Anda di halaman 1dari 43

CASE REPORT

ULKUS DIABETIKUM PEDIS DEXTRA

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan


Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Auliya Andriyati, Sp.PD

Disusun Oleh :
Ardian Ryzki Cambodia
J510170004

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

ULKUS DIABETIKUM PEDIS DEXTRA

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan


Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Disusun Oleh :
Ardian Ryzki Cambodia
J510170004

Telah dipresentasikan, disetujui dan di sahkan oleh bagian Program Pendidikan


Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Mengetahui :
Pembimbing :
dr. Auliya Andriyati, Sp.PD (........................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Auliya Andriyati, Sp.PD (........................................)

Disahkan Ketua Program Profesi


dr. Flora Ramona S. P., M. Kes, Sp. KK (........................................)

ii
DAFTAR ISI

BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 3
LAPORAN KASUS ................................................................................................ 3
A. Identitas Pasien............................................................................................. 3
B. Anamnesis .................................................................................................... 3
C. Anamnesis Sistem ........................................................................................ 5
D. Pemeriksaan Fisik ........................................................................................ 6
E. Status Lokalis ............................................................................................... 8
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG ................................................................. 8
G. Diagnosis .................................................................................................... 10
H. Penatalaksanaan ......................................................................................... 10
H. Follow Up ..................................................................................................... 11
BAB III ................................................................................................................. 12
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 12
A. Definisi ....................................................................................................... 12
B. Epidemiologi .............................................................................................. 19
C. Etiologi ....................................................................................................... 20
D. Patofisiologi ............................................................................................... 21
E. Klasifikasi .................................................................................................. 27
F. Diagnosis .................................................................................................... 29
G. Penatalaksanaan ......................................................................................... 30
H. Prognosis .................................................................................................... 35
BAB IV ................................................................................................................. 37
PEMBAHASAN ................................................................................................... 37
BAB IV ................................................................................................................. 39
KESIMPULAN ..................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 40

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang perlu
ditangani dengan seksama. Prevalensi DM meningkat setiap tahun, terutama di
kelompok risiko tinggi. DM yang tidak terkendali dapat menyebabkan
komplikasi metabolik ataupun komplikasi vaskular jangka panjang, yaitu
mikroangiopati dan makroangiopati. Penderita DM juga rentan terhadap
infeksi kaki luka yang kemudian dapat berkembang menjadi gangren, sehingga
meningkatkan kasus amputasi. Gangren Pedis Diabetikum menurut
International Concensus on the Diabetic Foot ditetapkan sebagai sebuah
nekrosis yang berkelanjutan dari kulit dan struktur lain yang mendasarinya
(Waspadji, 2007). Gangren pedis diabetikum adalah kelainan pada ekstremitas
bawah yang merupakan komplikasi kronik diabetes melitus (Soetjahjo, 1998).
Prevalensi komplikasi kaki diabetes didapatkan jauh lebih besar di
negara berkembang dibandingkan dengan negara maju yaitu 2- 4%.
Diperkirakan bahwa 15% pasien diabetes akan mengalami ulkus/ gangren
pedis diabetikum seiring dengan perjalanan penyakit. Sekitar 14- 24% di antara
pasien ulkus/ gangren pedis diabetikum tersebut memerlukan tindakan
amputasi (Shahab, 2007).
Komplikasi kaki diabetes merupakan penyebab tersering yang
menyebabkan pasien diabetes dirawat di rumah sakit, sebanyak 25% dari
seluruh rujukan rawat inap pasien diabetes di Amerika Serikat dan Inggris
adalah adalah karena komplikasi kaki diabetes (Schteingart, 2006).
Sebagian besar komplikasi kaki diabetes mengakibatkan amputasi dan
lebih dari 85% kasus amputasi didahului oleh ulserasi kaki. Risiko amputasi
ekstremitas bawah 15– 46 kali lebih tinggi pada penderita diabetes
dibandingkan dengan non diabetes (Rowe, 2011).

1
Secara global, lebih dari satu juta amputasi dilakukan tiap tahun karena
diabetes, yang artinya setiap 30 detik, pasien di suatu tempat di dunia akan
kehilangan anggota badan ekstremitas bawahnya akibat diabetes (Fauci, 2009).
Setidaknya 40% amputasi pada pasien diabetes dapat dicegah melalui
sebuah tim dengan pendekatan pelayanan terhadap luka. Komplikasi kaki
diabetes lebih sering terjadi pada laki- laki dan individu yang berusia lebih dari
60 tahun (Rowe, 2011).
Berikut ini disampaikan laporan kasus DM Tipe 2 Normoweight
Uncontrolled dengan Gangren Kaki Diabetikum . Kasus ini dilaporkan sebagai
kasus demonstrasi untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan pasien
dengan DM Tipe 2 Normoweight Uncontrolled dengan Gangren Kaki
Diabetikum. Semoga laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan kita
bersama.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
1. Nama : Ny. S
2. Umur : 53 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Alamat : Pengin, Cangkol, Sukoharjo
5. Pekerjaan : Penjual Susu Kedelai dan Sari Kacang Hijau
6. Agama : Islam
7. Bangsal : Cempaka Atas
8. No RM : 377885
9. Tanggal Masuk : 30 Desember 2017

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan di bangsal Cempaka Atas pada tanggal 2 Januari
2018 pukul 12.45 secara autoanamnesis dan alloanamnesis. Alloanamnesis
dilakukan dengan Tn.K sebagai suami pasien.
1. Keluhan Utama :
Luka pada telapak dan punggung kaki kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
7 hari SMRS, pasien mengaku bahwa jempol kaki kanannya tertusuk oleh
paku yang berkarat ketika ia sedang membersihkan kandang kambing di belakang
rumahnya. Ketika itu pasien hanya membersihkan luka tersebut dengan betadin
karena menganggapnya sebagai luka biasa.
5 hari SMRS, pasien mengaku bahwa luka akibat terkena paku itu tidak
kunjung sembuh dan mulai membengkak serta bertambah nyeri. Selain itu ia juga
merasakan bahwa badannya mulai meriang dan mual muntah jika akan makan.
Oleh karenanya pasien memeriksakan diri ke dokter praktik swasta di dekat
rumahnya dan diberi obat suntik serta tablet oleh dokter tersebut.
Setelah berobat ke dokter, pasien mangaku bahwa keluhan pada kakinya
tidak membaik. Luka pada kaki semakin membesar dan juga terdapat kemerahan

3
pada punggung kakinya serta nanah yang tidak dapat dikeluarkan. Bengkak pada
kakinya semakin membesar dan nyeri yang bertambah yang membuatnya tidak
bisa lagi berjalan. Selain itu pasien juga merasakan kesemutan pada kaki kanan
yang dimulai dari bagian lutut kebawah serta pada bagian jari-jari kedua
tangannya, badan lemas, mual, dan tidak nafsu makan, BAK dan BAB dalam batas
normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit paru : disangkal
c. Riwayat merokok : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat diabetes : diakui sejak 1 tahun yang lalu, dan
berobat rutin ke puskesmas setempat.
f. Riwayat hipertesi : disangkal
g. Riwayat operasi : disangkal
h. Riwayat mondok : disangkal
i. Riwayat alegi obat : disangkal
j. Riwayat gastritis : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit paru : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat diabetes : disangkal
e. Riwayat hipertensi : disangkal
5. Riwayat kebiasaan :
a. Riwayat merokok : disangkal
b. Riwayat minum alkohol : disangkal
c. Riwayat olahraga : Jarang berolahraga
d. Riwayat makan : sehari 2 kali dan sedikit-sedikit.
e. Riwayat memakai sandal : diakui

4
6. Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien bekerja sebagai penjual susu kedelai dan sari kacang hijau di
sekolah-sekolah dan puskesmas daerah tempat tinggalnya. Saat bekerja
pasien biasa naik sepeda namun sejak mengetahui menderita DM ia
berangkat kerja dengan diantar anak laki-lakinya. Pasien saat ini tinggal
dengan suami dan seorang anak laki-lakinya.

C. Anamnesis Sistem
 Kepala : Sakit kepala (-), nggliyer (-), leher kaku (-)
 Mata : Penglihatan kabur(+),pandangan berputar (-)
 Hidung : Pilek (-), mimisan (-)
 Telinga : Pendengaran berkurang (-), berdenging (-),
keluar cairan (-), darah (-).
 Mulut : Sariawan (-),gusi berdarah (-), mulut kering(-).
 Tenggorokan : Sakit menelan (-), suara serak (-)
 Sistem respirasi : Sesak nafas (-), batuk (-), dahak (-), batuk
darah (-), mengi (-), tidur mendengkur (-)
 Sistem kardiovaskuler : Sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada
(-), berdebar-debar (-), keringat dingin (-)
 Sistem gastrointestinal : Mual (+), muntah (+), perut mules (-), diare
(-), nyeri ulu hati (-), nafsu makan menurun
(+), BB turun(+).
 Sistem muskuloskeletal : Nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-).
 Sistem genitourinaria : Sering kencing (+), nyeri saat kencing (-),
keluar darah (-), berpasir (-), kencing nanah (-),
sulit memulai kencing (-), warna kencing kuning
jernih, anyang-anyangan (-), berwarna seperti
teh (-).
 Ekstremitas: Atas : Luka (-), kesemutan(+) pada jari-jari kedua
tangan, bengkak(-), sakit sendi (-),

5
 Ekstremitas Bawah : Gangren (+) di pedis dextra, ujung jari dingin
(-), kesemutan di kaki kanan mulai dari
lutuh kebawah (-), sakit sendi (-), bengkak (+)
kaki kanan
 Sistem neuropsikiatri : Kejang (-), kesemutan (+), mengigau (-)
 Sistem Integumentum : Kulit kuning (-), gatal (-)

D. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 2 Januari 2018 :
1. Keadaan Umum : Tampak lemas
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign :T : 130/80 mmHg
N : 88 x/menit
R : 20 x/menit
S : 37,1C
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 54 kg
Status Gizi : normoweight
4. Kepala
Normocephale, Konjungtiva anemis (-/-), Sclera icteric (-/-).
5. Leher
Kelenjar getah bening tidak membesar, deviasi trakea (-), kelenjar tiroid
tidak membesar.
6. Thoraks
Paru Hasil
Bentuk normal, pengembangan paru simetris, tidak ada retraksi
Inspeksi
dinding dada
Palpasi Tidak didapatkan ketinggalan gerak, fremitus raba simetris
Perkusi Sonor di paru kanan dan kiri

Auskultasi Terdengar SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-).

6
Jantung Hasil
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis teraba namun tidak kuat angkat
Batas Jantung :
Batas Kiri Jantung
• Atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Perkusi • Bawah : SIC V linea mid clavicula sinistra
Batas Kanan Jantung
• Atas : SIC II linea para sternalis dextra
• Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Auskultasi BJ I/II murni, reguler, murmur (-), gallop (-)

7. Abdomen
Abdomen Hasil
Dinding abdomen sejajar dengan dinding dada, distended (-)
Inspeksi tidak ada sikatriks,warna kecoklatan, massa (-), pulsasi aorta
tidak tampak
Auskultasi Suara peristaltik normal, Suara tambahan (-)

Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), undulasi (-),


Palpasi
defans muskuler (-)

Perkusi Pekak beralih (-), timpani (+), undulasi (-)

8. Ekstremitas

Superior Inferior
Akral dingin (-/-) (-/-)
Edema (-/-) (-/+)
Sianosis (-/-) (-/-)
Gangren (-/-) (-/+)

7
E. Status Lokalis
1. Inspeksi : terdapat dua buah luka terbuka di kaki kanan, luka pertama pada
telapak kaki dibawah ibu jari dengan panjang 5 cm dan lebar 3 cm. Terdapat
jari nekrose berwarna kehitaman pada luka yang mengenai lapisan dermis,
epidermis, dan mencapai tendo kaki. Luka bernanah. Luka kedua pada
punggung kaki kanan berbentuk bulat dengan diameter 6 cm , luka
mengenai epidermis dan dermis. Luka bernanah
2. Palpasi : perabaan hangat pada kulit (+), krepitasi (-), pulsasi arteri dorsalis
pedis melemah pada kaki kanan, neuropati (+).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap 30 Desember 2017

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hematologi
Lekosit H 20,5 3,8 – 10,6
Eritrosit 3,91 4,4 – 5,9
Hemoglobin L 10,7 13,2 – 17,3
Hematokrit L 31,5 40 – 52
MCV 80,6 80 – 100
MCH 27,4 26 – 34
MCHC 34,0 32 – 36
Trombosit H 485 150 – 440

8
RDW L 8,7 11,5 – 14,5
Kimia Klinik
Ureum H 61,9 0 - 31
Creatinin 0,74 0,5 – 0,9
Total protein 7,13 6-8
Albumin L 3,2 3,4 – 4,8
Globulin H 3,9 1,5 - 3
GDS H 370 70 - 120
Paket Elektrolit
Natrium L 124,3 135 - 147
Kalium 4,31 3,5 - 5
Chlorida 97,6 95 - 105
Sero imunologi
Anti HIV Non reaktif Non reaktif
HbsAg Non reaktif Non reaktif

EKG

9
Kesan :
 Irama: Sinus
 Frekwensi: 107x/menit
 Reguler
 Posisi: Normal
 PR: 0,16
 QRS: 0,04
 QT: 0,32
 Kesimpulan: Normal Sinus Takikardi

G. Diagnosis
Ulkus diabetik grade 4

H. Penatalaksanaan
 Infus NaCl 0,9%
 Insulin Novorapid
 Ceftriaxon 1g/12 jam
 Inj. Metronidazole500 mg/8 jam
 Debridemen
 Medikasi luka

10
H. Follow Up

Hari Subyektif Obyektif Assesment Rencana Terapi


2 Januari 2018  Nyeri (+) TD: 130 / 80 mmHg  Gangren - Inf. NaCl 20 tpm
 Mual (+) T: 37,1 C diabetikum - Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam
 Muntah (-) N: 88 x/menit grade 4 - Inj. Metronidazole500 mg/8

 Pusing (-) RR: 22 x/menit jam

 Badan lemas (+) GDS : 305 - Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam

 Adanya gangren - Novorapid 12-12-12

pada pedis SL : Luka pada telapak kaki dibawah - Medikasi luka

dekstra (+) ibu jari dengan panjang 5 cm dan lebar


3 cm. Terdapat jaringan nekrose dan
Luka bernanah. Luka kedua pada
punggung kaki kanan berbentuk bulat
dengan diameter 6 cm , luka mengenai
epidermis dan dermis. Luka bernanah

11
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Diabetes Melitus
A. Definisi
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit gangguan metabolik
menahun, menurut American Diabetes association (ADA) 2010, diabetes
melitus tipe 2 memiliki karakteristik hiperglikemi yang terjadi akibat kelainan
kerja insulin atau sekresi insulin atau keduanya (Purnamasari, 2009).

B. Epidemiologi
International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa
prevalensi DM di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai
penyebab kematian urutan ketujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka
kejadian DM didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian
DM tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes melitus
tipe 2 (fatimah, 2015).
Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi
di Indonesia membesar sampai 57%. prevalensi diabetes melitus pada
penduduk usia 15 tahun keatas sebesar 1,2-2,3% dengan prevalensi di daerah
rural/pedesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan (Kementrian Kesehatan,
2017), Sedangkan prevalensi DM pada penduduk usia 25-64 tahun di Jawa dan
Bali sebesar 7,5% dan berdasarkan studi penelitian Riskesdas tahun 2007 dan
2013 bahwa proporsi penderita DM pada tahun 2013 meningkat hampir dua
kali lipat dibandingkan tahun 2007 (Kementrian Kesehatan, 2017).

C. Klasifikasi dan etiologi Diabetes Melitus


1. DM tipe 1
Disebabkan oleh destruksi sel beta, dengan defisiensi insulin absolut
keadaan ini disebabkan oleh penyakit autoimun dan idiopatik (Bakris,
Blonde, Boulton, & Groot, 2007).

12
2. DM tipe 2
Disebabkan oleh adanya resistensi insulin dan kelainan sekresi insulin
(Bakris, Blonde, Boulton, & Groot, 2007).
3. DM Gestasional
keadaan intoleransi karbohidrat yang memiliki awitan atau pertama kali
ditemukan pada kehamilan (Purnamasari, 2009).
4. DM tipe lain (Purnamasari, 2009)
- Defek genetik fungsi sel beta : MODY
- Defek genetik kerja insulin
- Penyakit eksokrin pankreas
- Endokrinopati
- Obat/zat kimia
- infeksi
- penyebab imunologi yang jarang
(Bakris, Blonde, Boulton, & Groot, 2007)
D. Faktor Resiko
Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi (fatimah, 2015):
- Riwayat keluarga dengan DM (First degree relative)
- Umur ≥45 tahun
- Etnik
- Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan >4000 gram
- Riwayat diabetes gestasional
- Riwayat lahir dengan berat badan rendah <2500gram.
Faktor risiko yang dapat diubah meliputi (fatimah, 2015):
- Obesitas berdasarkan IMT ≥ 25kg/m2
- Kurangnya aktivitas fisik
- Hipertensi
- Dislipidemia
- Diet yang tidak sehat.

13
E. Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat
terjadi melalui 3 jalan, yaitu (Bakris, Blonde, Boulton, & Groot, 2007):
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia
dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
F. Patofisiologi
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.
Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas
fisik serta penuaan. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi
produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-
sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi
fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan
tidak absolut (Purnamasari, 2009).
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas.
Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin
(fatimah, 2015).

G. Gejala Klinis
Gejala akut diabetes melitus yaitu (fatimah, 2015):
- Poliphagia
- Polidipsia

14
- Poliuria
- nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg
dalam waktu 2-4 minggu)
- mudah lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu (fatimah, 2015):
- Kesemutan
- Rasa kebas di kulit
- Kram
- Kelelahan
- Mudah mengantuk
- Pandangan mulai kabur
- Kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi

H. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar adanya gejala klasik dan
glukosuria (Soelistijo, Novida, & Rudijanto, 2015).
Gejala klasik Diabetes melitus:
- Poliuria
- Polidipsia
- polifagia
- Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Lemah badan
- Kesemutan
- Gatal
- Mata kabur
- Disfungsi ereksi pada pria
- Pruritus vulva pada wanita.
Tabel Kriteria diagnosis DM untuk pasien dewasa tidak hamil
(Purnamasari, 2009):

Gejala klasik DM Gejala klasik DM Kadar TTGO Kadar HBA1C


+ GDS + GDP ≥200mg/dl ≥6,5%
≥200mg/dl ≥126mg/dl

15
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan kedalam
kelompok toleransi glukosa terganggu(TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (Soelistijo, Novida, & Rudijanto, 2015).
- Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT):
Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl
- Toleransi Glukosa Terganggu (TGT):
Hasil pemeriksaan TTGO 140-199 mg/dl
- Pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang memiliki resiko
DM namun tidak menunjukan adanya gejala DM, untuk kelompok resikotinggi
yang tidak menunjukan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulang tiap
tahun. Bagi mereka yang berusis >45 tahun tanpa faktor resiko lain
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun (Purnamasari, 2009).

I. Tatalaksana
- DM Tipe-2 dengan HbA1C <7.5%
Maka pengobatan Non farmakologis dengan modifikasi gaya hidup sehat
dengan evaluasi HbA1C 3 bulan, Jika HbA1C tidak mencapai target <7%
maka dilanjutkan dengan monoterapi oral (Soelistijo, Novida, & Rudijanto,
2015).
- DM Tipe-2 dengan HbA1C 7.5%-<9.0%
Diberikan modifikasi gaya hidup sehat ditambah monoterapi oral, Bila Obat
monoterapi tidak bisa mencapai target HBA1C <7% dalam waktu 3 bulan
maka terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam obat, yang terdiri dari
obat yang diberikan pada lini pertama ditambah dengan obat lain yang
memiliki mekanisme yang berbeda (Soelistijo, Novida, & Rudijanto, 2015).
- Bila HBA1C sejak awal ≥ 9%
Maka bisa langsung diberikan kombinasi 2 macam obat seperti tersebut
diatas, Bila dengan 2 macam obat tidak mencapai target kendali, maka
diberikan kombinasi 3 macam obat dengan pilihan sebagai berikut, Bila

16
dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target maka
langkah berikutnya adalah pengobatan insulin basal plus/bolus atau premix
(Soelistijo, Novida, & Rudijanto, 2015):

- Bila penderita datang dengan keadaan awal HBA1C ≥10% atau glukosa
darah sewaktu ≥300 mg/dl dengan gejala metabolik, maka pengobatan
langsung dengan
a. Metformin+ insulin basal ± Insulin prandial atau
b. Metformin + insulin basal + GLP-1RA
Indikasi Obat Hipoglikemik Oral
- Diabetes melitus tipe 2
- Usia >40 tahun
- Berat badan normal/gemuk
- Menderita DM <5tahun
- Belum pernah mendapat insulin atau pernah tapi <40IU
Indikasi terapi insulin
- Gagal mencapai target dengan penggunaan kombinasi OHO dosis optimal
(3-6bulan).

17
- Diabetes tipe 2 rawat jalan dengan:
o Kehamilan
o Infeksi Paru(tuberkulosis)
o Kaki Diabetik terinfeksi
o Fluktuasi glukosadarah yang tinggi (brittle)
o Riwayat pankreotomi
- Penyakit Hati kronik
- Gangguan fungsi ginjal
- Terapi steroid dosis tinggi
J. Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut
dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu (Soelistijo, Novida, & Rudijanto, 2015) :
a. Komplikasi akut
- Hipoglikemia
- Ketoasidosis Diabetik
- Hiperglikemik Hiperosmolar non ketotik
- Asidosis laktat
- Infeksi berat (Soelistijo, Novida, & Rudijanto, 2015).
b. Komplikasi Kronik
Makrovaskular
- Penyakit jantung koroner
- Penyakit Pembuluh darah perifer
- Stroke (Soelistijo, Novida, & Rudijanto, 2015).
Mikrovaskular
- Retinopati
- Nefropati
- Neuropati (Purnamasari, 2009).
K. Prognosis
Prognosis untuk seseorang dengan diabetes sepenuhnya tergantung
pada dedikasi mereka dalam mengelola penyakit. Mereka yang mengelola

18
penyakit ini dapat berharap untuk hidup lama. Mereka yang tidak mengelola
penyakit mereka dengan obat yang benar atau perubahan gaya hidup menderita
berbagai penyakit dan risiko incuding gagal ginjal, penyakit jantung dan
kematian (Purnamasari, 2009).

II. Diabetes Melitus


A. Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik
yang ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi
insulin, defek kerja insulin, atau keduanya. Pada penyandang DM dapat terjadi
komplikasi pada semua tingkat sel dan semua tingkatan anatomik. Manifestasi
komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat mikrovaskular (retinopati diabetik,
nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan kardiomiopati) maupun
makrovaskular (stroke, penyakit jantung koroner, peripheral vascular disease).
Komplikasi lain dari DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi
akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru, dan infeksi
kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren diabetic
(Waspadji, 2007).
Kaki diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki yang
disebabkan oleh diabetes mellitus. Faktor utama yang mempengaruhi
terbentuknya kaki diabetik merupakan kombinasi neuropati otonom dan
neuropati somatik, insufisiensi vaskuler, serta infeksi. Penderita kaki diabetik
yang masuk rumah sakit umumnya disebabkan oleh trauma kecil yang tidak
dirasakan oleh penderita (Soetjahjo, 1998).

B. Epidemiologi
Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling
ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetik sering mengecewakan, baik bagi
dokter pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Seringkali kaki
diabetik berakhir dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia
kaki diabetik masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan
maksimal, karena selain kurangnya minat untuk mendalami masalah kaki

19
diabetik, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetik juga masih sangat
menyolok. Sebagai tambahan, masalah biaya pengobatan yang besar yang tidak
terjangkau oleh masyarakat pada umumnya juga menambah peliknya masalah
kaki diabetik (Waspadji, 2007).
Di RSUPN dr. CiptoMangunkusumo, masalah kaki diabetik masih
merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu
menyangkut kaki diabetik. Angka kematian dan angka amputasi masih sangat
besar, masing-masing 16% dan 25% (data RSUPNCM tahun 2003). Nasib para
penyandang DM pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan
meninggal dalam setahun pasca amputasi, dan sebanyak 37% akan meninggal
3 tahun pasca amputasi (Waspadji, 2007).

C. Etiologi
Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik.
Secara umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi (Soetjahjo, 1998):
a. Faktor predisposisi
Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti
kelainan makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok, dan
neuropati otonom.Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma
seperti neuropati motorik, neuropati sensorik, limited joint mobility, dan
komplikasi DM yang lain (seperti mata kabur).
b. Faktor presipitasi
 Perlukaan di kulit (jamur).
 Trauma.
 Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
c. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
 Derajat luka.
 Perawatan luka.
 Pengendalian kadar gula darah.

20
D. Patofisiologi
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada
penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada
pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan
autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang
kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak
kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan
terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang
luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah
rumitnya pengelolaan kaki diabetik (Waspadji, 2007).
1. Vaskulopati
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi DM terjadi ketidakrataan
permukaan lapisan dalam arteri sehingga aliran lamelar berubah menjadi
turbulen yang berakibat pada mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium
lanjut seluruh lumen arteri akan tersumbat dan manakala aliran kolateral
tidak cukup, akan terjadi iskemia dan bahkan gangren yang luas
(Soetjahjo, 1998).
Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara
lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer yang
terutama sering terjadi pada tungkai bawah. Pada penderita muda,
pembuluh darah yang paling awal mengalami angiopati adalah arteri
tibialis. Kelainan arteri akibat diabetes juga sering mengenai bagian distal
dari arteri femoralis profunda, arteri poplitea, arteri tibialis dan arteri
digitalis pedis. Akibatnya perfusi jaringan distal dari tungkai menjadi
kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi
nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan
amputasi (Soetjahjo, 1998).
Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit, penebalan
membrana basalis serta penurunan produksi prostasiklin (vasodilator dan
anti platelet aggregating agent) akan memacu terbentuknya
mikrotrombus dan penyumbatan mikrovaskuler. Peristiwa ini

21
mengakibatkan timbulnya iskemia organ dan/atau jaringan yang
bersangkutan, termasuk serabut saraf perifernya (Soetjahjo, 1998).
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan vaskulopati berupa
disfungsi endotel melalui berbagai mekanisme antara lain (Shahab, 2007):
 Hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari
protein dan makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan
perubahan sifat antigenik dari protein dan DNA. Keadaan ini akan
menyebabkan perubahan tekanan intravaskular akibat gangguan
keseimbangan NO dan prostaglandin.
 Hiperglikemia meningkatkan aktivasi PKC intraselular sehingga akan
menyebabkan gangguan NADPH pool yang akan menghambat
produksi NO.
 Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel endotel dan
otot polos pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.
 Hiperglikemia akan meningkatkan sintesis diacylglycerol (DAG)
melalui jalur glikolitik. Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan
aktivitas PKC. Baik DAG maupun PKC berperan dalam memodulasi
terjadinya vasokonstriksi.
 Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan
hiperglikemia akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres
oksidatif dan peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense
LDL-cholesterol (oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Di
samping itu peningkatan kadar asam lemak bebas dan keadaan
hiperglikemia dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid dan protein.
 Hiperglikemia akan disertai dengan tendensi protrombotik dan
agregasi platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor
antara lain penurunan produksi NO dan penurunan aktivitas
fibrinolitik akibat peningkatan kadar PAI-1. Di samping itu, pada DM
tipe 2 terjadi peningkatan aktivitas koagulasi akibat pengaruh
berbagai faktor seperti pembentukan advanced glycosylation end
products (AGEs) dan penurunan sintesis heparin sulfat.

22
 Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi
dengan disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang
dapat menyebabkan stimulasi yang berlebihan dari sel-sel endotel
sehingga akan terjadi disfungsi endotel.
Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang berlangsung
secara kronik hingga menimbulkan gejala klinik yang menurut Fontaine
dibagi menjadi stadium sebagai berikut: I. rasa kram/kebal, II. claudicatio
intermitten, III. resting pain, IV. iskemia/infark dan/atau gangren
(Soetjahjo, 1998).

2. Neuropati
Gangguan mikrosirkulasi dan neuropati punya hubungan yang erat
dengan patogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik pada fase awal
menyerang saraf halus terutama di ujung-ujung kaki. Hal ini disebut sebagai
fenomena dying back, di mana ada teori yang menyatakan bahwa semakin
panjang saraf maka semakin rentan untuk diserang. Jadi dibandingkan
dengan ekstremitas atas, ternyata ekstremitas bawah yang lebih dulu terkena
(Soetjahjo, 1998).
Gangguan mikrosirkulasi selain menurunkan aliran darah dan
hantaran oksigen pada serabut saraf (keadaan ini bersama dengan proses
jalur sorbitol dan mekanisme lain akan mengakibatkan neuropati) juga akan
menurunkan aliran darah ke perifer sehingga aliran tidak cukup dan
menyebabkan iskemia dan bahkan gangren (Soetjahjo, 1998).
Neuropati diabetik disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa
 sorbitol  fruktosa) akibat kekurangan insulin. Pada jaringan saraf,
terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol
yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf
akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan
hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap
dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia,
berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan gangguan motorik yang
disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot, dan atrofi.

23
Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer (mononeuropati dan
polineuropati), saraf-saraf kranial, atau sistem saraf otonom. Terserangnya
sistem saraf otonom dapat disertai diare nokturnal, keterlambatan
pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural, dan
impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark
miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons
katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksi-reaksi
hipoglikemia (Schteingart, 2006).
a) Neuropati motorik
Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atrofi otot-otot
intrinsik yang menimbulkan kelemahan pada kaki dan keterbatasan
gerak sendi akibat akumulasi kolagen di bawah dermis hingga terjadi
kekakuan periartikuler. Deformitas akibat atrofi otot dan keterbatasan
gerak sendi menyebabkan perubahan keseimbangan pada sendi kaki,
perubahan cara berjalan, dan menimbulkan titik tumpu baru pada
telapak kaki serta berakibat pada mudahnya terbentuk kalus yang tebal
(claw foot). Seiring dengan berlanjutnya trauma, di bagian dalam kalus
tersebut mudah terjadi infeksi yang kemudian berubah jadi ulkus dan
akhirnya gangrene (Soetjahjo, 1998).
Charcot foot merupakan deformitas kaki diabetik akibat
neuropati yang klasik dengan 4 tahap perkembangan (Soetjahjo, 1998):
(1) Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan
bengkak.
(2) Terjadi disolusi, fragmentasi, dan fraktur pada persendian
tarsometatarsal.
(3) Terjadi fraktur dan kolaps persendian.
(4) Timbul ulserasi plantaris pedis.

b) Neuropati sensorik
Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita kehilangan
daya kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsangan dari luar. Nilai

24
ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi saraf
sensoris kaki. Pada keadaan normal sensasi yang diterima
menimbulkan refleks untuk meningkatkan reaksi pertahanan dan
menghindarkan diri dari rangsangan yang menyakitkan dengan cara
mengubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih
besar. Sebagian impuls akan diteruskan ke otak dan di sini sinyal diolah
kemudian respon dikirim melalui saraf motorik (Soetjahjo, 1998).
Pada penderita DM yang telah mengalami neuropati perifer
saraf sensorik (karena gangguan pengantaran impuls), pasien tidak
merasakan dan tidak menyadari adanya trauma kecil namun sering.
Pasien tidak merasakan adanya tekanan yang besar pada telapak kaki.
Semuanya baru diketahui setelah timbul infeksi, nekrosis, atau ulkus
yang sudah tahap lanjut dan dapat membahayakan keselamatan pasien
(Soetjahjo, 1998).
Berbagai macam mekanisme terjadinya luka dapat terjadi pada
pasien DM, seperti (Soetjahjo, 1998):
(1) Tekanan rendah tetapi terus menerus dan berkelanjutan (luka pada
tumit karena lama berbaring, dekubitus).
(2) Tekanan tinggi dalam waktu pendek (luka, tertusuk jarum/paku).
(3) Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas pada kaki).
c) Neuropati otonom
Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang berperan
terutama adalah akibat kerusakan saraf simpatik. Gangguan saraf
otonom ini mengakibatkan perubahan aliran darah, produksi keringat
berkurang atau tidak ada, hilangnya tonus vasomotor, dan lain-lain
(Soetjahjo, 1998).
Neuropati otonom mengakibatkan produksi keringat berkurang
terutama pada tungkai yang menyebabkan kulit penderita mengalami
dehidrasi, kering, dan pecah-pecah sehingga memudahkan infeksi lalu
selanjutnya timbul selulitis, ulkus, maupun gangren. Selain itu
neuropati otonom juga menyebabkan terjadinya pintas arteriovenosa

25
sehingga terjadi penurunan nutrisi jaringan yang berakibat pada
perubahan komposisi, fungsi, dan sifat viskoelastisitas sehingga daya
tahan jaringan lunak dari kaki akan menurun dengan akibat mudah
terjadi ulkus (Soetjahjo, 1998).
3. Fokus infeksi
Infeksi dimulai dari kulit kaki dan dengan cepat menyebar melalui
jalur muskulofasial. Selanjutnya infeksi menyerang kapsul/sarung tendon
dan otot, baik pada kaki maupun pada tungkai hingga terjadi selulitis. Kaki
diabetik klasik biasanya timbul di atas kaput metatarsal pada sisi plantar
pedis. Sebelumnya, di atas lokasi tersebut terdapat kalus yang tebal dan
kemudian menyebar lebih dalam dan dapat mengenai tulang. Akibatnya
terjadi osteomielitis sekunder. Sedangkan kuman penyebab infeksi pada
penderita diabetes biasanya multibakterial yaitu gram negatif, gram positif,
dan anaerob yang bekerja secara sinergi (Soetjahjo, 1998).
Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta mudah
terbentuk gangren yang selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki. Di
samping itu, 50% dari kasus ulkus/gangren diabetes akan mengalami infeksi
akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya
bakteri pathogen (Soetjahjo, 1998).
Jika kadar gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan jadi lebih
serius. Hal ini disebabkan karena pada infeksi akan disekresi hormon kontra
insulin (seperti katekolamin, kortisol, homon pertumbuhan, dan glukagon)
yang menyebabkan meningkatnya kadar gula darah. Peningkatan kadar
gula darah juga menyebabkan gagalnya fungsi neutrofil dan gangguan
sistem imunologi. Sebagaimana diketahui, dalam melaksanakan fagositosis
sel PMN membutuhkan energi dari glukosa eksogen untuk mempertahankan
aktivitasnya. Dengan bantuan insulin yang melekat erat pada sel PMN,
glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai sumber energi. Sumber energi ini
akan berkurang pada pasien diabetes yang mengalami kekurangan insulin
(Soetjahjo, 1998).

26
E. Klasifikasi
1. Klasifikasi Edmonds (King’s College Hospital, London, 2004-2005)
Stage 1: Normal Foot
Stage 2: High Risk Foot
Stage 3: Ulcerated Foot
Stage 4: Infected Foot
Stage 5: Necrotic Foot
Stage 6: Unsalvable Foot.

2. Klasifikasi Liverpool
Klasifikasi primer:
 Vaskular
 Neuropati
 Neuroiskemik
Klasifikasi sekunder:
 Tukak sederhana, tanpa komplikasi
 Tukak dengan komplikasi.

3. Klasifikasi Wagner
Wagner 0: Kulit intak/utuh
Wagner 1: Tukak superfisial
Wagner 2: Tukak dalam (sampai tendo, tulang)
Wagner 3: Tukak dalam dengan infeksi
Wagner 4: Tukak dengan gangren terlokalisasi pada 1-2 jari kaki
Wagner 5: Tukak dengan gangren luas seluruh kaki.

27
4. Klasifikasi Texas
Tingkat
Stadium
0 1 2 3
Luka
Tanpa tukak
superfisial, Luka sampai
atau pasca Luka sampai
A tidak sampai tendon atau
tukak, kulit tulang/sendi
tendon atau kapsul sendi
intak/utuh
kapsul sendi

B ----------------------------Dengan Infeksi----------------------------

C ---------------------------Dengan Iskemia---------------------------

D --------------------Dengan Infeksi dan Iskemia--------------------

5. Klasifikasi PEDIS (International Working Group of Diabetic Foot, 2003)


Impaired Perfusion 1 None
2 PAD + but not critical
3 Critical limb ischemia
Size/Extent in mm2
Tissue Loss/Depth 1 Superficial full thickness, not deeper than dermis
2 Deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous
structures, fascia, muscle, or tendon
3 All subsequent layers of the foot involved
including bone and or joint
Infection 1 No symptoms or signs of infection
2 Infection of skin and subcutaneous tissue only
3

28
Erythema > 2 cm or infection involving
subcutaneous structure(s).
4 No systemic sign(s) of inflammatory response
Infection with systemic manifestation:
Fever, leucocytosis, shift to the left
Metabolic instability
Hypotension, azotemia
Impaired Sensation 1 Absent
2 Present
F. Diagnosis
Diagnosis kaki diabetik dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang lainnya. Pada anamnesis, perlu
ditanyakan perjalanan timbulnya luka beserta perkembangannya, serta riwayat
penyakit diabetes mellitus. Selain itu perlu juga ditanyakan komplikasi-
komplikasi DM yang sudah dialami penderita, baik komplikasi mikrovaskular
maupun makrovaskular (Rowe, 2011).
Gejala klinis akibat neuropati perfier
Gejala-gejala yang diakibatkan oleh adanya neuropati perifer antara
lain (Rowe, 2011):
1. Hypesthesia
2. Hyperesthesia
3. Paraesthesia
4. Dysesthesia
5. Radicular pain
6. Anhydrosis
Gejala akibat insufisiensi arteri perifer
Gejala yang biasa dirasakan oleh pasien antara lain, nyeri iskemik pada
saat istirahat, ulkus yang tidak sembuh. Rasa kram arau kelelahan pada otot-
otot besar pada salah satu atau kedua ekstremitas bawah yang timbul pada saat
berjalan dalam jarak tertentu, yang mengindikasikan adanya klaudikasio
intermitten. Gejala ini bertambah pada saat beraktivitas dan membaik dengan

29
istirahat selama beberapa menit. Onset dari klaudikasio dapat terjadi lebih dini
apabila pasien sering berjalan cepat atau menaiki tangga. Rasa tidak nyaman,
kram atau kelemahan pada betis atau kaki sering terjadi pada penderita kaki
diabetis, karena cenderung terjadi oklusi aterosklerosis tibioperoneal. Atrofi
otot-otot betis mungkin juga terjadi. Gejala-gejala yang timbul pada paha,
mengindikasikan adanya oklusi aorta iliaca (Rowe, 2011).
Nyeri pada saat beristirahat jarang terjadi pada penderita diabetes. Pada
beberapa kasus, fissure, ulkus atau kulit pecah-pecah merupakan tanda awal
telah terjadinya penurunan perfusi. Ketika penderita diabetes dating dengan
Ulkus hal tersebut sering merupakan akibat dari infeksi (Rowe, 2011).
Pada pemeriksaan fisis, dapat dilakukan penilaian klasifikasi kaki
diabetik serta tes sensitivitas kaki. Pemeriksaan pulsasi arteri dorsum pedis,
arteri tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis dilakukan untuk
menentukan prognosis dan pilihan terapi yang akan diberikan. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan darah rutin (tanda-
tanda infeksi), pemeriksaan kadar GDP, GD2PP, TTGO, serta HbA1c, kimia
darah, urinalisis, foto thoraks, serta foto pedis. Dengan demikian, dapat
diperoleh gambaran perjalanan penyakit DM yang dialami penderita, yang
selanjutnya akan membantu dalam menentukan penatalaksanaan kaki diabetik
(Rowe, 2011).
G. Penatalaksanaan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik
dan terjadinya ulkus, bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan pada
kulit. Pencegahan primer ini juga merupakan suatu upaya edukasi kepada
para penyandang DM baik yang belum terkena kaki diabetik, maupun
penderita kaki diabetik untuk mencegah timbulnya luka lain pada kulit.
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkan risiko
terjadinya dan risiko besarnya masalah yang mungkin timbul.
Penggolongan kaki diabetik berdasarkan risiko terjadinya masalah
(Frykberg) yaitu (Waspadji, 2007):

30
1) Sensasi normal tanpa deformitas
2) Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3) Insensitivitas tanpa deformitas
4) Iskemia tanpa deformitas
5) Kombinasi/complicated
a) Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan/atau deformitas
b) Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan
terjadinya tukak, disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha
pencegahan dilakukan sesuai dengan tingkat besarnya risiko tersebut.
Dengan memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya
ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah (Waspadji, 2007).
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Untuk
kaki yang insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi
kaki yang insensitif tersebut. Jika sudah ada deformitas, perlu perhatian
khusus mengenai alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran
tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan permasalahan vaskular, latihan kaki
perlu diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk
ulkus yang complicated, akan dibahas lebih lanjut pada upaya pencegahan
sekunder (Waspadji, 2007).
2. Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner sangat
diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh
hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan
semuanya harus dikelola bersama.
1. Mechanical control (pressure control)
Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-
bearing area pada plantar pedis. Daerah-daerah yang mendapat tekanan
lebih besar tersebut akan rentan terhadap timbulnya luka. Berbagai cara
untuk mencapai keadaan weight-bearing dapat dilakukan antara lain
dengan removable cast walker, total contant casting, temporary shoes,

31
felt padding, crutches, wheelchair, electric carts, maupun cradled
insoles (Waspadji, 2007).
Berbagai cara surgikal juga dapat dipakai untuk mengurangi
tekanan pada luka, seperti dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses
dan prosedur koreksi bedah (misalnya operasi untuk hammer toe,
metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening, dan partial
calcanectomy) (Waspadji, 2007).

2. Wound control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal
yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus
dikerjakan secermat mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan
setelah debridement yang adekuat. Debridement yang baik dan adekuat
akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus
dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan sangat mengurangi produksi
cairan/pus dari ulkus/gangren (Waspadji, 2007).
Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi
mikroba pada luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau
iodine encer, senyawa perak sebagai bagian dari dressing, dll. Demikian
pula berbagai cara debridement non surgikal dapat dimanfaatkan untuk
mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti preparat
enzim (Waspadji, 2007).
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka
tidak akan beranjak pada proses selanjutnya, yaitu proses granulasi dan
epitelisasi. Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka,
dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat
ini umum dipakai di berbagai tempat perawatan kaki diabetik
(Waspadji, 2007).

32
3. Microbiological control (infection control)
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala
untuk setiap daerah yang berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus
selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya.
Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial,
campuran Gram positif dan Gram negatif serta kuman anaerob untuk
luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian
antibiotik harus diberikan antibiotik spektrum luas, mencakup kuman
Gram positif dan negatif (misalnya golongan sefalosporin),
dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman anaerob
(misalnya metronidazol) (Waspadji, 2007).

4. Vascular control
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat
kesembuhan luka. Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat
dikerjakan sesuai keadaan dan kondisi pasien. Umumnya kelainan
pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara sederhana
seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri
tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis, serta pengukuran
tekanan darah. Di samping itu, saat ini juga tersedia berbagai fasilitas
mutakhir untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara
noninvasif maupun invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle
brachial index, ankle pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan
echo Doppler serta arteriografi (Waspadji, 2007).
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat
dilakukan pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari
sudut vaskular, yaitu berupa (Waspadji, 2007):
Modifikasi Faktor Risiko
 Stop merokok
 Memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis (hiperglikemia,
hipertensi, dislipidemia)

33
Terapi Farmakologis
Jika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan
pada kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak),
mungkin obat seperti aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan
bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki
penyandang DM; tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup
kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna
memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang
DM (Waspadji, 2007).
Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada
klaudikasio intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat
dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi, diperlukan pemeriksaan
angiografi untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih
jelas (Waspadji, 2007).
Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas
terbuka. Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur
endovaskular (PTCA). Pada keadaan sumbatan akut dapat pula
dilakukan tromboarterektomi (Waspadji, 2007).
Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah
distal dapat diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan
lebih baik, sehingga kesembuhan luka tinggal bergantung pada
berbagai faktor lain yang turut berperan (Waspadji, 2007).
Selain itu, terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk
memperbaiki vaskularisasi dan oksigenasi jaringan luka pada kaki
diabetik sebagai terapi adjuvant. Walaupun demikian, masih banyak
kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada
pengelolaan umum kaki diabetik (Waspadji, 2007).

5. Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar
glukosa darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk

34
memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat
menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin untuk
menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan
diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu kesembuhan luka.
Berbagai hal lain juga harus diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar
albumin serum, kadar Hb dan derajat oksigenasi jaringan serta fungsi
ginjal (Waspadji, 2007).

6. Educational control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki
diabetik. Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan
ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya diharapkan akan dapat
membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk
kesembuhan luka yang optimal (Waspadji, 2007).

H. Prognosis
Ada tiga faktor yang berperan pada penyembuhan luka dan infeksi pada
kaki diabetik. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan
perfusi jaringan kaki kurang baik hingga mekanisme radang menjadi tidak
efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk
perkembangan bakteri patogen; dan faktor ketiga ialah karena adanya pintas
arteriovenosa di subkutis yang terbuka hingga aliran nutrien tidak sampai ke
tempat infeksi (Soetjahjo, 1998).
Selain ketiga faktor di atas, masih banyak faktor lain yang ikut
berpengaruh dalam terbentuknya kaki diabetik. Waspadji menyatakan bahwa
faktor pendidikan, sosioekonomi, dan gizi juga punya andil cukup besar.
Pendidikan dan sosioekonomi yang rendah terkait dengan pengetahuan yang
kurang mengenai diabetes mellitus dan pencegahan komplikasinya serta
kemampuan finansial akan mempengaruhi pengelolaan diabetes mellitus yang
dideritanya. Status gizi yang rendah memiliki keterkaitan dengan rendahnya
respon imun sehingga mempermudah terjadinya infeksi (Soetjahjo, 1998).

35
Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemantauan
penyakit diabetes mellitus secara berkepanjangan antara lain (Fauci, 2009):
 Pemantauan kadar glukosa darah secara berfrekuensi (sebaiknya dapat
dilakukan oleh pasien secara mandiri)
 Pemeriksaan kadar HbA1c (2-4 kali/tahun)
 Edukasi pasien mengenai manajemen diabetes mellitus (setiap tahun)
 Edukasi dan terapi gizi medis (setiap tahun)
 Pemeriksaan mata (setiap tahun)
 Pemeriksaan kaki (1-2 kali/tahun di dokter, dan setiap hari oleh pasien
sendiri)
 Tes saring untuk nefropati diabetik (urinalisis – setiap tahun)
 Pengukuran tekanan darah (setiap tiga bulan)
 Pemeriksaan profil lipid dan kreatinin serum (setiap tahun)
 Imunisasi influenza/pneumococcus
 Pertimbangkan terapi antiplatelet.

36
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan luka pada telapak dan punggung kaki. 7 hari
sebelum masuk rumah sakit, kaki pasien menginjak paku ketika sedang
membersihkan kandang kambing. Luka yang disebabkan paku tersebut tidak
kunjung kambuh dan luka mulai membengkak dan bertambah nyeri. Pasien sempat
berobat ke tempat dokter praktik swasta namun lukanya tidak membaik. Kaki
pasien yang terluka semakin bertambah bengkak dan kemerahan dan pada bagian
punggung kaki terdaoat nanah yang tidak dapat dikeluarkan. Berdasarkan
pengakuan pasien, didapatakan informasi bahwa pasien menderita penyakit
diabetes mellitus sejak satu tahun yang lalu namun di keluarga pasien diketahui
tidak ada yang menderita diabetes mellitus.
Pada pemeriksaan fisik, status lokalis secara inspeksi didapatkan bahwa
terdapat terdapat dua buah luka terbuka di kaki kanan, luka pertama pada telapak
kaki dibawah ibu jari dengan panjang 5 cm dan lebar 3 cm. Terdapat jari nekrose
berwarna kehitaman pada luka yang mengenai lapisan dermis, epidermis, dan
mencapai tendo kaki. Luka bernanah. Luka kedua pada punggung kaki kanan
berbentuk bulat dengan diameter 6 cm , luka mengenai epidermis dan dermis. Luka
bernanah pada bagian kaki kanan pasien yang luka membengkak dan kemerahan.
Pada perabaan, kaki kanan pasien teraba lebih hangat dibandingkan dengan kaki
kiri pasien dan pulsasi arteri dorsalis pedis pada kaki kanan melemah. Berdasarkan
klasifikasi wagner, pasien mengalami ulkus diabetetikum wagner 3 karena pada
kaki kanan pasien terdapat luka yang dalam dan sudah mengalami infeksi dimana
pada luka pasien sudah terdapat pus.
Pada pemeriksaan labotatorium, diketahui bahwa kadar glukosa darah
sewaktu lebih dari batas normal yaitu sebesar 370. Kadar leukosit juga meningkat
dari normal yaitu sebesar 20.500 yang menandakan bahwa sudah terjadi proses
infeksi.

37
Pada kondisi hiperglikemi terjadi kelianan pada neuropati baik sensorik,
motorik maupun autonomik dan vaskularisasi juga terganggu. Kelainan neuropati
menyebabkan perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan
terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan
mempermudah terjadinya ulkus. Selain itu, pasien dengan diabetes melitus lebih
rentan terhadap infeksi.
Berdasarkan pencegahan sekunder, penatalaksanaan yang diberikan kepada
pasien meliputi:
1. Mechanical control
Pada saat pasien berbaring ditempat tidur, posisi kaki pasien diposisikan agak
diangkat sedikit dengan memberikan ganjalan menggunakan bantal untuk
mengurangi tekanan pada kaki pasien.
2. Metabolic control
Pasien diberikan insulin Novorapid untuk mengontrol kada glukosa dalam
darah pasien.
3. Microorganism control
Pasien diberikan antibiotik Ceftriaxone 1 g/12 jam untuk mengatasi infeksi
yang sudah terjadi yang disebabkan bakteri gram positif dan negatif karena
tidak dilakukan pemeriksaan kultur untuk mendeteksi bakteri yang
menyebabkan infeksi. Selain itu, pasien juga diberikan metronidazole 500 mg
untuk mengatasi bakteri anaerob.
4. Wound control
Debridemen dilakukan untuk mengurangi produksi pus dan membuang
jaringan yang sudah mati sehingga infeksi luka tidak menyebar ke jaringan
yang masih hidup.
5. Education control
Pasien diberikan anjuran untuk mengurangi konsumsi makanan yang
mengandung banyak gula, menggunakan alas kaki yang bersol empuk dan
halus dan menggunakan kaos kaki untuk melindungi kaki pasien dari luka.

38
BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,


diketahui bahwa pasien menderita diabetes melitus selama 1 tahun dan 1 minggu
sebelum pasien masuk ke rumah sakit, pasien mendapatkan luka pada kaki karena
menginjak paku dimana luka tersebut tidak sembuh-sembuh. Pada saat dilakukan
pemeriksaan secara inspeksi didapatkan bahwa luka pasien sudah mengalami
nekrosis dan terdapat pus sehingga pasien didiagnosis dengan ulkus diabetikum
grade 4 berdasarkan klasifikasi wagner, karena terdapat tukak dalam dengan
gangren pada 1-2 jari kaki. Penatalaksanaan yang diberikan pasien berupa
pemberian insulin, antibiotik ceftriazon, metronidazole, pemberian infus NaCl
0,9%, dan melakukan debridemen.

39
DAFTAR PUSTAKA

Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al. Harrison’s Manual of Medicine 17th
Edition. New York: McGraw-Hill, 2009: h. 942-7.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Dalam: IPD’s CIM: Compendium of
Indonesian Medicine, 1st Edition. Jakarta: IDI, 2009: 13-40.
Rowe, W.L. Diabetic ulcers [online].2011, April 01[citied on 2011, April 24].
Available from : http://emedicine.medscape.com/.
Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus. Dalam:
Price SA & Wilson LM (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC, 2006: h. 1259-74.
Shahab A. Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007: h. 1894-7.
Soetjahjo A. Peranan Neuropati Diabetik. Dalam: Majalah Kedokteran Andalas
Vol. 22 No. 1. Juni 1998, h. 2-10.
Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al (eds).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007: h.
1911-4.

40

Anda mungkin juga menyukai