Anda di halaman 1dari 23

REFERAT BEDAH SARAF

SRYNGOMYELIA

Oleh:
Ajeng Oktavia Griselda G99162110
Widati Hikmatul Fitri G99162117
Nadya Prita Maharani G99171032
Lastry Wardani G99172101

Periode : 9 April – 13 April 2018

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Syringomelia adalah kelainan dimana terbentuknya kista di dalam korda


spinalis. Kista ini disebut syrinx, membesar dan memanjang seiring berjalannya
waktu, merusak bagian korda spinalis dari pusat dan meluas ke luar. Ketika syrinx
membesar dan mulai mempengaruhi saraf yang membawa informasi dari otak ke
ekstremitas, kerusakan ini menyebabkan nyeri, kelemahan, dan kekakuan di
punggung, pundak, lengan, dan kaki. Gejala lain bisa meliputi sakit kepala dan
kehilangan sensorik panas atau dingin, terutama di tangan. Setiap pasien
mengalami kombinasi gejala yang berbeda tergantung dimana syring terbentuk di
korda spinalis dan sebesar apa perluasannya.

Banyak gejala penyakit lain yang mirip dengan gejala awal syringomelia.
Sebelumnya, diagnosis syringomelia sangat sulit ditegakkan. Namun dengan
adanya magnetic resonance imaging (MRI), diagnosis awal syringomelia mulai
meningkat.

Sekitar 40.000 orang di United States mengalami syringomelia, dengan


gejala awal muncul pada usia muda. Tanda dari kelainan ini berkembang
perlahan, meskipun gejala bisa muncul cepat ketika batuk atau mengejan. Jika
tidak diterapi dengan pembedahan, syringomelia sering menyebabkan
kelumpuhan yang progresif di lengan dan kaki, kehilangan sensasi di tangan,
kehilangan fungsi saluran kemih, dan nyeri berat yang kronis (US DEpartement of
Health and Human Resources Services, 2005).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
Panjang medulla spinalis antara 40-45 sentimeter dan beratnya 34-38
gram. Medulla spinalis dimulai dari atas, pada perbatasannya dengan
medulla oblongata, yaitu pada dekusasio piramidum, dan berakhir setinggi
vertebra lumbalis I. Bentuknya silindrik dan terletak di dalam kanalis
vertebralis. Baik panjang maupun diameternya tidak mengisi penuh seluruh
kanalis vertebralis ini. Panjang kanalis vertebralis antara 61-71 sentimeter
(Subagjo et al., 2002).

Gambar 1. Anatomi Tulang Belakang (Moore & Dalley, 2006)

Medulla spinalis dapat dibagi menjadi bagian-bagian sebagai berikut:


1. Pars cervicalis:
Mengeluarkan 8 pasang nervi (spinales) cervicales.
2. Pars thoracica:
Mengeluarkan 12 pasang nervi (spinales) thoracales.

3
3. Pars lumbalis:
Mengeluarkan:
- 5 pasang nervi (spinales) lumbales.
- 5 pasang nervi (spinales) sacrales.
- 1 pasang nervus (spinalis) coccygeus.

Gambar 2. Segmen Vertebra dan Columna Vertebralis

Di daerah cervical, antara n. cervicalis V sampai dengan n.


thoracicus I, sebagian dari medulla spinalis membesar, dan disebut
intumescentia cervicalis. Pada pars lumbalis, antara n. lumbalis I sampai
dengan n. sacralis II, terdapat juga suatu pelebaran daripada medulla
spinalis yang disebut intumescentia lumbosacralis (Subagjo et al., 2002).
Ujung akhir medulla spinalis berbentuk kerucut, dan disebut conus
medullaris, yang letaknya setinggi vertebra lumbalis I. Ujung conus
medullaris ini melanjutkan diri sebagai filum terminale yang terbentuk dari
jaringan ikat fibrilar. Filum terminale bukan merupakan ujung akhir medulla
spinalis; ujung akhir medulla spinalis dibentuk oleh conus medullaris. Filum

4
terminale dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (Subagjo et al.,
2002):

1. Filum terminale internum (pialis), yang masih terletak di dalam saccus


duralis, setinggi vertebra lumbalis V dan vertebra sacralis I, dan kemudian
menembus saccus duralis keluar menjadi:
2. Filum terminale externum (durale), yang meneruskan diri ke dalam canalis
sacralis, dan akhirnya melekat pada periosteum os coccygeus.

Pada permukaan medulla spinalis terdapat beberapa celah


memanjang, yaitu:
1. Di sebelah ventral, di tengah-tengah terdapat fissura mediana ventralis
(anterior) (agak lebar), dan disebelah lateralnya terdapat sulcus ventro
(antero)-lateralis, dari mana keluar radix ventralis (anterior).
2. Di sebelah dorsal terdapat sulcus medianus dorsalis (posterior), yang bila
diteruskan ke dalam menjadi septum medianum dorsale posterius.
Lateral dari sulcus medianus dorsalis terdapat sulcus dorso (postero)
lateralis, tempat keluarnya radix dorsalis (posterior). Pada pars cervicalis
medullae spinalis, antara sulcus medianus dorsalis dan sulcus dorsolateralis
terdapat sulcus intermedius dorsalis posterior (Subagjo et al., 2002).
Radices nervi sacralis yang keluar dari conus medullaris, secara
berjejeran mengelilingi filum terminale, memberi kesan bentuk ekor kuda,
sehingga disebut sebagai cauda equina (Subagjo et al., 2002; Islam, 1995).
Medulla spinalis terdiri dari dua bagian, yaitu:
1. Substantia alba
Berwarna putih, terletak di bagian luar medulla spinalis, dan
merupakan kumpulan-kumpulan jurai serabut memanjang yang
berselubungkan bahan myelin, yang menjadikan warna substantia alba
menjadi putih mengkilat karena mengandung lemak.
2. Substantia grisea
Terdapat di bagian dalam medulla spinalis dan pada penampang
transversal berbentuk seperti huruf H. Bagian ini terdiri dari jurai-jurai

5
serabut halus yang tidak berselubungkan myelin dan sel-sel neuron
medulla spinalis, sehingga berwarna abu-abu (Subagjo et al., 2002;
Gondim, 2007).
Perbandingan banyaknya substantia alba dan substantia grisea pada
suatu penampang transversal medulla spinalis dapat dipakai untuk
menentukan setinggi berapa irisan itu dibuatnya. Pada umumnya, makin
ke arah cervical, makin banyak terdapat jurai-jurai serabut memanjang,
sehingga makin banyak substantia albanya. Sebaliknya, makin ke kaudal,
makin sedikit jurai-jurai serabut memanjangnya, sehingga akan tampak
lebih banyak substantia grisea (Gondim, 2007).
Substantia alba medullae spinalis dibagi menjadi tiga pasang
kelompok, yaitu (Subagjo et al., 2002; Gondim, 2007):
1. Dorsalis (posterior)
Letaknya antara sulcus medianus dorsalis dan sulcus dorsolateralis. Oleh
sulcus intermedius dorsalis, bagian dorsalis posterior dibagi lagi menjadi
fasciculus dorsalis medialis, yang disebut juga fasciculus gracilis dari Goll,
dan di sebelah lateralnya terdapat fasciculus dorsalis lateralis yang
dinamakan juga fasciculus cuneatus dari Burdach.
2. Funiculus lateralis
Terletak antara sulcus dorso-lateralis dan sulcus ventro-lateralis.
3. Ventralis (anterior)
Terletak antara sulcus ventro-lateralis dan fissura mediana ventralis
(anterior).
Masih ada sebagian dari substantia alba yang warnanya tampak lebih
pucat daripada substantia alba disekitarnya, yaitu yang disebut fasciculus
dorso-lateralis dari Lissauer (zona terminalis), yang letaknya pada apex
columnae dorsalis (posterioris) substantiae griseae (Subagjo et al., 2002;
Gondim, 2007)
Pada medulla oblongata, antara fissura mediana ventralis (anterior)
dan sulcus ventro (antero) lateralis, terdapat sebuah tonjolan yang
ditimbulkan oleh adanya serabut-serabut tractus pyramidalis yang bersatu

6
menjadi suatu ikatan kompak yang disebut pyramis. Di sebelah lateral
pyramis terdapat tonjolan lain, yaitu oliva, disebabkan oleh adanya
nucleus olivaris caudalis (inferior). Fasciculus dorso-lateralis dari Lissauer
mengandung serabut-serabut yang sebagian berselubungkan myelin,
sebagian tidak, dan serabut-serabut yang naik (ascendens) dan yang turun
(descendens) (Subagjo et al., 2002; Gondim, 2007).
Substantia grisea medullae spinalis merupakan bagian sentral medulla
spinalis, dan terdiri dari columnae griseae, yang satu dengan lainnya
dihubungkan oleh commissura grisea. Di tengah-tengah commissura grissea ini
berjalan canalis centralis yang dikelilingi oleh substantia grisea centralis, yang
disebut juga substantia gelatinosa centralis (Subagjo et al., 2002).
Bagian commissura grisea di sebelah ventral dari canalis centralis
disebut commissura grisea ventralis (anterior), dan yang di sebelah
dorsalnya disebut commissura grisea dorsalis (posterior). Ventral dari
commissura grissea ventralis terdapat substantia alba yang disebut
commissura alba ventralis (anterior), yang terdiri dari serabut serabut yang
menyilang. Tiap-tiap columna grisea terdiri dari bagian ventral, disebut
columna ventralis (anterior) yang merupakan bagian terbesar, dan bagian
dorsal yang kecil disebut columna dorsalis (posterior) (Subagjo et al.,
2002).

Gambar 3. Ilustrasi Medulla Spinalis

7
Pada pars thoracica medullae spinalis, setinggi n. cervicalis VIII
sampai dengan n. lumbalis II-IV, substantia grisea yang terletak di antara
columna ventralis dan columna dorsalis mengeluarkan suatu tonjolan ke
lateral yang disebut columna lateralis. Di dalamnya terdapat nucleus
intermedio-lateralis yang merupakan pusat dari sistem sympathycus. Columna
dorsalis pada basisnya menyempit dan bagian ini disebut isthmus columnae
dorsalis. Di sebelah medial dari isthmus ini terdapat suatu penebalan substantia
grisea yang menonjol ke dalam funiculus posterior yang disebut columna
dorsalis dari Clarke; di dalamnya terdapat nucleus dorsalis dari Clarke. Di
sebelah dorsal dari isthmus columnae dorsalis, columna dorsalis tersebut
membesar dan disebut substantia gelatinosa dorsalis (posterior) atau substantia
gelatinosa Rolandi. Dari substantia gelatinosa Rolandi ke dorsal, columna
dorsalis menjadi ujung yang sempit yang disebut crista columnae dorsalis.
Di belakang ini terdapat zona marginalis dan zona terminalis (fasciculus
dorso-lateralis dari Lissauer) (Subagjo et al., 2002).
Columna dorsalis dapat juga dibagi menjadi bagian-bagian
a p e x , c a p ut , dan cervix (collum). Lateral dari cervix (collum) columnae
dorsalis terdapat suatu daerah yang terdiri dari campuran substantia alba
dan substantia grisea yang disebut formatio reticularis. Columna ventralis
substantiae griseae mengandung nuclei motorii (Subagjo et al., 2002).
Jurai-jurai serabut memanjang pada substantia alba medulla spinalis
dapat dibagi menjadi:
1. Tractus sensibilis:
Terdapat di dalam funiculus dorsalis (posterior) dan praktis terdiri dari
serabut-serabut ascendens.
2. Tractus motorius:
Terdapat di dalam funiculus lateralis dan funiculus ventralis (anterior) dan
praktis terdiri dari serabut-serabut descendens.
Jurai-jurai descendens terdiri dari:
1. Tractus cortico-spinalis lateralis (crossed pyramidal tract).
2. Tractus cortico-spinalis ventralis (anterior) (direct pyramidal tract).

8
3. Tractus vestibulo-spinalis: untuk mempertahankan tonus, sikap kepala
sikap tegak dari tubuh.
4 . Tractus reticulo-spinalis: untuk memperlancar atau menghambat gerakan,
untuk menaikkan atau menurunkan tonus otot.
5. Tractus tecto-spinalis: untuk refleks-refleks penglihatan dan pendengaran.
6. Tractus rubro-spinalis dart Monakov
7. Tractus olivo-spinalis: hanya terdapat pada pars cervicalis medullae
spinalis, fungsinya masih belum dimengerti dengan jelas.
Jurai-jurai ascendens terdiri dari (Subagjo et al., 2002; Snell, 2006):
1. Tractus spino-thalamicus lateralis: rasa nyeri, panas-dingin, tekanan berat,
kasar (protopatik).
2. Tractus spino-thalamicus ventralis (anterior): tekanan ringan, halus, dan
perabaan (epikritik).
3. Fasciculus gracilis dari Goll.
4. Fasciculus cuneatus dari Burdach.
(3) dan (4) ini untuk diskriminasi taktil (epikritik, light touch) dan untuk
stereognosi (melalui serabut-serabut proprioseptif dari otot, tendon, dan
persendian), perasaan getaran (vibrasi).
5. Tractus spino-cerebellaris dorsalis (posterior) dari Flechsig: proprioseptif.
6. Tractus spino-cerebellaris ventralis (anterior) dari Gowers: proprioseptif
dan rasa nyeri.
(5) dan (6) untuk pengaturan koordinasi dan keseimbangan.
7. Tractus spino-corticalis.
8. Tractus spino-vestibularis.
9. Tractus spino-reticularis.
10. Tractus spino-tectalis.
11. Tractus spino-pontinus.
12. Tractus spino-olivaris.
(7) sampai dengan (12) fungsinya masih belum jelas, mungkin untuk
koordinasi dan keseimbangan. Jurai-jurai ini tersebar di dalam funiculus
lateralis dan funiculus anterior.

9
B. DEFINISI
Syringomyelia adalah kelainan kronis, progresif, degeneratif pada
medulla spinalis yang berupa lubang/ kavitasi pada bagian tengah medulla
spinalis segmen servikal. Kelainan ini dapat meluas ke arah kaudal menuju
segmen torasik dan lumbar, atau ke arah rostral menuju batang otak
(syringobulbia). Kelainan ini menyebabkan gangguan-gangguan neurologis
secara progresif, biasanya sebagai amiotrofi brakhial dan disosiasi sensorik
segmental (Graeme et al., 2002; Allan et al., 2005).
Syringomyelia merupakan gangguan degeneratif yang bersifat kronik
progresif dengan gejala awal timbul pada usia dewasa awal (25-40 tahun).
Kasus ini sangat jarang ditemukan, di mana insidensi pada laki-laki sama
dengan perempuan (Victor dan Ropper, 2001) atau laki-laki sedikit lebih
banyak daripada perempuan (NINDS, 2001; Kiriakopoulos, 2002). Beberapa
kasus syringomyelia bersifat familial meskipun jarang terjadi (NINDS, 2001).
Hanya terdapat kurang dari 1% kasus syringomyelia dari semua pasien yang
datang di klinik saraf (Cohodarevic et al., 2000).

C. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi syringomyelia adalah 5,6 – 8,6 per 100.000 populasi
(Graeme et al., 2002; Alireza dan Steven, 2003). Namun, tidak ada angka
kejadian yang pasti untuk syringomyelia di seluruh dunia (Galhom dan
Ayman, 2005). Penyakit ini dapat mengenai laki-laki dan perempuan dengan
frekuensi yang sama besar (Graeme et al., 2002; Alireza dan Steven, 2003;
Allan et al., 2005). Manifestasi penyakit ini biasanya muncul pada umur 35 –
45 tahun, tapi bisa juga muncul pada usia akli balik atau awal remaja
(Graeme et al., 2002; Galhom dan Ayman, 2005).

D. ETIOLOGI
Kelainan ini bisa terjadi akibat sebab kongenital dan dapatan.
Penyebab kongenital yang sering terkait dengan kelainan ini adalah

10
malformasi Arnold-Chiari. Sedangkan sebab dapatan kelainan ini antara lain
karena prosedur pembedahan, trauma, peradangan, dan tumor (Graeme et al.,
2002; Allan et al., 2005; Galhom dan Ayman, 2005).
a. Kongenital
Syringomyelia dapat terjadi karena suatu gangguan pada waktu kanalis
sentralis dibentuk; atau karena terjadi penyusupan spongioblas (kelainan
deferensiasi sel otak) di kanalis sentralis pada tahap embrional; atau
karena terjadi perdarahan pada tahap embrional (Mardjono dan Sidharta,
2004a). Syringomyelia yang tampak pada masa dewasa sering menyertai
malformasi Chiari tipe I (Graeme et al., 2002; Alireza dan Steven, 2003).
Sedangkan malformasi Chiari tipe II dan III sering terdapat pada
syringomyelia infantil (Graeme et al., 2002).
b. Didapat
1) Trauma: kavitasi paska trauma medulla spinalis adalah kelainan
progresif di mana kerusakan medulla spinalis menyebabkan gangguan
pada hidrodinamik cairan serebrospinal dan arakhnoiditis, sehingga
terjadi ekspansi progresif dari syrinx. Kasus tersering terdapat pada
kecelakaan kendaraan bermotor dan mengenai bagian bawah segmen
servikal medulla spinalis (Graeme et al., 2002; Allan et al., 2005;
Galhom dan Ayman, 2005; Goetz, 2007).
2) Pembedahan: pembedahan spinal intradural, misalnya pada reseksi
tumor medulla spinalis, dapat menyebabkan Syringomyelia (Graeme
et al., 2002).
3) Peradangan: Syringomyelia paska peradangan dapat terjadi sesudah
suatu infeksi (misalnya tuberkular, jamur, parasit) atau dari meningitis
kemikal, dan biasanya berhubungan dengan pembentukan parut
arakhnoidal (Graeme et al., 2002; Alireza dan Steven, 2003).
4) Tumor: beberapa tumor, misalnya ependimoma dan
hemangioblastoma memiliki insidens 50 % disertai dengan
syringomyelia (Alireza dan Steven, 2003).

11
E. KLASIFIKASI
Berdasarkan gambaran patologi dan postulat tentang mekanisme
perkembangan syringomyelia, maka syringomyelia dapat diklasifikasikan
sebagai berikut (Graeme et al., 2002; Allan et al., 2005; Galhom dan Ayman,
2005).
a. Tipe I. Syringomyelia dengan obstruksi foramen magnum dan dilatasi
kanal sentralis, dapat disertai dengan malformasi Chiari tipe I, atau disertai
dengan lesi obstrukstif foramen magnum yang lain.
b. Tipe II. Syringomyelia tanpa obstruksi foramen magnum (idiopatik).
c. Tipe III. Syringomyelia dengan penyakit medulla spinalis yang lain (tumor
medulla spinalis, mielopati traumatik, arakhnoiditis spinal dan
pakimeningitis, myelomalasia sekunder).
d. Tipe IV. Hidromyelia murni dengan atau tanpa hidrosefalus.

F. PATOFISIOLOGI
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya Syringomyelia masih belum
diketahui. Belum ada kesepakatan tentang patofisiologi Syringomyelia,
khususnya yang terjadi pada malformasi Chiari I (Graeme et al., 2002;
Alireza dan Steven, 2003; Allan et al., 2005; Galhom dan Ayman, 2005).
Salah satu dari postulat yang dikemukakan untuk menerangkan
patofisiologi syringomyelia adalah teori Hidrodinamik dari Gardner. Aliran
normal cairan serebrospinal dari ventrikel keempat dapat terganggu oleh
kegagalan pembukaan saluran keluar dari ventrikel keempat secara
kongenital. Sebagai akibatnya, pulsasi tekanan cairan serebrospinal, yang
ditimbulkan oleh pulsasi sitolik dari plexus choroideus, disalurkan melalui
ventrikel keempat menuju kanal sentralis medulla spinalis, kemudian
menyebabkan pembentukan kavitas sentral yang meluas sepanjang substansi
kelabu dan serat-serat lintasan saraf (Graeme et al., 2002; Alireza dan Steven,
2003; Galhom dan Ayman, 2005).
Teori ini didukung oleh seringnya dijumpai syringomyelia bersama-
sama dengan malformasi kongenital pada tautan kranioservikal yang dapat

12
mengganggu aliran normal cairan serebrospinal, misalnya pada malformasi
Arnold-Chiari, dan sindrom Klippel-Feil (fusi antara satu atau lebih vertebra
servikal), dan abnormalitas kongenital lainnya seperti spina bifida dan
hidrosefalus (Graeme et al., 2002; Alireza dan Steven, 2003; Allan et al.,
2005).
Bendungan sirkulasi cairan serebrospinal secara anatomis maupun
fisiologis, yang terjadi sebagai respon terhadap ekspansi otak selama sistol
jantung, menyebabkan terjadinya aliran dari tengkorak menuju ke ruangan
subarakhnoid spinal dan mendorong tonsil serebelar masuk ke dalam ruang
subarakhnoid. Kemudian terbentuk pulsasi bertekanan, yang mendorong
cairan serebrospinal dari ruang subarakhnoid menuju ke medulla spinalis
melalui ruang Virchow-Robin (Graeme et al., 2002; Alireza dan Steven,
2003).
Pada pasien dengan syringomyelia paska trauma, dapat terjadi
nekrosis dan pembentukan kista pada tempat terjadinya cedera yang
disebabkan oleh cairan yang dihasilkan oleh akson yang rusak (Alireza dan
Steven, 2003; Goetz, 2007).
Syringomyelia yang terjadi pada arakhnoiditis spinal dapat disebabkan
oleh mekanisme vaskular. Pada syringomyelia yang terkait dengan tumor,
pertumbuhan tumor dapat mengganggu suplai darah medulla spinalis dan
mengakibatkan iskemia, nekrosis, dan pembentukan kavitas (Alireza dan
Steven, 2003).

Gambar 4. Syringomyelia – Malformasi Chiari I

13
G. PATOLOGI

Kista abnormal berisi cairan, dilapisi oleh jaringan gliotik astrositik


dan pembuluh darah, dan berisi cairan jernih dengan kadar protein relatif
rendah, seperti cairan serebrospinal (Graeme et al., 2002; Alireza dan Steven,
2003). Kelainan ini sering terletak pada bagian tengah massa kelabu medulla
spinalis segmen servikal bawah atau torasik atas, tapi dapat juga mengenai
seluruh panjang medulla spinalis dan dapat meluas sampai batang otak
(syringobulbia) sampai talamus (Graeme et al., 2002). Sering juga terdapat
abnormalitas perkembangan kolumna vertebralis (skoliosis toraks, fusi
vertebra, atau anomali Klippel-Feil), pada dasar tengkorak (platibasia dan
invaginasi basilar), dan kadang-kadang pada serebelum dan batang otak
(malformasi Chiari tipe I) (Graeme et al., 2002; Allan et al., 2005; Galhom
dan Ayman, 2005).
Pada mulanya lubang itu tentu kecil dan meluas ke tepi secara
berangsur-angsur. Seluruh substansia grisea sentralis dapat musnah, berikut
dengan massa putih yang dikenal sebagai komisura alba ventralis. Funikulus
dorsalis yang membatasi substansia grisea sentralis dari dorsal tidak pernah
terdesak oleh lubang petologik itu. Tergantung pada luas lubang dalam
orientasi rostrokaudal, maka kornu anterius dan kornu laterale berikut
serabut-serabut spinotalamik (yang membentuk komisura alba ventralis)
dapat terusak sepanjang satu atau dua segmen (Mardjono dan Sidharta,
2004a).
Biasanya syringomyelia itu kempis, sehingga pada segmen yang
terkena, medulla spinalis memperlihatkan atrofia. Tetapi lubang patologik itu
dapat mengandung cairan serebrospinalis bagaikan kista. Penimbunan cairan
itu dapat berlnagsung secara progresif, sehingga tekanan terhadap substansia
alaba di sekelilingnya mengganggu funikulus posterolateralis (yang
mengandung serabut-serabut kortikospinal) dan funikuklus anterolateralis

14
(yang mengandung serabut-serabut spinotalamik) (Mardjono dan Sidharta,
2004a).

Gambar 5. Hasil MRI pasien Syringomyelia

H. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis sangat bervariasi tergantung arah pelebaran syrinx ke
arah transversal atau longitudinal. Pelebaran biasanya terjadi ke arah anterior
dari kanalis spinalis daripada ke kanan atau kiri. Siringomielia biasanya
berlangsung secara perlahan-lahan. Perjalanan penyakit bisa sampai bertahun-
tahun. Gejala akan tampak akut ketika sudah mengenai batang otak (seperti
siringobulbi). Siringomielia biasanya terjadi di area servikal. Gejala yang
tampak tergantung dari lokasi lesinya.

Gejala umum dari siringomielia adalah nyeri. Nyeri ini tidak selalu
terlokalisir di regio servikal, tapi juga bisa ketempat lain (Clare et al., 2006).
Rasa nyeri bisa terdiri dari sakit kepala, nyeri pada bahu, punggung, lengan
dan kaki, kehilangan kemampuan merasakan panas atau dingin terutama di
tangan, gangguan fungsi miksi dan defekasi, serta gangguan fungsi seksual.
Siringomielia paling sering melibatkan bagian servikal dan mengakibatkan
hilangnya rasa nyeri dan suhu pada bahu dan lengan. Jika kedua kornu
anterior mengalami kerusakan, akan terjadi paralisis flaksid kedua lengan
yang berhubungan dengan atrofi. Jika kornu lateral terlibat, lengan dapat

15
mengalami gangguan trofik, mungkin dalam derajat tertentu di mana jari-jari
menjadi cacat. Kadang-kadang traktus piramidalis berdegenerasi dan
degenerasi ini mungkin menjadi penyebab paresis spastik dari tungkai. Pada
kebanyakan kasus, gejala mulai pada dewasa muda, dan cenderung
berkembang lambat (Adam dan Victor, 1993; Duus, 1996; Schoenstadt,
2011).
Manifestasi klinis yang terjadi pada siringomielia sebagai berikut
(Clare et al., 2006):
1. Sensorik
a. Disosiasi sensoris: syrinx akan menghambat perjalanan traktus
spinotalamikus yang menghantarkan sensasi nyeri dan suhu, sehingga
mengakibatkan hilangnya sensasi ini. Namun rangsang cahaya,
getaran dan sensasi posisi masih baik.
b. Nyeri diestetik, merupakan keluhan yang umum pada siringomielia,
biasanya mengenai leher dan bahu tetapi dapat menjalar sampai
tangan dan lengan atas. Yang kadang-kadang bermula pada perasaan
yang tidak nyaman yang bisa mengarahkan pada penyakit ini.
Umumnya nyeri dalam dan kesakitan dan dapat menjadi sangat berat.
2. Motorik
a. Sirinx melebar ke bagian kornu anterior medulla spinalis merusak
motor neuron (LMN) dan menyebabkan atrofi otot yang difus dan
dimulai pada tangan dan menyebar ke arah proksimal pada lengan atas
dan bahu.
b. Dapat terjadi paralisis spastic bilateral pada kedua tungkai yang
disertai peningkatan refleks tendon dalam dan refleks babinski positif.
Tanda-tanda ini ini disebabkan oleh penyebaran lesi lebih lanjut ke
lateral ke dalam substansia alba sehingga mengenai traktus desenden.
3. Otonom
a. Mempengaruhi fungsi dari buang air besar dan kandung kemih
biasanya sebagai manifestasi akhir.
b. Disfungsi seksual mungkin bisa berkembang pada kasus yang lama

16
c. Sindorm Horner mungkin muncul memperlihatkan kerusakan saraf
simpatik pada sel intermediolateral kolum. Sindrom Horner akibat lesi
di batang otak, medulla spinalis servikalis s/d medulla spinalis
thoracalis III). Sindrom Horner terdiri atas miosis, ptosis, enoftalmus
ringan, anhidrosis hemifasialis ipsilateral, elevasi kelopak mata bawah,
hyperemia hemifasialis ipsilateral. Dari keenam gejala ini, yang paling
mudah dikenal adalah miosis dan anhidrosis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
1. Reflek pada tangan yang mengalami penurunan paling awal semasa
perjalanan penyakit tersebut.
2. Spastisitas dari tungkai bawah, yang asimetris, muncul dengan
tanda traktus longitudinal lainnya seperti paraparesis, hiperefleksi,
dan respon ekstensi plantar.
3. Pemeriksaan rektum untuk mengevaluasi dari fungsi spinter ani dan
penilaian sensibilitas sepanjang dermatom dari sakral.
4. Gangguan disosiasi sensibilitas bisa muncul.
5. Sirinx bisa meluas kedalam batang otak yang kemudian
berpengaruh pada fungsi dari nervus kranialis dan fungsi
serebelum.
6. Tanda batang otak merupakan tanda yang umum pada siringomielia
terutama yang hubungannya dengan chiari malformation.

I. PROSEDUR DIAGNOSTIK
Diagnosis siringomielia ditegakkan dengan menggunakan MRI.
Pemeriksaan penunjang ini menunnjukkan adanya kantung kista di tepi
medulla spinalis dan dapat mengalami perluasan. Oleh karena kista tersebut
berisi cairan maka akan memberikan gambaran hipointensitas pada T1 dan
hiperintensitas pada T2.
Beberapa kista ini berhubungan dengan tumor medulla spinalis yang
berisi cairan yang tinggi protein sehingga gambaran MRI terlihat kurang
hipointensitas dibanding dengan CSF di T1. Potongan longitudinal MRI dari

17
siringomielia menunjukkan adanya bagian transversal yang tipis namun
kantung siringomielia biasanya satu.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah CT-scan. CT-scan dapat
memperlihatkan adanya aliran CSF pada ruang subarachnoid atau kavitasi
medulla spinalis. Keseluruhan pemeriksaan penunjang ini merupakan hal yang
penting dalam menegakkan diagnosis.
Pada tumor medulla spinalis menunjukkan adanya massa jaringan
tumor dan jika ada kantung tumor berisi cairan juga, berarti bahwa ada
siringomielia yang tertutup pada kista tumor atau bahkan ada keduanya, tumor
medulla spinalis dan siringomielia. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan
terjadinya perdarahan, iskemik, traumatic dan konsekuensi lainnya.

Pemeriksaan Laboratorium
Analisa Cerebro Spinal Fluid : hitung jenis sel lebih dar 10/mm3,
protein akan mengalami peningkatan, pada kasus penyumbatan subarachnoid
akan bertambah menjadi 100mg/dl. Akan tetapi biasanya tidak dilakukan
karena risiko herniasi dan kemungkinan bisa terjadi penyumbatan
subarachnoid (Claire, 2006).

J. TATA LAKSANA
Farmakologis (non bedah)/simptomatik: tidak ada pengobatan
spesifik untuk terapi syringomyelia. Akan tetapi bisa diterapi dengan obat-
obatan analgetik dan muscle relaxan: (Brust, 2012)
1. Analgetik
Nyeri neuropatik sebaiknya diberikan multifaktor obat yang bekerja pada
berbagai komponen nyeri, termasuk kerusakan aktifitas neuron
(antikonvulsan dan local anastesi), potensial peningkatan jalur hambatan
(antidepresan) atau pusatnya termasuk pada pengembangan dan konduksi
respon nosiseptik (analgesic) (Fernandez et al., 2009).
2. NSAID (non steroid anti-inflammation drugs)

18
NSAID biasanya digunakan untuk pasien dengan syringomyelia. Apabila
dalam dua minggu dengan monoterapi tidak efektif maka bisa
dikombinasikan dari kelas yang lebih tinggi. Obat yang biasa digunakan
adalah ibuprofen, asam asetilsalisilat, naproksen, indometasin, asam
mefenamat dan piroxicam (Brust, 2012).
3. Muscle Relaxan
Obat ini berfungsi sebagai pelemas otot dan untuk mengurangi
kegelisahan pasien. Obatnya antara lain: methocarbamol (Brust, 2012).

Terapi Pembedahan
Beberapa teknik operasi yang dilakukan pada syringomyelia adalah
1. Dekompresi occipital dan cervical: untuk melancarkan aliran CSF.
2. Laminektomi dan syringotomi: setelah dekompresi siringo didrainase
menjadi ruang subarachnoid melalui insisi longitudinal pada zona masuk
serabut dorsalis (antara columna anterior dan posterior) biasanya pada C2-
C3.
3. Shunting: shunting pada ventrikuloperitoneal dilakukan bila diindikasikan
adanya ventrikulomegali dan peningkatan tekanan intracranial yang
sedang berlangsung. Biasanya pada Chiari Malformasi type I yang ada
hidrosefalus dan type II yang disertai meningomielokel (Brust, 2012).
Pasien asimptomatik yang terdiagnosis Chiari type I malformation
tanpa syringomyelia sebaiknya tidak diterapi bedah. Pada pasien dengan
symptom, maka pembedahan sebaiknya dilakukan.
Hampir 10% pasien dengan malformasi Chiari type I terdapat
hidrosefalus. Teknik yang digunakan bervariasi tetapi kebanyakan
menggunakan dekompresi pada foramen magnum.
Pada semua prosedur pembedahan, dekompresi pada foramen
magnum pada malformasi Chiari tidak bebas dari komplikasi. Kebanyakan
terjadi gangguan CSF, dimana biasnya terjadi pada 10% pasien, antara lain
fistula CSF, meningitis, hidrosefalus, atau progresif syringomyelia.
Penyembuhan post operatif pre operasi, 83% pasien mengalami perbaikan.

19
Gejala yang sering terjadi pada, seperti nyeri kepala atau nyeri leher
dan scoliosis, hampir 12-17%, tidak mengalami perbaikan post operasi.
Bagaimanapun, mortalitasnya akibat henti napas pada periode post operasi
secara langsung dapat terjadi atau dengan gejala sisa yang lain, sebaiknya
kurang dari 2%.
Kebanyakan pasien akan meningkat kualitas hidupnya setelah
menjalani pembedahan. Gejala yang masih ada biasanya hanya sakit kepala
dan nyeri leher, diikuti gejala yang berhubungan cerebellum atau batang otak
(seperti disfagia, ataxia, nistagmus, dan diplopia). Sedangkan gejala yang
berhubungan dengan syringomyelia (nyeri, skoliosis dan kehilangan
sensitifitas) mulai mereda.
Jika syringomyelia masih terjadi, dekompresi yang tidak adekuat pada
sambungan craniocervical sebaiknya diperhatikan. Syringomyelia masih
dapat terjadi lagi sampai 10-20% pasien, karena dekompresi yang tidak
adekuat atau pembentukan jaringan parut yang menggangu aliran CSF.
Pada syringomyelia post trauma, beberapa ahli lebih memilih untuk
menghilangkan kanal, dimana menghindari blockade CSF, dan
mengosongkan kista atau dikeluarkan dari ruang subarachnoid. Pada beberapa
kasus kista dihubungkan dengan tumor, reduksi kista secara umum
didapatkan pada tumor.

Rehabilitasi
Terapi fisik dilakukan untuk menghilangkan nyeri dan memperbaiki
ruang gerak pada pertautan servikal tulang belakang dan bahu. Selain itu juga
dilakukan terapi okupasi, yakni untuk mengembalikan gerakan yang berarti
supaya tidak terjadi penurunan gerak dari lengan bagian atas dan leher, dan
memberikan pasien waktu untuk melakukan aktivitas hariannya serta bekerja
(Houser dan Ropper, 2006).

20
K. PROGNOSIS
1. Prognosis bergantung pada penyakit dasarnya, besarnya disfungsi
neurologis, dan perluasan syrinx.
2. Beberapa studi menunjukkan pasien meninggal rata-rata diusia 47 tahun,
tetapi dikarenakan kemajuan teknologi dan teknik pembedahan serta
perawatan maka hal ini bisa direduksi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Adams RD, Victor M. Syndrome of segmental sensory dissociation with brachial


amyotrophy (syringomyelic syndrome). Principle of neurology 5th ed. New
York:McGraw-Hill Book Company. 1993.

Alireza Minagar, J. Steven Alexander. 2003. Arnold-Chiari Malformation and


Syringomyelia. dalam Randolph W. Evans. Saunder’s Mannual of Clinical
Practice. pp 903 – 909. WB Saunders

Allan H. Ropper, Robert H. Brown. 2005. Diseases of the Spinal Cord. dalam
Adams and Victor’s Principles of Neurology, Eight Edition. pp 1084 – 1087.
McGraw-Hill Publishing

Brust, John CM. 2012 Current Diagnosis & Treatment Neurology, Second Edisi.
Columbia University College of Physicians & Surgeons, New York.

Clare R, Dan G, Bermans J I. 2006. Syringomyelia: Current Concepts in


Pathogenesis, Diagnosis, and Treatment. J Vet Intern Med; 20:469–479

Duus P. Sistem Sensorik. Dalam: Suwono WJ, editors. Diagnosis Topik


Neurologi, Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Edisi 2. Jakarta: EGC, 1996.
55-56.

Galhom, Ayman Ali. 2005. Syringomyelia. http://www.emedicine.com

Gilroy J (1992). Basic Neurology, Second ed., Singapura: Mc Graw Hill Inc.,
Pergamon Press.

Gondim, Francisco de Assis Aquino. 2007. Spinal Cord, Topographical and


Functional Anatomy. http://www.emedicine.com

Graeme J. Hankey, Joanna M. Wardlaw. 2002. Syringomyelia. dalam Clinical


Neurology. pp: 541 – 533. Manson Publishing

Houser & Ropper. 2006. Hausen, L.H (edt). Harrison’s Neurology in clinical
medicine. The McGraw-Hill Companies : USA.

22
Islam, Mohammad Saiful. 1995. Neuroanatomi Fungsional. Surabaya:
Laboratorium/ UPF Ilmu Penyakit Saraf FK Universitas Airlangga

Moore KL, Dalley AF. 2006. Clinically Oriented Anatomy, 5th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins

Schoenstadt A. Nervous system. eMedTV 2006; http://nervous-


system.emedtv.com [diakses 5 Oktober 2011].

Snell Richard.S. 2006. Sistem Ventrikular, Cairan Serebrospinal, Serta Sawar


Darah Otak Dan Sawar Darah Cairan Serebrospinal. Dalam Neuroanatomi
Klinik. pp 508 – 510. EGC ; Jakarta

Subagjo, dkk. 2002. Medulla Spinalis. dalam Anatomi 3. Surabaya: Laboratorium


Anatomi – Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

U.S. Departement of health and Human Resources Services. 2005. NIH


Publication 06:3780

23

Anda mungkin juga menyukai