Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Organisasi
Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi
dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis masih merupakan salah satu
masalah kesehatan yang utama di dunia. Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus
kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi
yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara
tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis.(Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka kejadian
TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan meningkat terus
secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati peningkatan per
kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta sampai 16 juta).
Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke tiga menjadi
peringkat ke lima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan
dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia. Estimasi prevalensi TB di
Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000
kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun.
Selain itu, kasus resistensi merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB.
Pencegahan meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting.
(Universitas Sumatera Utara)
Rao dan kawan-kawan di Karachi-Pakistan pada tahun 2008, melakukan penelitian
resistensi primer pada penderita tuberkulosis paru kasus baru. Didapatkan dengan hasil pola
resisten sebagai berikut: resistensi terhadap Streptomisin sebanyak 13 orang (26%), Isoniazid
8 orang (16%), Etambutol 8 orang (16%), Rifampisin 4 orang (8%) dan Pirazinamid 1 (0,2%).
Sedangkan di Indonesia TB-MDR telah diperoleh sebanyak 2 orang (0,4%) pasien. Angka
resistensi/TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program penanggulangan TBC parudi
kabupaten setempat/kota setempat terutama ketepatan diagnosis mikroskopik untuk

1
menetapkan kasus dengan BTA (+), dan penanganan kasus termasuk peran Pengawas Menelan
Obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat kepatuhan penderita untuk minum obat.
Faktor lain yang mempengaruhiangka resistensi/ MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup
dan berkualitas ataupun adanya OAT yang digunakan untuk terapi selain TBC. (Universitas
Sumatera Utara)
Semakin jelas bahwa kasus resistensi merupakan masalah besar dalam pengobatan pada
masa sekarang ini. WHO memperkirakan terdapat 50 juta orang di dunia yang telah terinfeksi
oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT dan dijumpai 273.000
(3,1%) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun 2000. Berdasarkan wilayah administratif di
Indonesia, Provinsi Jawa Timur menempati urutan ke 8 angka temuan kasus TBC paru terbesar
tahun 2007, meskipun belum mencapai target yang ditetapkan. Sebaran angka temuan kasus
tersebut yaitu DKI Jakarta(88,14%), Sulawesi Utara (81,36%), Banten (74,62%), Jawa Barat
(67,57%), Sumatra Utara (65,48%), Gorontalo (62,15%), Bali (61,39%), Jawa Timur
(59,83%), DI Yokyakarta (53,23%), Sumatra Barat (51,36%) (Depkes RI, 2007). (Universitas
Sumatera Utara)

1.2.Rumusan masalah
 Apa penyakit TB Paru itu ?
 Bagaimana cara Penularan TB Paru ?
 Klasifikasi TB paru ?
 Apa gejala-gejala seseorang menderita TB Paru ?
 Bagaimana cara penanggulangan/pencegahan TB Paru ?
 Bagaimana cara pengobatan kepada penderita TB Paru ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Definisi
Tuberkulosis (TBC atau TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat
kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih
sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia. Penyakit
TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya) dan
dimana saja.
Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) disebabkan oleh kuman TBC
(Mycobacterium tuberculosis) yang sebagian kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lain. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil
Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh
kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis tipe humanus, sejenis kuman berbentuk batang dengan
panjang 1-4 mm dan tebal 0,3-0,6 mm. Struktur kuman ini terjadi atas lipid (lemak) yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam, serta dari gangguan berbagai kimia dan fisik.
Kuman ini juga tahan berada di udara kering dan keadaan dingin (misalnya di dalam lemari
es) karena sifatnya yang dormant, yaitu dapat bangkit kembali dan menjadi lebih aktif.
Selain itu, kuman ini juga bersifat aerob.
Tuberkulosis paru merupakan infeksi pada saluran pernapasan yang vital. Basil
Mycobacterium masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas (dreplet infection)
sampai alveoli dan terjadilah onfeksi primer (Gbon). Kemudian, dikelenjar getah bening
terjadilah primer kompleks yang disebut tuberculosis primer. Dalam sebagian besar kasus,
Bagian yang terinfeksi ini dapat mengalami penyembuhan. Peradangan terjadi sebelum
tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil Mycobacterium pada usia 1-3 tahun.

3
Sedangkan, post primer tuberculosis (reinfection) adalah peradangan yang terjadi pada
jaringan paru yang disebabkan oleh penularan ulang.

2.2.Penularan TBC
 Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
 Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
 Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
 Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
 Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
 Risiko penularan risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan
dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan

4
setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI)
yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI
sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap
tahun di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan
reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
 Risiko menjadi sakit TB o Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi
sakit TB. Dengan 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap
tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV
merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.
 Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan: 50% meninggal, 25% akan
sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, 25% menjadi kasus kronis
yang tetap menular

2.3.Klasifikasi Tuberkulosis
Tuberkulosis pada manusia dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuberkulosis
primer dan tuberkulosis sekunder.
 Tuberkulosis primer
Tuberkulosis adalah infeksi bakteri TB Dari penderita yang belum
mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup dari udara
melalui saluran pernapasan dan mencapai alveoli atau bagian terminal saluran
pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag yang
berada di alveoli. Jika pada proses ini bakteri ditangkap oleh makrofag yang lemah,

5
maka bakteri akan berkembang biak dalam tubuh makrofag yang lemah itu dan
menghancurkan makrofag. Dari proses ini, dihasilkan bahan kemotaksis yang
menarik monisit (makrofag) dari aliran darah dan membentuk tuberkel. Sebelum
mengahncurkan bakteri, makrofag harus diaktifkan terlebih dahulu oleh limfokin
yang dihasilkan oleh limfosit T.
Tidak semua makrofag pada granula TB mempunyai fungsi yang sama. Ada
makrofag yang berfungsi pembunuh, mencerna bakteri, dan merangsang limfosit.
Beberapa makrofag menghasilkan protease elastase, kolagenase, serta faktor
penstimulasi koloni untuk merangsang produksi monosit dan granulosit pada
sumsum tulang. Bakteri TB menyebar ke saluran pernapasan melalui getah bening
regional (hilus).dan membentuk epitiolit granuloma. Granuloma mengalami
nekrosis sentral sebagai akibat dari timbulnya hipersensitifitas selular (delayed
hipersensitifity) terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan
terlihat pada tes tuberkulin. Hipersensitifitas selular sebagai akumulasi lokal dari
lifosit dan makrofag.
Baktei TB yang berada dalam alveoli akan membentuk fokus lokal (fokus
ghon), sedangkan fokus inisial bersama-sama dengan limfa denopati bertempat di
hilus (kompleks primer ranks) dan disebut juga TB primer. Fokus primer paru
biasanya bersifat unilateral dengan subpleura terletak di atas atau bawah sifura
interlobaris, atau di bagian basal dari lobus inferior. Bakteri ini menyebar lebih
lanjut melalui saluran limfe atau aliran darah, dan tersangkut pada berbagai organ.
Jadi, TB primer merupakan infeksi yang bersifat sistematis.
 Tuberkulosis sekunder
Telah terjadi resolusi dari infeksi primer; sejumlah kecil bakteri TB masih
dapat hidup dalam keadaan dorman di jaringan parut. Sebanyak 90% di antaranya
tidak mengalami kekambuhan. Reaktifasi penyakit TB (TB pascaprimer/TB
sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun, pecandu alkhohol akut, silikosis,
dan pada penderita diabetes melitus serta AIDS.
Bebeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan
organ lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas, dan terlokalisir. Reaksi imunologis
terjadi dengan adanya pembentukan granuloma, mirip dengan yang terjadi pada TB

6
primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih mencolok dan menghasilkan lesi kaseosa
(perkejuan) yang luas dan disebut tuberkulema. Plotease yang dikeluarkan oleh
makrofag aktif akan menyebabkab pelunakan bahan kaseosar. Secara umum, dapat
dikatakan bahwa terbentuknya kafisatas dan manifestasi lainnya dari TB sekunder
adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas.
TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari sumber
eksogen, terutrama pada usia tua dengan riwayat masa muda pernah terinfeksi
bakteri TB. Biasanya, hal ini terjadi pada daerah artikel atau sekmen postarior lobus
superior, 10-20 mm dari pleura dan segmen apikel lobus interior. Hal ini mungkin
disebabkan kadar oksigen yang tinggi, sehingga menguntungkan untuk
pertumbuhan penyakit TB.
Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru yang disebabkan oleh
produksi sitokin yang berlebihan. Kavitas kemudian diliputi oleh jaringan fibrotik
yang tebal dan berisi pembuluh darah pulmonl. Kavitas yang kronis diliputi oleh
jaringan fibrotik yang tebal. Masalah lainnya pada kavitas kronis adalah kolonisasi
jamur, seperti aspergilus yang menumbuhkan micotema (Isa,2001).

2.4.Gejala Tuberkulosis
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang
timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
 Gejala sistemik/umum:
 Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul
 Penurunan nafsu makan dan berat badan
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah
 Gejala khusus
 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan

7
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,
suara nafas melemah yang disertai sesak.
 Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
 Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
 Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi
kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak
yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin
positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita
TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan
pemeriksaan serologi/darah.

2.5.Diagnosa tuberkulosis
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
a. Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
b. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
c. Pemeriksaan patologi anatomi (PA). Rontgen dada (thorax photo).
d. Uji tuberkulin.

 Diagnosis TB Paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang

8
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,
dan lain-lain.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
 S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
 P(Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di UPK
 S(sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.

Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan


ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis
TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit

 Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks


Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun
pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan
indikasi sebagai berikut:

9
 Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB
paru BTA positif.
 Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
 Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis
eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma).

 Diagnosis TB Ekstra Paru


 Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
 Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis
bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan
alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi,
foto toraks, dan lain-lain

 Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat
untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan
sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi
TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari
1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun
92%, 2– 4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase

10
tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin
semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada
½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam
kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur
diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
 Pembengkakan (Indurasi) : 0–4 mm, uji mantoux negatif. Arti klinis
: tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
 Pembengkakan (Indurasi) : 5–9 mm, uji mantoux meragukan. Hal
ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan
Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
 Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti
klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

2.6.Klasifikasi tuberkulosis
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu
“definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:
a. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
b. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau
BTA negatif;
c. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
d. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:

 Menentukan paduan pengobatan yang sesuai


 Registrasi kasus secara benar
 Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
 Analisis kohort hasil pengobatan

11
Beberapa istilah dalam definisi kasus:

 Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau


didiagnosis oleh dokter.
 Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk
Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-
kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat


diperlukan untuk:

 Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga


mencegah timbulnya resistensi
 Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
 Mengurangi efek samping

a. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena:


 Tuberkulosis paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
 Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu pada TB Paru:


 Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

12
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi
 Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.


 TB paru BTA negatif foto toraks positif : dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far
advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
 TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
 TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
 TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kemih dan alat kelamin.

Catatan: Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru,


maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien
TB paru.Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa
tipe pasien, yaitu:

13
 Kasus Baru : Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
 Kasus Kambuh (Relaps) : Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
 Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) : Adalah pasien TB yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
 Kasus Gagal (Failure) : Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
 Kasus Pindahan (Transfer In) : Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK
yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
 Kasus lain : Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh,
gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus
dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan
medis spesialistik

2.7.Pencegahan tuberkulosis
 Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita TB paru BTA positif.
 Mars chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu, misalnya karyawan rumah sakit atau puskemas atau balai
pengobatan, penghuni rumag tahanan dan siswi-siswi pesantren.
 Vaksinasi BCG, reaksi positif terjadi jika setelah mendapat vaksinasi BCG
langsung terdapat reaksi lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari setelah
penyuntikan.

14
 Kemoprokfilasis, yaitu dengan menggunakan INH 5 mg/kg BB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit.
 Komunikas, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada
masyarakat di tingkat puskesmas maupun rumah sakit oleh petugas pemerintah
atau petugas LSM.

2.8.Pengobatan tuberkulosis
Tujuan pengibatan pada penderita TB paru, selain untuk mengobati, juga untuk
mencegah kematian, kekambuhan, resistensi kuman terhadap OAT, serta memutuskan
mata rantai penularan.
 Penatalaksaan terapi: asupan nutrisi adekuat/ mencukupi.
 Kemoterapi, yang mencakup pemberian:
 Isoniazid (INH) sebagai bakterisidial terhadap basil yang tumbuh aktif.
Obat ini diberikan selama 18-24 bulan dan dengan dosis 10-20mg/kg berat
badan/hari melalui oral.
 Kombinasi antar NH, rifampicin, dan pyrazinamid yang diberikan selama 6
bulan.
 Obat tambahan, antara lain Strepmomycin (diberikan intramuskuler)dan
Etham burol
 Terapi kortikosteroid diberikan bersamaan dengan obat anti-TB untuk
mengurangi respons peradangan, misalnya pada meningitis.
 Pembedahan dilakukan jika kemoterapi tidak berhasil. Tindakan ini dilakukan
mengangkat jaringan paru yang rusak.
 Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak langsung denga orang yang
terinfeksi basil TB serta mempertahankan asupan nutrisi yang memadai.
Pemberian imunisasi BCG juga diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap inveksi basil TB virulen.

15
BAB III

KESIMPULAN

3.1.Kesimpulan
Dengan demikian, bahwa penyakit tuberculosis (TBC) itu disebabkan karena
adanya bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Oleh karena itu untuk mencegah penularan
penyakit ini sebaiknya harus menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Tuberkulosis juga
penyakit yang harus benar-benar segera ditangani dengan cepat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama. Departemen


Kesehatan Republik Indonesia. 2007

Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Kelompok Kerja TB Anak Depkes – IDAI.
2008

International Standards for Tuberculosis Care : Diagnosis, Treatment, Public Health. Tuberculosis
Coalition for Technical Assistance (TBCTA). 2006

http://www.ainun25.blogspot.co.id/tuberkulosis diakses 29/04/2017 pukul 01:36 WIB

http://www.krismasekasaputra.blogspot.co.id/tuberculosis diakses 29/04/2017 pukul 05:14 WIB

17

Anda mungkin juga menyukai