Anda di halaman 1dari 19

Beban Mekanik

(Mechanical
loading)

Static Dynamic
Loading Loading

Impact Impulsive
Loading Loading

Contact Inertial
Forces Forces

Gelombang
Kerusakan
Perdarahan energi Rotasi Translasi Angulasi
tengkorak
benturan

Gambar 2.15 Skema mekanisme cedera kepala1

a. Beban statik (static loading)


Beban statik timbul perlahan-lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan
mengenai kepala secara bertahap. Walaupun sebenarnya mekanisme ini tidak lazim,
namun hal ini terjadi ketika terdapat tekanan lambat mengenai kepala yang sedang
diam (statis) yang berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 milidetik.
Bila kekuatan tenaga tersebut cukup besar dapat mengakibatkan terjadinya keretakan
tulang (egg-shell fracture), fraktur multiple atau kominutif dari tengkorak atau dasar
tulang tengkorak.1
b. Beban dinamik (dynamic loading)
Mekanisme trauma kepala yang lebih umum terjadi adalah akibat beban
dinamik, dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (kurang
dari 200 milidetik). Beban dinamik ini dibagi menjadi dua jenis yaitu beban benturan
(impact loading) dan beban guncangan (impulsive loading).1
Beban benturan (impact loading) merupakan jenis beban mekanik yang lebih
sering terjadi dan pada umumnya merupakan kombinasi kekuatan kontak (contact
forces) dan kekuatan lanjut akibat gaya inersia (inertial forces). Pada Contact forces,
terjadinya benturan kontak langsung pada cranium dapat mengakibatkan distorsi
local dan distribusi gelombang tekanan dari permukaan cranium sampai ke bagian
otak yang lebih dalam (SCALP-cranium-selaput otak-parenkim). Biasanya cedera
benturan melibatkan energi bentur bekekuatan tinggi dalam durasi yang sangat
singkat (<50 milidetik). Objek-objek yang lebih besar dari 5 cm2 akan
mengakibatkan deformitas lokal tengkorak yang cenderung melekuk ke dalam tepat
pada daerah benturan. Bila derajat deformitas lokal tersebut melebihi toleransi
tengkorak, akan terjadi fraktur. Penetrasi, perforasi atau fraktur depresi lokal
kebanyakan disebabkan oleh objek-objek dengan permukaan yang luasnya kurang
dari 5 cm2.1
Beban guncangan (impulsive loading) terjadi bila kepala mengalami
kombinasi antara percepatan-perlambatan (akselerasi-deselerasi) secara mendadak,
kepala yang diam secara tiba-tiba digerakkan secara mendadak. Atau sebaliknya bila
kepala yang sedang bergerak tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan.1
Inertial forces. Gaya inersia adalah bentuk resistensi yang terjadi pada suatu
objek ketika terdapat perubahan gerakan (Latin; iners=malas). Otak berhenti sejenak
ketika terjadi benturan mendadak kemudian akan bergerak ketika tengkorak sudah
berhenti bergerak (cedera akselerasi-deselerasi).1
Bagian dalam basis cranii memiliki banyak penonjolan, terutama pada fossa
cranii anterior, media, dan ala minor tulang sphenoid. Oleh karena itu, otak dapat
mengalami cedera pada titik yang tidak sesuai dengan tempat benturan (kontusio
contra-coup). Lokasi kontusio contra-coup yang paling sering adalah polus frontal,
polus temporal, dan pars orbitalis lobus frontal, permukaan inferior dan lateral lobus
temporal, serta korteks serebri di sekitar sulkus lateralis.1

Gambar 2.16 Skema mekanisme cedera kepala1


Selain itu, kontusio ini juga disebabkan oleh adanya perubahan tekanan pada
parenkim otak, terutama bagian polus pada saat terjadi gerakan tiba-tiba. Tekanan
negatif terjadi pada saat awal gerakan, ketika otak masih tertinggal di sisi yang
berlawan dari benturan, kemudian tekanan menjadi positif saat otak yang masih
bergerak membentur rongga kranial yang sudah berhenti bergerak. Ketika terjadi
peregangan otak dan shockwave akibat tekanan melebihi batas toleransi parenkim
dan pembuluh darah otak, kontusio contra-coup, kontusi intermediate-coup (kontusi
yang timbul di daerah otak nonkonveksitas), perdarahan intraserebral traumatika, dan
cedera aksonal difus akibat trauma yang terjadi.1
Pergeseran otak yang mendadak juga dapat mengakibatkan relatif bergeser
terhadap tulang tengkorak dan duramater, sehingga terjadi cedera pada
permukaannya, terutama pada vena-vena jembatan (bridging veins). Mekanisme ini
merupakan salah satu penyebab terjadinya hematom subdural.1
Cedera akselerasi dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu translasi, rotasi, dan
angular.1
Akselerasi Translasi
Akselerasi translasi terjadi bila titik berat otak (di daerah kelenjar pineal)
bergerak dalam suatu sumbu garis lurus. Cedera akselerasi translasi yang murni
jarang terjadi mengingat bahwa secara fisiologis hubungan anatomis kepala-leher
tidak memungkinkan gerakan ini. Gerakan translasi dapat muncul dalam periode
yang singkat sewaktu kepala bergerak, atau kepala berhenti bergerak sesaat sebelum
gerakan lain timbul. Pada prinsipnya mekanisme jejas yang timbul merupakan akibat
pergeseran relatif otak-tengkorak.1
Akselerasi Rotasi
Akselerasi rotasi terjadi bila ada gerakan rotasi di titik berat otak tanpa disertai
pergerakan titik berat tersebut. Mengingat bahwa titik berat otak terletak di daerah
kelenjar pineal maka dalam kejadian sehari-hari gerakan akselerasi yang murni ini
tidak mungkin terjadi, terkecuali pada bidang horizontal dimana putaran dapat terjadi
mengelilingi aksis vertikal yang melalui pineal. Mekanisme cedera ini umumnya
berlangsung bersamaan dengan gerakan akselerasi-angular. Akselerasi rotasi
merupakan mekanisme yang sangat penting dan sangat berbahaya sehubungan
dengan bukan saja dapat menyebabkan jejas pada permukaan otak, tetapi juga
mampu menimbulkan jejas hebat di bagian dalam otak.1
Akselerasi Angular
Akselerasi angular merupakan mekanisme cedera yang paling umum terjadi,
merupakan gabungan dari akselerasi translasi dan rotasi. Dalam hal ini titik berat
otak bergerak dalam arah yang membentuk sudut. Berdasarkan anatomi kepala-leher,
gerakan rotasi secara klinis terpusat pada daerah cervical bawah, lokasi tersebut juga
merupakan penentu proporsi translasi dan rotasi yang berlangsung. Besarnya
kerusakan akibat gerakan akselerasi ini bukan hanya tergantung dari tipe mekanisme
akselerasi saja, melainkan juga oleh beberapa faktor lainnya. Respons jaringan
berkaitan dengan viskoelastisitasnya, ditentukan oleh kekuatan dan tingkatan
akselerasi yang timbul. Kekuatan akselerasi sebanding dengan jumlah jejas yang
dihantarkan pada otak.1

Tabel 2.4 Faktor dan kondisi pracedera yang dapat berperan pada keadaan-keadaan
patologis akibat trauma kepala1
Faktor berpengaruh Hal yang dipengaruhi

Kulit kepala Ketebalan, mobilitas Disipasi tenaga, bantalan fraktur

Tengkorak Bentuk, tebal Determinator tipe, lokasi, luas


fraktur

Duramater Ketebatalan dan Kecenderungan terjadinya


adhesi terhadap hematoma epidural pada fraktur
tengkorak karena ikut robek (bila dura
tipis)/terlepas (bila dura longgar
(EDH tanpa fraktur))

Hiatus Bentuk dan ukuran Gejala herniasi


tentorium
Jaringan otak Volume dari jaringan Efek massa, pergeseran dan
otak, darah, cairan tekanan intrakranial
serebrospinal
Neuron Penyakit Pemulihan pasca trauma
degeneratif/tingkat
fungsional otak
sebelumnya

A. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Cedera kepala merupakan suatu proses yang progresif. Berdasarkan progresivitasnya,
cedera kepala dibagi menjadi cedera primer (initial/primary injury), cedera sekunder
(secondary injury) dan secondary brain insults.1
Cedera primer adalah kerusakan yang terjadi pada struktur kepala, jaringan otak
serta pembuluh darah pada saat terjadinya cedera kepala. Pada tingkat makroskopik dapat
dilihat kerusakan jaringan otak. Sedangkan pada tingkat mikroskopik dapat terjadi
kerusakan pada sel-sel parenkim otak (neuron, akson, sel glia) dan pembuluh darah kecil
(arteriola, venula, dan pembuluh darah kapiler).1
Cedera sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer. Cedera ini biasanya terjadi dalam beberapa jam atau hari seteah
peristiwa traumatik awal. Secara umum, cedera kepala sekunder meliputi hematoma
intracranial, edema serebri, peningkatan tekanan intrakranial, dan pada tahap yang lebih
lanjut, yaitu hidrosefalus dan infeksi.1,10
Secondary brain insult adalah peristiwa sistemik yang terjadi setelah trauma kepala
yang memiliki potensi untuk menambah kerusakan sel saraf, akson, dan pembuluh darah
otak, seperti keadaan hipoksia, hipotensi, hiperkarbia, hiperpireksia, hiperglikemia, kejang,
ketidakseimbangan elektrolit.1
Cedera
kepala

Cedera Cedera Secondary


primer sekunder brain insult

Lesi Hematoma
Lesi difus intrakranial: Hipoksia
lokal/fokal
1)Hematoma
Hematoma Cedera epidural;
vaskular 2)Hematoma Hipotensi
SCALP
difus subdural;
3)Hematoma
Fraktur intraserebral; Hiperpireksia
tulang Cedera 4)Hematoma
tengkorak aksonal intraventrikular
difus
Hiperglikemia
Hematoma Edema
epidural
Kejang
Kontusio Brain shift
coup
Ketidakseimbangan
Laserasi elektrolit
Herniasi
cerebri

Hidrosefalus

Infeksi

Tekanan
intrakranial tinggi

Gambar 2.17 Skema klasifikasi cedera kepala berdasarkan progresivitasnya1

TBI dapat tampak sebagai cedera fokal (terlokalisasi) ataupun difus (tersebar luas).
Beberapa orang juga dapat mengalami keduanya. Cedera fokal terjadi ketika perdarahan,
memar, ataupun cedera penetrasi terisolasi pada bagian tertentu dari otak. Adapun, cedera
otak difus terjadi ketika jaringan otak mengalami kerusakan yang meluas, sering kali
dihasilkan oleh proses akselerasi dan deselerasi. Benturan pada kepala dengan suatu objek
dapat menyebabkan cedera otak fokal di bawah tengkorak pada sisi yang terbentur dan
pada sisi berlawanan dari kepala. Kebanyakan bentuk TBI disebabkan oleh kombinasi
benturan dan akselerasi/deselerasi, seperti halnya yang terjadi pada kecelakaan motor
dengan kecepatan tinggi.12
Klasifikasi yang sering dipergunakan di klinik berdasarkan derajat kesadaran Skala
Koma Glasgow (Tabel 2.5).2

Tabel 2.5 Klasifikasi Cedera Kepala (CK) berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG)1,2
Kategori SKG Gambaran Klinik Screening Otak
CK Ringan 14-15 Pingsan <10 menit, defisit Normal
neurologik (-)

CK Sedang 9-13 Pingsan >10 menit, sampai Abnormal


dengan <6 jam, defisit neurologik
(+)

CK Berat 3-8 Pingsan >6 jam, defisit neurologik Abnormal


(+)

Catatan: Pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG 14-15, pingsan <10 menit, tanpa defisit
neurologik, tetapi pada hasil screening otaknya terlihat perdarahan, diagnosisnya bukan cedera
kranioserebral ringan (CKR)/komosio, tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang
(CKS)/kontusio.2

Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia pascacedera (APC) diperkenalkan oleh


Russel dalam Jennett & Teasdale (Tabel 2.6). Klasifikasi ini bisa dikombinasikan dengan
klasifikasi berdasarkan klinis SKG.2

Tabel 2.6 Klasifikasi Cedera Kepala berdasarkan lama amnesia pascacedera2

Konkusi
Konkusi merupakan bentuk cedera otak paling ringan, berupa penurunan kesadaran
untuk beberapa saat dan amnesia baik retrograde (sebelum kecelakaan) atau anterograde
(postraumatik). Hal ini dapat disebabkan oleh diskoneksi fisiologis antara korteks dan
batang otak. Berdasarkan disfungsi neurologisnya, konkusi dibagi menjadi empat grade,
yaitu:1
Grade I : kebingungan sementara kemudian kembali ke kesadaran normal tanpa
amnesia.
Grade II : kebingungan lebih berat dan amnesia postraumatik.
Grade III : kebingungan berat, amnesia postraumatik dan retrograde.
Grade IV : konkusi klasik: kehilangan kesadaran singkat, periode kebingungan
bervariasi, amnesia postraumatik dan retrograde.

Gambar 2.15 Mekanisme konkusi15

CEDERA PRIMER
a. Lesi Lokal Akibat Benturan
1. Hematoma SCALP
Lapisan dermis dan subkutis dapat mendistribusikan kekuatan benturan
dan mengurangi kekuatannya hingga besaran kekuatan yang tidak
menimbulkan kerusakan struktur. Bilamana kekuatan benturannya melebihi
kapasitas SCALP, dapat terjadi hematoma pada SCALP. Hematoma SCALP
yang paling sering ditemukan pada cedera kepala terdapat pada jaringan areolar
longgar (loose areolar tissue) dan disebut sebagai hematoma subgaleal.1
Trauma lain pada SCALP meliputi (a) abrasi (ekskoriasi), berupa luka
yang terbatas pada lapisan S; (b) laserasi, adalah luka yang melebihi ketebalan
S, dapat mencapai tulang tanpa disertai pemisahan lapisan SCALP; (c)
kontusio, berupa memar pada SCALP, bisa disertai hematoma seperti
hematoma subgaleal (perdarahan diantara aponeurosis dan periosteum),
subperiosteal (perdarahan diantara periosteum dan tulang tengkorak), dan
sefalhematoma; (d) avulsi, yaitu luka pada SCALP yang disertai pemisahan
lapisan SCALP, biasanya terjadi pada lapisan L.1
Gambar 2.18 Hematoma subgaleal1

2. Fraktur tulang tengkorak


Tulang tengkorak terdiri dari 3 lapisan, yaitu: tabula eksterna, diploe, dan
tabula interna. Luas dan tipe fraktur ditentukan oleh beberapa hal: 1. Besarnya
energi yang membentur kepala, 2. Arah benturan, 3. Bentuk tiga dimensi objek
yang membentur, dan 4. Lokasi anatomis tempat benturan.1
Pada saat terjadi benturan, terjadi penekanan pada tabula eksterna, dan
peregangan pada tabula interna. Fraktur terjadi karena peregangan melebihi
kemampuan deformitas tulang tengkorak. Oleh karena itu, fraktur berawal dari
tabula interna yang disusul oleh tabula eksterna.1

Gambar 2.19 Fraktut calvaria8

Tabel 2.7 Jenis fraktur tulang tengkorak1


Jenis Fraktur Definisi
Kalvaria

Fraktur linier Fraktur mengenai seluruh ketebalan tulang,


bentuk garis tunggal/stelata

Fraktur depresi Fragmen tulang masuk lebih dari satu


tabula

Fraktur Laserasi SCALP berhubungan langsung


compound dengan lokasi fraktur depresi

Fraktur Fraktur yang mengakibatkan lebih dari satu


kominutif fragmen tulang dalam satu area fraktur

Fraktur Fraktur mencapai sutura, memisahkan


diastasis sutura > 2 mm

Growing fracture Pulsasi cairan serebrospinal memperbesar


defek fraktur

Basis cranii

Fraktur basis Fraktur pada fossa cranii anterior (pars


cranii anterior orbital tulang frontal, lamina kribrosa
tulang ethmoid, ala minor tulang sphenoid,
prosesus klinoid anterior, jugum sphenoid)

Fraktur basis Fraktur pada fossa cranii media (ala mayor


cranii media tulang sphenoid, corpus sphenoid, pars
petrosa, pars skuamosa tulang temporal,
prosesus klinoideus posterior, dorsum sella)

Fraktur basis Fraktur pada fossa cranii posterior (dorsum


cranii posterior sella, permukaan posterior pars petrosa
tulang temporal, tulang oksipital)

Fraktur linier. Benturan oleh benda/area yang luas dapat mengakibatkan


kerusakan tulang kalvaria. Kekuatan benturan dapat terdistribusi melalui tulang
tengkorak di sekitarnya dan mengakibatkan fraktur linier pada lokasi yang jauh
dari tempat benturan (remote fracture), misalnya mengakibatkan fraktur basis
cranii.1
Fraktur depresi. Adalah fraktur dengan tabula eksterna pada tepi fraktur
terletak di bawah level anatomik normal tabula interna tulang tengkorak di
sekitarnya yang masih utuh. Pada jenis fraktur ini, energi benturan yang besar
didistribusikan pada daerah yang tidak terlalu luas, misalnya pukulan palu.
Dapat menyebabkan laserasi duramater atau kontusio parenkim otak di
bawahnya. Pada gambaran radiologis akan terlihat area double density karena
adanya bagian tulang yang tumpang tindih. Indikasi operasi fraktur depresi
adalah fraktur terbuka dengan: fraktur kominutif yaitu fraktur yang
menghasilkan fragmen-fragmen tulang. Fragmen fraktur kominutif kadang-
kadang dapat terdorong, menekan atau merobek dura dan otak di bawahnya.
Penatalaksanaan bertujuan untuk meminimalisir risiko infeksi. Luka dilakukan
debridemen dan fragmen diangkat dalam 24 jam setelah cedera. Fragmen
tulang dilepas atau digantikan setelah dicuci dengan antiseptik. Antibiotik tidak
diperlukan kecuali luka sangat kotor. Jika sinus venosus terlibat pada fraktur
depresi, risiko operasi dari pendarahan berlebihan dapat meningkatkan risiko
infeksi dan pengobatan antibiotik dapat diberikan.1,16

Gambar 2.20 Fraktur depresi3

Gambar 2.21 Manajemen fraktur depresi16

Fraktur diastasis. Adalah garis fraktur yang mencapai sutura kranial dan
memisahkan sutura lebih dari 2 mm, paling sering terjadi pada anak-anak (di
bawah usia 3 tahun).1
Growing skull fracture. Pada anak-anak, fraktur merobek dura dan
menyebabkan herniasi arachnoid ke dalam garis fraktur; pulsasi cairan
serebrospinal dapat memperbesar fraktur.1
Gambar 2.22 Growing skull fracture1

Fraktur compound. Adalah fraktur depresi yang berhubungan dengan


laserasi kulit kepala, sinus-sinus paranasal, atau rongga telinga bagian tengah.1

Gambar 2.23 Fraktur basis cranii15

Fraktur basis cranii. Benturan pada basis cranii (dasar tengkorak) bisa
terjadi secara langsung maupun tidak langsung, sehingga ada beberapa fraktur
basis yang terjadi sebagai akibat jejas lokal. Benturan langsung biasanya terjadi
di daerah oksipital, mastoid, supraorbital, sedangkan yang tidak langsung
biasanya terjadi pada wajah yang selanjutnya kekuatan tenaganya dihantarkan
melalui tulang-tulang wajah atau rahang bawah. Kebocoran cairan
serebrospinal menandakan adanya duramater yang robek, namun sebaliknya
tidak semua fistula atau dura yang robek menimbulkan kebocoran cairan
serebrospinal.1

Tabel 2.8 Batas-batas basis cranii1


Batas fossa Posterior
Anterior Media
cranii
Dasar Tulang frontal Corpus tulang Pars basilaris,
sphenoidalis kondilaris, dan
skuamosa tulang
oksipital dan
pars mastoideus
tulang temporal

Sisi Permukaan Ala minor Pinggir superior


anterior dalam tulang tulang pars petrosa os
frontal sphenoidalis temporal

Sisi Ala minor


superior tulang
sphenoidalis
Sisi lateral Pars orbitalis Pars skuamosa
tulang frontal tulang
temporal
Sisi medial Lamina
kribriformis
tulang ethmoid
Sisi Ala minor Batas atas pars Permukaan
posterior tulang petrosa tulang dalam pars
sphenoidalis temporal skuamosa tulang
oksipital

Fraktur basis cranii biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fossa di
daerah basal tengkorak; bisa di anterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat
dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT Scan. Garis fraktur bisa terlihat
pada CT Scan beresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya yang
terlihat di CT Scan adalah gambaran pneumoensefal. Fraktur anterior fossa
melibatkan tulang frontal, ethmoid dan sinus frontal. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis yaitu adanya cairan likour yang keluar dari hidung
(rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma kacamata (raccoon eye, brill
hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu hematoma
retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan
VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater robek.2

Tabel 2.9 Gejala fraktur basis cranii1


Fraktur Komplikasi Penyebab
basis
cranii
Anterior  Periorbital hematoma  Fraktur pars orbitalis
unilateral/bilateral (brill tulang frontal 
hematoma/raccoon eyes) pecahnya arteri
oftalmika  darah
Dibedakan dari jejas melalui fissura orbitalis
langsung pada mata  hematoma pada
dengan tidak adanya batas M. orbicularis
injeksi konjungtiva oculi.
 Kerusakan saraf kranial I  Cedera pada lamina
kribriformis
 Kerusakan saraf kranial  Cedera pada kanalis
II optikus
 Kerusakan chiasma  Fraktur dinding
opticum, III posterior sinus frontal,
 Rinore + epistaksis lamina kribriformis
planum sphenoidale
Media  Battle sign  Perdarahan ke dalam
mastoid air cells
(subkutan) dan di
bawah perikranium
 Rinore  Fraktur sinus sphenoid
dan tulang petrosus.
Cairan serebrospinal
keluar melalui segmen
timpani-telinga tengah-
tuba eustakhius-hidung
 Otore  Bocornya cairan
serebrospinal dan
keluarnya darah dari
kanalis akustikus
eksternus
 Kerusakan saraf kranial  Fraktur mengenai
III, IV, VI fissura orbitalis
 Kerusakan a. carotis superior, robek dinding
- Epistaksis lateral sinus kavernosus
- Iskemia, infark serebri  Segmen fraktur meluas
- Fistula karotiko- sampai foramen
kavernosus laserum, tulang
 Kerusakan saraf kranial sphenoid, membran
VII, VIII timpani utuh
 Kerusakan telinga dalam,  Garis fraktur
organ vestibule transversal terhadap
 Kerusakan membrane piramida petrosus
timpani, tulang
pendengaran,
hemotimpanum
 Kerusakan hipofisis
Posterior  Cedera batang otak  Fraktur mengenai
 Cedera saraf kranial IX, foramen jugularis
X, XI, XII
 Fraktur kondilus
oksipitalis
 Ekstensi fraktur ke tulang
petrosus, klivus, sela
tursika
 Kematian  Cedera pembuluh darah
besar

Gambar 2.24 (kiri) Racoon eyes; (kanan) Battle’s sign8,15

Rinore
Sekitar 60% rinore mulai pada beberapa hari pertama pasca cedera dan
lebih dari setengah kasus-kasus ini berhenti spontan setelah 2-3 hari.
Rhinorrhea yang terjadi di kemudian hari setelah kejadian cedera kepala, dapat
diakibatkan karena sebelumnya kebocoran itu tertutup oleh hematom yang
kemudian mengalami resolusi atau otak yang semula bengkak.1
Beberapa diagnosis banding yang perlu dipikirkan yaitu hipersekresi
nasal, rhinitis alergika, epistaksis, dan sebagainya.1
Apabila terdapat rhinorrhea, darah yang keluar bersamaan dari lubang
hidung tidak akan membeku oleh karena bercampur cairan serebrospinal.
Selain itu, juga didapatkan double-ring (halo-sign), yaitu bila darah diteteskan
di atas tissue atau kasa, maka darah akan berkumpul di tengah dan terdapat
rembesan cairan serebrospinal di sekelilingnya yang membentuk cincin kedua
yang mengelilingi lingkaran pertama.1
Pada tahap awal biasanya penderita diistirahatkan berbaring dan prevensi
terhadap kemungkinan infeksi. Penanganan bedah untuk menutup kebocoran
biasanya diterapkan setelah 10-14 hari kemudian bila tidak ada tanda-tanda
penyembuhan.1
Otore
Kejadian ini terjadi pada kira-kira 7% kasus fraktur basis cranii.
Walaupun sering kali kebocorannya profus, hampir selalu dapat pulih secara
spontan setelah 5-10 hari. Prinsip penanganannya secara umum mirip dengan
kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung.1
Fistula cairan serebrospinal (rinore dan otore) dapat menyebabkan
beberapa komplikasi seperti:1
a) Meningitis. Terjadi pada 7-30% pada fraktur basis cranii anterior. Risiko
meningkat sesuai durasi kebocoran cairan serebrospinal
b) Abses otak. Merupakan komplikasi lanjut
c) Nyeri kepala tekanan rendah. Terjadi apabila ada kebocoran cairan
serebrospinal massif
d) Pneumosefalus. Terjadi pada sekitar 30% kebocoran cairan serebrospinal.
Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus merupakan hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinus kavernosus akibat pada dasar tengkorak.1
Vena oftalmikus superior dan inferior mengalirkan darah dari orbita ke
sinus kavernosus. Sinus kavernosus mengalirkan darah ke bulbus jugularis
melalui sinus petrosus inferior dan superior.1
Pada sinus kavernosus terdapat jaringan vena, arteri karotis interna
sebelum menembus duramater, N. okulomotorius, N. troklearis, dan divisi
pertama N. trigeminus.1
Pada fistula karotiko-kavernosus, terjadi lubang pada bagian kavernosa
arteri karotis interna sehingga darah dengan tekanan arterial masuk langsung ke
dalam sistem vena yang mengelilinginya. Bila peningkatan aliran darah tidak
dapat diakomodasi oleh vena-vena basilaris dan sistem petrosus dengan baik,
peningkatan tekanan di dalam sinus kavernosus akan dikompensasi melalui
vena oftalmikus superior dan inferior, sehingga menyebabkan bendungan vena
orbita pada sisi yang sama. Gejala klinik berupa:1
a) Akibat bendungan vena oftalmika: hiperemis dan pembengkakan
konjungtiva, kemosis, eksoftalmus pulsatif, pembengkakan kelopak mata,
proptosis, restriksi gerakan bola mata, glaucoma sekunder, perfusi retina
terganggu, penurunan visus, sampai kebutaan.
b) Akibat efek massa pada sinus kavernosus: oftalmoplegia, nyeri pada
pergerakan bola mata, diplopia, dilatasi pupil (paresis saraf kranial
III,IV,VI), dan hipestesi wajah ipsilateral.
c) Akibat adanya shunt: bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar
oleh penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop di atas
mata.
d) Akibat lanjut pada sisi mata yang sama: keratitis, ulkus kornea, gangguan
visus sampai kebutaan.
Terapi pilihan adalah embolisasi sinus kavernosus secara endovascular
baik menggunakan koil atau balon.1

Gambar 2.25 Gambaran klinis fistula karotiko-kavernosus1

3. Kontusio
Gambar 2.26 Hemoragik kontusio. Benturan pada occiput ditunjukkan dengan
adanya soft tissue swelling (panah putih), karakteristik kontusio hemoragik
contrecoup terlihat pada lobus frontal inferior dan temporal (panah hitam).
Tampak pula SAH (ujung panah) pada fissure Sylvian dextra, yang merupakan
indikator prognosis buruk.1,12

Lesi otak pada kontusio berupa area perdarahan pada bagian sentral
bercampur dengan area nekrosis non-hemoragik dan sebagian daerah otak yang
mengalami edema. Seiring waktu, area perdarahan sentral ini bercampur
dengan daerah nekrosis non-hemoragik dan daerah otak yang mengalami
edema, sehingga daerah sentral perdarahan dikelilingi oleh edema
perikontusional. Tidak terdapat vaskularisasi jaringan otak pada area sentral
kontusio, dan vaskularisasi berkurang pada daerah perikontusional edema,
(mekanisme autoregulasinya terganggu/terjadi vasoparalisis). Oleh karena itu
daerah otak yang rusak pada tepi kontusio sangat rentan terhadap reduksi
perfusi oleh sebab apapun.1
4. Laserasi serebri
Kerusakan pembuluh darah yang terjadi pada kontusio adalah kerusakan
pembuluh darah kapiler. Apabila melibatkan kerusakan pembuluh darah yang
lebih besar, pia-arakhnoid, dan lapisan korteks dapat mengakibatkan laserasi,
hingga perforasi jaringan otak. Laserasi pada daerah frontal dan temporal yang
berhubungan dengan lesi lainnya seperti perdarahan intraserebral dan
hematoma subdural akut disebut burst frontal/temporal dan hematoma
subduralnya disebut complicated SDH.1
5. Trauma tembak pada kepala
Trauma tembak pada kepala dapat disebabkan mulai dari peluru senapan
dengan velositas tinggi sampai peluru senapan angin. Kerusakan yang terjadi
tergantung dari kecepatan serta ukuran peluru tersebut. Istilah velositas tinggi
dipakai untuk peluru-peluru yang bergerak melebihi kecepatan suara (1050
kaki/detik). Peluru ini yang masuk ke dalam kepala berjalan tidak stabil (lurus)
sehingga akan menyebabkan kerusakan yang luas serta lubang keluarnya yang
kadang lebih lebar daripada luka kulit waktu peluru masuk. Sebaliknya peluru
yang velositasnya rendah dapat menyilang lurus jaringan otak serta keluar dari
lubang yang hanya sedikit lebih besar dari diameter pelurunya sendiri.1

Anda mungkin juga menyukai