Lapsus MM
Lapsus MM
Laporan Kasus
Pembimbing:
dr Anita Ekowati, Sp Rad (K)
Bagian Radiologi
Fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Multiple myeloma dikenal juga dengan istilah Plasma cell myeloma,
Plasma cell dyscrasia, Plasmacytoma, Plasmacytoma of bone, Plasma cell
neoplasm, Extraosseous plasmacytoma. 6
Multiple myeloma merupakan penyakit neoplasma primer sistem skeletal yang
paling sering ditemui dan merupakan keganasan hematologi sel plasma yang
ditandai dengan proliferasi sel plasma yang berasal dari sel B limfosit, serta
diikuti dengan peningkatan kadar immunoglobulin monoklonal Ig A dan Ig G
secara berlebihan yang dikenal dengan istilah M-protein.1,6
B. ANATOMI
Multiple myeloma merupakan kelainan difus pada sumsum tulang di mana
hampir 90% pasien MM dengan keterlibatan tulang. Walaupun seluruh tulang
dapat terkena, ada 4 pola radiografi yang dapat ditemukan pada MM yaitu: 1.
mineralisasi tulang normal tanpa lesi litik yang khas, 2. demineralisasi difus tanpa
lesi litik, 3. lesi tunggal (plasmacytoma) dan 4. lesi litik yang menyebar luas.
Lokasi dominan MM adalah tulang axial dan kolumna vertebralis, costa, cranium,
pelvis dan femur. Sebagian besar pasien dengan demineralisasi yang litik baik
fokal ataupun difus dan kurang dari 10% dengan plasmasitoma pada temuan
radiografi. Menariknya, deposit myeloma diluar tulang kadang ditemukan di
ginjal, paru, nasofaring atau sinus paranasalis.1
C. EPIDEMIOLOGI
Multiple myeloma menempati urutan kedua dari kelompok kanker darah.
Pada beberapa literatur disebutkan bahwa kejadian MM kurang dari 1% dari
seluruh keganasan, kurang dari 10% dari seluruh keganasan hematologi dan
sekitar sepertiga dari seluruh keganasan tulang primer. Berdasarkan American
Cancer Society (ACS), pada akhir tahun 2009 diperkirakan ada 20.000 kasus baru
dan pada 2010 diperkirakan hampir 11.000 kematian akibat MM. Berdasarkan
pusat riset United Kingdom (UK) yang terdiagnosis MM hanya kurang dari 4000
orang selama setahun atau kurang dari 1% dari seluruh keganasan. Di Indonesia
belum ada laporan secara pasti berapa jumlah kasus MM. Frekuensi laki-laki
dengan perempuan sekitar 2:1 dan seiring dengan meningkatnya angka harapan
hidup, kasus MM semakin meningkat karena MM cenderung terjadi pada dekade
5-7 kehidupan. 4,5
D. ETIOLOGI
Penyebab pasti MM tidak diketahui secara pasti tetapi ada beberapa faktor
risiko yang dapat menyebabkan timbulnya MM. Para ahli tidak dapat memastikan
bahwa DNA dalam sel plasma yang mengalami mutasi yang menyebabkan
terjadinya kanker. Mereka mengemukakan beberapa faktor risiko terjadinya MM
yaitu: 1. usia, 96% kasus MM didiagnosis pada usia diatas 45 tahun dan 75% pada
usia diatas 70 tahun, 2. genetika, orang yang mempunyai hubungan erat dengan
penderita MM mempunyai risiko yanglebih tinggi untuk terkena MM, 3. obesitas,
4. diet, beberapa penelitian mengindikasikan bahwa diet rendah ikan atau sayuran
hijau mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena MM, 5. HIV/AIDS, 6.
pekerjaan tertentu misalnya orang yang bekerja dibidang agrikultural, industri
kulit, kosmetologi, dan penambang minyak, 7. paparan bahan kimia dan
produknya misalnya logam berat, pewarna rambut, plastik, bermacam debu
misalnya debu kayu, asbestos, herbisida, insektisida, produk minyak bumi, 8.
paparan radiasi, orang-orang yang survive dari bom atom Hiroshima dan Nagasaki
secara bermakna mempunyai risiko yang lebih tinggi menderita MM, 9. beberapa
penyakit autoimun misalnya rheumatoid arthritis, 10. riwayat Monoclonal
Gammopathy of Undetermined Significance (MGUS), sekitar 20-25% orang
dengan MGUS berkembang menjadi MM atau limfoma. MGUS adalah suatu
kondisi dengan protein M yang rendah,tapi tidak terjadi kerusakan tubuh. Hal ini
menjadi alasan orang dengan MGUS dilakukan monitor yang ketat terhadap
kesehatannya. 7,8,9
E. PATOFISIOLOGI
Sel-sel darah dibentuk dari sel-sel di sumsum tulang yang disebut stem
cells. Stem cells yang matang berubah menjadi sel darah yang mempunyai
perannya masing-masing. Sel darah putih membantu mengatasi infeksi. Ada
beberapa tipe sel darah putih.Sel plasma adalah sel darah putih yang membentuk
antibodi. Antibodi adalah bagian dari sistem imun yang bekerja bersama system
imunitas lainnya membantu melindungi tubuh dari kuman dan substansi yang
merugikan. Masing-masing sel plasma membentuk antibodi yang berbeda.
Normalnya tubuh membentuk lima tipe imunoglobulin yang berbeda yaitu IgG,
IgM, IgA, IgE dan IgD yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda
terhadap sistem imun. Masing-masing tipe imunoglobulin terdiri atas empat rantai
protein, 2 rantai berat (panjang) dan 2 rantai ringan (lebih pendek). Rantai berat
terdiri dari satu dari lima tipe yang cocok dengan tipe produk imunoglobulin
yaitu: gamma (IgG), mu (IgM), alpha (IgA), epsilon (IgE) dan delta (IgG). Rantai
ringan terdiri dari satu dari dua tipe yaitu kappa dan lambda. Dengan sel plasma,
dua rantai berat dari satu tipe dan dua rantai ringan dari satu tipe akan bersatu
membentuk satu imunoglobulin utuh. Masing-masing partikel sel plasma hanya
akan menghasilkan satu tipe imunoglobulin. 1,6
Pada pasien MM, sel plasma hanya memproduksi satu tipe imunoglobulin
utuh dalam jumlah yang banyak atau memproduksi secara berlebihan hanya satu
tipe rantai ringan, jarang dari rantai berat, imunoglobulin ini disebut protein
monoklonal atau protein M. Protein M yang dihasilkan ini selanjutnya disebut
rantai ringan bebas atau protein Bence Jones. Kelebihan protein Bence Jones ini
dilepas ke dalam aliran darah karena merupakan molekul yang relatif kecil,
protein ini disaring oleh ginjal dan diekskresikan ke dalam urin sehingga protein
Bence Jones dapat dideteksi dalam darah dan urin. Sel-sel plasma yang abnormal
disebut sel myeloma. Sel-sel myeloma ini terkumpul di sumsum tulang,
menyebabkan kerusakan pada tulang.Sel plasma yang terkumpul di beberapa
tulang disebut multiple myeloma, bila hanya pada satu tulang disebut
plasmacytoma soliter.1
Tipe myeloma pada seorang pasien sering mengarah pada tipe protein
yang dihasilkan, apakah imunoglobulin utuh atau rantai ringan. Pasien dengan
myeloma IgG dan IgA yang paling sering ditemui, tipe IgG sekitar 60-70%
myeloma dan tipe IgA sekitar 20% myeloma. Kasus dengan myeloma IgE dan
IgD jarang dilaporkan. Beberapa pasien mungkin mempunyai hubungan dengan
IgM namun kondisi ini mungkin berhubungan dengan makroglobulinemia
Waldenstrom.6
F. GEJALA KLINIS
Gejala MM sangat bervariasi tergantung stadium dan keadaan umum
pasien. Banyak pasien MM tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun.
Pada stadium awal biasanya tanpa gejala sehingga sering ditemukan secara tidak
sengaja pada saat pemeriksaan laboratorium darah atau urin. Biasanya
ditemukannya anemia atau protein abnormal yang disebut protein monoklonal
atau protein M dalam darah atau urin. Gejala klinis yang tersering adalah
kelemahan dan nyeri tulang terutama tulang belakang, pelvis, costa dan cranium
yaitusekitar 70% dengan atau tanpa fraktur patologis atau infeksi. Peningkatan
kadar kalsium dalam darah (hiperkalsemia) ditemukan pada sekitar 15-30%
pasien dengan renal insufisiensi yang disebabkan oleh presipitasi monoklonal
rantai ringan pada tubulus kolektivus. Protein Bence Jones yang mengendap di
ginjal dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang permanen. Gejala akibat
hiperkalsemia antara lain rasa haus, sering BAK, confusion, konstipasi, hilang
nafsu makan, mual, muntah dan nyeri abdomen. Pada 10-20% pasien dapat
ditemukan gejala klinis lainnya termasuk sindrom viscositas, kompresi spinal
cord, nyeri radikuler, deposit soft tissue atau perdarahan. Kompresi spinal cord
bahkan kerusakan spinal dapat menekan nervus yang berjalan sepanjang kolumna
spinalis. Gejala kompresi spinal cord antara lain: kesemutan, anestasi dan
kelemahan pada kaki dan jari-jari, inkontinensia urin danfeses, masalah BAB dan
BAK. Kelainan imunitas humoral dan leukopenia memudahkan terjadinya
infeksi. Gejala neurologic sebagai komplikasi MM juga dapat dijumpai misalnya
Carpal tunnel syndrome, meningitis (khususnya yang disebabkan oleh infeksi
pneumococcal atau meningococcal) dan neuropatiperifer. Amyloidosis ditemukan
pada sekitar 8-15% pasien MM yang memberikan kontribusi terhadap disfungsi
parenkim ginjal. Batu saluran kemih kadang ditemukan sebagai akibat
peningkatan kadar asam urat dan kalsium. Faktor-faktor ini pada akhirnya dapat
menyebabkan kegagalan fungsi ginjal dan kematian. 1,6,7,8,10
G. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Ada beberapa variasi gambaran radiologi pada MM yaitu: 1. Osteoporosis
difus, 2. Myeloma soliter (plasmacytoma), 3. Keterlibatan tulang yang difus
(myelomatosis) dan 4. Myeloma sklerosis. Gambaran osteoporosis difus dominan
ditemukan pada vertebra dengan fraktur kompresi multiple. Gambaran
plasmacytoma biasanya ditemukan pada costa atau pelvis, kadang-kadang pada
tulang panjang dengan lesi litik tanpa sklerosis namun kadang-kadang ditemukan
gambaran moth-eaten atau pola permeatif. Pada myielomatosis dengan
keterlibatan tulang yang difus biasanya melibatkan tulang vertebra dan cranium
dengan lesi osteolitik multiple pada medula dengan endosteal scalloping.
Myeloma sklerosis jarang, frekuensinya sekitar 1% dan biasanya dengan lesi
osteolitik atau campuran blastik dan litik dengan sklerosis yang reaktif. 2
Lesi fokal biasanya bermula di cavum medula kemudian ke tulang
cancellous dan akhirnya menyebabkan kerusakan tulang kortikal.Pada stadium
awal gambaran radiologisnya dapat normal. Selanjutnya pada foto polos atau bone
survey dapat ditemukan gambaran densitas tulang yang berkurang (osteopeni)
dengan banyak lesi “punched out” yaitu lesi litik bentuk bulat atau oval, batas
tegas, multiple, ukuran hampir sama (uniform size) sekitar 20 mm tanpa sklerosis
atau lingkaran putih di sekelilingnya dan tanpa reaksi periosteal. Sering pula
ditemukan osteopenia yang difus pada vertebra yang dapat menimbulkan fraktur
kompresi multiple. Adanya fraktur patologis dapat dijumpai pada sekitar 50%
kasus.Lokasi MM yang sering adalahvertebra, cranium, pelvis, femur, humerus,
costa dan sternum. Pada tulang pipih misalnya pelvis, costa dan sternum,
plasmacytoma dapat membentuk gambaran “soap bubble like” yaitu lesi lusen
yang dikelilingi oleh lapisan tipis tulang kompak.5,6,7,11
Selain pemeriksaan bone survey, pemeriksaan radiologi untuk MM adalah
pemeriksaan CT Scan, MRI dan radionuklir. Pada CT, seperti juga pada foto
polos dapat dijumpai lesi litik punched out, osteopenia yang difus, fraktur dan
kadang-kadang osteosklerosis. MRI dianjurkan sebagai tambahan pemeriksan
pada pasien-pasien myeloma. MRI mempunyai keuntungan dalam sensitifitas tapi
tidak spesifik. Beberapa laporan menyarankan bahwa pemeriksaan MRI pada
vertebra dapat memberikan nilai tambah dalam menentukan staging karena lesi
yang tidak ditemukan secara radiografi tapi ditemukan pada MRI dapat mengubah
terapi.Temuan pada MRI bisa normal (pada sekitar 20% kasus) sampai lesi yang
fokal maupun difus. Pada T1 weighted spin echo dapat ditemui gambaran lesi
hipointens yang menyangat setelah pemberian bahan kontras. Sedangkan pada
radionuklir dapat ditemui gambaran peningkatan uptake pada tulang yang dikenai.
Dibanding pemeriksaan dengan radiografi, pemeriksaan multiple myeloma
dengan radionuklir kurang sensitif dan kurang spesifik.1, 12
H. DIAGNOSIS
Pada beberapa literatur disebutkan bahwa dasar penegakkan diagnosis
MM adalah bila ditemukaan 3 kriteria berikut yaitu: 1. Pada aspirasi sumsum
tulang ditemukan sel plasma minimal 10-15%, 2. Bone survey memperlihatkan
adanya lesi litik dan 3. Ditemukannya imunoglobulin monoklonal (protein Bence
Jones) dalam darah atau urin.Diperlukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang,
darah dan atau urin dan radiologi.Pengambilan sampel sumsum tulang biasanya
diambil didaerah hip joint. 1, 7
Pasien-pasien yang dicurigai MM berdasarkan aspirasi sumsum tulang
atau hipergammaglobulinemia harus dilakukan bone survey. Secara konvensional,
bone survey terdiri dari foto kepala viewAP danlateral, vertebra view AP dan
lateral, pelvis,costa, femur dan humeri view AP.Pemeriksaan ini berguna untuk
menentukan diagnosis dan staging namun teknik diagnosis dan staging dengan
bone survey ini memiliki keterbatasan. Sangat banyak pasien yang didiagnosis
myeloma yang asymptomatis mempunyai deposit myeloma pada radiografinya.
Dibutuhkan setidaknya 30% kehilangan tulang kortikal untuk memvisualisasikan
adanya proses destruktif pada radiografi. Lagipula, myeloma adalah pasien pada
usia tua dengan demineralisasi difus yang sulit dibedakan dengan pola yang
ditemukan pada pasien dengan osteoporosis.1
Pada tahun1975 untuk pertama kalinya Durie dan Salmon mengemukakan
tentang sistem staging secara klinik untuk MM. Pengukuran sel myeloma
berhubungan dengan 5 gambaran klinis berikut : 1. Kadar hemoglobin, 2. Kadar
kalsium serum, 3. Jumlah lesi tulang pada bone survey, 4. Kadar imunoglobulin,
dan 5. Kadar creatinin serum.Namun pada literatur lain disebutkan hanya ada 4
faktor dalam sistem staging Durie danSalmon yaitukadar hemoglobin, kadar
kalsium serum, jumlah lesi tulang pada bone survey dan kadar imunoglobulin.1, 7, 8
Selain sistem Durie dan Salmon dalam menegakkan staging MM juga
digunakan International Staging System. Sistem staging internasional ini
menggunakan data Sβ2M dan serum Albumin. Klasifikasinya bisa dilihat pada
tabel berikut:13
Temuan laboratorium untuk diagnostik myeloma adalah
hipergammmaglobulinemia, yang terbanyak adalah IgG diikutioleh IgA.Temuan
laboratorium lainnya adalah hiperklasemia (sebagai hasil dari destruksi tulang),
hiperurisemia (sebagai hasil dari peningkatan sel tumor), peningkatan angka
sedimentasi eritrosit (ESR) dan peningkatan kadar alkalin fosfatase.1
I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding multiple myeloma adalah metastasis tulang,
leukemia, limfoma, osteoporosis, Waldenstrom Hypergammaglobulinemia, dll.
Bila multiple myeloma mengenai vertebra, harus dibedakan dengan lesi metastasis
tulang dimana pada MM pada stadium awal biasanya pedikel masih utuh hanya
mengenai corpus vertebra. Hal ini dikarenakan pedikel lebih sedikit mengandung
sumsum sel darah merah dibanding corpus vertebra. Pada lesi metastasis tulang
biasanya mengenai pedikel dan corpus vertebra. Pada stadium lanjut MM sudah
ada ketelibatan pedikel sehingga untuk membedakannya dengan lesi metatasis
tulang perlu dilakukan bone scan radionuklir. Dengan radionuklir pada MM tidak
ada peningkatan uptake radiofarmaka sedang pada metastasis tulang terdapat
peningkatan uptake. Metastasis tulang dapat soliter atau multiple, lesi litik,
sklerotik atau campuran litik dan sklerotik. Yang mirip dengan lesi MM adalah
metastasis tulang dengan gambaran lesi litik. Tumor primer yang memberikan
gambaran lesi litik pada metastasis tulang biasanya berasal dari ginjal, paru,
payudara, thyroid dan gastrointestinal, walaupun lesi litik ini dapat menjadi
sklerotik setelah terapi radiasi, kemoterapi maupun hormonal. Pada wanita,
keganasan yang paling banyak menyebabkan lesi metastasis yang litik pada tulang
berasal dari payudara yaitu sekitar 35% sedangkan pada laki-laki berasal dari
keganasan prostat yaitu sekitar 30%. Menurut Krishnamurthy distribusi lesi
metastasis tulang pada tulang axial sebesar 60%, vertebra lumbal sebesar 32%,
cranium 10%, sacroiliac joint 5%, ekstremitas atas 11% dan ekstremitas bawah
4%. Lesi metastasis biasanya tanpa atau hanya dengan soft tissue mass yang
minimal dan biasanya tanpa reaksi periosteal kecuali jika menembus cortex. Lesi
metastasis yang soliter bisa berasal dari karsinoma ginjal, tiroid, traktus
gastrointestinal maupun paru. 1,2,5
Myeloma soliter (plasmacytoma) mempunyai beberapa diagnosis banding
yaitu FOGMACHINES (Fibrous dysplasia, Osteoblastoma, Giant cell tumor,
Metastases/ myeloma, Aneurismal bone cysts, Chondroblastoma,
Hyperparathyroidism (brown tumours)/ hemangioma, Infection, Non Ossifying
fibroma, Eosinophilic granuloma/enchondroma dan Solitary bone cysts).
K. PROGNOSIS
Prognosis sangat bervariasi tergantung keadaan klinis dan stadium saat
ditemukan, dari hanya beberapa bulan sampai lebih dari 10 tahun. Pada tahun-
tahun terakhir, dengan pemberian dosis tinggi kemoterapi secara umum
meningkatkan angka harapan hidup. Dalam perkembangan sistem staging Durie
dan Salmon, peneliti menemukan bahwa pada stage I rata-rata angka harapan
hidup pasien adalah 191 bulan, stage II 11-54 bulan dan pada stage III 5-34
bulan.Sistem staging internasional juga dapat memberikan informasi mengenai
prognosis dengan melihat kadar β2-M. Kadar β2-M yang tinggi mengindikasikan
banyaknya jumlah sel myeloma dan besarnya kerusakan ginjal yang terjadi,
semakin tinggi kadar β2-M maka semakin berat pula kondisi pasien. Serum
albumin yang rendah, tingginya kadar enzim laktase dehidrogenase dalam darah
mengindikasikan prognosis buruk. 1,7,8
BAB III
LAPORAN KASUS
A B C