Anda di halaman 1dari 3

Mengapa PLTU Mempunyai Efisiensi Rendah?

Dalam pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), panas dikonversikan menjadi energi listrik
(melalui energi mekanik). Sumber panasnya bisa berasal dari batu bara, nuklir, gas,
minyak, maupun panas bumi. Pada saat ini, sebagian besar energi listrik dihasilkan oleh
PLTU. Efisiensi suatu PLTU biasanya sekitar 25 sampai 50%. Oleh sebab itu, banyak
orang mengatakan bahwa PLTU mempunyai efisiensi yang rendah dan sedapat mungkin
harus diganti dengan yang lebih baik. Akan tetapi sebenarnya pendapat ini ternyata tidak
seratus persen benar. Topik inilah yang ingin dibahas dalam tulisan ini.
Efisiensi suatu pusat pembangkit listrik didefinisikan sebagai berikut:

Definisi ini berlaku untuk pembangkit apa saja. Sepertinya penggunaan rumus efisiensi
ini sangat sederhana, tetapi dalam praktek ternyata ada beberapa masalah yang dihadapi.
Masalah pertama, suatu pusat pembangkit memerlukan energi listrik dalam operasinya.
Jika kita menggunakan energi listrik yang dihasilkan generator maka efisiensinya disebut
efisiensi kotor (gross efficiency). Jika dikurangi dengan energi listrik yang dipakai dalam
pembangkit, efisiensi yang didapat disebut efiensi bersih (net efficiency).
Masalah kedua adalah menentukan energi masuk yang dipakai dalam perhitungan
efisiensi. Pada pembangkit batu bara, banyak orang menggunakan kandungan energi
kimia dari batu bara (kandungan energi yang bisa dikonversikan menjadi energi panas)
yang bisa dibakar yang selanjutnya dikonversikan menjadi energi mekanik dan akhirnya
menjadi energi listrik. Bagaimana jika batu baranya mengandung banyak air sehingga
perlu banyak energi untuk mengeringkannya? Dalam kasus ini, besarnya panas yang bisa
diubah menjadi energi listrik menjadi lebih kecil dibanding kandungan energi kimianya.
Demikian pula jika proses pembakarannya tidak sempurna sehingga masih banyak energi
yang tersimpan di abu dan ikut terbang bersama gas buang. Untuk pembangkit nuklir,
energi masuk biasanya adalah panas yang dihasilkan di reaktor.

Bagaimana dengan pembangkit lainnya? Untuk pembangkit listrik tenaga air, energi
masuknya adalah energi potensial yang hilang saat air berubah ketinggian (sesuai tinggi
pipa pesat). Jadi bukan energi potensial total yang dikandung oleh air di ujung atas pipa
pesat. Untuk pembangkit listrik tenaga surya, energi masuk adalah energi yang diterima
oleh panel surya. Bukan energi yang masuk oleh area yang ditempati pembangkit listrik
tenaga surya. Energi yang masuk ke area yang ada di antara panel surya tidak
diperhitungkan. Untuk pembangkit listrik tenaga angin, hanya energi kinertik yang
diterima oleh permukaan aktif kincir yang diperhitungkan. Bukan energi kinetik yang
diterima oleh area yang ditempati pembangkit listrik tenaga angin. Jelas bahwa setiap
pembangkit mempunyai definisi sendiri-sendiri dalam menentukan besarnya energi
masuk. Karena definisinya berbeda, kita tidak bisa membandingkan secara langsung
efisiensi bermacam pembangkit.
Sebenarnya, panas yang dihasilkan oleh pembakaran batu bara, minyak, atau gas bisa
secara efisien (lebih dari 90%) ke air yang berada dalam boiler. Air selanjutnya akan
berubah menjadi uap.

Secara umum, energi panas bisa dibagi atas dua bagian. Bagian pertama adalah bagian
yang bisa dikonversikan menjadi energi mekanik atau listrik. Bagian kedua adalah bagian
yang tidak bisa dikonversikan menjadi listrik. Bagian pertama sering
disebut exergysedangkan bagian kedua sering disebut anergy. Bagian yang pertama
atau exergy akan meningkat proporsinya dengan naiknya temperatur uap dan turunnya
temperatur lingkungan (luar). Besarnya proporsi exergy bisa dihitung dengan
persamaan berikut:

yang mana menyatakan exergy, temperatur uap, dan temperatur luar. Semua
termperatur dinyatakan dalam derajat Kelvin. Persamaan ini juga sering disebut sebagai
efisiensi Carnot (Peneliti Perancis yang bernama Nicolas Leonardo Sadi Carnot).
Persamaan exergy dengan jelas menunjukkan mengapa pembangkit modern mempunyai
temperatur uang yang sangat tinggi. Akan tetapi dengan naiknya temperatur, tekanan
uap juga meningkat. Oleh sebab itu, kemajuan teknologi PLTU sangat ditentukan oleh
kemajuan teknologi boiler menahan tekanan dan temperatur yang tinggi. Saat ini, PLTU
modern banyak yang bekerja pada tekanan 260 bar dan temperatur 540 oC.
Faktor kedua yang menentukan exergy adalah temperatur luar. Jika kita bisa
menurunkan temperatur di luar pembagkit sampai sama dengan nol derajat K maka
semua energi panas yang dikandung uap bisa menjadi exergy atau dikonversikan
menjadi energi listrik. Dalam praktek, temperatur luar jauh diatas nol sehingga selalu
ada exergydan anergy.
Uap panas bertekanan tinggi menyebabkan turbin berputar dan hampir
semua exergydikonversikan menjadi energi mekanik dan akhirnya listrik. Kemajuan
teknologi suatu pembangkit sangat ditentukan oleh kemampuan merubah
semua exergy menjadi energi listrik. Sedangkan kandungan anergy masih tersimpan
dalam bentuk panas di uap yang keluar dari turbin. Walaupun masih mengandung energi,
tetapi anergy tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan kerja. Anergy di PLTU
ini mirip dengan energi potensial yang masih tersimpan di air yang keluar dari turbin air.
Walaupun masih mengandung energi potensial (karena masih lebih tinggi dari
permukaan laut atau lebih tinggi dari titik nol bumi) tetapi energi yang dikandung tidak
bisa dimanfaatkan untuk memutar turbin. Atau mirip dengan energi matahari yang tidak
diterima oleh panel surya tetapi masuk ke area pembangkit listrik tenaga surya.
Perbedaan definisi energi masuk inilah yang menyebabkan PLTU dan PLTA mempunyai
angka efisiensi yang jauh berbeda. PLTU menggunakan energi total (exergy plus anergy)
sebagai energi masuk sedangkan PLTA menggunakan exergy sebagai energi masuk.
Padahal jika digunakan definisi energi masuk yang sama maka efisiensinya akan bernilai
hampir sama. Perbedaan utama PLTU dan PLTA hanyalah pada sumber energinya. PLTA
menggunakan sumber energi yang terbarukan sedangkan PLTU biasanya menggunakan
bahan bakar fossil.
Pada pembangkit listrik tenaga bayu (angin) atau PLTB, energi masuknya adalah energi
kinetik yang diterima oleh area efektif turbin angin. Karena angin yang keluar dari turbin
tidak mungkin mempunyai kecepatan sama dengan nol, maka selalu ada energi kinetik
yang tersisa pada angin. Dengan kata lain, tidak semua energi kinetik yang terdapat pada
angin bisa dikonversikan menjadi energi listrik. Agar adil, mestinya energi sisa ini kita
sebut anergy dan tidak disebut sebagai energi masuk. Karena definisi energi masuk
adalah energi kinetik total yang datang maka secara teoritis, efisiensi PLTB hanyalah
sekitar 60%. Dalam praktek, efisiensi hanya sekitar 40%.
Demikian pula pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Photon yang energinya
terlalu rendah tidak bisa dikonversikan menjadi listrik. Photon yang energinya terlalu
tinggi hanya akan menyebabkan panel suryanya panas. Jadi tidak semua photon bisa
menyebabkan dibangkitkannya energi listrik pada panel surya. Akan tetapi dalam
menghitung efisiensi, energi masuk adalah energi yang dikandung oleh semua photon
yang datang ke panel surya. Akibatnya, efisiensi teoritis dari panel silicon hanyalah
sekitar 28%. Dalam praktek, efisiensinya hanya sekitar 15%.

Selain efisiensi, pemilihan suatu pusat pembangkit tenaga listrik sangat ditentukan
oleh availability (ketersedian) dan dispatchability (kemampuan untuk bisa diatur).
PLTU biasanya bisa bekerja nonstop selama setahun, tiap hari selama 24 jam. Oleh sebab
itu, PLTU mempunyai availability yang tinggi. Sebaliknya, pembangkit listrik energi
terbarukan kemampuan untuk menghasilkan energi sangat ditentukan oleh ketersedian
air, matahari, atau angin. Selain itu, besarnya daya yang dibangkitkan PLTU bisa diatur
oleh pusat kendali (di Indonesia dilakukan oleh P3B) sesuai dengan kebutuhan sistem.
Sebaliknya, daya yang dihasilkan pembangkit listrik energi terbarukan tidak bisa
dikendalikan oleh P3B sehingga disebut non-dispatchable

Anda mungkin juga menyukai