BAB 1. PENDAHULUAN
3. Bagi Iptekdok
Bagi perkembangan IPTEK, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi baru mengenai kejadian penyakit diare. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut dalam
penanggulangan faktor resiko penyakit diare, serta dapat berkontribusi
terhadap pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi Kedokteran (Iptekdok).
dapat menemukan solusi yang tepat dalam mengurangi angka kejadian diare
tersebut.
5
2.1.2 Etiologi
Diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi (gangguan penyerapan
zat gizi), makanan, dan faktor psikologis (Widjaja, 2002):
a. Faktor Infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak.
Jenis-jenis infeksi yang umumnya menyerang antara lain:
1) Infeksi oleh bakteri: Escherichia coli, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae
(kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan
patogenik seperti pseudomonas.
2) Infeksi basil (disentri).
3) Infeksi virus rotavirus.
4) Infeksi parasit oleh cacing (Ascaris lumbricoides).
5) Infeksi jamur (Candida albicans).
6) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang
tenggorokan.
7) Keracunan makanan.
6
b. Faktor Malabsorpsi
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan
lemak. Malabsorpsi karbohidrat pada bayi akibat hipersensitifitas terhadap
laktoglobulis dalam susu formula dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa
diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan
malabsorpsi lemak terjadi apabila dalam makanan terdapat lemak triglyserida.
Triglyserida dengan bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles
yang siap diabsorpsi usus. Diare dapat muncul apabila dalam tubuh anak tidak
memproduksi enzim lipase atau terjadi kerusakan mukosa usus. Diare muncul
karena lemak tidak terserap dengan baik (Zein et al, 2004).
c. Faktor Makanan
Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi,
beracun, terlalu banyak lemak, makanan mentah (sayuran) dan kurang matang.
Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak-
anak balita (Wulandari, 2009).
d. Faktor Psikologis
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan
diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita, umumnya terjadi pada anak
yang lebih besar (Wulandari, 2009).
tercemar, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar atau sesudah membuang
tinja anak atau sebelum makan/ menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan
benar.
b. Faktor Pejamu
Faktor pada pejamu dapat meningkatkan insiden, beberapa penyakit, dan
lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah tidak memberikan ASI sampai umur
2 tahun, kurang gizi, infeksi campak, imunodefisiensi atau imunosupresi, dan
secara proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.
b. Disentri
Disentri yaitu, diare yang disertai darah dalam tinjanya. Disentri dapat
mengakibatkan anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan
kemungkinan terjadinnya komplikasi pada mukosa.
8
c. Diare Persisten
Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus. Diare persisten dapat menyebabkan penurunan berat badan dan
gangguan metabolisme.
2.1.5 Patogenesis
Penyakit diare dapat terjadi melalui transmisi faecal oral, sumber patogen
berasal dari kotoran manusia atau hewan dan sampai kepada manusia secara tidak
langsung melalui makanan atau minuman. Transmisi dapat terjadi melalui tangan,
lalat, tanah, air permukaan, air tanah, tempat sampah, saluran pembuangan air
limbah, pembuangan tinja hingga makanan dan minuman yang tercemar tinja
penderita diare. Selain itu dapat berasal dari muntahan penderita yang
mengandung kuman penyebab diare (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
2011).
2.1.6 Gejala
Gejala-gejala diare adalah sebagai berikut:
a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah.
b. Suhu badannya dapat meningkat.
c. Tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah.
d. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu.
e. Lecet pada anus.
f. Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang.
g. Muntah sebelum dan sesudah diare.
h. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).
i. Dehidrasi (kekurangan cairan).
9
Dehidarsi dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan, dehidrasi sedang
dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang
5%. Jika cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada
dehidrasi berat, volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah
cepat tetapi melemah, tekanan darah menurun, penderita lemah, kesadaran
menurun, dan penderita sangat pucat (Widjaja, 2000).
yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih
besar. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai
dengan susu formula (Kemenkes, 2011).
b. Osmolaritas
Susunan makanan baik berupa formula susu maupun makanan padat yang
memberikan osmolaritas yang tinggi sehingga dapat menimbulkan diare.
c. Malabsorbsi
Kandungan nutrient makanan yang berupa karbohidrat, lemak, maupun
protein dapat menimbulkan intoleransi, malabsorbsi, maupun alergi sehingga
terjadi diare pada balita maupun pada anak.
16
d. Mekanik
Kandungan serat yang berlebihan dalam susunan makanan secara mekanik
dapat merusak fungsi mukosa usus sehingga timbul diare. (Notoatmodjo,
2003)
Air sangat penting bagi kehidupan manusia. Di dalam tubuh manusia
sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa sekitar 55-60% berat badan
terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80%.
Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak,
mandi, mencuci, dan sebagainya. Di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia tiap orang memerlukan air antara 30-60 liter per hari. Di antara
kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk
minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum dan masak air harus mempunyai
persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia
(Notoatmodjo, 2003).
Sumber air minum utama merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak
kalah pentingnya berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius
penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat ditularkan
dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan
tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan, dan makanan yang disiapkan dalam
panci yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2000).
Macam-macam sumber air minum antara lain (Slamet et al, 2001):
a. Air permukaan adalah air yang terdapat pada permukaan tanah. Misalnya air
sungai, air rawa dan danau.
b. Air tanah berdasarkan kedalamannya terdiri dari air tanah dangkal dan air
tanah dalam. Air dalam tanah adalah air yang diperoleh dari pengumpulan air
pada lapisan tanah yang dalam. Misalnya air sumur dan air dari mata air.
c. Air angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir, seperti hujan dan salju.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air bersih adalah
(Depkes RI, 2000):
a. Mengambil air dari sumber air yang bersih.
17
b. Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta
menggunakan gayung khusus untuk mengambil air.
c. Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh binatang, anak-
anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum dengan sumber
pengotoran seperti septictank, tempat pembuangan sampah, dan air limbah
harus lebih dari 10 meter.
d. Mengunakan air yang direbus.
e. Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang bersih dan
cukup.
Kuesioner
Usia
Jenis kelamin
Pemberian ASI ekslusif
Kepemilikan jamban
Riwayat imunisasi
Jenis lantai rumah Kejadian diare
Perilaku mencuci tangan
Penanganan sampah di rumah
Hygenitas makanan dan
minuman
2.4 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya pengaruh faktor-faktor beriku
(Jenis kelamin, usia, pemberian ASI eksklusif, riwayat imunisasi, kepemilikan
jamban, jenis lantai rumah, prilaku cuci tangan, penangan sampah dan hygenitas
makanan dan minuman) terhadap kejadian diare pada balita di Desa Tegalrejo.
19
3.3.2 Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan stratified random
sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Dimana dalam setiap dusun
akan diambil jumlah yang sama hingga memenuhi kebutuhan sampel minimal
menurut Roscoe (1975) yaitu sebanyak 30 balita.
Kepemilikan jamban
Jenis lantai rumah
Perilaku cuci tangan ibu
Penangan sampah
Kebersihan makanan dan minuman
b. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian diare pada balita.
jamban responden
7. Riwayat imunisasi Imunisasi yang diperoleh responden Wawancara
berdasarkan Program Program
Pengembangan Imunisasi (PPI)
8. Jenis lantai rumah Permukaan lantai rumah tempat Wawancara
tinggal responden
9. Perilaku cuci Kebiasaan responden setiap hari Wawancara
tangan membersihkan tangan
10. Penanganan Ketersediaan dan jenis tempat sampah Wawancara
sampah baik di dalam ataupun di luar rumah
responden
11. Kebersihan Kebiasaan sehari-hari responden Wawancara
makanan dan dalam menjaga kebersihan makanan
minuman dan minuman sehari-hari saat akan di
konsumsi
Usia
Jenis kelamin
Pemberian ASI ekslusif
Riwayat imunisasi
Kepemilikan jamban
Jenis lantai rumah
Perilaku mencuci tangan
Penanganan sampah di rumah
Kebersihan makanan dan minuman
20
0
perempuan laki-laki
40
20
0
1-12 bulan 13-60 bulan
Gambar 4.2 Karakteristik reponden berdasarkan usia
40
20
0
mendapat ASI eksklusif tidak mendapat ASI eksklusif
Gambar 4.3 Karakteristik responden berdasarkan pemberian ASI eksklusif
40
20
0
lengkap tidak lengkap
Gambar 4.5 Karakteristik responden berdasarkan riwayat imunisasi
40
20
0
memiliki jamban tidak memiliki jamban
Gambar 4.4 Karakteristik responden berdasarkan kepemilikan jamban
lebih tinggi dari presentase responden yang belum memiliki jamban, yaitu sebesar
31,2 %.
20
15
10
0
tanah papan semen keramik
40
20
0
baik buruk
Gambar 4.7 Karakteristik responden berdasarkan perilaku mencuci tangan ibu
30
40
20
0
baik buruk
Gambar 4.8 Karakteristik responden berdasarkan penanganan sampah di rumah
20
10
0
baik buruk
Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa responden dengan usia 1-12
bulan yang pernah diare sebanyak 2 responden (12,5%) dan yang tidak perbah
diare sebanyak 3 responden (18,8%). Sedangkan responden dengan usia 13-60
bulan yang pernah diare adalah sebanyak 14 responden (87,5%) dan tidak pernah
diare sebanyak 13 responden (81,2%). Dari hasil uji statistik, didapatkan nilai P =
0,626 dan OR=0,619 (CI 95% = 0,089-4,316), sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan bermakna antara usia dan kejadian diare, namun respon
dengan usia 13-60 bulan memiliki resiko 0,6 kali lebih tinggi untuk terkena diare
daripada responden yang berusia kurang dari 12 bulan.
33
Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa responden yang mendapat ASI
eksklusif dan pernah diare sebanyak 12 responden (75,0%) dan yang tidak perbah
diare sebanyak 10 responden (62,5%). Sedangkan responden yang tidak mendapat
ASI eksklusif dan pernah diare adalah sebanyak 4 responden (25,0%) dan tidak
pernah diare sebanyak 6 responden (37,5%). Dari hasil uji statistik, didapatkan
nilai P = 0,446 dan OR=1,800 (CI 95% = 0,394-8,215), sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pemberian ASI eksklusif
dan kejadian diare.
bermakna antara riwayat Imunisasi Dasar Lengkap dengan kejadian diare, namun
reesponden dengan riwayat imunisasi belum lengkap mempunyai risiko 0,4 kali
lebih besar untuk terkena diare daripada responden dengan imunisasi yang sudah
lengkap . Faktor ini kemudian perlu dilanjutkan dengan analisis multivariat.
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki jamban
dan pernah diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak 4 (25%) responden, dan yang tidak
pernah diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak 6 (37,5%) responden. Sedangkan
responden yang tidak memiliki jamban dan pernah diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak
12 (75,0%) responden dan yang tidak pernah diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak
10(62,5%) responden. Dari uji statistik, didapatkan nilai P =0,446 dan nlai OR = 0,556
(CI 95%=0,122-2,536), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
kepemilikan jamban dengan kejadian diare di desa tegal Rejo, namun responden yang
tidak memiliki jamban memiliki risiko 0,5 kali lebih besar untuk terkena diare daripada
yang memiliki jamban.
Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa semua responden yang memiliki
rumah berlantai tanah, pernah diare dalam 3 bulan terakhir, yaitu sebanyak 3 (18
responden. sedangkan responden yang memiliki rumah berlantai bukan tanah dan pernah
diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak 13 (81,2%) responden, dan yang tidak pernah
diare dalam 3 bulan terakhir sebanyak 16 (100%) responden. Dari uji statistik didapatkan
nilai P=0,069 dan Risk Estimate Cohort=2,231 (CI 95%=1,490-3,340), sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis lantau rumah dengan
kejadian diare, namun responden yang yang memiliki rumah berlantai tanah memiliki
resiko 2 kali lebih besar daripada responden yang memiliki rumah bukan tanah. Faktor ini
kemudian dilanjutkan dengan analisis multivariat.
Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa ibu dengan perilaku cuci
tangan baik dan anaknya pernah diare sebanyak 14 responden (87,5%) dan yang
tidak perbah diare sebanyak 16 responden (100%). Sedangkan ibu dengan
perilaku cuci tangan buruk dan anaknya pernah diare adalah sebanyak 2
responden (12,5%) dan tidak pernah diare sebanyak 0 responden (0%). Dari hasil
uji statistik, didapatkan nilai P = 0,144 dan Risk Estimate Cohort=0,467 (CI 95%
= 0,318-0,684), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna
antara perilaku cuci tangan ibu dengan kejadian diare pada anak, namun
responden dengan prilaku cucui tangan ibu yang buruk memiliki risiko 0,1 kali
lebih besar terkena diare daripada rseponden dengan perilaku cuci tangan ibu yang
baik. Faktor ini selanjutnya perlu dilanjutkan dengan analisis multivariat.
36
Dari tabel di atas, dapat ditunjukkan bahwa responden dengan tingkat keberishan
makanan dan minuman baik dan pernah mengalami diare dalam tiga bulan terakhir
sebnyak 6 (37,5%) responden dan yang tidak pernah mengalami diare sebanyak 8 (50%)
responden. Sedangkan responden dengan tingkak kebersihan makanan dan minuman
yang buruk dan pernah mengalami diare dalam tiga bulan terakhir sebnyak 10 (62,5%)
37
responden dan yang tidak pernah mengalami diare dalam tiga bulan terakhir sebanyak 8
(50%) responden. dari uji statistik, didaptkan nilai P=0,476 dan OR=0,600 (CI
95%=0,147-2,455), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara tingkat kebersihan makan dan minuman dengan kejadian diare namun
responden dengan tingkat kebersihan makanan dan minuman yang buruk memiliki resiko
0,6 kali lebih besar untuk terkena diare dari pada responden dengan tingkat kebersihan
makanan dan minuman yang baik.
Dari tabel di atas, diketahui bahwa variabel yang memenuhi syarat untuk
dilakukan uji regresi logistik adalah riwayat Imunisasi Dasar Lengkap, jenis lantai
rumah dan perilaku mencuci tangan ibu, dengan nilai p masing-masing adalah
0,069; 0,069; dan 0,144. Berikut ini adalah hasil uji regresi logistik untuk variabel
riwayat Imunisasi Dasar Lengkap, jenis lantai rumah dan perilaku mencuci tangan
ibu terhadap kejadian diare pada balita:
38
Tabel 4.11 Analisis multivariat uji regresi logistik riwayat Imunisasi Dasar Lengkap, jenis
lantai rumah dan perilaku mencuci tangan ibu terhadap kejadian diare pada balita
Variabel P value Exp (B)/ OR CI 95%
Riwayat imunisasi 0,999 3,231 0,000-(-)
Jenis lantai rumah 0,999 0,000 0,000-(-)
Perilaku cuci tangan 0,999 3,231 0,000-(-)
ibu
Dari tabel di atas, diketahui tidak ada variabel yang dianggap bermakna
dalam mempengaruhi kejadian diare secara signifikan.
4.2 Pembahasan
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
jenis kelamin responden dengan kejadian diare. Presentasi jenis kelamin
perempuan sebesar 56,2%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Mannan dan Rahman (2010) bahwa kejadian diare tidak berhubungna dengan
jenis kelamin. Pada umumnya wanita memang memiliki risiko lebih besar untuk
terkena diare karena faktor pekerjaan dan paparan (kegiatan rumah tangga).
Kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga dapat berpengaruh terhadap kejadian
diare, seperti memasak, membersihkan rumah dari debu, dan tugas-tugas lainnya
yang menjadi sumber paparan patogen dalam rumah tangga serta berbagai bahan
kimia. Perbedaan hasil pada penelitian ini, dikarenakan responen melibatkan
balita sehingga baik balita laki-laki maupun perempuan memiliki kegiatan sehari-
hari, prilaku, dan kebiasaan yang nyari sama.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa usia tidak memiliki pengaruh
terhadap kejadian diare balita di Desa Tegalrejo, dengan nilai P = 1,000. Hal
tersebut dikarenakan dipengaruhi faktor mobilisasi dan interaksi balita. Balita
dengan rentang usia 1-12 bulan memang lebih sedikit peluang untuk mobilisasi ke
tempat atau area yang terjangkit mikroorganisme penyabab diare, namun adanya
interaksi balita usia 1-12 bulan dengan orang yang membawa bibit kuman diare
dapat saja menyebabkan balita tersebut menderita diare. Begitupun sebaliknya
dengan balita yang berusia 13-60 bulan dapat saja dengan mudah mobilisasi ke
tempat atau area yang mengandung mikroorganisme penyebab diare, namun jika
balita berinteraksi dengan orang yang mampu menjaga kebersihan diri
39
kemungkinan menderita diare akan sangat kecil (Irianto et al, 1996). Pada
penelitian ini, didapatkan hasil bahwa usia tidak berpengaruh pada kejadian diare
balita, kemungkinan dikarenakan oleh usia responden banyak yang homogen dan
distribusi kelompok umur yang tidak merata sehingga menyulitkan analisis faktor
risiko usia.
Hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare
pada balita di Desa Tegalrejo dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak
memiliki pengaruh signifikan, yakni nilai P = 0,446. Diketahui bahwa di dunia
khususnya di negara berkembang, pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6
bulan dapat mengurangi paparan terhadap mikroba patogen, karena terbukti angka
morbiditas dan mortalitas penyakit diare akibat infeksi meningkat setelah bayi
mendapat makanan tambahan (WHO, 2001). Di awal masa kehidupan bayi,
imunoglobulin A sekretorik (sIgA) yang dihasilkan oleh mukosa usus bayi belum
dapat berperan secara optimal di dalam sistem pertahanan mukosa usus. Pada bayi
yang mendapatkan ASI, pertahanan imun pada jaringan usus bayi dibantu oleh
komponen imun ASI. Salah satunya adalah antibodi sIgA yang merupakan
komponen imun utama, yang dapat mengikat mikroba patogen, mencegah
perlekatannya pada sel enterosit di usus, dan mencegah reaksi imun yang bersifat
inflamasi (Hanson, 2007). Pemberian ASI eksklusif ini juga dipengaruhi oleh
perilaku kebersihan ibu terhadap perantara organisme penyebab diare, salah satu
contohnya adalah kebersihan daerah payudara ibu. Meski balita telah
mendapatkan kekebalan pasif alami dari dalam tubuhnya tapi apabila seringnya
terpapar bakteri penyebab diare maka akan menyebabkan sistem imun balita turun
dan pada akhirnya terkena diare.
Tidak ada hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare,
nilai P=0,446. Kepemilikan fasilitas jamban tidak memiliki kontribusi yang besar
untuk pencegahan penyakit tetapi pemanfaatan yang sangat penting (Trung et al,
2002). Pembuangan tinja yang aman adalah salah satu cara menghambat transmisi
patogen. Jenis fasilitas yang digunakan tidak menjadi masalah, sebaliknya kondisi
penggunaanlah yang perlu diperhatikan. Sarana pembuangan tinja yang buruk
dalam penelitian ini bukan merupakan faktor risiko terjadinya diare. Hal ini
40
kemungkinan sebagaian besar aktifitas keluarga bukan di lantai, dan lantai sering
dibersihkan. Hal ini didukung oleh teori bahwa kondisi pemeliharaan rumah dapat
mempengaruhi kesehatan penghuni dan lantai bukan merupakan tempat yang
paling dominan untuk melakukan aktifitas serta kemungkinan saat beraktifitas di
lantai, responden banyak menggunakan alas berupa tikar atau karpet, sehingga
kotoran atau debu yang ada pada lantai tidak langsung mengkontaminasi
responden (Hidayanti, 2012). Namun rendahnya pendidikan dalam penelitian ini,
mengakibatkan rendahnya pengetahuan responden tentang hidup sehat. Sehingga
risiko untuk mendapatkan diare tetap ada. Oleh sebab itu penyuluhan tentang
kebersihan, terutama rumah harus dilakukan. Lantai rumah harus dibersihkan,
dipel minimal 1 kali seminggu. Sehingga dapat mencegah penyebaran pathogen
melalui lantai.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor mencuci tangan ibu
tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian diare balita di Desa Tegalrejo, dengan
nilai P = 0,144. Pada umumnya ibu dan anak akan mencuci tangan 15 menit
setelah kontak dengan daerah anal dan ibu lebih sering mencuci tangannya
daripada anaknya. Jika anak tidak mencuci tangan, meskipun tangan ibu telah
bersih, apabila ibu memegang tangan anak lalu memberikan makanan, maka anak
tersebut dapat berpotensi terkena diare. Faktor lainnya adalah cara untuk mencuci
tangan, volume air yang kurang, tidak menggunakan sabun, sumber mata air dan
lingkungan yang buruk. Faktor penggunaan air yang sedikit dapat disebabkan oleh
kurangnya status ekonomi pada keluarga tersebut. Adanya kebiasaan ibu bahwa ia
menganggap telah mencuci tangan bersamaan dengan saat mencuci pakaian, alat
alat makan atau bahan makanan yang akan diolah. Persepsi lainnya adalah bahwa
mencuci tangan hanya dengan air saja sudah cukup atau mencuci tangan dengan
air menggenang sama baiknya dengan air mengalir (Loposita et al, 2014)
Variabel penanganan sampah pada penelitian ini bukan merupakan faktor
risiko terajdinya diare. Hasil analisis bivariat menunjukkan nilai P=0,310. Hasil
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Zikanis (2003), namun berbeda
dengan penelitian Regassa et al., (2008) yang menyatakan ada hubungan diare
dengan tidak tersedianya tem[at sampah yang memenuhi syarat kesehatan.
42
5.1 Kesimpulan
a. Dari faktor-faktor yang diteliti (jenis kelamin, usia, riwayat pemberian ASI
eksklusif, kepemilikan jamban, riwayat Imunisasi Dasar Lengkap, jenis lantai
rumah, perilaku mencuci tangan ibu, penanganan sampah di rumah, serta
kebersihan makanan dan minuman di rumah) tidak ada faktor yang
berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian diare pada balita di Desa
Tegalrejo, hal ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian.
b. Faktor-faktor yang diteliti (jenis kelamin, usia, riwayat pemberian ASI
eksklusif, kepemilikan jamban, riwayat Imunisasi Dasar Lengkap, jenis lantai
rumah, perilaku mencuci tangan ibu, penanganan sampah di rumah, serta
kebersihan makanan dan minuman di rumah) memiliki keterkaitan antara satu
dengan yang lain dalam mempengaruhi kejadian diare pada balita di Desa
Tegalrejo, terutama keterkaitan antar faktor tersebut mengakibatkan terjadinya
kontaminasi atau paparan dari mikroorganisme penyebab diare lebih sering.
5.2 Saran
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai adanya faktor resiko lain
penyebab diare pada balita selain yang telah diteliti pada penelitian ini.
b. Perlu ditindaklanjuti pengukuran jumlah aktivitas yang berkaitan dengan
faktor-faktor penyebab diare pada balita di Desa Tegalrejo.
b. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai keterkaitan faktor-faktor
resiko yang telah diteliti dengan peluang terjadinya kontaminasi atau paparan
mikroorganisme penyebab diare pada balita.
44
DAFTAR PUSTAKA
Depkes. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Jakarta: Ditjen PPM dan
PL.
Depkes. 2005. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Jakarta: Ditjen PPM dan
PL.
Entjang, Indan, 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Hanson LA. 2007. Symposium on ‘Nutrition in early life: new horizon in a new
century’. Sesion 1: Feeding and infant development, Breast-feeding and
immune function. Vol.66: 384-396.
Hidayanti, Rahmi. 2012. Faktor Resiko Diare di Kecamatan Cisarua, Cigudeg dan
Megamendung Kabupaten Bogor Tahun 2012. Tidak Diterbitkan. Skripsi.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta:
IDAI.
Irianto, dkk. 1996. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak
Balita (Analisis Lanjut Data SDKI, 1994). Buletin Penelitian Kesehatan.
Vol.24 (2&3): 77-96.
Mannan and Rahman (2010). Exploring the link between food hygiene practices
and diarrhoea among the children of garments worker mothers in Dhaka.
Akses di www.banglajol.info
Marlia, Dwipoerwantoro, dan Advani. 2015. Defisiensi Zinc Sebagai Salah Satu
Faktor Risiko Diare Akut Menjadi Diare Melanjut. Jurnal Sari Pediatri.
Vol. 16 (5): 299-306.
Slamet et al. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Widjaja. 2002. Mengatasi Diare dan Keracunan pada Balita. Jakarta: Kawan
Pustaka.
Zakianis (2003). Kualitas bakteriologis air bersih sebagai faktor risiko terjadinya
diare pada bayi di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Tahun 2003
[Tesis] FKM UI
Zein, Sagala, dan Ginting. 2004. Diare Akut Disebabkan Bakteri. Universitas
Sumatra Utara Repository. Fakultas Kedokteran Sumatra Utara. Hal. 1-15.
46
KUESIONER
SURVEILANS FAKTOR RESIKO DIARE
NAMA RESPONDEN :
USIA :
JENIS KELAMIN :
HARI/ TANGGAL :
ALAMAT :
Jenis kelamin
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 32
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.00.
Risk Estimate
N of Valid Cases 32
49
Usia
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 32
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.50.
Risk Estimate
N of Valid Cases 32
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 32
50
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.00.
Risk Estimate
N of Valid Cases 32
Kepemilikan jamban
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 32
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.00.
Risk Estimate
N of Valid Cases 32
Riwayat Imunisasi
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 32
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.50.
Risk Estimate
N of Valid Cases 32
52
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 32
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.50.
Risk Estimate
N of Valid Cases 32
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 32
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.00.
Risk Estimate
53
N of Valid Cases 32
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 32
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .50.
Risk Estimate
N of Valid Cases 32
Chi-Square Tests
N of Valid Casesb 32
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.00.
Risk Estimate
N of Valid Cases 32
Score df Sig.