(Mechanical
loading)
Static Dynamic
Loading Loading
Impact Impulsive
Loading Loading
Contact Inertial
Forces Forces
Gelombang
Kerusakan
Perdarahan energi Rotasi Translasi Angulasi
tengkorak
benturan
Tabel 2.4 Faktor dan kondisi pracedera yang dapat berperan pada keadaan-keadaan
patologis akibat trauma kepala1
Faktor berpengaruh Hal yang dipengaruhi
Lesi Hematoma
Lesi difus intrakranial: Hipoksia
lokal/fokal
1)Hematoma
Hematoma Cedera epidural;
vaskular 2)Hematoma Hipotensi
SCALP
difus subdural;
3)Hematoma
Fraktur intraserebral; Hiperpireksia
tulang Cedera 4)Hematoma
tengkorak aksonal intraventrikular
difus
Hiperglikemia
Hematoma Edema
epidural
Kejang
Kontusio Brain shift
coup
Ketidakseimbangan
Laserasi elektrolit
Herniasi
cerebri
Hidrosefalus
Infeksi
Tekanan
intrakranial tinggi
TBI dapat tampak sebagai cedera fokal (terlokalisasi) ataupun difus (tersebar luas).
Beberapa orang juga dapat mengalami keduanya. Cedera fokal terjadi ketika perdarahan,
memar, ataupun cedera penetrasi terisolasi pada bagian tertentu dari otak. Adapun, cedera
otak difus terjadi ketika jaringan otak mengalami kerusakan yang meluas, sering kali
dihasilkan oleh proses akselerasi dan deselerasi. Benturan pada kepala dengan suatu objek
dapat menyebabkan cedera otak fokal di bawah tengkorak pada sisi yang terbentur dan
pada sisi berlawanan dari kepala. Kebanyakan bentuk TBI disebabkan oleh kombinasi
benturan dan akselerasi/deselerasi, seperti halnya yang terjadi pada kecelakaan motor
dengan kecepatan tinggi.12
Klasifikasi yang sering dipergunakan di klinik berdasarkan derajat kesadaran Skala
Koma Glasgow (Tabel 2.5).2
Tabel 2.5 Klasifikasi Cedera Kepala (CK) berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG)1,2
Kategori SKG Gambaran Klinik Screening Otak
CK Ringan 14-15 Pingsan <10 menit, defisit Normal
neurologik (-)
Catatan: Pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG 14-15, pingsan <10 menit, tanpa defisit
neurologik, tetapi pada hasil screening otaknya terlihat perdarahan, diagnosisnya bukan cedera
kranioserebral ringan (CKR)/komosio, tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang
(CKS)/kontusio.2
Konkusi
Konkusi merupakan bentuk cedera otak paling ringan, berupa penurunan kesadaran
untuk beberapa saat dan amnesia baik retrograde (sebelum kecelakaan) atau anterograde
(postraumatik). Hal ini dapat disebabkan oleh diskoneksi fisiologis antara korteks dan
batang otak. Berdasarkan disfungsi neurologisnya, konkusi dibagi menjadi empat grade,
yaitu:1
Grade I : kebingungan sementara kemudian kembali ke kesadaran normal tanpa
amnesia.
Grade II : kebingungan lebih berat dan amnesia postraumatik.
Grade III : kebingungan berat, amnesia postraumatik dan retrograde.
Grade IV : konkusi klasik: kehilangan kesadaran singkat, periode kebingungan
bervariasi, amnesia postraumatik dan retrograde.
CEDERA PRIMER
a. Lesi Lokal Akibat Benturan
1. Hematoma SCALP
Lapisan dermis dan subkutis dapat mendistribusikan kekuatan benturan
dan mengurangi kekuatannya hingga besaran kekuatan yang tidak
menimbulkan kerusakan struktur. Bilamana kekuatan benturannya melebihi
kapasitas SCALP, dapat terjadi hematoma pada SCALP. Hematoma SCALP
yang paling sering ditemukan pada cedera kepala terdapat pada jaringan areolar
longgar (loose areolar tissue) dan disebut sebagai hematoma subgaleal.1
Trauma lain pada SCALP meliputi (a) abrasi (ekskoriasi), berupa luka
yang terbatas pada lapisan S; (b) laserasi, adalah luka yang melebihi ketebalan
S, dapat mencapai tulang tanpa disertai pemisahan lapisan SCALP; (c)
kontusio, berupa memar pada SCALP, bisa disertai hematoma seperti
hematoma subgaleal (perdarahan diantara aponeurosis dan periosteum),
subperiosteal (perdarahan diantara periosteum dan tulang tengkorak), dan
sefalhematoma; (d) avulsi, yaitu luka pada SCALP yang disertai pemisahan
lapisan SCALP, biasanya terjadi pada lapisan L.1
Gambar 2.18 Hematoma subgaleal1
Basis cranii
Fraktur diastasis. Adalah garis fraktur yang mencapai sutura kranial dan
memisahkan sutura lebih dari 2 mm, paling sering terjadi pada anak-anak (di
bawah usia 3 tahun).1
Growing skull fracture. Pada anak-anak, fraktur merobek dura dan
menyebabkan herniasi arachnoid ke dalam garis fraktur; pulsasi cairan
serebrospinal dapat memperbesar fraktur.1
Gambar 2.22 Growing skull fracture1
Fraktur basis cranii. Benturan pada basis cranii (dasar tengkorak) bisa
terjadi secara langsung maupun tidak langsung, sehingga ada beberapa fraktur
basis yang terjadi sebagai akibat jejas lokal. Benturan langsung biasanya terjadi
di daerah oksipital, mastoid, supraorbital, sedangkan yang tidak langsung
biasanya terjadi pada wajah yang selanjutnya kekuatan tenaganya dihantarkan
melalui tulang-tulang wajah atau rahang bawah. Kebocoran cairan
serebrospinal menandakan adanya duramater yang robek, namun sebaliknya
tidak semua fistula atau dura yang robek menimbulkan kebocoran cairan
serebrospinal.1
Fraktur basis cranii biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fossa di
daerah basal tengkorak; bisa di anterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat
dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT Scan. Garis fraktur bisa terlihat
pada CT Scan beresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya yang
terlihat di CT Scan adalah gambaran pneumoensefal. Fraktur anterior fossa
melibatkan tulang frontal, ethmoid dan sinus frontal. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis yaitu adanya cairan likour yang keluar dari hidung
(rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma kacamata (raccoon eye, brill
hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu hematoma
retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan
VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater robek.2
Rinore
Sekitar 60% rinore mulai pada beberapa hari pertama pasca cedera dan
lebih dari setengah kasus-kasus ini berhenti spontan setelah 2-3 hari.
Rhinorrhea yang terjadi di kemudian hari setelah kejadian cedera kepala, dapat
diakibatkan karena sebelumnya kebocoran itu tertutup oleh hematom yang
kemudian mengalami resolusi atau otak yang semula bengkak.1
Beberapa diagnosis banding yang perlu dipikirkan yaitu hipersekresi
nasal, rhinitis alergika, epistaksis, dan sebagainya.1
Apabila terdapat rhinorrhea, darah yang keluar bersamaan dari lubang
hidung tidak akan membeku oleh karena bercampur cairan serebrospinal.
Selain itu, juga didapatkan double-ring (halo-sign), yaitu bila darah diteteskan
di atas tissue atau kasa, maka darah akan berkumpul di tengah dan terdapat
rembesan cairan serebrospinal di sekelilingnya yang membentuk cincin kedua
yang mengelilingi lingkaran pertama.1
Pada tahap awal biasanya penderita diistirahatkan berbaring dan prevensi
terhadap kemungkinan infeksi. Penanganan bedah untuk menutup kebocoran
biasanya diterapkan setelah 10-14 hari kemudian bila tidak ada tanda-tanda
penyembuhan.1
Otore
Kejadian ini terjadi pada kira-kira 7% kasus fraktur basis cranii.
Walaupun sering kali kebocorannya profus, hampir selalu dapat pulih secara
spontan setelah 5-10 hari. Prinsip penanganannya secara umum mirip dengan
kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung.1
Fistula cairan serebrospinal (rinore dan otore) dapat menyebabkan
beberapa komplikasi seperti:1
a) Meningitis. Terjadi pada 7-30% pada fraktur basis cranii anterior. Risiko
meningkat sesuai durasi kebocoran cairan serebrospinal
b) Abses otak. Merupakan komplikasi lanjut
c) Nyeri kepala tekanan rendah. Terjadi apabila ada kebocoran cairan
serebrospinal massif
d) Pneumosefalus. Terjadi pada sekitar 30% kebocoran cairan serebrospinal.
Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus merupakan hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinus kavernosus akibat pada dasar tengkorak.1
Vena oftalmikus superior dan inferior mengalirkan darah dari orbita ke
sinus kavernosus. Sinus kavernosus mengalirkan darah ke bulbus jugularis
melalui sinus petrosus inferior dan superior.1
Pada sinus kavernosus terdapat jaringan vena, arteri karotis interna
sebelum menembus duramater, N. okulomotorius, N. troklearis, dan divisi
pertama N. trigeminus.1
Pada fistula karotiko-kavernosus, terjadi lubang pada bagian kavernosa
arteri karotis interna sehingga darah dengan tekanan arterial masuk langsung ke
dalam sistem vena yang mengelilinginya. Bila peningkatan aliran darah tidak
dapat diakomodasi oleh vena-vena basilaris dan sistem petrosus dengan baik,
peningkatan tekanan di dalam sinus kavernosus akan dikompensasi melalui
vena oftalmikus superior dan inferior, sehingga menyebabkan bendungan vena
orbita pada sisi yang sama. Gejala klinik berupa:1
a) Akibat bendungan vena oftalmika: hiperemis dan pembengkakan
konjungtiva, kemosis, eksoftalmus pulsatif, pembengkakan kelopak mata,
proptosis, restriksi gerakan bola mata, glaucoma sekunder, perfusi retina
terganggu, penurunan visus, sampai kebutaan.
b) Akibat efek massa pada sinus kavernosus: oftalmoplegia, nyeri pada
pergerakan bola mata, diplopia, dilatasi pupil (paresis saraf kranial
III,IV,VI), dan hipestesi wajah ipsilateral.
c) Akibat adanya shunt: bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar
oleh penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop di atas
mata.
d) Akibat lanjut pada sisi mata yang sama: keratitis, ulkus kornea, gangguan
visus sampai kebutaan.
Terapi pilihan adalah embolisasi sinus kavernosus secara endovascular
baik menggunakan koil atau balon.1
3. Kontusio
Gambar 2.26 Hemoragik kontusio. Benturan pada occiput ditunjukkan dengan
adanya soft tissue swelling (panah putih), karakteristik kontusio hemoragik
contrecoup terlihat pada lobus frontal inferior dan temporal (panah hitam).
Tampak pula SAH (ujung panah) pada fissure Sylvian dextra, yang merupakan
indikator prognosis buruk.1,12
Lesi otak pada kontusio berupa area perdarahan pada bagian sentral
bercampur dengan area nekrosis non-hemoragik dan sebagian daerah otak yang
mengalami edema. Seiring waktu, area perdarahan sentral ini bercampur
dengan daerah nekrosis non-hemoragik dan daerah otak yang mengalami
edema, sehingga daerah sentral perdarahan dikelilingi oleh edema
perikontusional. Tidak terdapat vaskularisasi jaringan otak pada area sentral
kontusio, dan vaskularisasi berkurang pada daerah perikontusional edema,
(mekanisme autoregulasinya terganggu/terjadi vasoparalisis). Oleh karena itu
daerah otak yang rusak pada tepi kontusio sangat rentan terhadap reduksi
perfusi oleh sebab apapun.1
4. Laserasi serebri
Kerusakan pembuluh darah yang terjadi pada kontusio adalah kerusakan
pembuluh darah kapiler. Apabila melibatkan kerusakan pembuluh darah yang
lebih besar, pia-arakhnoid, dan lapisan korteks dapat mengakibatkan laserasi,
hingga perforasi jaringan otak. Laserasi pada daerah frontal dan temporal yang
berhubungan dengan lesi lainnya seperti perdarahan intraserebral dan
hematoma subdural akut disebut burst frontal/temporal dan hematoma
subduralnya disebut complicated SDH.1
5. Trauma tembak pada kepala
Trauma tembak pada kepala dapat disebabkan mulai dari peluru senapan
dengan velositas tinggi sampai peluru senapan angin. Kerusakan yang terjadi
tergantung dari kecepatan serta ukuran peluru tersebut. Istilah velositas tinggi
dipakai untuk peluru-peluru yang bergerak melebihi kecepatan suara (1050
kaki/detik). Peluru ini yang masuk ke dalam kepala berjalan tidak stabil (lurus)
sehingga akan menyebabkan kerusakan yang luas serta lubang keluarnya yang
kadang lebih lebar daripada luka kulit waktu peluru masuk. Sebaliknya peluru
yang velositasnya rendah dapat menyilang lurus jaringan otak serta keluar dari
lubang yang hanya sedikit lebih besar dari diameter pelurunya sendiri.1