Anda di halaman 1dari 20

67

BAB V. KESIMPULAN, SARAN DAN RINGKASAN

V.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Diantara 5 senyawa baru turunan kalkon hasil sintesis yang diuji, senyawa

2 ((E)-1-(4-aminofenil)-3-(3-metoksifenil) prop-2-en-1-on) mempunyai

aktivitas antiplasmodium in vitro yang paling baik pada P. falciparum

strain FCR3, dengan IC50 = 13,76 ± 0,84 µM.

2. Diantara 5 senyawa baru turunan kalkon hasil sintesis yang diuji, senyawa

3 ((E)-1-(4-aminofenil)-3-(4-metoksifenil) prop-2-en-1-on) merupakan

senyawa yang paling aman terhadap sel Vero dengan IC50 = 280,45 ±

140,53 µM.

3. Diantara 5 senyawa baru turunan kalkon hasil sintesis yang diuji, senyawa

4 ((E)-1-(4-aminofenil)-3-(2,4-dimetoksifenil)prop-2-en-1-on) memiliki

indeks selektivitas terbesar yaitu 16,89.

4. Senyawa 4 yang memiliki aktivitas menghambat pematangan skizon

dalam stadium pertumbuhan P. falciparum siklus aseksual (eritrositik).

V.2. Saran

Penelitian ini telah menunjukkan adanya aktivitas antiplasmodium yang

baik dari senyawa baru turunan kalkon hasil sintesis. Senyawa yang memiliki

aktivitas dan selektivitas terbaik memiliki potensi untuk dikembangkan lebih

lanjut sebagai calon obat baru. Namun untuk menjadi kandidat obat baru, masih

diperlukan berbagai pengujian baik uji preklinik maupun uji klinik. Penelitian
68

lanjutan yang disarankan diantaranya uji profil farmakokinetik in vivo pada

pemberian secara oral, uji toksisitas baik akut maupun sub kronis, dan uji klinik

pada manusia apabila hasil pengujian preklinik menunjukkan hasil yang baik.

Selain itu untuk mengetahui mekanisme aksi senyawa baru turunan kalkon

sebagai antiplasmodium masih diperlukan penelitian lanjutan pada tingkat

molekuler.

V.3. Ringkasan

Latar Belakang

Malaria merupakan salah satu penyakit parasit yang masih menjadi

persoalan kesehatan yang utama di dunia terutama di negara tropis dan sub tropis.

Pada tahun 2013, ada 97 negara yang sedang mengalami endemis malaria (WHO,

2013). Di Indonesia, malaria masih endemis di sebagian besar wilayah, dengan

Indonesia Bagian Timur merupakan daerah endemisitas tinggi malaria

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Malaria disebabkan oleh

infeksi parasit dari genus Plasmodium, yaitu P. vivax, P.falciparum, P. ovale, P.

malariae dan P. knowlesi (Mamoun et al., 2010). Tercatat pada tahun 2010

penyebab penyakit malaria tertinggi di Indonesia adalah P. falciparum

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Salah satu masalah dalam pengobatan malaria ini adalah adanya resistensi

parasit malaria terhadap antimalaria yang tersedia. Resistensi parasit terhadap

artemisinin akan menghasilkan peningkatan mortalitas akibat malaria dan

memberikan acaman bagi eliminasi malaria di dunia (Mandal, 2014; Taylor &
69

Juliano, 2014). Penemuan antimalaria baru yang aman dan efektif kini menjadi

suatu kebutuhan yang mendesak guna mengantisipasi adanya perluasan resistensi

parasit pada antimalaria saat ini (Kumar et al., 2014).

Beberapa senyawa yang berasal dari bahan alam yang terbukti memiliki

aktivitas antiplasmodium dan berpotensi dikembangkan sebagai antimalaria

diantaranya golongan senyawa triterpenoid (Ramalhete et al., 2014), flavonoid

(Kaur et al., 2009) serta alkaloid (Julianti et al.,2014). Isolat aktif dari bahan alam

kemudian dijadikan sebagai senyawa penuntun untuk mensintesis senyawa

antimalaria baru yang lebih poten dan aman (Kaur et al., 2009). Kalkon

merupakan suatu gugus penting yang berasal dari bahan alam dan merupakan

prekursor sintesis senyawa flavonoid dalam tanaman. Aktivitas antiplasmodium

dari kalkon mulai diteliti setelah adanya laporan penelitian yang menunjukkan

likokalkon A memiliki aktivitas antimalaria in vitro dan in vivo yang poten

(Tomar et al., 2010).

Suwito et al. (2014a) mendesain beberapa turunan kalkon dengan tujuan

menemukan suatu inhibitor pada salah satu sistem penting dalam kehidupan P.

falciparum. Secara in silico senyawa turunan kalkon tersebut memiliki potensi

sebagai agen antimalaria baru melalui penghambatan interaksi Ferredoxin (Fd)

dengan Ferredoxin-NADP+ Reductase (FNR) (Suwito et al., 2014b). Senyawa

tersebut berhasil disintesis di Laboratorium, namun belum pernah dibuktikan

aktivitasnya sebagai antiplasmodium pada kultur P. falciparum in vitro.

Selain efektif pada penggunaan oral, suatu senyawa yang akan dijadikan

sebagai obat baru dalam suatu terapi juga harus terbukti aman bagi pasien (Kumar
70

et al., 2014). Uji toksisitas dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan suatu

obat baru sebelum obat tersebut diguakan dalam terapi. Sebagai suatu upaya untuk

mengkaji mekanisme aksi antiplasmodium senyawa baru turunan kalkon,

dilakukan pula pengujian aktivitas antiplasmodium pada berbagai stadium

pertumbuhan Plasmodium untuk melihat stadium pertumbuhan P. falciparum

yang sensitif terhadap senyawa tersebut.

Tinjauan Pustaka

Malaria

Malaria, ialah suatu penyakit infeksi darah oleh parasit dari genus

Plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina (Mandal, 2014).

Malaria hingga saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan akibat

beban morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan. ). Di Indonesia, malaria masih

bisa ditemukan di seluruh propinsi. Indonesia Bagian Timur masuk dalam

stratifikasi malaria tinggi, sedangkan wilayah di Kalimantan, Sulawesi dan

Sumatera masuk dalam wilayah dengan stratifikasi sedang. Jawa-Bali termasuk

dalam daerah stratifikasi rendah meskipun masih ada desa atau daerah yang masih

tinggi angka kejadian malarianya (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Gejala awal infeksi malaria tidak spesifik dan mirip dengan gejala infeksi

ringan lainnya seperti sakit kepala, lemah, lelah, gangguan abdomen, nyeri otot

dan sendi, biasanya diikuti dengan demam, menggigil, berkeringat, tidak nafsu

makan, muntah, dan rasa tidak enak badan yang terus memburuk. Pasien yang

diketahui mengalami malaria pada saat infeksi masih awal, dengan tidak ada
71

gejala gagal fungsi organ vital memiliki kemungkinan mendapatkan pengobatan

yang efektif. Namun jika pengobatan gagal atau tidak efektif, atau mengalami

keterlambatan penanganan, terutama pada malariafalciparum, parasit akan

melanjutkan pertumbuhannya dan dapat menyebabkan malaria menjadi parah.

Perkembangan tersebut bisa terjadi hanya dalam hitungan jam. Malaria yang

sudah parah biasanya ditandai dengan satu atau beberapa manifestasi seperti koma

(cerebral malaria), anemia berat, hipoglikemia, gagal ginjal akut asidosis

metabolik, atau udem paru akut. Pada stadium penyakit yang sudah seperti ini

jika tidak segera diberikan penanganan akan berakibat fatal (WHO, 2010; Patel et

al., 2003).

Plasmodium

Diantara spesies Plasmodium penyebab malaria, P. falciparum penyebab

malaria yang paling mematikan, karena parasit tersebut dapat menyerang semua

sel darah merah, tidak hanya sel yang masih muda atau sel yang sudah tua

(Turkington & Frey, 2010). Penularan infeksi Plasmodium terjadi melalui gigitan

nyamuk Anopheles betina (WHO, 2013). Plasmodium yang berada dalam fase

sporozoit akan masuk ke tubuh manusia bersamaan dengan masuknya ludah

nyamuk saat nyamuk mengambil darah. Sporozoit yang berhasil masuk ke tubuh

manusia akan memulai infeksinya di hati tempat dimana parasit dapat

bereproduksi secara besar–besaran. Pada tahap berikutnya, parasit akan

dilepaskan dari sel-sel hati menuju aliran darah dalam bentuk merozoit. Parasit

kemudian menginfeksi sel darah merah dan bereproduksi secara aseksual

didalamnya (Aly et al., 2009; Mandal, 2010).


72

Di dalam sel darah merah, parasit akan berkembang menjadi stadium

trofozoit muda (cincin), trofozoit matang, lalu skizon yang mampu menghasilkan

hingga 36 parasit baru (Mamoun et al., 2010). Parasit yang telah berkembang biak

secara aseksual akan menghancurkan sel inangnya, serta melepaskan parasit baru

dalam bentuk merozoit yang akan menginfeksi sel darah merah yang lain. Pada

tahap ini akan muncul gejala–gejala malaria seperti demam dan anemia terkait

malaria. Siklus aseksual ini dapat berulang kurang lebih setiap 48 jam (Kalanon &

McFadden, 2010). Ketika darah yang mengandung parasit malaria terambil oleh

nyamuk Anopheles betina, parasit akan masuk ke siklus hidup yang lain di dalam

tubuh nyamuk. Setelah 10 – 18 hari, parasit yang berupa sporozoit akan

ditemukan di kelenjar ludah nyamuk, dan ketika nyamuk mencari makan dan

menggigit manusia, sporozoit bersama dengan ludah akan masuk ke tubuh

manusia dan memulai infeksi pada tubuh manusia ketika parasit memasuki sel–sel

hati (Mitra et al., 2012).

Antimalaria

Antimalaria dapat dikategorikan berdasarkan tahap pertumbuhan

Plasmodium dalam konteks siklus hidup. Berdasarkan aktivitasnya, amtimalaria

digolongkan menjadi 3 kelas umum. Antimalaria kelas I bekerja melawan

Plasmodium stadium aseksual intraeritrosit. Yang termasuk didalam kelas I adalah

kloroquin, mefloquin, quinin, quinidin, pirimetamin, sulfadoksin, tetrasiklin. Obat

malaria yang tergolong kelas II memiliki spectrum yang lebih luas, tidak hanya

melawan stadium aseksual, tetapi juga stadium hati primer. Yang termasuk di

dalam golongan ini adalah atovaquin dan proguanil. Obat maaria kelas III
73

memiliki aktifitas dngan spektrum yang unik, yakni melawan parasit pada stadium

pertumbuhan di hati baik yang masih primer maupun laten, serta stadium

gametosit dalam eritrosit (Shapiro& Goldberg, 2006).

Resistensi Plasmodium

Resistensi P. falciparum terhadap beberapa antimalaria generasi lama

seperti kloroquin, dan sulfadoksin-pirimetamin, mulai meluas pada sekitar tahun

80an. Kasus resistensi kloroquin pertama kali dilaporkan terjadi sekitar akhir 1950

dan awal 1960an (Cowman & Foote, 1990). Di Indonesia pertama kali ditemukan

adanya resistensi P. falciparum terhadap kloroquin di Kalimantan Timur pada

tahun 1973. Setelah itu dilaporkan pula adanya resistensi P. falciparum terhadap

kombinasi obat sulfadoksin-pirimetamin di beberapa tempat di Indonesia

(Departemen Kesehatan RI, 2008).

Parasit yang resisten terhadap kloroquin diperkirakan memiliki

kemampuan untuk mengeluarkan kloroquin melalui pompa di membrannya

(Goldsmith, 1994), dan telah dilaporkan diantaranya adanya perubahan asam

amino pada transporter P. falciparum resisten kloroquin yang dikode oleh gen

pfcrt (Sibley, 2014). Penurunan respon P. falciparum terhadap terapi

menggunakan sulfadoksin-pirimetamin juga diketahui berhubungan dengan

adanya perubahan genetika. Adanya mutasi pada gen dihidrofolat reduktase-

timidilat sintase (pfdhfr) menurunkan sensitivitas P. falciparum terhadap

pirimetamin, dan gen dihidropteroat sintase (pfdhps) menyebabkan penurunan

suseptibilitas P. falciparum terhadap obat golongan sulfa (Cowman & Foote,

1990; Sibley, 2014). Sekarang ini bahkan telah ditemukan ada Plasmodium yang
74

telah resisten terhadap artemisinin di empat negara yaitu Kamboja, Myanmar,

Thailand, dan Vietnam (WHO, 2013).

Molekul Antimalaria Baru

Terdapat berbagai strategi dalam pengembangan antimalaria baru

diantaranya melalui optimasi terapi dengan obat yang ada, mengembangkan

turunan dari antimalaria yang ada saat ini, pengembangan dari bahan alam,

penggunaan obat yang aktif pada penyakit lain, pengembangan agen yang bekerja

berlawanan dengan mekanisme resistensi obat, dan melalui pengembangan zat

aktif dengan target aksi spesifik yang baru (Rosenthal, 2003). Banyak molekul

antiplasmodium yang digunakan dalam terapi penyakit malaria saat ini merupakan

senyawa yang dikembangkan dari bahan alam yang dijadikan senyawa penuntun.

Beberapa golongan senyawa yang berasal dari bahan alam yang terbukti memiliki

aktivitas antiplasmodium dan berpotensi dikembangkan sebagai obat antimalaria

diantaranya triterpenoid (Ramalhete, et al., 2014), sesquiterpen, diterpen (Kaur et

al., 2009), alkaloid seperti naptilsoquinolin, bisbenzilsoquinolin,

protoberberberines, aporfin, indol, manzamine (Kaur et al.,2009), flavonoid,

quassinoid, limonoids, kalkon, dan peptida (Kaur et al., 2009; Julianti, et al.,

2014).

Kalkon

Kalkon (1,3-diaril-2-propen-1-on) suatu gugus penting yang berasal dari

bahan alam dan merupakan prekursor sintesis senyawa flavonoid dalam tanaman.

Kalkon juga dikenal sebagai flavonoid hasil biosintesis, dan pertama kali

disintesis di laboratorium menggunakan reaksi Claisen-Schmidt dengan


75

mereaksikan asetofenon atau turunan nya dengan benzaldehid atau turunan nya

dengan katalisator basa kuat seperti KOH, NaOH dan NaH dalam pelarut polar

(Suwito et al, 2014a). Aktivitas antiplasmodium kalkon mulai diteliti setelah

adanya laporan hasil penelitian yang menyatakan adanya aktivitas antimalaria

yang poten baik in vitro maupun in vivo dari suatu senyawa, yaitu likokalkon A

(Tomar et al, 2010), yang merupakan senyawa hasil isolasi dari akar Chinese

licorice (Go et al., 2004).

Senyawa baru turunan kalkon yang disintesis oleh Mishra et al. (2008)

dievaluasi aktivitas antimalarianya secara in vitro pada P. falciparum strain 3D7.

Salah satu senyawa paling aktif dari seluruh senyawa yang berhasil disintesis

memiliki IC50 1,52 µg/mL. Tomar et al. (2010) melakukan sintesis sejumlah

turunan 3-aminokalkon atau 4-aminokalkon dengan menambahkan akridin pada

gugus amino di salah satu cincin aromatisnya, dan seluruhnya terbukti dapat

menghambat pertumbuhan P. falciparum pada konsentrasi 10 µg/mL. Salah satu

senyawa hasil sintesis Kumar et al. (2010) yang tersubstitusi 2,4-dimetoksi pada

cincin aromatis pertama dan kloro pada cincin aromatis yang kedua menunjukkan

penghambatan pertumbuhan P. falciparum resisten kloroquin strain Dd2 dengan

IC50 6 µM dan indeks resistensi 1,1. Suwito et al. (20014b) telah mendesain

beberapa turunan kalkon sebagai suatu inhibitor pada interaksi ferredoxin (Fd)

dengan ferredoxin-NADP+ reductase (NFR) yang merupakan suatu sistem redoks

penting dalam kelangsungan hidup P. falciparum. Hasil sintesisnya terdapat tiga

senyawa hasil sintesis yang memiliki aktivitas penghambatan yang paling kuat

yaitu dengan daya hambat 31-50%.


76

Uji aktivitas antiplasmodium in vitro

Berbagai metode pengujian sensitivitas obat terhadap parasit malaria telah

dikembangkan. Meskipun demikian, pendekatan yang paling baru tetap berdasar

pada kultur parasit malaria jangka pendek atau diperpanjang, yang telah

dikembangkan sejak tahun 1970an (Noedl et al., 2003). Prosedur makrotes

standar yang dibuat WHO mulai digunakan secara luas di berbagai negara

endemis malaria sekitar tahun 1976 dan 1987 (Basco, 2007). Setelah mengalami

berbagai macam perkembangan dan modifikasi, teknik pengujian melalui kultur

Plasmodium in viro yang kini ada berdasar pada teknik kultur in vitro yang

didesain oleh Trager & Jensen (1976). Beberapa teknik pengujian sensitivitas obat

dikembangkan berdasarkan pada pengukuran peningkatan parasitemia selama 48

hingga 96 jam inkubasi (Noedl et al., 2003).

Prinsip uji sensitivitas obat in vitro adalah semua berdasarkan pada

pengukuran efek obat pada pertumbuhan dan perkembangan parasit malaria. Efek

obat antimalaria secara umum memiliki karakter menghambat pertumbuhan

parasit, oleh karena itu pertambahan jumlah parasit hidup menjadi parameter yang

dapat dihitung secara in vitro meskipun dengan berbagai metode pembacaan.

Tingkat penghambatan pertumbuhan Plasmodium yang diberi obat atau kandidat

obat diukur dan dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan obat (Noedl et al.,

2003).

Uji Sitotoksik pada Sel Normal

Pengujian toksisitas secara umum memiliki tujuan utama mendeteksi

adanya aktivitas biologis dari suatu substansi uji yang dapat dilakukan pada
77

banyak tipe sel seperti fibroblas, Hela dan hepatoma (Ekwall et al., 1990).

Pengujian sitotoksisitas suatu senyawa in vitro memiliki keuntungan diantaranya

lebih mudah dan cepat dari pada pengujian in vivo (Eisenbrand et al., 2001). Ada

berbagai cara untuk melihat viabilitas sel dan sitotoksisitas dari suatu senyawa uji

atau ekstrak. Salah satunya adalah dengan melihat perubahan aktivitas

mitokondria yang dapat dideteksi dengan menggunakan 3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-

2,5-difenil tetrazolium bromida (MTT) (Boncler et al., 2012). Secara umum,

proses pengujian ini terbagi dalam dua tahap, yaitu proses reduksi sustrat MTT

oleh sistem dehidrogenase dari sel yang aktif, dilanjutkan dengan tahap pelarutan

Kristal formazan ungu hasil reduksi pada suatu pelarut organik (Wang et al.,

2012).

Landasan Teori

Resistensi parasit pada artemisinin yang ditemukan di beberapa negara di

Asia merupakan ancaman bagi pengendalian infeksi malaria, penemuan obat baru

sebagai alternatif antimalarial merupakan suatu kebutuhan yang mendesak.

Kalkon merupakan suatu gugus penting yang berasal dari bahan alam dan

merupakan prekursor sintesis flavonoid dalam tanaman. Berbagai turunan kalkon

menunjukkan berbagai aktivitas farmakologis, diantaranya sebagai antimikroba,

antifungi, antikanker, dan antiplasmodium. Kalkon dapat disintesis di dalam

laboratorium dengan menggunakan reaksi Claisen-Schmid. Berbagai turunan

kalkon disintesis dan diperiksa aktivitas antiplasmodiumnya. Beberapa turunan

kalkon didesain dengan tujuan menghambat interaksi antara Fd dengan FNR milik
78

Plasmodium. Pengujian afinitas interaksi antara senyawa baru tersebut dengan

PfFd dan PfFNR dilakukan melalui doking molekuler in silico dan menunjukkan

adanya peran gugus amino pada turunan metoksi amino kalkon pada

penghambatan interaksi elektrostatik kedua komponen tersebut. Senyawa tersebut

belum dibuktikan aktivitas antiplasmodiumnya secara in vitro.

Metode Penelitian

Jenis penelitian adalah eksperimen kuasi dengan variabel bebas 5 senyawa

turunan kalkon hasil sintesis (Suwito et al., 2014a), yaitu : (E)-1-(4-aminofenil)-3-

(2-metoksifenil)prop-2-en-1-on (senyawa 1); (E)-1-(4-aminofenil)-3-(3-

metoksifenil)prop-2-en-1-on (senyawa 2); (E)-1-(4-aminofenil)-3-(4-

metoksifenil)prop-2-en-1-on (senyawa 3); (E)-1-(4-aminofenil)-3-(2,3-

dimetoksifenil)prop-2-en-1-on (senyawa 4); dan (E)-1-(4-aminofenil)-3-(2,4-

dimetoksifenil)prop-2-en-1-on (senyawa 5). Variabel tergantung dalam penelitian

ini adalah IC50 senyawa uji terhadap P. falciparum strain FCR-3, IC50 pada sel

Vero, indeks sitotoksik, dan persentase penghambatan senyawa terbaik pada

setiap stadium pengujian.

Populasi pada uji aktivitas antiplasmodium in vitro adalah kultur P.

falciparum strain FCR-3 resisten kloroquin. Sampel dari populasi yang digunakan

untuk pengujian adalah Plasmodium pada fase trofozoit muda (cincin) dengan

parasitemia 2%, hematokrit 3% sebanyak 100 µL tiap sumuran pada plate mikro

96 sumuran. Sedangkan pada uji sitotoksik senyawa baru turunan kalkon terhadap

sel normal in vitro, sebagai populasi adalah kultur sel Vero. Sampel dari populasi
79

yang digunakan untuk uji adalah kultur sel Vero dengan kepadatan 1x105 sel/mL

sebanyak 100 µL tiap sumuran pada plate mikro 96 sumuran (10000 sel setiap

sumuran).

Alat dan bahan penelitian

Alat yang digunakan adalah Laminar Air Flow (Labconco), tissue culture

flask (TCF) 50 mL (Iwaki), plate mikro96 sumuran (Iwaki), plate mikro24

sumuran (Iwaki), botol kaca (Duran), disposable conical tubes, inkubator CO2

(Napco), tabung mikro sentrifus (Stardeck), gelas objek, mikroskop (Nikon),

kertas saring 0,2µm (Whatman) (Sigma Chem. Co. st. Lois USA), pipet mikro

(Gilson), pipet pasteur, candle jar/desikator dengan lilin, waterbath,

hemositometer dan counter.

Bahan yang digunakan untuk adalah P. falciparum strain FCR-3 , sel

Vero, Media tumbuh RPMI 1640, NaHCO3, M199, dan D-sorbitol (Sigma-

Aldrich Inc., USA). HEPES (N-[2-hidroksietil]piperazine-N-[2-asam

etansulfonat], dimetilsulfoksida (DMSO), cat giemsa, gentamisin dan minyak

imersi (Merck). Serum manusia (Golongan O) dan eritrosit manusia (golongan O),

phosphate buffer saline, fetal bovine serum, 3-[4,5-dimetiltiazol-2il]-2,5-

difeniltetrazolium bromida (MTT), dan sodium dodesil sulfat (SDS).

Jalannya Penelitian

Kultur P. falciparum in vitro.StrainP. Falciparum yang digunakan dalam

pengujian ini adalah strain FCR-3 dan telah lama dikembangbiakkan di

laboratorium Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.

Kultur parasit dilakukan dengan metode candle jar Trager & Jensen yang
80

14,15
dimodifikasi. Media yang digunakan adalah media kultur malaria komplit,

yaitu RPMI 1640 yang mengandung 0,2% HEPES, 0,2% NaHCO3, 20 µg/mL

gentamisin dan 10% serum O± dengan 3% hematokrit. Stadium pertumbuhan

Plasmodium yang digunakan dalam pengujian adalah stadium trofozoit muda

(cincin). Stadium skizon dihilangkan dengan cara sinkronisasi dengan

menggunakan larutan sorbitol 5% (Ljungströmet al., 2004).

Uji aktivitas antipalsmodium in vitro. Metode yang digunakan pada

pengujian ini adalah dengan metode mikroskopis (Ljungströmet al., 2004; Basco,

2007). Berbagai seri kadar senyawa uji diujikan sebanyak 2 kali dalam triplikat

dengan plate mikro 96 sumuran yang telah diisi dengan kultur Plasmodium pada

fase trofozoit muda (cincin) dengan parasitemia 2% (hematokrit 3%). Kultur yang

telah diberikan senyawa uji selanjutnya diinkubasi selama 68 – 72 jam. Nilai

parasitemia dihitung dari sediaan apus kultur yang diwarnai dengan Giemsa.

Hasilnya digunakan untuk menghitung persen penghabatan pertumbuhan

Plasmodium. Aktivitas antiplasmodium dinyatakan sebagai IC50 yaitu kadar

senyawa yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan Plasmodium hingga

50%.

Uji sitotoksik in vitro. Uji sitotoksik in vitro terhadap sel Vero dilakukan

dengan metode MTT assay. Sebanyak 100µL suspensi sel Vero dalam medium

kultur M199 dengan kerapatan 1x105/mL (10000 sel/sumuran) dipapar dengan

senyawa uji dengan berbagai peringkat kadar masing-masing 100µL/ sumuran

selama 24 jam inkubasi. Uji dilakukan sebanyak 3 kali secara triplikat. Persentase

pertumbuhan/viabilitas sel dihitung dengan membandingkan nilai absorbansi dari


81

sumuran sel yang diberi senyawa uji dengan nilai absorbansi dari sumuran sel

yang diberi media tanpa senyawa uji (kontrol negatif). Absorbansi dibaca dengan

menggunakan ELISA reader. Hasil perhitungan persentase viabilias sel dapat

digunakan untuk menghitung persentase penghambatan pertumbuhan yang

selanjutnya digunakan untuk menentukan besar kadar senyawa uji yang

dibutuhkan untuk dapat menghambat pertumbuhan sel hingga 50% (IC50).

Uji spesifisitas stadium. Pengujian dilakukan menggunakan metode

mikroskopis dengan menghitung parasitemia secara manual dibawah mikroskop.

Kultur Plasmodium disinkronisasi pada stadium trofozoit muda (cincin), dengan

parasitemia 2% (hematokrit 3%), dimasukkan ke dalam plate mikro 24 sumuran

sebanyak 250µL setiap sumuran. Kemudian senyawa uji dengan berbagai

peringkat kadar ditambahkan pada sumuran masing–masing sebanyak 250µL pada

rentang waktu yang berbeda (setiap 8 jam). Setelah 8 jam pemejanan senyawa uji,

kultur dicuci dengan medium RPMI yang mengandung 10% serum sampai dengan

3 kali pencucian. Spesifisitas senyawa uji pada stadium siklus pertumbuhan P.

falciparum dievaluasi secara mikroskopis dengan menghitung persentase P.

falciparum sesudah inkubasi selama 72 jam, dibandingkan dengan kontrol tanpa

senyawa uji.

Hasil

1. Uji aktivitas antipalsmodium in vitro

Nilai IC50 dari kelima senyawa baru turunan kalkon hasil sintesis terhadap

P. falciparum strain FCR-3 in vitro disajikan dalam Tabel 1. Sebagai kontrol


82

positif, digunakan sulfadoksin. Data disajikan dalam rata-rata IC50 ± SD dari dua

kali pengujian dalam waktu yang berbeda. Nilai IC50 senyawa uji berkisar dari

3,48 µg/mL hingga 15,56 µg/mL, dengan senyawa yang paling aktif adalah

senyawa 2.

Tabel 1. Rata–rata IC50 menyawa baru turunan kalkon dan sulfadoksin pada P.
falciparum strain FCR-3

Rata – rata IC50


Senyawa Uji
± SD (µM) p
Senyawa 1 38,3627 ± 16,43
Senyawa 2 13,7609 ± 0,84
Senyawa 3 28,4427 ± 9,53
0,440*
Senyawa 4 14,8618 ± 6,58
Senyawa 5 55,0022 ± 47,37
Sulfadoksin >103,116
* Uji Anova satu jalan (p=0,05) rata-rata IC50 antar kelima senyawa baru
turunan kalkon hasil sintesis

2. Uji sitotoksik in vitro

Hasil pengujian sitotoksisitas senyawa uji terhadap sel normal berupa

rata–rata nilai IC50 senyawa uji terhadap sel Vero disajikan dalam Tabel 2. Kelima

senyawa uji menunjukkan toksisitasnya pada sel Vero, dengan IC50 terendah

dimiliki oleh senyawa 2. Senyawa 5 memiliki IC50 terbesar.

Tabel 2. Rata–rata niai IC50 (µg/mL) senyawa baru turunan kalkon hasil sintesis
dan sulfadoksin terhadap sel Vero

Rata – rata IC50 (µM)


Senyawa p
± SD
Senyawa 1 109,93 ± 7,48b
Senyawa 2 73,38 ± 26,31c
Senyawa 3 280,45 ± 140,53
0,000a
Senyawa 4 251,14 ± 14,11
Senyawa 5 2369,66 ± 505,19
Sulfadoksin >3222
a
Uji Anova satu jalan (p=0,05) antar IC50 kelima senyawa turunana kalkon
b
Analisis post hocTamhane senyawa 1 terhadap senyawa 4 (p=0,006)
c
Analisis post hocTamhane senyawa 1 terhadap senyawa 4 (p=0,018)
83

3. Selektivitas

Indeks selektivitas (IS) dihitung berdasarkan rasio IC50 senyawa pada sel

Vero, dengan nilai IC50 senyawa pada P. falciparum. Hasil perhitungan IS

disajikan dalam tabel 3. Senyawa dengan IS terbesar adalah senyawa 5.

Tabel 3. Indeks selektivitas (IS) senyawa baru turunan kalkon dan sulfadoksin

IC50 pada sel IC50 pada Indeks Selektivitas


Senyawa
Vero (µM) FCR3 (µM) (IS)*
Senyawa 1 38,36 109,93 2,87
Senyawa 2 13,38 73,38 5,33
Senyawa 3 28,44 280,45 9,86
Senyawa 4 15,50 251,14 16,89
Senyawa 5 55,00 2369,66 43,08
Sulfadoksin >3222 > 103,116 -
*IS= IC50 pada sel Vero ÷ IC50 pada FCR3

4. Uji spesifisitas stadium

Salah satu dari kelima senyawa baru turunan kalkon hasil sintesis yang

memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai antimalaria adalah senyawa 4.

Senyawa 4 tersebut kemudian diperiksa aktivitas antiplasmodiumnya pada

berbagai stadium pertumbuhan P. falciparum (setiap 8 jam) dengan tiga peringkat

dosis, untuk mengetahui stadium pertumbuhan Plasmodium yang sensitif terhadap

pemberian senyawa uji. Senyawa uji diinkubasi bersama kultur selama 8 jam.

Hasilnya ditentukan dengan cara membandingkan persentase penghambatan

pertumbuhan P. falciparum dari senyawa 4 pada berbagai waktu mulai inkubasi

yang berbeda – beda. Persentase parasitemia kultur tanpa senyawa uji dianggap

100%.
84

Gambar 2. Sensitifitas berbagai stadium pertumbuhan P. falciparum strain FCR-3


dalam satu siklus eritrositik terhadap senyawa 4.

Pembahasan

1. Uji aktivitas antipalsmodium in vitro

Sesuai penggolongan aktivitas antiplasmodium menurut Batista et al.(2010),

senyawa 2 (IC5013,76± 0,84 µM) dan senyawa 4 (IC5014,86 ± 6,58 µM) memiliki

aktivitas yang baik. Sedangkan senyawa 1 (IC5038,36± 16,43 µM), senyawa 3

(IC5028,44 ± 9,53 µM), dan senyawa 5 (IC5055,00 ± 47,37 µM) tergolong

memiliki aktivitas antiplasmodium sedang.

Pada penelitian sebelumnya, senyawa 3 merupakan senyawa yang paling

aktif menghambat interaksi PfFd-PfFNR hingga 50% (Suwito et al., 2014).

Perbedaan ini menunjukkan adanya farktor lain yang ikut berperan dalam aktivitas

penghambatan pertumbuhan parasit diluar interaksi elektrostatik yang

digambarkan dalam hasil doking molekuler secara in silico. Ikatan antara kalkon

dengan enzim serta aktivitas antiplasmodiumnya merupakan suatu fenomena yang

dipengaruhi oleh banyak faktor (Yadav et al., 2012). Penambahan substituent

metoksi pada R1 juga mampu menurunkan aktivitas antiplasmodium senyawa 4,


85

jika dibandingkan dengan senyawa 2. Keberadaan substituent memiliki peran

dalam menghalangi interaksi antara kalkon dengan sisi aktif dari enzim (Tomar et

al., 2010).

2. Uji sitotoksik in vitro

Senyawa 2 merupakan senyawa yang paling aktif menghambat pertumbuhan

Plasmodium, namun juga paling toksik terhadap sel Vero. Senyawa 5 merupakan

seyawa yang memiliki nilai IC50 terbesar. Namun keamanannya belum bisa

dipastikan karena pada saat pengujian senyawa ini kurang larut di dalam medium

kultur.

3. Selektivitas

Senyawa 2 memiliki IS yang rendah, yang mengindikasikan kemungkinan

aktivitas antiplasmodium muncul lebih karena aktivitas sitotoksik seyawa

tersebut, bukan karena aktivitasnya secara langsung melawan parasit itu sendiri.

Sedangkan IS yang besar menunjukkan potensi keamanan senyawa tersebut untuk

dikembangkan sebagai obat (Valdes et al., 2010). IS paling besar dimiliki oleh

senyawa 5, namun karena sifat kelarutannya yang sukar larut, senyawa yang

dipilih untuk diperiksa spesifisitasnya terhadap stadium/fase pertumbuhan P.

falciparum adalah senyawa 4 yang masih memiliki IS besar.

4. Uji spesifisitas stadium

Penghambatan pertumbuhan tertinggi (57,5 %) terjadi pada waktu

pemaparan t = 24 – 32 jam. Hal ini menunjukkan bahwa pada stadium skizon P.

falciparum strain FCR-3 lebih sensitif pada pemberian senyawa 4 dari pada

stadium yang lain. Ada berbagai proses biologis terjadi dalam tubuh Plasmodium
86

selama stadium pertumbuhan skizon, diantaranya sintesis DNA dan fosfolipid

yang dibutuhkan pada proses persiapan sebelum pembelahan parasit (Fang et al.,

2014), serta sintesis sejumlah protease (PfSUB1 dan PfSUB2) yang dipercaya

memiliki peranan dalam invasi merozoit ke sel darah merah (Bozdech et al.,

2003). Hal ini memunculkan dugaan bahwa senyawa 4 aktif menghambat

pertumbuhan Plasmodium melalui penghambatan sintesis DNA, fosfolipid atau

protease.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa senyawa (E)-1-(4-aminofenil)-3-(3-

metoksifenil)prop-2-en-1-on (2) merupakan yang paling aktif sebagai

antiplasmodium namun juga yang paling toksik pada sel Vero. Senyawa yang

berpotensi untuk dikembangkan sebagai antiplasmodium lebih lanjut adalah

senyawa (E)-1-(4-aminofenil)-3-(2,3-dimetoksifenil)prop-2-en-1-on (4) dengan

aktivitas penghambatan tertinggi pada saat Plasmodium berada pada fase

pematangan skizon.

Anda mungkin juga menyukai