Anda di halaman 1dari 14

INDONESIA MEMERLUKAN UNDANG-UNDANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

YANG BARU: ANALISIS KRITIS TERHADAP UU NOMOR 24 TAHUN 2000


TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

Oleh: Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M.

PENDAHULUAN
UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
telah 16 tahun menjadi ius constitutum di Indonesia semenjak
diberlakukan pada tahun 2000. Duta Besar Harry Haryono yang
pada saat itu adalah Direktur Perjanjian Internasional
Departemen Luar Negeri melakukan diseminasi rancangan undang-
undang ini di berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk
mendapatkan masukan-masukan dari para akademisi. Pada saat itu
Indonesia memang belum memiliki undang-undang yang mengatur
tentang perjanjian internasional sehingga dasar hukum dalam
pembuatan perjanjian internasional masih berpedoman pada Surat
Presiden Nomor 2826/HK/1960. UU Nomor 24 Tahun 2000 sebenarnya
diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana
pemahaman Pemerintah Indonesia terhadap perjanjian
internasional yang telah diratifikasi sehingga dapat menjadi
pedoman bagi para penyusun rancangan undang-undang yang
memiliki dimensi internasional.
Namun sayangnya UU ini tidak mengatur hal-hal yang sangat
substantif mengenai perjanjian internasional di Indonesia
tetapi hanya mengatur hal-hal yang bersifat prosedural
sehingga terkesan tumpang tindih dengan substansi yang ada di
dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional. Penulis mengamati ada beberapa kelemahan dalam
UU ini sehingga Indonesia memerlukan undang-undang perjanjian
baru yang mengatur hal-hal yang mendasar mengenai perjanjian
internasional di Indonesia. Kelemahan utama dari UU ini adalah
dari sisi penggunaan istilah dan kurang memahaminya penyusun
rancangan undang-undang mengenai bagaimana perjanjian
internasional berintegrasi ke dalam sistem hukum di Indonesia
dan bagaimana perjanjian internasional dapat diterapkan di
pengadilan nasional Indonesia.
Dengan tidak memahami filosofi sistem ketatanegaraan yang
berlaku di Indonesia dalam pengintegrasian dan penerapan
perjanjian internasional maka alur dalam UU Nomor 24 Tahun
2000 menjadi tidak konsisten dan sangat prosedural. Oleh
karena itu, untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam menyusun
rancangan undang-undang perjanjian internasional baru perlu
ditelaah mengenai kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 24 Tahun
2000 dan sebagai solusi penulis ingin menunjukkan hal-hal apa
saja yang seharusnya diatur di dalam rancangan undang-undang
perjanjian internasional yang baru.

PEMBAHASAN
Kelemahan Substansial UU Nomor 24 Tahun 2000
Sebagaimana yang tersebut di atas, beberapa istilah dalam
UU Nomor 24 Tahun 2000 menjadi perhatian khusus karena
beberapa kata yang telah dikenal luas dan baku seharusnya
tidak perlu diubah dalam kata bahasa Indonesia karena ternyata
di dalam praktiknya menimbulkan kesalahpahaman.
Sebagai contoh adalah ketika seorang penasihat hukum
dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi untuk Perkara Nomor
33/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa kewenangan ratifikasi
perjanjian internasional adalah DPR. Di tingkat internasional,
kewenangan untuk mengadakan hubungan luar negeri ada pada
lembaga eksekutif, termasuk meratifikasi perjanjian
internasional. Kewenangan legislatif adalah memberikan
persetujuan di tingkat nasional atas perjanjian internasional
yang telah diratifikasi oleh lembaga eksekutif.
Sebenarnya pemahaman tersebut di atas tidak sepenuhnya
salah karena UU Nomor 24 Tahun 2000 menggunakan istilah
pengesahan, sedangkan pengesahan di sini adalah terjemahan
dari kata ‘ratification’ sehingga seakan-akan kewenangan untuk
meratifikasi perjanjian internasional ada pada DPR.
Kelemahan yang sangat signifikan dalam UU ini adalah
penyusun undang-undang tidak memahami makna yang terkandung
dalam Pasal 11 UUDNRI 1945 bahwa Presiden harus mendapat
persetujuan dari DPR dalam membuat perjanjian. UU ini
seharusnya menjabarkan apa filosofi yang terkandung dalam
Pasal 11 ini yang meliputi bagaimana proses persetujuannya,
apa bentuk dari persetujuan DPR dan apa akibat hukum dari
persetujuan tersebut. Sayangnya, Pasal 11 ini tidak dijabarkan
sama sekali dalam UU ini sehingga muncul perkara Nomor 33/PUU-
IX/2011 tentang UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang UU Pengesahan
Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi di mana pemohon
beranggapan bahwa UU Nomor 38 Tahun 2008 adalah UU yang
membuat Piagam ASEAN berlaku di Indonesia.
Dalam keterangan di Mahkamah Konstitusi penulis
menyatakan bahwa berbeda antara undang-undang pengesahan atau
ratifikasi dengan undang-undang transformasi. Undang-undang
pengesahan perjanjian internasional berkaitan erat dengan
Pasal 11 UUDNRI 1945 di mana Presiden dan DPR adalah sebagai
‘treaty-making power’, sedangkan undang-undang transformasi
berhubungan dengan Pasal 20 UUDNRI 1945 di mana DPR memiliki
kewenangan eksklutif sebagai ‘legislative power’. Sebenarnya
yang menjadi permasalahan utama dari permohonan tersebut
adalah nomenklatur yang berbentuk undang-undang sehingga
pemohon beranggapan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
mengadili sebagaimana yang diatur dalam Pasal...
Jika ditinjau dari pendekatan konseptual, muncul istilah
undang-undang pengesahan ini adalah proses ketika Presiden
akan melakukan ratifikasi perjanjian internasional di mana
Presiden harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari
DPR sebagai cerminan sistem checks and balances. Tampaknya
ketika menentukan nomenklatur apa yang tepat atas produk yang
dikeluarkan oleh DPR, maka muncullah bentuk undang-undang
karena selama ini produk yang diterbitkan oleh DPR selalu
dalam bentuk undang-undang. Pengesahan itu sendiri adalah
terjemahan dari kata ‘ratification’. Oleh karena itu, undang-
undang pengesahan perjanjian internasional sebenarnya adalah
bentuk persetujuan formal dari DPR kepada Presiden yang akan
meratifikasi perjanjian internasional. Menurut Dr. Agusman
Damos, undang-undang pengesahan perjanjian internasional ini
adalah legal basis bagi Presiden untuk meratifikasi perjanjian
internasional.
Proses yang berjalan dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem checks and balances
yang ada pada sistem ketatanegaraan Amerika Serikat. Dalam
sistem ketatanegaraan Amerika Serikat, Presiden hanya memiliki
kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dan/atau
executive agreements. Jika Presiden ingin meratifikasi
perjanjian internasional dan/atau executive agreements maka
Presiden harus mendapat persetujuan dari Senat untuk
perjanjian internasional dan Kongres untuk executive
agreements. Ini merupakan cerminan dari sistem checks and
balances agar Presiden tidak sembarangan dalam membuat
perjanjian internasional sehingga dapat merugikan kepentingan
nasional atau tradisi hukum yang berlaku dan telah lama
berkembang di Amerika Serikat.
Hal yang membedakan dari proses persetujuan dari lembaga
legislatif kedua negara tersebut adalah akibat hukum dari
persetujuan yang diberikan. Persetujuan yang diberikan Senat
akan memberikan pengaruh di tingkat nasional (baca:
pengadilan) kecuali ditentukan lain, sedangkan di Indonesia
persetujuan DPR tidak memberikan pengaruh apapun bagi
perjanjian internasional di tingkat nasional.
Dalam putusannya, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
sepakat dengan pihak Pemerintah dan menolak seluruh permohonan
dari pemohon karena undang-undang pengesahan bukan obyek untuk
judicial review karena undang-undang pengesahan bukan undang-
undang transformasi yang mengejahwantahkan isi dari perjanjian
internasional.
Penulis melihat ada beberapa catatan yang perlu
dipertimbangkan dalam penyusunan rancangan undang-undang
perjanjian yang baru adalah nomenklatur undang-undang
seharusnya diubah dengan bentuk lain agar tidak menimbulkan
kesalahpahaman di kemudian hari. Selain itu, penyusun undang-
undang harus taat asas, khususnya asas lex superior derogate
legi priori, artinya jika Pasal 11 UUDNRI 1945 meminta istilah
persetujuan maka di undang-undang perjanjian internasional
yang baru juga mengatur istilah persetujuan ini.
Lebih lanjut, UU Nomor 24 Tahun 2000 juga tidak mengatur
tentang makna ratifikasi dan akibat hukum dari ratifikasi
perjanjian internasional bagi Indonesia. Dua hal ini sangat
penting untuk memberikan pemahaman kepada negara lain
bagaimana kita memandang hukum internasional dari sudut
pandang Indonesia. Untuk menyusun pasal-pasal yang berkaitan
dengan ratifikasi dan akibat hukumnya maka perlu pemahaman
konsep-konsep hukum untuk mendukung argumentasi kita.
Pendekatan awal dimulai dari Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum Perjanjian Internasional di mana ratifikasi
didefinisikan sebagai pengikatan diri suatu negara pada
perjanjian internasional di level internasional. Sebenarnya
Konvensi ini telah secara jelas mengidentifikasi bahwa
ratifikasi atas perjanjian internasional tidak membuat
perjanjian internasional menjadi bagian dari hukum nasional
karena tujuan utama dari ratifikasi adalah untuk membuat
perjanjian internasional berlaku sebagaimana diatur dalam
Pasal 24 Konvensi Wina 1969.
Selanjutnya, untuk melihat dapat atau tidaknya perjanjian
internasional yang diratifikasi menjadi bagian hukum nasional
suatu negara secara langsung merupakan pertanyaan di tingkat
nasional yang harus dijawab oleh tiap-tiap negara sesuai
dengan budaya hukum yang berkembang di negara tersebut.
Dalam proses pengintegrasian perjanjian internasional ke
dalam sistem hukum nasional suatu negara, penulis mengamati
dua sistem yang berkembang dan dipraktikkan oleh negara-
negara, yaitu sistem pemisahan kekuasaan secara murni dan
sistem checks and balances. Bagi sistem pemisahan kekuasaan
secara murni, ada sebuah batasan yang jelas dan tegas antara
eksekutif dan legislatif di mana eksekutif memiliki kewenangan
di bidang external affairs dan legislatif membidangi internal
affairs. Dalam hal pembuatan perjanjian internasional
eksekutif memiliki kewenangan eksklusif untuk membuat
perjanjian internasional, termasuk meratifikasi perjanjian
internasional, tanpa keterlibatan legislatif. Dengan kata
lain, eksekutif dapat membuat dan meratifikasi perjanjian
internasional dengan negara lain tetapi eksekutif tidak dapat
memastikan kapan perjanjian internasional yang telah
diratifikasi dapat diberlakukan di tingkat nasional karena
memerlukan persetujuan dari legislatif. Praktik ini terjadi di
beberapa negara seperti Australia, Kanada, Perancis dan
Belanda. Tujuan dari ratifikasi yang dilakukan di negara-
negara tersebut sama dengan yang diatur dalam Konvensi, yaitu
mengikat negara di level internasional dan untuk membuat
perjanjian internasional berlaku universal. Di Australia
perjanjian internasional yang telah diratifikasi tidak menjadi
bagian dari hukum nasional tetapi hanya sebagai sumber hukum
bagi hakim dalam menginterpretasikan hukum nasional sehingga
semua perjanjian internasional yang telah diratifikasi belum
diakui di tingkat nasional sebelum mendapat persetujuan dari
Parlemen Federal Australia. Selain itu, perjanjian
internasional harus ditransformasikan ke dalam bentuk
peraturan perundang-undangan agar dapat diterapkan di
pengadilan nasional. Demikian pula praktik di Kanada di mana
perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Kanada
belum dapat menjadi bagian hukum nasional Kanada sebelum
mendapat persetujuan Parlemen Federal dan Parlemen Propinsi
yang terdampak langsung dari tindakan ratifikasi perjanjian
internasional. Jika Australia dan Kanada perjanjian
internasional tidak dapat diterapkan secara langsung di
pengadilan tanpa adanya undang-undang, sebaliknya Perancis dan
Belanda mengijinkan perjanjian internasional yang telah
diratifikasi untuk diterapkan secara langsung di pengadilan
jika telah mendapat persetujuan dari Parlemen dan
dipublikasikan dalam lembaran negara. Selanjutnya, kewenangan
pengadilan untuk menentukan sifat perjanjian internasional
apakah self-executing atau non-self-executing.
Selanjutnya dalam sistem checks and balances hanya
terdapat dua negara yang mengadopsi sistem ini yaitu Amerika
Serikat dan Indonesia. Indonesia tampaknya mengadopsi sistem
ketatanegaraan Amerika Serikat untuk dipraktikkan ke dalam
sistem ketatanegaraannya. Di kedua negara ini kewenangan
eksekutif dibatasi oleh kewenangan legislatif di mana harus
ada persetujuan dari legislatif sebelum eksekutif dapat
meratifikasi perjanjian internasional. Dalam hal ratifikasi,
meskipun menggunakan sistem yang sama tetapi berbeda dalam
hasil akhirnya. Ratifikasi yang dilakukan oleh Presiden
Amerika Serikat memiliki akibat hukum di tingkat internasional
dan di tingkat nasional karena sebelum meratifikasi Presiden
telah mendapat persetujuan dari Senat. Persetujuan dari Senat
ini merupakan bentuk persetujuan kepada Presiden untuk
meratifikasi perjanjian internasional dan mengijinkan
perjanjian internasional yang telah diratifikasi untuk
digunakan di pengadilan nasional Amerika Serikat, kecuali
ditentukan lain. Hal yang berbeda dengan praktik yang terjadi
di Indonesia di mana meskipun Presiden telah mendapat
persetujuan dari DPR dalam bentuk undang-undang pengesahan
perjanjian internasional tetapi persetujuan tersebut tidak
memiliki akibat hukum apapun di tingkat nasional, dengan kata
lain, perjanjian internasional hanya mengikat Indonesia
sebagai negara, sedangkan untuk diterapkannya perjanjian
internasional di pengadilan nasional memerlukan undang-undang
transformasi. Sama halnya dengan negara-negara Australia,
Kanada, Perancis dan Belanda bahwa ratifikasi yang dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia hanyalah sebuah pengikatan diri di
tingkat internasional yang bertujuan untuk membuat perjanjian
internasional berlaku universal.
Penarikan diri terhadap perjanjian internasional yang
telah diratifikasi dan/atau ditandatangani dengan alasan
merugikan kepentingan nasional tidak seharusnya diatur dalam
UU Nomor 24 Tahun 2000 karena hal ini telah ada dalam Konvensi
Wina 1969. Pemahaman bahwa perjanjian internasional hanya
mengikat bagi negara-negara dalam kaitannya dengan hubungan
luar negeri sebenarnya tidak terlalu mengganggu karena isu
yang berkembang dalam penarikan diri bukan sepenuhnya isu
hukum tetapi lebih banyak isu politik. Juga permasalahan
suksesi negara yang diatur dalam salah satu pasal dari UU ini
sebenarnya tidak perlu ada karena tidak relevan.
Kemudian, beberapa pasal, khususnya Pasal 9, 10, 11 dan
18 dari UU Nomor 24 Tahun 2000 seharusnya dicabut. Untuk Pasal
9 dikarenakan munculnya istilah undang-undang pengesahan dan
keputusan presiden. Jika kita konsekuen dengan sistem checks
and balances, maka keputusan presiden tidak dapat digunakan
sebagai bentuk ‘checks and balances’ karena kewenangan
tersebut seharusnya ada pada DPR. Jika tidak dicabut maka ini
akan berimbas pada Pasal 18 di mana DPR dapat semena-mena
meminta kepada Presiden untuk mencabut perjanjian
internasional dan/atau persetujuan internasional yang telah
dibuat karena dianggap merugikan kepentingan nasional.
Sebagaimana yang diketahui bahwa Pasal 26 dan 27 Konvensi Wina
1969 melarang tindakan unilateral dengan menggunakan alasan
internal law.
Perlunya Kesepakatan dalam Pemyusunan UU yang Baru
UU Nomor 24 Tahun 2000 adalah produk gagal dalam filosofi
peraturan perundang-undangan karena UU ini gagal untuk menjadi
pedoman hidup dan gagal untuk menjelaskan secara terperinci
mengenai pemahaman Indonesia terhadap perjanjian internasional
yang telah diratifikasi, termasuk alur proses pengintegrasian
perjanjian internasional dan penerapannya di pengadilan,
sehingga substansi UU ini tampak tidak fokus dan terlalu
prosedural.
Penulis beranggapan bahwa kegagalan ini karena para
penyusun peraturan hukum belum sepakat dalam menentukan apakah
penyusunan tersebut menggunakan pendekatan teori monisme atau
dualisme. Ketidakpahaman penyusun undang-undang tentang
bagaimana hukum internasional berevolusi dalam sistem hukum di
Indonesia terbukti ketika muncul sebuah produk hukum tentang
hak asasi manusia yaitu UU Nomor 39 Tahun 1999 di mana Pasal 7
menyatakan bahwa norma-norma hukum internasional yang
menyangkut hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum
nasional Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana
caranya menerapkan pasal-pasal dalam perjanjian internasional
jika secara filosofis perjanjian internasional tidak diakui
sebagai salah satu sumber hukum dalam jenis dan hirarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 ada sebuah pemaksaan
kehendak bahwa Indonesia harus menjadi negara monisme sehingga
memunculkan Pasal 7 yang secara substansi dan filosofis
bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Sebenarnya untuk memahami sebuah negara menganut aliran
monisme atau dualisme adalah mudah, yaitu dengan mencermati
konstitusi negara yang bersangkutan. Jika negara tersebut
mengatur dengan jelas dan tegas hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional maka dapat disimpulkan negara
tersebut adalah monisme, seperti Perancis, Belanda, Timor
Leste, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia. Jerman adalah negara
monisme untuk hukum kebiasaan internasional sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 25 Grungesetz tetapi menggunakan pendekatan
dualisme untuk perjanjian internasional. Bagi negara yang
tidak mengatur secara tegas dalam konstitusinya maka negara
tersebut adalah dualisme karena keutamaan diberikan pada hukum
nasional, seperti di Malaysia, Australia, Kanada dan Indonesia
sendiri.
Selama 20 tahun belajar hukum internasional di Indonesia,
pemahaman terhadap perjanjian internasional masih belum jelas
secara filosofi dan konsep karena ada banyak pemahaman yang
berbeda-beda ketika berbicara negara monisme dan dualisme.
Bagi teman-teman di Universitas Padjadjaran menganggap bahwa
Indonesia adalah negara monisme, namun di beberapa perguruan
tinggi lain menganggap bahwa Indonesia adalah negara dualisme
dengan berbagai macam alasan tetapi sulit untuk ditarik
kesimpulan atau benang merahnya.
Lebih lanjut, penyusun undang-undang pada saat itu tidak
paham secara filosofi dan konsep mengenai makna hukum
internasional bagi negara-negara dan apa makna undang-undang
bagi negara dan masyarakat dalam negara tersebut. Pemahaman
ini menjadi sangat penting dalam menyusun alur sistem
ketatanegaraan kita ke dalam bahasa hukum. Hukum internasional
dibuat untuk menjembatani hubungan antar negara dengan tujuan
untuk menghindari rasa primordialisme kenasionalan karena
adanya tradisi hukum yang berbeda antara satu negara dengan
yang lain. Sebaliknya, undang-undang dibuat untuk mengatur
hubungan negara dengan individu yang berlaku dalam wilayah
teritorial suatu negara. Undang-undang juga merupakan sebuah
penjabaran akan pemahaman suatu negara terhadap makna tertentu
yang diatur dalam sebuah hukum internasional agar negara lain
memahami maksud dan tujuan disusunnya suatu peraturan hukum.
UU Nomor 24 Tahun 2000 tidak lagi mengatur hal-hal yang
bersifat prosedural belaka tetapi benar-benar hal-hal yang
lebih substantif, seperti hubungan antara lembaga eksekutif
dan legislatif dalam pembuatan perjanjian internasional,
proses pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam
sistem hukum nasional, proses penerapan perjanjian
internasional di pengadilan, makna ratifikasi bagi Indonesia,
arti undang-undang pengesahan/persetujuan perjanjian
internasional. Selain itu, UU ini seharusnya menggunakan
bahasa yang baku, dengan kata lain, tidak perlu diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia karena mengakibatkan salah pengertian,
semisal ratifikasi, reservasi, deklarasi dan lainnya.
Jika para pemangku kepentingan dalam penyusunan rancangan
undang-undang perjanjian internasional yang baru sepakat bahwa
kita adalah negara dualisme maka alur berfikir dalam
penyusunan rancangan undang-undang ini menjadi lebih mudah
bagi penyusun peraturan hukum di DPR karena konsepnya menjadi
lebih jelas. Dengan konsep dualisme dalam penyusunan setiap
rancangan peraturan hukum, Pemerintah Indonesia akan lebih
mudah menjawab tentang status perjanjian internasional di
Indonesia dan penerapan perjanjian internasional di pengadilan
nasional.
Berbicara status perjanjian internasional di Indonesia,
maka kita akan mulai dengan sebuah pertanyaan bagaimana sistem
hukum kita memandang hukum internasional, apakah sebagai
sumber hukum atau dasar hukum saja. Sebagai sumber hukum maka
hukum internasional bukan merupakan bagian dari hukum nasional
kita tetapi keberadaannya tetap kita akui. Hukum internasional
tidak secara langsung diterapkan oleh hakim tetapi melalui
proses legal interpretation. Namun demikian ada hal yang perlu
diingat adalah kita menggunakan pendekatan hard transformation
dalam proses transformasi sehingga berlakunya perjanjian
internasional di Indonesia hanya dapat dilakukan melalui
tindakan legislatif sehingga secara asas hakim tidak boleh
melakukan penafsiran atas perjanjian internasional secara
mandiri dan langsung karena kewenangan tersebut dimiliki
sepenuhnya oleh DPR ketika membuat undang-undang transformasi
atas perjanjian internasional yang bersangkutan. Berbeda
dengan proses transformasi di Kanada, di mana Kanada
menggunakan pendekatan soft transformation, artinya berlakunya
perjanjian internasional dapat dilakukan melalui tindakan
legislatif dan tindakan yudikatif, artinya perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Federal
Kanada tetapi belum disetujui oleh Parlemen Federal Kanada
tetap dapat digunakan oleh hakim di pengadilan nasional
sebagai bahan hukum untuk menginterpretasikan hukum nasional
yang dianggap tidak sesuai dengan kewajiban internasional yang
harus diemban oleh Pemerintah Kanada, dengan catatan bahwa
jika isu hukum yang muncul berkaitan erat dengan hak dan
kewajiban individu.
Dengan memahami status perjanjian internasional yang
telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan seksama
maka kegalauan masyarakat tentang mengapa hakim-hakim
Indonesia tidak menerapkan norma-norma hukum internasional di
persidangan dapat terjawab dengan mudah, antara lain: (i)
perjanjian internasional bukan bagian dari hukum nasional
kita, (ii) keutamaan hukum di Indonesia adalah hukum nasional,
(iii) hukum internasional berada di piramida yang berbeda
dengan hukum nasional, di mana hukum internasional merupakan
hasil kesepakatan negara-negara di level internasional,
sedangkan hukum nasional adalah hasil kesepakatan lembaga
legislatif dan lembaga eksekutif untuk mengatur masyarakat di
level nasional, dan hakim terikat oleh yang kedua, (iv)
perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia hanya berlaku bagi Indonesi sebagai
negara yang merupakan subyek hukum internasional, dan belum
berlaku di Indonesia (baca: pengadilan) sebelum diterbitkan
undang-undang transformasi atas perjanjian internasional yang
bersangkutan.
KESIMPULAN
Dari analisis di atas maka ada beberapa hal yang dapat
menjadi kesimpulan, antara lain:
1. UU Nomor 24 Tahun 2000 secara substansi tidak memenuhi
kriteria sebagai sebuah undang-undang karena tidak fokus
dan terlalu prosedural sehingga terkesan bahwa pasal-
pasal yang terdapat dalam UU ini tumpang tindih dengan
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969.
2. UU Nomor 24 Tahun 2000 disusun dalam kondisi
ketidakjelasan konsep berfikir berkaitan dengan faham
yang dianut oleh Indonesia, apakah faham monisme atau
faham dualisme sehingga kerangka dan alur bahasa hukum
dalam UU ini menjadi membingungkan.
3. UU Nomor 24 Tahun 2000 secara substansi tidak memberikan
pedoman apapun mengenai bagaimana pemahaman bangsa
Indonesia terhadap perjanjian internasional yang telah
diratifikasi karena kurangnya pemahaman filosofi dan
konseptual.
4. UU Nomor 24 Tahun 2000 harus dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku agar tidak menimbulkan salah pengertian terkait
dengan istilah dan pemahaman perjanjian internasional
secara utuh di Indonesia.
5. Rancangan undang-undang perjanjian yang baru harus
mengatur hal-hal yang bersifat substanstif tentang
pemahaman kita atas perjanjian internasional yang dimulai
dari hubugan antara eksekutif dengan legislatif, proses
pembuatan perjanjian internasional, undang-undang
pengesahan/persetujuan, makna ratifikasi, kewenangan
melakukan reservasi dan deklarasi, undang-undang
transformasi dan penerapan perjanjian internasional di
pengadilan.
6. Para pemangku kepentingan dalam penyusunan rancangan
undang-undang perjanjian internasional yang baru harus
bersepakat terlebih dahulu, apakah kita adalah negara
monisme atau dualisme, dengan tujuan untuk memudahkan
alur berfikir dan menuangkan proses berfikir tersebut ke
dalam bahasa hukum.

SARAN
Beberapa pasal dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tidak layak
untuk diatur dalam rancangan undang-undang perjanjian
internasional yang baru sehingga ada baiknya dicabut dan tidak
digunakan lagi.

Anda mungkin juga menyukai