Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN PUSTAKA

Latar Belakang

Persalinan pervaginal pasca seksio sesarea (Vaginal Birth After


CSection/VBAC) merupakan salah satu alternatif persalinan bagi maternal. Walau
bagaimanapun, tahap keberhasilannya masih lagi diragui hingga sekarang.
Laporan WHO tahun 2007 menunjukkan hanya 4 % maternal yang melakukan
VBAC. Menurut NICE tahun 2004, tingkat keberhasilan VBAC adalah 72-76 %.
Terdapat berbagai faktor yang dapat menyumbang kepada keberhasilan metode
persalinan ini. VBAC belum banyak diterima sampai akhir tahun 1970an.
Melihat peningkatan angka kejadian seksio sesarea oleh United States Public
Health Service, melalui Consensus Development Conference on Cesarean Child
Birth pada tahun 1980 menyatakan bahwa VBAC dengan insisi uterus transversal
pada segmen bawah rahim adalah tindakan yang aman dan dapat diterima dalam
rangka menurunkan angka kejadian seksio sesarea pada tahun 2000 menjadi 15%.
Pendapat yang paling sering muncul adalah orang yang pernah melakukan
seksio harus seksio untuk selanjutnya. Juga banyak para ahli yang berpendapat
bahwa melahirkan normal setelah pernah melakukan seksio sesarea sangat
berbahaya bagi keselamatan ibu dan section adalah pilihan terbaik bagi ibu dan
anak. Akhir-akhir ini Angka kejadian intervensi pada proses persalinan semakin
tinggi. Angka Operasi Sesar yang harusnya kurang dari 15% (sesuai aturan WHO)
ternyata tidak bisa di penuhi. Apalagi di Rumah Sakit-Rumah Sakit di kota besar
atau kota metropolis. Salah satu RS di Jakarta saja angka operasi sesar bisa
mencapai 75% bahkan 98%.
AKI dan AKB yang sangat tinggi di Indonesia ini diakibatkan oleh adanya
komplikasi-komplikasi dalam persalinan, termasuk seksio sesarea. Menurut
Bensons dan Pernolls, angka kematian ibu yang menjalani persalinan seksio
sesarea adalah 40-80 tiap 100.000 kelahiran hidup dan memiliki risiko kematian
25 kali lebih besar dibanding persalinan pervaginam
Pada tahun 2000 National Institute of Health dan American College of
Obstetricans and Gynecologists mengeluarkan statemen, yang menganjurkan para
2

ahli obstetri untuk mendukung "trial of labor" pada pasien-pasien yang telah
mengalami seksio sesarea sebelumnya, dimana VBAC merupakan tindakan yang
aman sebagai pengganti seksio sesarea ulangan.
Walau bagaimanapun, mulai tahun 2001 jumlah percobaan partus pervaginal
telah berkurang dan menyumbang kepada peningkatan jumlah partus secara seksio
sesarea ulang. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan para ibu hamil, disertai
berbagai pertimbangan dan diikuti pemeriksaan sebelum melahirkan, kini
melahirkan normal setelah caesar (vaginal birth after caesar/VBAC) sudah
banyak ditempuh para ibu. Bila hasil pemeriksaan menunjukkan prasyarat
melahirkan normal yang aman terpenuhi, misalnya jahitan sudah bagus, berat
badan bayi bagus, letak plasenta normal dan posisi kepala bayi sudah di
bawah/masuk panggul, hampir bisa dipastikan ibu bisa melahirkan VBAC.
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) terakhir
tahun 2007 AKI Indonesia menurun menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup,
meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia. Sedangkan Angka
Kematian Bayi (AKB) di Indonesia, diperoleh estimasi sebesar 34 per 1000
kelahiran hidup.

Di Indonesia angka persalinan dengan secsio sesarea di dua belas rumah sakit
pendidikan berkisar antara 2,1 % - 11,8 %. Di RS Sanglah Denpasar inseden
seksio sesrea selama 10 tahun yaitu 8,60 % - 20,23 %, rata-rata per tahun 13,6%.
Resiko terhadap bayi dilakukan seksio sesarea yaitu kematian dan gagal asi,
gangguan paru, gangguan system pencernaan dan kekebalan tubuh, sedangkan
resiko terhadap ibu yaitu infeksi nosokomial, troemboemboli, peritonitis dan
sebagainya. Beberapa indikasi seksio sesarea dapat diuraikan sebagai berikut,
cepalo pelvik disproportion (CPD), preeklamsia, ketuban pecah dini, janin besar,
kelainan letak janin dan letak sungsang.

Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin adalah rumah sakit rujukan terbesar di
provinsi Aceh, dengan penduduk mencapai 4.486.570 jiwa. Kota Banda Aceh dan
sekitarnya terdapat rumah sakit pemerintah dan swasta sebanyak 11 unit rumah
sakit, serta 11 unit puskesmas. Karena angka persalinan perabdominal yang
diijinkan di rumah sakit pendidikan adalah seperti yang diungkapkan diatas. Pada
perslinan pevaginam di Rumah Sakit Zainoel Abidin di dapatkan persalinan
3

normal merupakan insidensi terbanyak yaitu dengan presentase 84,95%,


sedangkan VBAC hanya 2,25 %.
Tahun lalu, setelah orang bersalin melalui SC maka pupus sudah harapan
mereka untuk dapat melahirkan lagi dengan normal melalui vagina. Namun hari
ini, hal tersebut berubah dan perubahan besar tersebut terjadi berkat perubahan
dalam teknik bedah, sehingga VBAC sangatlah mungkin dilakukan dalam banyak
kasus. Bahkan, 60-80% diperkirakan perempuan yang mencoba VBAC berakhir
dengan sukses. Namun demikian, banyak rumah sakit yang tidak menawarkan
bahkan tidak melayani VBAC karena mereka tidak memiliki staf atau sumber
daya untuk menangani SC darurat. VBAC menjadi isu yang sangat penting dalam
ilmu kedokteran khususnya dalam bidang obstetrik karena pro dan kontra akan
tindakan ini. Baik dalam kalangan medis ataupun masyarakat umum selalu
muncul pertanyaan, apakah VBAC aman bagi keselamatan ibu.
VBAC atau melahirkan melalui vagina setelah mengalami operasi Sesar di
persalinan sebelumnya, memang lebih ditekankan pada kasus-kasus operasi Sesar
yang dilakukan atas indikasi yang sebenarnya tidak perlu artinya operasi SC yang
dilasssskukan sebelumnya bukan karena alasan-alasan mutlak fisiologis seperti
kelainan pangul (panggul sempit murni). Banyak wanita yang akhirnya memilih
untuk mencoba melahirkan normal saat ini dan literatur serta penelitianpun sudah
banyak yang sangat mendukung keputusan ini. Kebanyakan penelitian dan
fasilitas kesehatan menemukan bahwa lebih dari 80% ibu yang pernah mengalami
kelahiran sesar sebelumnya adalah aman dan berhasil melahirkan secara normal
di kehamilan berikutnya.

Pada satu sisi mencatat lebih dari 80% kelahiran dengan VBAC berlangsung
dengan lancar aman, dengan akhir yang membahagiakan. Malah ada yang
memberikan testimoni, melahirkan lancar dengan VBAC dengan posisi bayi
sungsang. Ada pula yang VBAC-nya lancar bahkan setelah mengalami 2 kali
melahirkan secara caesar. Jarak antara kelahiran caesar dan VBAC pun beragam.
Pada umumnya DSOG memberikan batasan 3 tahun bagi ibu yang melahirkan
caesar baru bisa melahirkan lagi (itupun dengan kembali caesar). Namun
kenyataannya sebagaimana testimoni dalam sebuah komunitas untuk
memberdayakan ibu hamil, Gentle Birth untuk semua, tak jarang para pelaku
4

VBAC ini begitu pendek jarak kelahirannya dengan kelahiran sebelumnya.


Bahkan ada yang jarak antara anak caesar dengan adiknya yang normal hanya 18
bulan.
Bagi ibu yang melahirkan dengan VBAC memiliki beberapa syarat,

diantaranya indikasi operasi sebelumnya bukan karena panggul sempit, letak bayi
kepala, proses penyembuhan luka operasi baik, perkiraan berat badan bayi tidak
boleh lebih dari 4 Kg, bukan kehamilan kembar, dan belahan operasi cesar
sebelumnya tidak tegak lurus (vertikal). Proses mengejan saat pembukaan lengkap
hanya boleh 2x15 menit. Elastisitas otot perut dan bekas luka operasi cesar yang
telah merapat juga menjadi hal yang dipertimbangkan. Melalui senam hamil yang
rutin dilakukan ibu hamil maka dapat membantu ibu untuk mengejan dan
mengatur napas lebih optimal, dan mempertahankan elastisitas otot perut saat
kontraksi, sehingga ibu dapat melahirkan dengan VBAC.

Pengertian VBAC

VBAC (Vaginal Birth After C-Section) ialah proses persalinan per vaginam
yang dilakukan terhadap pasien yang pernah mengalami seksio sesaria ada kehamilan
sebelumnya atau pernah mengalami operasi pada dinding rahim (misalnya satu
ataupun lebih miomektomi intramural). VBAC atau melahirkan melalui vagina setelah
mengalami operasi Sesar di persalinan sebelumnya, memang lebih ditekankan pada
kasus-kasus operasi Sesar yang dilakukan atas indikasi yang sebenarnya tidak perlu
artinya operasi SC yang dilakukan sebelumnya bukan karena alasan-alasan mutlak
fisiologis seperti kelainan pangul yaitu panggul sempit murni.
VBAC menjadi isu yang sangat penting dalam ilmu kedokteran khususnya
dalam bidang obstetrik karena pro dan kontra akan tindakan ini. Baik dalam kalangan
medis ataupun masyarakat umum selalu m uncul pertanyaan, apakah VBAC aman bagi
keselamatan ibu. Pendapat yang paling sering muncul adalah Orang yang pernah
melakukan seksio harus seksio untuk selanjutnya. Juga banyak para ahli yang
berpendapat bahawa melahirkan normal setelah pernah melakukan seksio sesarea
sangat berbahaya bagi keselamatan ibu dan section adalah pilihan terbaik bagi ibu dan
anak. Tahun lalu,setelah orang bersalin melalui SC maka pupus sudah harapan mereka
untuk dapat melahirkan lagi dengan normal melalui vagina.
5

Namun hari ini, hal tersebut berubah dan perubahan besar tersebut terjadi
berkat perubahan dalam teknik bedah, sehingga VBAC sangatlah mungkin dilakukan
dalam banyak kasus. Bahkan, 60 sampai 80 persen diperkirakan perempuan yang
mencoba VBAC berakhir dengan sukses. Namun demikian, banyak rumah sakit yang
tidak menawarkan bahkan tidak melayani VBAC karena mereka tidak memiliki staf
atau sumber daya untuk menangani SC darurat.
VBAC belum banyak diterima sampai akhir tahun 1970an. Melihat

peningkatan angka kejadian seksio sesarea oleh United States Public Health Service,
melalui Consensus Development Conference on Cesarean Child Birth pada tahun 1980
menyatakan bahwa VBAC dengan insisi uterus transversal pada segmen bawah rahim
adalah tindakan yang aman dan dapat diterima dalam rangka menurunkan angka
kejadian seksio sesarea pada tahun 2000 menjadi 15%.
Pada tahun 1989 National Institute of Health dan American College of
Obstetricans and Gynecologists mengeluarkan statemen, yang menganjurkan para ahli
obstetri untuk mendukung "trial of labor" pada pasien-pasien yang telah mengalami
seksio sesarea sebelumnya, dimana VBAC merupakan tindakan yang aman sebagai
pengganti seksio sesarea ulangan.
Walau bagaimanapun, mulai tahun 1996 jumlah percobaan partus pervaginal
telah berkurang dan menyumbang kepada peningkatan jumlah partus secara seksio
sesarea ulang. Berbagai faktor medis dan nonmedis diperkirakan menjadi penumbang
kepada penurunan jumlah percobaan partus pevaginam ini. Faktor-faktor ini
sebenarnya masih belum difahami dengan jelas. Salah satu faktor yang paling sering
dikemukan para ahli adalah resiko ruptur uteri. Pada tindakan percobaan partus
pervaginal yang gagal, yaitu pada maternal yang harus melakukan seksio sesarea ulang
didapati resiko komplikasi lebih tinggi berbanding VBAC dan partus secara seksio
sesarea elektif.
1. Indikasi VBAC

American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) pada tahun


1999 dan 2004 memberikan rekomendasi untuk menyeleksi pasien yang
direncanakan untuk persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea.

Menurut Cunningham (2001) kriteria seleksinya adalah berikut :


6

a) Riwayat 1 atau 2 kali seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim

b) Secara klinis panggul adekuat atau imbang fetopelvik baik

c) Tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus

d) Tersedianya tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring, persalinan


dan seksio sesarea emergensi
e) Sarana dan personil anastesi siap untuk menangani seksio sesarea darurat

Menurut Cunningham (2001) kriteria yang masih kontroversi adalah:

a) Parut uterus yang tidak diketahui

b) Parut uterus pada segmen bawah rahim vertical

c) Kehamilan kembar

d) Letak sungsang

e) Kehamilan lewat waktu

f) Taksiran berat janin lebih dari 4000 gram

Indikasi seksio sesarea sebelumnya akan mempengaruhi keberhasilan


VBAC. Maternal dengan penyakit CPD memberikan keberhasilan persalinan
pervaginal sebesar 60 – 65 % manakala fetal distress memberikan keberhasilan
sebesar 69 – 73%. Keberhasilan VBAC ditentukan juga oleh keadaan dilatasi
serviks pada waktu dilakukan seksio sesarea yang lalu. VBAC berhasil 67 %
apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan pada saat pembukaan serviks kecil dari
5 cm, dan 73 % pada pembukaan 6 sampai 9 cm. Keberhasilan persalinan pervaginal
menurun sampai 13 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan pada keadaan
distosia pada kala II.
Keberhasilan VBAC ditentukan juga oleh keadaan dilatasi serviks pada
waktu dilakukan seksio sesarea yang lalu. VBAC berhasil 67 % apabila seksio
sesarea yang lalu dilakukan pada saat pembukaan serviks kecil dari 5 cm, dan 73 %
pada pembukaan 6 sampai 9 cm. Keberhasilan persalinan pervaginal menurun
7

sampai 13 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan pada keadaan distosia pada
kala II.
2. Kontraindikasi VBAC

Menurut (Caughey, Mann, 2001) kontra indikasi mutlak melakukan VBAC adalah :

a) Bekas seksio sesarea klasik

b) Bekas seksio sesarea dengan insisi T

c) Bekas ruptur uteri

d) Bekas komplikasi operasi seksio sesarea dengan laserasi serviks yang luas

e) Disproporsi sefalopelvik yang jelas

f) Pasien menolak persalinan pervaginal

g) Panggul sempit

h) Ada komplikasi medis dan obstetrik yang merupakan kontra indikasi


persalinan pervaginal
3. Prasyarat VBAC

Panduan dari American College of Obstetricians and Gynecologists pada


tahun 1999 dan 2004 tentang VBAC atau yang juga dikenal dengan trial of scar
memerlukan kehadiran seorang dokter ahli kebidanan, seorang ahli anastesi dan
staf yang mempunyai keahlian dalam hal persalinan dengan seksio sesarea
emergensi. Sebagai penunjangnya kamar operasi dan staf disiagakan, darah yang
telah di-crossmatch disiapkan dan alat monitor denyut jantung janin manual
ataupun elektronik harus tersedia.
Pada kebanyakan senter merekomendasikan pada setiap unit persalinan
yang melakukan VBAC harus tersedia tim yang siap untuk melakukan seksio
sesarea emergensi dalam waktu 20 sampai 30 menit untuk antisipasi apabila terjadi
fetal distress atau ruptur uteri.
8

Faktor medis dan nonmedis diperkirakan menjadi penumbang kepada


penurunan jumlah percobaan partus pevaginam ini. Faktor-faktor ini sebenarnya
masih belum difahami dengan jelas. Salah satu faktor yang paling sering
dikemukan para ahli adalah resiko ruptur uteri. Pada tindakan percobaan partus
pervaginal yang gagal, yaitu pada maternal yang harus melakukan seksio sesarea
ulang didapati resiko komplikasi lebih tinggi berbanding VBAC dan partus secara
seksio sesarea elektif. Faktor nonmedis termasuklah restriksi terhadap akses
percobaan partus pervaginal.
4. Teknik Operasi Sebelumnya

Pasien bekas seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim transversal
merupakan salah satu syarat dalam melakukan VBAC, dimana pasien dengan tipe
insisi ini mempunyai resiko ruptur yang lebih rendah dari pada tipe insisi lainnya.
Bekas seksio sesarae klasik, insisi T pada uterus dan komplikasi yang terjadi pada
seksio sesarea yang lalu misalnya laserasi serviks yang luas merupakan
kontraindikasi melakukan VBAC. Menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists, tiada perbedaan dalam mortalitas maternal dan perinatal pada insisi
seksio sesarea transversalis atau longitudinalis.
5. Jumlah Seksio Sesarea Sebelumnya

VBAC tidak dilakukan pada pasien dengan insisi korporal sebelumnya


maupun pada kasus yang pernah seksio sesarea dua kali berurutan atau lebih,
sebab pada kasus tersebut diatas seksio sesarea elektif adalah lebih baik
dibandingkan persalinan pervaginal.
Resiko ruptur uteri meningkat dengan meningkatnya jumlah seksio
sesarea sebelumnya. Pasien dengan seksio sesarea lebih dari satu kali mempunyai
resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya ruptur uteri. Ruptur uteri pada bekas
seksio sesarea 2 kali adalah sebesar 1.8 – 3.7 %. Pasien dengan bekas seksio
sesarea 2 kali mempunyai resiko ruptur uteri lima kali lebih besar dari bekas seksio
sesarea satu kali.
Menurut Farmakides (2010) dalam Miller (2011) melaporkan 77 % dari
pasien yang pernah seksio sesarea dua kali atau lebih yang diperbolehkan
persalinan pervaginal dan berhasil dengan luaran bayi yang baik. Menurut
Cunningham (2010), American College of Obstetricians and Gynecologists pada
9

tahun 2005 telah memutuskan bahwa pasien dengan bekas seksio dua kali boleh
menjalani persalinan pervaginal dengan pengawasan yang ketat.
Menurut Miller (2007) melaporkan bahwa insiden ruptur uteri terjadi 2 kali
lebih sering pada VBAC dengan riwayat seksio sesarea 2 kali atau lebih. Pada
penelitian ini, jumlah VBAC dengan riwayat seksio sesarea 1 kali adalah
83% manakala 2 kali atau lebih adalah 17 %.

6. Penyembuhan Luka Pada Seksio Sesarea Sebelumnya

Pada seksio sesarea insisi kulit pada dinding abdomen biasanya melalui
sayatan horizontal, kadang-kadang pemotongan atas bawah yang disebut insisi
kulit vertikal. Kemudian pemotongan dilanjutkan sampai ke uterus. Daerah uterus
yang ditutupi oleh kandung kencing disebut segmen bawah rahim, hampir 90 %
insisi uterus dilakukan di tempat ini berupa sayatan horizontal (seperti potongan
bikini). Cara pemotongan uterus seperti ini disebut "Low Transverse Cesarean
Section". Insisi uterus ini ditutup/jahit akan sembuh dalam 2 – 6 hari. Insisi uterus
dapat juga dibuat dengan potongan vertikal yang dikenal dengan seksio sesarea
klasik, irisan ini dilakukan pada otot uterus. Luka pada uterus dengan cara ini
mungkin tidak dapat pulih seperti semula dan dapat terbuka lagi sepanjang
kehamilan atau persalinan berikutnya.
Pemeriksaan USG trans abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat
mengetahui ketebalan segmen bawah rahim. Ketebalan segmen bawah rahim
(SBR) 4,5 mm pada usia kehamilan 37 minggu adalah petanda parut yang sembuh
sempurna. Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika ketebalan SBR < 3,5
mm. Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada kehamilan 37 minggu dapat sebagai
alat skrining dalam memilih cara persalinan bekas seksio sesarea.
Menurut Cunningham (2004) menyatakan bahwa penyembuhan luka
seksio sesarea adalah suatu generasi dari fibromuskuler dan bukan pembentukan
jaringan sikatrik.
Menurut Cunningham (2010), dasar dari keyakinan ini adalah dari hasil
pemeriksaan histologi dari jaringan di daerah bekas sayatan seksio sesarea dan
dari 2 tahap observasi yang pada prinsipnya :
a) Tidak tampaknya atau hampir tidak tampak adanya jaringan sikatrik pada
uterus pada waktu dilakukan seksio sesarea ulangan.
10

b) Pada uterus yang diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik atau hanya
ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus tanpa
ditemukannya sikatrik diantaranya.
Menurut Schmitz (2010) dalam Srinivas (2011) menyatakan bahwa
kekuatan sikatrik pada uterus pada penyembuhan luka yang baik adalah lebih kuat
dari miometrium itu sendiri. Hal ini telah dibuktikannya dengan memberikan
regangan yang ditingkatkan dengan penambahan beban pada uterus bekas seksio
sesarea (hewan percobaan).
Dari laporan-laporan klinis pada uterus gravid bekas seksio sesarea yang
mengalami ruptura selalu terjadi pada jaringan otot miometrium sedangkan
sikatriknya utuh. Yang mana hal ini menandakan bahwa jaringan sikatrik yang
terbentuk relatif lebih kuat dari jaringan miometrium itu sendiri.
Dua hal yang utama penyebab dari gangguan pembentukan jaringan
sehingga menyebabkan lemahnya jaringan parut tersebut adalah :
a) Infeksi, bila terjadi infeksi akan mengganggu proses penyembuhan luka.

b) Kesalahan teknik operasi (technical errors) seperti tidak tepatnya pertemuan


kedua sisi luka, jahitan luka yang terlalu kencang, spasing jahitan yang tidak
beraturan, penyimpulan yang tidak tepat, dan lain-lain.
Menurut Schmitz (2001) dalam Srinivas (2007) menyatakan jahitan luka
yang terlalu kencang dapat menyebabkan nekrosis jaringan sehingga merupakan
penyebab timbulnya gangguan kekuatan sikatrik, hal ini lebih dominan dari pada
infeksi ataupun technical error sebagai penyebab lemahnya sikatrik.
Pengetahuan tentang penyembuhan luka operasi, kekuatan jaringan
sikatrik pada penyembuhan luka operasi yang baik dan pengetahuan tentang
penyebab-penyebab yang dapat mengurangi kekuatan jaringan sikatrik pada bekas
seksio sesarea, menjadi panduan apakah persalinan pervaginal pada bekas seksio
sesarea dapat dilaksanakan atau tidak.
Pada sikatrik uterus yang tidak mempengaruhi aktivitas selama kontraksi
uterus. Aktivitas uterus pada multipara dengan bekas seksio sesarea sama dengan
multipara tanpa seksio sesarea yang menjalani persalinan pervaginal.
11

7. Indikasi Operasi Pada Seksio Sesarea Yang Lalu

Indikasi seksio sesarea sebelumnya akan mempengaruhi keberhasilan


VBAC. Maternal dengan penyakit CPD memberikan keberhasilan persalinan
pervaginal sebesar 60 – 65 % manakala fetal distress memberikan keberhasilan
sebesar 69 – 73%.
Keberhasilan VBAC ditentukan juga oleh keadaan dilatasi serviks pada
waktu dilakukan seksio sesarea yang lalu. VBAC berhasil 67 % apabila seksio
sesarea yang lalu dilakukan pada saat pembukaan serviks kecil dari 5 cm, dan 73
% pada pembukaan 6 sampai 9 cm. Keberhasilan persalinan pervaginal menurun
sampai 13 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan pada keadaan distosia
pada kala II.
Menurut Troyer (2002) pada penelitiannya mendapatkan keberhasilan
penanganan VBAC boleh dihubungkan dengan indikasi seksio sesarea yang lalu.
Hubungan indikasi seksio sesarea lalu dengan keberhasilan penanganan VBAC
yaitu :

a) Usia maternal

Usia ibu yang aman untuk melahirkan adalah sekitar 20 tahun sampai
35 tahun. Usia melahirkan dibawah 20 tahun dan di atas 35 tahun digolongkan
resiko tinggi. Dari penelitian di dapatkan wanita yang berumur lebih dari 35
mempunyai angka resiko seksio sesarea yang lebih tinggi. Wanita yang
berumur lebih dari 40 tahun dengan bekas seksio sesarea mempunyai resiko
kegagalan untuk persalinan pervagianl lebih besar tiga kali dari pada wanita
yang berumur kecil dari 40 tahun.
Menurut Weinstein (2001) dan Landon (2004) mendapatkan pada
penelitian mereka bahwa faktor umur tidak bermakna secara statistik dalam
mempengaruhi keberhasilan persalinan pervaginal pada bekas seksio
sesarea.

b) Usia kehamilan saat seksio sesarea sebelumnya

Pada usia kehamilan < 37 minggu dan belum inpartu misalnya pada
plesenta previa dimana segmen bawah rahim belum terbentuk sempurna
12

kemungkinan insisi uterus tidak pada segen bawah rahim dan dapat mengenai
bagian korpus eteri yang mana keadaannya sama dengan insisi pada seksio
sesarea klasik.
c) Riwayat persalinan pervaginal

Riwayat persalinan pervaginal baik sebelum ataupun sesudah seksio


sesarea mempengaruhi prognosis keberhasilan VBAC (Cunningham ,2001).
Pasien dengan bekas seksio sesarea yang pernah menjalani persalinan
pervaginal memiliki angka keberhasilan persalinan pervagianl yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa persalinan pervaginal.
Menurut Benedetti (2000) dalam Toth (2002), pada pasien bekas
seksio sesarea yang sesudahnya pernah berhasil dengan persalinan
pervaginal, makin berkurang kemungkinan ruptur uteri pada kehamilan dan
persalinan yang akan datang. Walaupun demikian ancaman ruptur uteri tetap
ada pada masa kehamilan maupun persalinan, oleh sebab itu pada setiap kasus
bekas seksio sesarea harus juga diperhitungkan ruptur uteri pada kehamilan
trimester ketiga terutama saat menjalani persalinan pervaginal.
d) Keadaan serviks pada saat partus

Menurut Guleria dan Dhall (2004) menyatakan bahwa laju dilatasi


serviks mempengaruhi keberhasilan penanganan VABC. Dari 100 pasien
bekas seksio sesarea segmen bawah rahim di dapat 84% berhasil persalinan
pervaginal sedangakn sisanya adalah seksio sesarea darurat. Gambaran laju
dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang berhasil pervaginal pada fase
laten rata-rata 0,88 cm/jam mana kala fase aktif 1,25 cm/jam.
Sebaliknya laju dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang gagal
pervaginal pada fase laten rata-rata 0,44 cm/jam dan fase aktif adalah 0,42
cm/jam. Induksi persalinan dengan misoprostol akan meningkatkan resiko
ruptur uteri pada maternal dengan bekas seksio sesarea (Plaut, 2000).
Dijumpai adanya 1 kasus ruptur uteri bekas seksio sesarea segmen bawah
rahim tranversal selama dilakukan pematangan serviks dengan transvaginal
misoprostol sebelum tindakan indukdi persalinan.
e) Keadaan selaput ketuban
13

Menurut Carrol (2001) dan Miller (2004) melaporkan pasien dengan


pasien ketuban pacah dini pada usia kehamilan diatas 37 minggu dengan
bekas seksio sesarea (56 kasus) proses persalinannya dapat pervaginal dengan
menunggu terjadinya inpartu spontan dan di dapat angka keberhasilan yang
tinggi yaitu 91 % dengan menghindari pemberian induksi persalinan dengan
oksitosin, dengan rata-rata lama waktu antara ketuban pecah dini sampai
terjadinya persalianan adalah 42,6 jam dengan keadaan ibu dan bayi baik.

8. Induksi VBAC

Penelitian untuk induksi persalinan dengan oksitosin pada pasien bekas


seksio sesarea satu kali member kesimpulan bahwa persalinan dengan oksitosin
meningkatkan kejadian rupture uteri pada wanita hamil dengan bekas seksio
sesarea satu kali dibandingkan dengan partus spontan tanpa induksi. Secara
statistik tidak di dapatkan peningkatan yang bermakna kejadian ruptur uteri pada
pasien yang melakukan akselerasi persalinan dengan oksitosin. Namun pemakain
oksitosin untuk drip akselerasi pada pasien bekas seksio sesarea harus diawasi
secara ketat (Zelop, 2002). Menurut Scott (2001) tingkat keberhasilan pemberian
oksitosin pada persalinan bekas seksio sesarea cukup tinggi yaitu
70% pada induksi persalinan dan 100% pada akselerasi persalinan.

a) Resiko terhadap maternal

Menurut Kirt (2004) dan Goldberg (2002) menyatakan resiko


terhadap ibu yang melakukan persalinan pervaginal dibandingkan dengan
seksio sesarea ulangan elektif pada bekas seksio sesarea adlah seperti berikut:
(1) Insiden demam lebih kecil secara bermakna pada persalinan pervaginal
yang berhasil dibanding dengan seksio sesarea ulangan elektif.
(2) Pada persalinan pervaginal yang gagal yang dilanjutkan dengan seksio
sesarea insiden demam lebih tinggi.
(3) Tidak banyak perbedaan insiden dehisensi uterus pada persalinan
pervaginal disbanding dengan seksio sesarea elektif.
(4) Dehisensi atau rupture uteri setelah gaal persalinan pervaginal adalah
14

2,8 kali dari seksio sesarea elektif.

(5) Mortalitas ibu pada seksio sesarea ulangan elektif dan persalinan
pervaginal sangat rendah.
(6) Kelompok persalinan pervaginal mempunyai rawat inap yang lebih
singkat, penurunan insiden tranfusi darah pada pasca persalinan dan
penurunan insiden demam pasca persliana disbanding dengan seksio
sesarea elektif
b) Resiko terhadap anak

Angka kematian perinatal dari hasil penelitian terhadap lebih dari


4,500 persalinan pervaginal adalah 1,4 % serta resiko kematian perinatal pada
persalinan percobaan adalah 2,1 kali lebih besar dibanding seksio sesarea
elektif namun jika berat badan janin <750 gram dan kelainan congenital berat
tidak diperhitungkan maka angka kematian perinatal dari persalinan prvaginal
tidak berbeda secara bermakna dari seksio sesarea ulangan elektif.
Menurut Flamm (2002) melaporkan angka kematian perinatal adalah
7 per 1.000 kelahiran hidup pada persalinan pervaginal,angka ini tidak
berbeda secara bermakna dari angka kematian perinatal dari rumah sakit yang
ditelitinya yaitu 10 per 1.000 kelahiran hidup.
Menurut Caughey (2001) melaporkan 463 dari 478 (97%) dari bayi
yang lahir pervaginal mempunyai skor Apgar pada 5 menit pertama adalah 8
atau lebih. Menurut McMohan (2002) bahwa skor Apgar bayi yang lahir tidak
berbeda bermakna pada VBAC dibanding seksio sesarea ulangan
elektif.

Menurut Flamm (2003) juga melaporkan morbiditas bayi yang lahir


dengan seksio sesarea ulangan setelah gagal VBAC lebih tinggi dibandingkan
dengan yang berhasil VBAC dan morbiditas bayi yang berhasil VBAC tidak
berbeda bermakna dengan bayi yang lahir normal.
9. Komplikasi VBAC

Komplikasi paling berat yang dapat tejadi dalam melakukan persalinan


pervagianal adalah ruptur uteri. Ruptur jaringan perut bekas seksio sesarea sering
15

tersembunyi dan tidak menimbulkan gejala yang khas (Miller, 2003). Dilaporkan
bahwa kejadian ruptur uteri pada bekas seksio sesarea insisi segmen bawah rahim
lebih kecil dari 1 % (0,2 – 0,8 %).
Kejadian ruptur uteri pada persalinan pervaginal dengan riwayat insisi
seksio sesarea korposal dilaporkan oleh Scott (2002) dan American College of
Obstetricans and Gynecologist (2000) adalah sebesar 4 - 9%. Kejadian ruptur
uteri selama partus percobaan pada bekas seksio sasarea sebanyak 0,8 % dan
dehisensi 0,7 %.
Apabila terjadi ruptur ete ri maka jania, tali pusat, plasenta atau bayi akan
keluar dari robekan rahim dan masuk ke rongga abdomen. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan pada ibu, gawat janin dan kematian jani serta ibu.
Kadang-kadang ahrus dilakukan histerektomi emergensi. Kasus ruptur uteri ini
lebih sering terjadi pada seksio sesarea klasik dibandingkan dengan seksio sesarea
pada segmen bawah rahim.
Tanda yang paling sering di jumpai pada ruptur uteri adalah denyut jantung
janin tak normal dengan deselerasi variabel yang lambat laun manjadi deselerasi
lambat, bradiakardia, dan denyut jantung janin tidak terdeteksi. Gejala klinis
tambahan adalah perdarahan pervaginal, nyeri abdomen, presentasi janin berubah
dan terjadi hipovolemik pada ibu.

Tanda- tanda ruptur uteri adalah sebagai berikut :

a) Nyeri akut abdomen

b) Sensasi poping ( seperti akn pecah )

c) Teraba bagian-bagian janin diluar uterus pada pemeriksaan Leopold

d) Deselerasi dan bradikardi pada denyut jantung janin

e) Presenting perutnya tinggi pada pemeriksaan pervaginal

f) Perdarahan pervaginal
16

Pada wanita dengan bekas seksio sesarea klasik sebaiknya tidak dilakukan
persalinan pervaginal karena resiko ruptur 2-10 kai dan kematian maternal dan
perinatal 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seksio sesarea pada segmen
bawah rahim.
Menurut Landon (2004) komplikasi terhadap maternal termasuklah ruptur
uteri, histerektomi, gangguan sistem tromboembolik, transfusi, endometritis,
kematian maternal dan gangguan-gangguan lain.

Persalinan

Proses persalinan adalah proses alami yang seharusnya menjadi pengalaman


yang positif bagi ibu dan keluarga. Tetapi ada kalanya proses kelahiran tidak dapat
dilakukan secara normal atau melalui jalan lahir ibu karena beberapa hal. Salah satu
cara yang semakin umum dilakukan jika proses persalinan secara normal tidak
memungkinkan adalah dengan bedah caesar (caesarean-section atau C-section) yaitu
dengan membuat insisi pada abdomen ibu untuk mengeluarkan bayi.
Asuhan persalinan normal adalah asuhan yang bersih dan aman selama
persalinan dan setelah bayi lahir, serta upaya pencegahan komplikasi terutama
perdarahan paska persalinan, hipotermia, dan asfiksia bayi baru lahir. Hal ini
merupakan suatu pergeseran paradigma dari sikap menunggu dan menangani
komplikasi , mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.
Pencegahan komplikasi selama persalinan dan setelah bayi lahir akan
mengurangi kesakitan dan kematian ibu serta bayi baru lahir. Penyesuaian ini sangat
penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Sebagian
besar persalinan di Indonesia masih terjadi tingkat pelayanan kesehatan primer dengan
penguasaan keterampilan dan pengetahuan petugas kesehtan di fasilitas pelayanan
tersebut masih belum memadai.
Tujuan asuhan persalinan normal adalah mengupayakan kelangsungan hidup
dan mencapai derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui berbagai
upaya yang terintegrasi dan lengkap serta intervensi minimal sehingga prinsip
keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga pada tinggkat yang optimal.
Sistem skoring VBAC
17

Untuk memprediksi keberhasilan penanganan persalinan pervaginal bekas seksio sesarea,


beberapa peneliti telah membuat sistem skoring. Flamm dan Geiger menentukan panduan
dalam penanganan persalinan bekas seksio sesarea dalam bentuk sistem skoring.
Weinstein dkk juga telah membuat suatu sistem skoring untuk pasien bekas seksio
sesarea (Weinstein D, 1996, Flamm BL, 1997).
Adapun skoring menurut Flamm dan Geiger (1997) yang ditentukan untuk
memprediksi persalinan pada wanita dengan bekas seksio sesarea adalah seperti tertera
pada table dibawah ini:
18
19
20

DAFTAR PUSTAKA

1. American College, (1999) dan (2004), Obstetrics and Gynecology Vaginal Birth
after Previous Sesarean Delivery, diakses tanggal 15 januari 2013, http://www.
Obstetrics and Gynecology.com
2. Flamm, (2007), Vaginal birth after cesarean delivery, diakses tanggal l5 maret
2018, http://emedicine.medscape.com/article/272187-overview.
3. Kirk, (2003), Induksi VBAC, Resiko terhadap maternal, diakses pada tanggal 15
maret 2018, http://www.induksi vbac.com
4. NIH Consensus Development Conference Statement, (2010), Vaginal delivery
after previous cesarean delivery, diakses tanggal 15 februari 2013,
http://www.Clinical obstetric and gynecology.com
5. Sarwono Prawirohardjo. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta
6. Srinivas, (2007), Manajemen Seksio Sesarea Emergens,diakses tanggal 15 februari
2013, http//www.Obstetrics & Gynecologist.com
7. WHO, (2010), The Millennium Development Goals for Health: A Review of the
Indicators, Jakarta, disadur oleh Pusat Data Depertemen Kesehatan RI

Anda mungkin juga menyukai