dari presentase responden yang tidak mendapat Imunisasi
Dasar Lengkap yaitu sebesar 9,4 %.

e. Karakteristik Responden Berdasarkan Kepemilikan Jamban

40

20

0
memiliki jamban tidak memiliki jamban
Gambar 4.4 Karakteristik responden berdasarkan kepemilikan jamban

Berdasarkan diagram di atas, dari total 32 responden di Desa Tegalrejo


persebaran karakteristik responden berdasar kepemilikan jamban menunjukkan
bahwa sebanyak 22 responden (68,8%) sudah memiliki jamban dan menggunakan
jamban sesuai kegunaannya dan 10 responden (31,2%) belum memilik jamban.
Jadi, terlihat presentase responden yang memiliki jamban yaitu 68,8 %, nilai ini
29

lebih tinggi dari presentase responden yang belum memiliki jamban, yaitu sebesar
31,2 %.

f. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Lantai Rumah

20

15

10

0
tanah papan semen keramik

Gambar 4.6 Karakteristik responden berdasarkan jenis lantai rumah

Berdasarkan diagram di atas, dari total 32 responden di Desa Tegalrejo


persebaran karakteristik responden berdasar jenis lantai rumah, menunjukkan
bahwa sebanyak 17 responden memiliki rumah benlantai keramik, 12 responden
memiliki rumah berlantai semen, 3 orang responden memiliki rumah berlantai
tanah, dan tidak ada responden yang memiliki rumah berlantai papan. jadi, terlihat
presentasi tertinggi adalah responden yang memilki rumah berlantai keramik,
yaitu sebesar 53,125 %, dan presentase terendah adalah responden yang memilki
rumah berlantai papan, yaitu sebesar 0%.
g. Karakteristik Responden Berdasarkan Perilaku Mencuci Tangan Ibu

40

20

0
baik buruk
Gambar 4.7 Karakteristik responden berdasarkan perilaku mencuci tangan ibu
30

Berdasarkan diagram di atas, dari total 32 responden di Desa Tegalrejo


persebaran karakteristik responden berdasar katagori perilaku cuci tangan ibu
menunjukkan bahwa sebanyak 30 responden (93,8%) merupakan kategori
perilaku cuci tangan ibu yang baik dan 2 responden (6,2%) merupakan kelompok
kategori perilaku cuci tangan ibu yang buruk. Jadi, terlihat presentase responden
dengan kategori perilaku cuci tangan ibu yang baik yaitu 93,8 % lebih tinggi dari
presentase kategori perilaku cuci tangan ibu yang buruk yaitu sebesar 6,2 %.

h. Karakteristik Responden Berdasarkan Penangan Sampah Di rumah

40

20

0
baik buruk
Gambar 4.8 Karakteristik responden berdasarkan penanganan sampah di rumah

Berdasarkan tabel dan diagram di atas, dari total 32 responden, persebaran


karakteristik responden berdasar penanganan sampah di rumah menunjukkan
bahwa sebanyak 31 responden memilki penanganan sampah yang buruk dirumah,
dan 1 responden memiliki penanganan sampah yang baik dirumah. jadi, terlihat
presentasi tertinggi adalah responden dengan penanganan sampah yang buruk,
yaitu sebesar 96,9%, dan presentase terendah adalah responden dengan
penanganan sampah yang baik, yaitu sebesar 3,1 %
31

i. Karakteristik Responden Berdasarkan Kebersihan Makanan Dan Minuman

20
10
0
baik buruk

Gambar 4.9 Karakteristik responden berdasarkan tingkat kebersihan makanan dan


minuman

Berdasarkan tabel dan diagram di atas, dari total 32 responden, presebaran


karakterisrik responden berdasar tingkat kebersihan makanan dan minuman
menunjukkan bahwa sebanyak 18 responden memiliki tingkat kebersihan
makanan dan minumnan yang buruk, dan 14 responden memiliki tingkat
kebersihan makanan dan minuman yabg baik. Jadi, terlihat presentase tertinggi
adalah responden dengan tingkat kebersihan makanan dan minuman yang buruk
yaitu sebesar 56,2%, dan presentase terendah adalah responden dengan tinggkat
kebersihan makanan dan minuman yang buruk, yaitu sebesar 43,8 %.

4.1.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan untuk
menghubungkan masing-masing variabel independen dengan variabel dependen
dengan tingkat kemaknaan alpha 0,05. Dalam penelitian ini, analisis bivariat yang
dilakukan adalah analisis dengan metode Chi-Square.
Berikut ini adalah analisis uji bivariat Chi-Square:
a. Analisis Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Diare
Tabel 4.1 hubungan jenis kelamin dengan kejadian diare
Jenis Kejadian diare 3 bulan terakhir Total P OR
Kelamin Pernah Tidak pernah N % Value
N % N %
Perempuan 9 56,2 9 56,2 18 56,2 1,000 1,000
Laki-laki 7 43,8 7 43,8 14 43,8
Total 16 100 16 100 32 100
32

Dari tabel di atas, dapat di tunjukkan bahwa responden dengan jenis


kelamin perempuan yang pernah diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak 9
responden (56,2%) dan yang tidak pernah diare dalam 3 bulan terakhir sebabnyak
9 responden (56,2%). Sedangkan responden dengan jenis kelamin laki-laki yang
pernah diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak 7 responden, dan yang tidak pernah
diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak 7 responden. Dari hasil uji statistik,
didaptkan nilai P = 1,000 dan nilai OR = 1,000 (CI 95%=0,247-4,042), sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin
dengan kejadian diare di Desa Tegal rejo, namun pada responden dengan jenis
kelamin perempuan memiliki risiko 1 kali lebih besar untuk terkena diare
dibandingkan dengan responden dengan jenis kelamin laki-laki.

b. Analisis Hubungan Usia dengan Kejadian Diare


Tabel 4.2 Hubungan usia dengan kejadian diare
Jenis Kejadian diare 3 bulan terakhir Total P OR
Kelamin Pernah Tidak pernah N % Value
N % N %
1-12 bulan 2 12,5 3 18.8 5 15,6 0,626 0,619
13-60 bulan 14 87,5 13 81,2 27 84,4
Total 16 100 16 100 32 100

Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa responden dengan usia 1-12
bulan yang pernah diare sebanyak 2 responden (12,5%) dan yang tidak perbah
diare sebanyak 3 responden (18,8%). Sedangkan responden dengan usia 13-60
bulan yang pernah diare adalah sebanyak 14 responden (87,5%) dan tidak pernah
diare sebanyak 13 responden (81,2%). Dari hasil uji statistik, didapatkan nilai P =
0,626 dan OR=0,619 (CI 95% = 0,089-4,316), sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan bermakna antara usia dan kejadian diare, namun respon
dengan usia 13-60 bulan memiliki resiko 0,6 kali lebih tinggi untuk terkena diare
daripada responden yang berusia kurang dari 12 bulan.
33

c. Analisis Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Diare


Tabel 4.3 Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare
Jenis Kelamin Kejadian diare 3 bulan terakhir Total P OR
Pernah Tidak pernah N % Value
N % N %
Dapat ASI 12 75,0 10 62,5 22 68,8 0,446 1,800
Ekslkusif
Tidak dapat ASI 4 25,0 6 37,5 10 31,2
Ekslkusif
Total 16 100 16 100 32 100

Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa responden yang mendapat ASI
eksklusif dan pernah diare sebanyak 12 responden (75,0%) dan yang tidak perbah
diare sebanyak 10 responden (62,5%). Sedangkan responden yang tidak mendapat
ASI eksklusif dan pernah diare adalah sebanyak 4 responden (25,0%) dan tidak
pernah diare sebanyak 6 responden (37,5%). Dari hasil uji statistik, didapatkan
nilai P = 0,446 dan OR=1,800 (CI 95% = 0,394-8,215), sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pemberian ASI eksklusif
dan kejadian diare.

d. Analisis Hubungan Riwayat Imunisasi dengan Kejadian Diare


Tabel 4.5 Hubungan riwayat imunisasi dengan kejadian diare
Jenis Kejadian diare 3 bulan terakhir Total P OR
Kelamin Pernah Tidak pernah N % Value
N % N %
Imunisasi 13 81,2 16 100 29 90,6 0,069
lengkap
Imunisasi 3 18,8 0 0 3 9,4
tidak/belum
lengkap
Total 16 100 16 100 32 100

Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa responden yang mendapat


Imunisasi Dasar Lengkap dan pernah diare sebanyak 13 responden (81,2%) dan
yang tidak perbah diare sebanyak 16 responden (100%). Sedangkan responden
yang tidak mendapat Imunisasi Dasar Lengkap dan pernah diare adalah sebanyak
3 responden (18,8%) dan tidak pernah diare sebanyak 0 responden (0%). Dari
hasil uji statistik, didapatkan nilai P = 0,069 dan risk estimate cohort=0,448 (CI
95% = 0,299-0,671), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
34

bermakna antara riwayat Imunisasi Dasar Lengkap dengan kejadian diare, namun
reesponden dengan riwayat imunisasi belum lengkap mempunyai risiko 0,4 kali
lebih besar untuk terkena diare daripada responden dengan imunisasi yang sudah
lengkap . Faktor ini kemudian perlu dilanjutkan dengan analisis multivariat.

e. Analisis Hubungan Kepemilikan Jamban dengan Kejadian Diare


Tabel 4.4 Hubungan kepemilikan jamban dengan kejadian diare
Jenis Kejadian diare 3 bulan terakhir Total P OR
Kelamin Pernah Tidak pernah N % Value
N % N %
Memiliki 4 25,0 6 37,5 10 31,2 0,446 0,556
jamban
Tidak 12 75,0 10 62,5 22 68,8
memiliki
jamban
Total 16 100 16 100 32 100

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki jamban
dan pernah diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak 4 (25%) responden, dan yang tidak
pernah diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak 6 (37,5%) responden. Sedangkan
responden yang tidak memiliki jamban dan pernah diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak
12 (75,0%) responden dan yang tidak pernah diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak
10(62,5%) responden. Dari uji statistik, didapatkan nilai P =0,446 dan nlai OR = 0,556
(CI 95%=0,122-2,536), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
kepemilikan jamban dengan kejadian diare di desa tegal Rejo, namun responden yang
tidak memiliki jamban memiliki risiko 0,5 kali lebih besar untuk terkena diare daripada
yang memiliki jamban.

f. Analisis Hubungan Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian Diare


Tabel 4.6 Hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian diare
Jenis Kejadian diare 3 bulan terakhir Total P OR
Kelamin Pernah Tidak pernah N % Value
N % N %
Tanah 3 18,8 0 0 3 9,4 0,069
Bukan 13 81,2 16 100 29 90,6
tanah
Total 16 100 16 100 32 100
35

Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa semua responden yang memiliki
rumah berlantai tanah, pernah diare dalam 3 bulan terakhir, yaitu sebanyak 3 (18
responden. sedangkan responden yang memiliki rumah berlantai bukan tanah dan pernah
diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak 13 (81,2%) responden, dan yang tidak pernah
diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak 16 (100%) responden. Dari uji statistik didapatkan
nilai P=0,069 dan Risk Estimate Cohort=2,231 (CI 95%=1,490-3,340), sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis lantau rumah dengan
kejadian diare, namun responden yang yang memiliki rumah berlantai tanah memiliki
resiko 2 kali lebih besar daripada responden yang memiliki rumah bukan tanah. Faktor ini
kemudian dilanjutkan dengan analisis multivariat.

g. Analisis Hubungan Perilaku Mencuci Tangan Ibu dengan Kejadian Diare


Tabel 4.7 Hubungan perilaku mencuci tangan ibu ibu dengan kejadian diare
Jenis Kejadian diare 3 bulan terakhir Total P OR
Kelamin Pernah Tidak pernah N % Value
N % N %
Baik 14 87,5 16 100 30 93,8 0,144
Buruk 2 12,5 0 0 2 6,2
Total 16 100 16 100 32 100

Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa ibu dengan perilaku cuci
tangan baik dan anaknya pernah diare sebanyak 14 responden (87,5%) dan yang
tidak perbah diare sebanyak 16 responden (100%). Sedangkan ibu dengan
perilaku cuci tangan buruk dan anaknya pernah diare adalah sebanyak 2
responden (12,5%) dan tidak pernah diare sebanyak 0 responden (0%). Dari hasil
uji statistik, didapatkan nilai P = 0,144 dan Risk Estimate Cohort=0,467 (CI 95%
= 0,318-0,684), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna
antara perilaku cuci tangan ibu dengan kejadian diare pada anak, namun
responden dengan prilaku cucui tangan ibu yang buruk memiliki risiko 0,1 kali
lebih besar terkena diare daripada rseponden dengan perilaku cuci tangan ibu yang
baik. Faktor ini selanjutnya perlu dilanjutkan dengan analisis multivariat.
36

h. Analisis Hubungan Penanganan Sampah di Rumah dengan Kejadian Diare


Tabel 4.8 Hubungan penanganan sampah di rumah dengan kejadian diare
Jenis Kejadian diare 3 bulan terakhir Total P OR
Kelamin Pernah Tidak pernah N % Value
N % N %
Baik 1 6,2 0 0 1 3,1 0,310 2,067
Buruk 15 93,8 16 100 31 96,9
Total 16 100 16 100 32 100

Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa semua responden yang


memiliki penanganan sampah yang baik dirumah, pernah mengalami diare dalam
tiga bulan terakhir, yaitu sebanyak 1 (6,2%) responden. Sedangkan responden
dengan penanganan sampah yang buruk di rumah dan pernah mengalami diare
daam tiga bulan terakhir sebanya 15 (93,8%) responden dan yang tidak pernah
mengalami diare sebanyak 16 (100%) responden. Dari uji statistik, didapatkan
nilai P=0,310 dan OR (CI 95%=1,437-2,973), sehingga dapat disimpulkan tidak
ada hubungan yang bermakna antara penanganan sampah dirumah dengan
kejadian diare namun responden dengan penanganan sampah yang buruk memiliki
risiko 2 kali lebih besar untuk terkena diare daripada responden dengan
penanganan sampah yang baik.

i. Analisis Hubungan Kebersihan Makanan Dan Minuman di Rumah dengan


Kejadian Diare
Tabel 4.9 Hubungan tingkat kebersihan makanan dan minuman di rumah dengan kejadian
diare
Jenis Kejadian diare 3 bulan terakhir Total P OR
Kelamin Pernah Tidak pernah N % Value
N % N %
Baik 6 37,5 8 50,0 14 43,8 0,476 0,600
Buruk 10 62,5 8 50,0 18 56,2
Total 16 100 16 100 32 100

Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa responden dengan tingkat keberishan
makanan dan minuman baik dan pernah mengalami diare dalam tiga bulan terakhir
sebnyak 6 (37,5%) responden dan yang tidak pernah mengalami diare sebanyak 8 (50%)
responden. Sedangkan responden dengan tingkak kebersihan makanan dan minuman
yang buruk dan pernah mengalami diare dalam tiga bulan terakhir sebnyak 10 (62,5%)
37

responden dan yang tidak pernah mengalami diare dalam tiga bulan terakhir sebanyak 8
(50%) responden. dari uji statistik, didaptkan nilai P=0,476 dan OR=0,600 (CI
95%=0,147-2,455), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara tingkat kebersihan makan dan minuman dengan kejadian diare namun
responden dengan tingkat kebersihan makanan dan minuman yang buruk memiliki resiko
0,6 kali lebih besar untuk terkena diare dari pada responden dengan tingkat kebersihan
makanan dan minuman yang baik.

4.1.3 Analisis Multivariat


Metode analisis multivariat merupakan metode pengolahan variabel dalam
jumlah banyak untuk mencari pengaruhnya terhadap suatu objek secara simultan.
Dalam penelitian ini digunakan analisis multivariate dengan metode regresi
logistik. Suatu data memenuhi kriteria untuk dilakukan uji regresi logistik jika
p≤0,25. Berikut ini adalah nilai alpha masing-masing variablel bebas (independen)
terhadap variabel terikat (dependen):
Tabel 4. 10 Nilai p masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat
Variabel Nilai P
Usia 0,626
Jenis Kelamin 1,000
Riwayat Pemberian ASI Eksklusif 0,446
Kepemilikan Jamban 0,446
Riwayat Imunisasi Dasar Lengkap 0,069
Jenis Lantai Rumah 0,069
Perilaku Mencuci Tangan Ibu 0,144
Penanganan Sampah di Rumah 0,310
Kebersihan Makanan Dan Minuman Dirumah 0,476

Dari tabel di atas, diketahui bahwa variabel yang memenuhi syarat untuk
dilakukan uji regresi logistik adalah riwayat Imunisasi Dasar Lengkap, jenis lantai
rumah dan perilaku mencuci tangan ibu, dengan nilai p masing-masing adalah
0,069; 0,069; dan 0,144. Berikut ini adalah hasil uji regresi logistik untuk variabel
riwayat Imunisasi Dasar Lengkap, jenis lantai rumah dan perilaku mencuci tangan
ibu terhadap kejadian diare pada balita:
38

Tabel 4.11 Analisis multivariat uji regresi logistik riwayat Imunisasi Dasar Lengkap, jenis
lantai rumah dan perilaku mencuci tangan ibu terhadap kejadian diare pada balita
Variabel P value Exp (B)/ OR CI 95%
Riwayat imunisasi 0,999 3,231 0,000-(-)
Jenis lantai rumah 0,999 0,000 0,000-(-)
Perilaku cuci tangan 0,999 3,231 0,000-(-)
ibu

Dari tabel di atas, diketahui tidak ada variabel yang dianggap bermakna
dalam mempengaruhi kejadian diare secara signifikan.

4.2 Pembahasan
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
jenis kelamin responden dengan kejadian diare. Presentasi jenis kelamin
perempuan sebesar 56,2%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Mannan dan Rahman (2010) bahwa kejadian diare tidak berhubungna dengan
jenis kelamin. Pada umumnya wanita memang memiliki risiko lebih besar untuk
terkena diare karena faktor pekerjaan dan paparan (kegiatan rumah tangga).
Kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga dapat berpengaruh terhadap kejadian
diare, seperti memasak, membersihkan rumah dari debu, dan tugas-tugas lainnya
yang menjadi sumber paparan patogen dalam rumah tangga serta berbagai bahan
kimia. Perbedaan hasil pada penelitian ini, dikarenakan responen melibatkan
balita sehingga baik balita laki-laki maupun perempuan memiliki kegiatan sehari-
hari, prilaku, dan kebiasaan yang nyari sama.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa usia tidak memiliki pengaruh
terhadap kejadian diare balita di Desa Tegalrejo, dengan nilai P = 1,000. Hal
tersebut dikarenakan dipengaruhi faktor mobilisasi dan interaksi balita. Balita
dengan rentang usia 1-12 bulan memang lebih sedikit peluang untuk mobilisasi ke
tempat atau area yang terjangkit mikroorganisme penyabab diare, namun adanya
interaksi balita usia 1-12 bulan dengan orang yang membawa bibit kuman diare
dapat saja menyebabkan balita tersebut menderita diare. Begitupun sebaliknya
dengan balita yang berusia 13-60 bulan dapat saja dengan mudah mobilisasi ke
tempat atau area yang mengandung mikroorganisme penyebab diare, namun jika
balita berinteraksi dengan orang yang mampu menjaga kebersihan diri
39

kemungkinan menderita diare akan sangat kecil (Irianto et al, 1996). Pada
penelitian ini, didapatkan hasil bahwa usia tidak berpengaruh pada kejadian diare
balita, kemungkinan dikarenakan oleh usia responden banyak yang homogen dan
distribusi kelompok umur yang tidak merata sehingga menyulitkan analisis faktor
risiko usia.
Hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare
pada balita di Desa Tegalrejo dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak
memiliki pengaruh signifikan, yakni nilai P = 0,446. Diketahui bahwa di dunia
khususnya di negara berkembang, pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6
bulan dapat mengurangi paparan terhadap mikroba patogen, karena terbukti angka
morbiditas dan mortalitas penyakit diare akibat infeksi meningkat setelah bayi
mendapat makanan tambahan (WHO, 2001). Di awal masa kehidupan bayi,
imunoglobulin A sekretorik (sIgA) yang dihasilkan oleh mukosa usus bayi belum
dapat berperan secara optimal di dalam sistem pertahanan mukosa usus. Pada bayi
yang mendapatkan ASI, pertahanan imun pada jaringan usus bayi dibantu oleh
komponen imun ASI. Salah satunya adalah antibodi sIgA yang merupakan
komponen imun utama, yang dapat mengikat mikroba patogen, mencegah
perlekatannya pada sel enterosit di usus, dan mencegah reaksi imun yang bersifat
inflamasi (Hanson, 2007). Pemberian ASI eksklusif ini juga dipengaruhi oleh
perilaku kebersihan ibu terhadap perantara organisme penyebab diare, salah satu
contohnya adalah kebersihan daerah payudara ibu. Meski balita telah
mendapatkan kekebalan pasif alami dari dalam tubuhnya tapi apabila seringnya
terpapar bakteri penyebab diare maka akan menyebabkan sistem imun balita turun
dan pada akhirnya terkena diare.
Tidak ada hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare,
nilai P=0,446. Kepemilikan fasilitas jamban tidak memiliki kontribusi yang besar
untuk pencegahan penyakit tetapi pemanfaatan yang sangat penting (Trung et al,
2002). Pembuangan tinja yang aman adalah salah satu cara menghambat transmisi
patogen. Jenis fasilitas yang digunakan tidak menjadi masalah, sebaliknya kondisi
penggunaanlah yang perlu diperhatikan. Sarana pembuangan tinja yang buruk
dalam penelitian ini bukan merupakan faktor risiko terjadinya diare. Hal ini
40

kemungkinan disebabkan pemanfaatan fasilitas jamban yang kurang. Kepemilikan


jamban tidak berkontribusi untuk pencegahan penyakit tetapi pemanfaatan
fasilitaslah yang penting. Kemungkinan lingkungan sekitar jamban tidak bersih,
kotoran dan saluran pembuangan dapat mengundang kehadiran lalat dan binatang
lainnya dan mencemari lingkungan. Penyebab lain dalam penelitian kemungkinan
disebabkan cara penanganan tinja anak atau bayi, perilaku penanganan tinja bayi
atau anak oleh responden adalah buruk. Dapat disimpulkan bahwa sarana
pembuangan jamban dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan diare. Namun
pemanfaatan atau penggunaan jamban adalah penting, sehingga perlu dilakukan
penyuluhan tentang pentingnya pemanfaatan jamban dalam mencegah diare
Kejadian diare pada balita di Desa Tegalrejo apabila dihubungkan dengan
faktor riwayat Imunisasi Dasar Lengkap pada penelitian ini menunjukkan tidak
adanya hubungan yang signifikan dengan nilai P = 0,069. Sejatinya imunisasi
berperan meningkatkan daya tahan tubuh balita terhadap serangan beberapa
penyakit yang berefek terhadap salura pencernaan dan mengakibatkan diare. Diare
sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi campak juga
dapat mencegah diare. Oleh karena itu segera memberikan anak imunisasi campak
setelah berumur 9 bulan. Diare sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak
yang sedang menderita campak, hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan
tubuh penderita (IDAI, 2010). Tidak mengurangi kemungkinan balita yang telah
mendapat imunisai dasar yang lengkap juga dapat terkena diare, hal ini
disebabkan oleh lamanya balita terpapar faktor-faktor penyebab diare. Balita laki-
laki yang cenderung bermain di tempat yang kurang bersih, seperti tanah, lumpur,
atau pasir seringkali setelah bermain tidak membersihkan diri namun langsung
mengkonsumsi makanan.
Hasil uji statistik jenis lantai rumah tidak berhubungan dengan kejadian
diare (nilai P=0,069). Hal ini tidak sesuai dengan penelian Umiati, 2010; yang
mengatakan bahwa ada hubungan antara jenis lantai rumah yang tidak kedap air
dengan kejadiare pada balita namun sama dengan temuan peneliti lain milik
Ragassa et al., 2008; mengatakan bahwa kondisi rumah (lantai) tidak berhubungan
dengan kajadian diare. Lantai bukan faktor risiko terjadinya diare karena
41

kemungkinan sebagaian besar aktifitas keluarga bukan di lantai, dan lantai sering
dibersihkan. Hal ini didukung oleh teori bahwa kondisi pemeliharaan rumah dapat
mempengaruhi kesehatan penghuni dan lantai bukan merupakan tempat yang
paling dominan untuk melakukan aktifitas serta kemungkinan saat beraktifitas di
lantai, responden banyak menggunakan alas berupa tikar atau karpet, sehingga
kotoran atau debu yang ada pada lantai tidak langsung mengkontaminasi
responden (Hidayanti, 2012). Namun rendahnya pendidikan dalam penelitian ini,
mengakibatkan rendahnya pengetahuan responden tentang hidup sehat. Sehingga
risiko untuk mendapatkan diare tetap ada. Oleh sebab itu penyuluhan tentang
kebersihan, terutama rumah harus dilakukan. Lantai rumah harus dibersihkan,
dipel minimal 1 kali seminggu. Sehingga dapat mencegah penyebaran pathogen
melalui lantai.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor mencuci tangan ibu
tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian diare balita di Desa Tegalrejo, dengan
nilai P = 0,144. Pada umumnya ibu dan anak akan mencuci tangan 15 menit
setelah kontak dengan daerah anal dan ibu lebih sering mencuci tangannya
daripada anaknya. Jika anak tidak mencuci tangan, meskipun tangan ibu telah
bersih, apabila ibu memegang tangan anak lalu memberikan makanan, maka anak
tersebut dapat berpotensi terkena diare. Faktor lainnya adalah cara untuk mencuci
tangan, volume air yang kurang, tidak menggunakan sabun, sumber mata air dan
lingkungan yang buruk. Faktor penggunaan air yang sedikit dapat disebabkan oleh
kurangnya status ekonomi pada keluarga tersebut. Adanya kebiasaan ibu bahwa ia
menganggap telah mencuci tangan bersamaan dengan saat mencuci pakaian, alat
alat makan atau bahan makanan yang akan diolah. Persepsi lainnya adalah bahwa
mencuci tangan hanya dengan air saja sudah cukup atau mencuci tangan dengan
air menggenang sama baiknya dengan air mengalir (Loposita et al, 2014)
Variabel penanganan sampah pada penelitian ini bukan merupakan faktor
risiko terajdinya diare. Hasil analisis bivariat menunjukkan nilai P=0,310. Hasil
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Zikanis (2003), namun berbeda
dengan penelitian Regassa et al., (2008) yang menyatakan ada hubungan diare
dengan tidak tersedianya tem[at sampah yang memenuhi syarat kesehatan.
42

Sampah yang dibakar memiliki kemungkinan lebih kecil dibandingkan dengan


membuang sampah di tempat terbuka. Penanganan sampah yang buruk dalam
rumah berhubungan dengan hadirnya lalat, dan lalat inilah yang berkolerasi
dengna kejadian diare. Pada penelitian ini, sampah bukan faktor risiko terjadinya
diare. Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan karena sampah
bukanlah faktor yang langsung menyebabkan diare. Sampah hanya penyebab
utama pencemaran lingkungan. Selain itu kebiasaan responden yang langsung
membakar sampah yang bertumpuk, atau membuangnya ke sungai/kali shinggah
sampah tidak berserakan dan lingkungan di dalam dan di sekitar rumah tetap
terjaga kebersihannya.
Hasil penelitian menujukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
kebersihan makanan dan minuman dengan kejadian diare pada balita. Penyakit
diare dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti misalnya ketidakmampuan
mencerna zat gula/susu sapi dalam diet (Addy,1993) dan juga perilaku
menyimpan hidangan yang tidak baik sehingga terkontaminasi bibit penyakit yang
dibawa oleh vektor/lalat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Toyo (2005),
bahwa risiko terjadinya diare pada balita yang keluarganya menyimpan
hidangan/makanan secara terbuka mempunyai risiko terjadi diare 3,35 kali lebih
besar daripada balita yang keluarganya menyimpan makanan /hidangan secara
tertutup. Perbedaan hasil pada penelitian ini dikarenan respon adalah balita,
sehingga makanan yang dikonsumsi responden tidak sama dengan makanan yang
dikonsumsi orant tua kerna telah responden diberikan makan sesuai dengan
kebutuhan balita, baik berupa MPASI, nasi Tim Saring, atau nasi tim biasa.
43

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
a. Dari faktor-faktor yang diteliti (jenis kelamin, usia, riwayat pemberian ASI
eksklusif, kepemilikan jamban, riwayat Imunisasi Dasar Lengkap, jenis lantai
rumah, perilaku mencuci tangan ibu, penanganan sampah di rumah, serta
kebersihan makanan dan minuman di rumah) tidak ada faktor yang
berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian diare pada balita di Desa
Tegalrejo, hal ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian.
b. Faktor-faktor yang diteliti (jenis kelamin, usia, riwayat pemberian ASI
eksklusif, kepemilikan jamban, riwayat Imunisasi Dasar Lengkap, jenis lantai
rumah, perilaku mencuci tangan ibu, penanganan sampah di rumah, serta
kebersihan makanan dan minuman di rumah) memiliki keterkaitan antara satu
dengan yang lain dalam mempengaruhi kejadian diare pada balita di Desa
Tegalrejo, terutama keterkaitan antar faktor tersebut mengakibatkan terjadinya
kontaminasi atau paparan dari mikroorganisme penyebab diare lebih sering.

5.2 Saran
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai adanya faktor resiko lain
penyebab diare pada balita selain yang telah diteliti pada penelitian ini.
b. Perlu ditindaklanjuti pengukuran jumlah aktivitas yang berkaitan dengan
faktor-faktor penyebab diare pada balita di Desa Tegalrejo.
b. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai keterkaitan faktor-faktor
resiko yang telah diteliti dengan peluang terjadinya kontaminasi atau paparan
mikroorganisme penyebab diare pada balita.
44

DAFTAR PUSTAKA

Depkes. 2000. Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: Ditjen PPM


dan PL.

Depkes. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Jakarta: Ditjen PPM dan
PL.

Depkes. 2005. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Jakarta: Ditjen PPM dan
PL.

Entjang, Indan, 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.

Evayanti, Purna, dan Aryana. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Kejadian Diare pada Balita yang Berobat ke Badan Rumah Sakit Umum
Tabanan. Jurnal Kesehatan Lingkungan.Vol.4 (2): 134-139

Ferllando, H dan Aswafi, S. 2015. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dan


Personal Hygiene Ibu dengan Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Mangkang. Jurnal Visikes. Vol. 14 (2): 131-138.

Gulo, W. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia.

Hanson LA. 2007. Symposium on ‘Nutrition in early life: new horizon in a new
century’. Sesion 1: Feeding and infant development, Breast-feeding and
immune function. Vol.66: 384-396.

Hidayanti, Rahmi. 2012. Faktor Resiko Diare di Kecamatan Cisarua, Cigudeg dan
Megamendung Kabupaten Bogor Tahun 2012. Tidak Diterbitkan. Skripsi.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta:
IDAI.

Irianto, dkk. 1996. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak
Balita (Analisis Lanjut Data SDKI, 1994). Buletin Penelitian Kesehatan.
Vol.24 (2&3): 77-96.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Profil Kesehatan Indonesia


2010, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
45

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Situasi Diare Di Indonesia.


Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.Kliegman, Greenbaum, dan Lye. 2004. Practical Strategies in
Pediatric Diagnosis and Therapy, 2nd ed. Philadelphia: Elsevier. Hal. 274.

Mannan and Rahman (2010). Exploring the link between food hygiene practices
and diarrhoea among the children of garments worker mothers in Dhaka.
Akses di www.banglajol.info

Marlia, Dwipoerwantoro, dan Advani. 2015. Defisiensi Zinc Sebagai Salah Satu
Faktor Risiko Diare Akut Menjadi Diare Melanjut. Jurnal Sari Pediatri.
Vol. 16 (5): 299-306.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta.

Notoadmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta.

Santoso. 2004. Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Jakarta: Bhineka Karya.

Slamet et al. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Trung Vu Nguyen et al (2006). Etiology and epidemiology of diarrhea in Children


in Hanoi, Vietnam, akses di
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S120197120500199

World Health Organization. 2001. The Optimal Duration of Exclusive


Breastfeeding. Geneva: WHO.

Widjaja. 2002. Mengatasi Diare dan Keracunan pada Balita. Jakarta: Kawan
Pustaka.

Wulandari, A. 2009. “Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Faktor


Sosiodemografi dengan Kejadian Diare pada Balita di Desa Blimbing
Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen Tahun 2009”. Tidak Diterbitkan.
Skripsi. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Surakarta.

Zakianis (2003). Kualitas bakteriologis air bersih sebagai faktor risiko terjadinya
diare pada bayi di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Tahun 2003
[Tesis] FKM UI

Zein, Sagala, dan Ginting. 2004. Diare Akut Disebabkan Bakteri. Universitas
Sumatra Utara Repository. Fakultas Kedokteran Sumatra Utara. Hal. 1-15.
46

LAMPIRAN 1. KUESIONER PENELITIAN

KUESIONER
SURVEILANS FAKTOR RESIKO DIARE

NAMA RESPONDEN :
USIA :
JENIS KELAMIN :
HARI/ TANGGAL :
ALAMAT :

1. Berapa kali menderita diare dalam 3 bulan terakhir (agustus-september-oktober 2016)?

2. Apakah diberikan ASI eksklusif?


1. Ya 2. Tidak
3. Apakah di rumah memiliki jamban?
1. Ya 2. Tidak
4. Bagaimana riwayat imunisasi anak?
a. Polio
b. DPT
c. Hepatitis
d. Campak
e. BCG
5. Apa jenis lantai di rumah?
1. Tanah
2. Papan
3. Semen
4. Ubin/keramik
6. Bagaimana perilaku mencuci tangan ibu?
a. Apakah ibu mencuci tangan sebelum menyiapkan makan anak? 1. Ya 2. Tidak
b. Jika ya, apakah menggunakan sabun? 1. Ya 2. Tidak
c. Apakah ibu mencuci tangan setelah BAB? 1. Ya 2. Tidak
d. Jika ya, apakah menggunakan sabun? 1. Ya 2. Tidak
e. Apakah ibu mencuci tangan setelah menceboki anak? 1. Ya 2. Tidak
f. Jika ya, apakah menggunakan sabun? 1. Ya 2. Tidak
g. Apakah ibu mencuci tangan setelah memegang unggas/ hewan? 1. Ya 2. Tidak
h. Jika ya, apakah menggunakan sabun? 1. Ya 2. Tidak

7. Bagaimana penanganan sampah di rumah?


a. Apakah tersedia tempat sampah di dalam rumah? 1. Ya 2. Tidak
b. Jika ya, bagaimana kondisi tempat sampah tersebut
1. Terbuka 2. Tertutup
c. Apakah tersedia tempat sampah di luar rumah? 1. Ya 2. Tidak
d. Jika ya, bagaimana kondisi tempat sampah tersebut
1. Terbuka 2. Tertutup
e. Apakah sampah tersebut dibuang setiap hari? 1. Ya 2. Tidak
f. Bagaimana cara penanganan sampah?
1. Dibuang di kebun/ tanah terbuka
2. Dibakar
3. Diangkut dengan gerobak sampah
4. Lain-lain, sebutkan____________
47

8. Bagaimana kebersihan makanan dan minuman di rumah?


a. Apakah air minum dimasak sampai mendidih? 1. Ya 2. Tidak
b. Apakah makanan yang dimasak sampai matang? 1. Ya 2. Tidak
c. Apakah makanan langsung dikonsumsi setelah dimasak? 1. Ya 2. Tidak
d. Apakah makanan disajikan dalam keadaan tertutup? 1. Ya 2. Tidak
e. Bagaimana cara mencuci alat makan dan minum?
1. Dengan air bersih di dalam ember
2. Dengan air bersih mengalir
3. Lain-lain, sebutkan_________
f. Bahan pembersih apa yang digunakan untuk mencuci alat makan dan minum?
1. Hanya air saja
2. Abu gosok
3. Sabun
4. Lain-lain, sebutkan_________
g. Bagaimana cara mengeringkan peralatan makan dan minum setelah dicuci?
1. Dilap dengan kain bersih dan kering
2. Dilap dengan tissue
3. Ditiriskan
4. Dijemur
5. Lain-lain, sebutkan_________
48

LAMPIRAN 2. HASIL UJI STATISTIKA

Jenis kelamin
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .000a 1 1.000

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .000 1 1.000

Fisher's Exact Test 1.000 .639

Linear-by-Linear Association .000 1 1.000

N of Valid Casesb 32

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Jenis Kelamin


1.000 .247 4.042
(perempuan / laki-laki)

For cohort Kejadian Diare =


1.000 .497 2.011
pernah diare

For cohort Kejadian Diare =


1.000 .497 2.011
tidak pernah diare

N of Valid Cases 32
49

Usia

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .237a 1 .626

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .238 1 .625

Fisher's Exact Test 1.000 .500

Linear-by-Linear Association .230 1 .632

N of Valid Casesb 32

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for usia (1-12


.619 .089 4.316
bulan / 13-60 bulan)

For cohort Kejadian Diare =


.771 .248 2.396
pernah diare

For cohort Kejadian Diare =


1.246 .551 2.817
tidak pernah diare

N of Valid Cases 32

Pemberian ASI eksklusif

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .582a 1 .446

Continuity Correctionb .145 1 .703

Likelihood Ratio .585 1 .444

Fisher's Exact Test .704 .352

Linear-by-Linear Association .564 1 .453

N of Valid Casesb 32
50

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for ASI eksklusif


(mendapat ASI ekslusif / 1.800 .394 8.215
tidak mandapat asi eksklusif)

For cohort Kejadian Diare =


1.364 .583 3.189
pernah diare

For cohort Kejadian Diare =


.758 .383 1.499
tidak pernah diare

N of Valid Cases 32

Kepemilikan jamban

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .582a 1 .446

Continuity Correctionb .145 1 .703

Likelihood Ratio .585 1 .444

Fisher's Exact Test .704 .352

Linear-by-Linear Association .564 1 .453

N of Valid Casesb 32

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.00.

b. Computed only for a 2x2 table


51

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for kepemilikan


jamban (punya jamban / .556 .122 2.536
tidak punya jamban)

For cohort Kejadian Diare =


.733 .314 1.715
pernah diare

For cohort Kejadian Diare =


1.320 .667 2.612
tidak pernah diare

N of Valid Cases 32

Riwayat Imunisasi

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 3.310a 1 .069

Continuity Correctionb 1.471 1 .225

Likelihood Ratio 4.470 1 .034

Fisher's Exact Test .226 .113

Linear-by-Linear Association 3.207 1 .073

N of Valid Casesb 32

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

For cohort Kejadian Diare =


.448 .299 .671
pernah diare

N of Valid Cases 32
52

Jenis Lantai Rumah

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 3.310a 1 .069

Continuity Correctionb 1.471 1 .225

Likelihood Ratio 4.470 1 .034

Fisher's Exact Test .226 .113

Linear-by-Linear Association 3.207 1 .073

N of Valid Casesb 32

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

For cohort Kejadian Diare =


2.231 1.490 3.340
pernah diare

N of Valid Cases 32

Perilaku Cuci Tangan Ibu

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 2.133a 1 .144

Continuity Correctionb .533 1 .465

Likelihood Ratio 2.906 1 .088

Fisher's Exact Test .484 .242

Linear-by-Linear Association 2.067 1 .151

N of Valid Casesb 32

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
53

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

For cohort Kejadian Diare =


.467 .318 .684
pernah diare

N of Valid Cases 32

Penanganan Sampah Di Rumah

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 1.032a 1 .310

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio 1.419 1 .234

Fisher's Exact Test 1.000 .500

Linear-by-Linear Association 1.000 1 .317

N of Valid Casesb 32

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

For cohort Kejadian Diare =


2.067 1.437 2.973
pernah diare

N of Valid Cases 32

Tingkat Kebersihan Makanan dan Minuman Di Rumah

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .508a 1 .476

Continuity Correctionb .127 1 .722

Likelihood Ratio .509 1 .475


54

Fisher's Exact Test .722 .361

Linear-by-Linear Association .492 1 .483

N of Valid Casesb 32

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for hygenitas


makanan dan minuman (baik .600 .147 2.455
/ buruk)

For cohort Kejadian Diare =


.771 .371 1.605
pernah diare

For cohort Kejadian Diare =


1.286 .647 2.557
tidak pernah diare

N of Valid Cases 32

Uji Regresi Logisitk

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables cucitangan(1) 2.133 1 .144

lantairumah(1) 3.310 1 .069

Imunisasi(1) 3.310 1 .069

Overall Statistics 10.667 3 .014

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a cucitangan(1) 21.896 2.842E4 .000 .999 3.231E9 .000 .

lantairumah(1) -21.896 2.321E4 .000 .999 .000 .000 .

Imunisasi(1) 21.896 2.321E4 .000 .999 3.231E9 .000 .

Constant -43.099 3.669E4 .000 .999 .000

a. Variable(s) entered on step 1: cucitangan, lantairumah, Imunisasi.

Anda mungkin juga menyukai