Referat Serotinus Karina
Referat Serotinus Karina
Pembimbing:
dr. Cipta Pramana, Sp.OG
Disusun Oleh:
Karina Pathya (03013106)
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Kehamilan Serotinus”. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
dalam kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kebidanan dan penyakit Kandungan
RSUD Kota Semarang.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih terutama
kepada dr. Cipta Pramana Sp.OG selaku pembimbing atas masukan dan
pengarahannya selama penulis belajar dalam kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan
dan penyakit Kandungan. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penyelesaian referat ini,
termasuk para dokter dan staf RSUD Kota Semarang serta teman-teman
kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan dan penyakit Kandungan atas segala bentuk
bantuan dan dukungannya.
Penulis menyadari dalam pembuatan referat ini masih terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan segala kritik dan saran
guna menyempurnakan referat ini. Penulis juga berharap semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Karia Pathya
0
LEMBAR PENGESAHAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kehamilan postterm, disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat
waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, postdate/pos datisme atau
pascamaturitas, adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42 minggu (294 hari)
atau lebih, dihitung hari pertama haid terakhir menurut rumus Naegele dengan
siklus haid rata-rata 28 hari.(1)
Seringkali istilah pascamaturitas dipakai sebagai dismaturitas. Sebenarnya
hal ini tidak tepat. Pascamaturitas merupakan diagnosis waktu yang dihitung
menurut rumus Naegele. Sebaliknya, dismaturitas hanya menyatakan kurang
sempurnanya pertumbuhan janin dalam kandungan akibat plasenta yang tidak
berfugsi dengan baik, sehingga janin tidak tumbuh seperti biasa. Hal ini dapat
terjadi pada beberapa keadaan seperti hipertensi, preeklamsia, gangguan gizi,
ataupun pada kehamilan postterm sendiri. Jadi, janin dengan dismaturitas dapat
dilahirkan kurang bulan, genap bulan, ataupun lewat bulan.(1)
Istilah pascamaturitas lebih banyak dipakai oleh dokter spesialis
Kesehatan Anak, sedangkan istilah pstterm banyak digunakan oleh dokter
spesialis Kebidanan. Dari dua istilah ini sering menimbulkan kesan bahwa bayi
yang dilahirkan pada kehamilan pstterm disebut sebagai pascamaturitas.(1)
2.2 Epidemiologi
3
- Insidens kehamilan 42 minggu lengkap 4–14%, 43 minggu lengkap 2–7%.
- Insidens kehamilan post-term tergantung pada beberapa faktor : tingkat
pendidikan masyarakat, frekuensi kelahiran pre-term, frekuensi induksi
persalinan, frekuensi seksio sesaria elektif, pemakaian USG untuk
menentuka usia kehamilan.
Secara spesifik, insidens kehamilan post-term akan rendah jika frekuensi
kelahiran pre-term tinggi, bila angka induksi persalinan dan seksio sesaria elektif
tinggi, dan bila USG dipakai lebih sering untuk menentukan usia kehamilan.
2.3 Etiologi
Penyebab pasti dan poses terjadinya kehamilan postterm sampai saat ini
masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk
menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain: (1)
1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan
postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron melewati waktu
yang semestinya.
2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil
pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab terjadinya
kehamilan postterm.
3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga
produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen. Proses ini selanjutnya
berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan
dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya
kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik
sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan.
4. Teori saraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada
keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser
yang membangkitkan kontraksi uterus, seperti pada keadaan kelainan letak, tali pusat
pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin.
5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah
dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007) menyatakan dalam
hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengami kehamilan postterm akan
4
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm pada kehamilan
berikutnya.
2.4 Patofisiologi
a. Perubahan pada plasenta (1)
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi
pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Penurunan
fungsi plasenta dapat dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan
plasental laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut :
- Penimbunan Kalsium. Pada kehamilan postterm terjadi peningkatan
penimbunan kalsium pada plasenta. Hal ini dapat menyebabkan gawat
janin dan bahkan kematian janin intrauterin yang dapat meningkat
sampai 2-4 kali lipat. Timbunan kalsium plasenta meningkat sesuai
dengan progresivitas degenerasi plasenta. Namun, beberapa vili
mungkin mengalami degenerasi tanpa mengalami klasifikasi.
- Selaput vaskulosinsial menjadi tambahan tebal dan jumlahnya
berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan mekanisme transpor
plasenta.
- Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan
fibrinoid, fibrosis, trombsis intervili, dan infark vili.
- Perubahan biokimia. Adanya insufisiensi plasenta menyebabkan
protein plasenta dan kadar DNA di bawah normal, sedangkan
konsentrasi RNA meningkat. Transport kalsium tidak terganggu,
aliran natrium, kalium, dan glukosa menurun. Pengangkutan bahan
dengan berat molekul tinggi seperti asam amino, lemak, dan gama
globulin biasanya mengalami gangguan sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intrauterin.
5
menambah bahaya pada janin. Sedangkan beberapa ahli lainnya
menyatakan bahwa bahya kehamilan postterm terhadap janin terlalu
dilebihkan. Kiranya kebenaran terletak diantara keduanya. Fungsi plasenta
mencapai puncak pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai
menurun terutama setelah 42 minggu. Hal ini dapat dibuktikan dengan
penurunan kadar estriol dan plasental laktogen. Rendahnya fungsi plasenta
berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali.
Akibatnya dari proses penuaan plasenta, pemasokan makanan dan oksigen
akan menurun di samping adanya spasme arteri spiralis. Sirkulasi
uteroplasenter akan berkurang dengan 50% menjadi hanya 250ml/menit.
6
atau kekuninga pada kulit dan tali pusat, muka tampak menderita, dan
rambut kepala banyak atau tebal. Tidak seluruh neonatus kehamilan
postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta.
Umumnya didapatkan sejitar 12-20% neonatus dengan tanda postmaturitas
pada kehamilan postterm. Berdasarkan derajat insufisiensi plasenta yang
terjadi, tanda postmaturitas ini dapat dibagi dalam 3 stadium, yaitu :
Stadium I : kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan
maserasi berupa kulit kering, rapuh dan mudah mengelupas
Stadium II : gejala diatas diserta pewarnaan mekonium (kehijauan)
pada kulit
Stadium III : disertai pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali
pusat
- Gawat janin atau kematian perinatal
Menunjukkan angka kematian meningkat setelah kehamilan 42
minggu atau lebih, sebagian besar terjadi intrapartum. Umumnya
disebabkan oleh:
• Makrosomia yang dapat menyebabkan terjadinya distosia pada
persalinan, fraktur klavikula, palsi Erb-Duchene sampai kematian bayi
• Insufisiensi plasenta yang berakibat :
a. Pertumbuhan janin terhambat
b. Oligohidroamnion : terjadi kompresi tali pusat, keluar mekonium
yang kental, perubahan abnormal jantung janin
c. Hipoksia janin
d. Keluarnya mekonium yang berakibat dapat terjadi aspirasi
mekonium pada janin
• Cacat bawaan: terutama akibat hipoplasia adrenal dan anensefalus
Kematian janin akibat kehamilan postterm terjadi pada 30% sebelum
persalinan, 55% dalam persalinan dan 15% pascanatal. Komplikasi
yang dapat dialami oleh bayi baru lahir ialah suhu yang tak stabil,
hipoglikemi, polisitemi, dan kelainan neurologi.
7
c. Pengaruh pada ibu (1)
- Morbiditas/ mortalitas ibu : dapat meningkat sebagai akibat dari
makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras yang
menyebabkan terjadinya distosia persalinan, incoordinate uterine
action, partus lama, meningkatkan tindakan obstetrik dan persalinan
traumatis/perdarahan postpartum akibat bayi besar.
- Aspek emosi : ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana kehamilan
terus berlangsung melewati taksiran persalinan. Komentar tetangga
atau teman seperti “ belum lahir juga?” akan menambah frutasi ibu.
2.5 Diagnosa
Tidak jarang seorang dokter mengalami kesulitan dalam menentukan
diagnosis kehamilan postterm karena diagnosis ini ditegakkan berdasarkan
umur kehamilan, bukan terhadap kondisi kehamilan. Beberapa kasus yang
dinyatakan sebagai kehamilan postterm yang tidak dapat ditegakkan secara
pasti diperkirakan sebesar 22%. Dalam menentukan diagnosis kehamilan
postterm disamping dari riwayat haid, sebaiknya dilihat pula hasil
pemeriksaan antenatal.(1)
a. Riwayat haid (1)
Diagnosis kehamilan postterm tidak sulit untuk ditegakkan bilamana hari
pertama haid terakhir (HPHT) diketahui dengan pasti. Untuk riwayat haid yang
dapat dipercaya, diperlukan beberapa kriteria antara lain :
- Penderita harus yakin betul dengan HPHT-nya
- Siklus 28 hari dan teratur
- Tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir
8
- Tanggal haid terakhir diketahui jelas namun terjadi kelambatan ovulasi
- Tidak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan memang
berlangsung lewat bulan ( keadaan ini sekitar 20 – 30 % dari seluruh
penderita yang diduga postterm )
9
d. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan
telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam
diagnosa kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah
membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan
USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan
metode HPHT.
Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan
yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam
mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat
kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan
pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length) adalah ± 4 hari dari
(Cohn, et al., 2010)
taksiran persalinan. Pada usia kehamilan antara 16-26
minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan
panjang femur (femur length/FL) memberikan ketepatan ± 7 hari dari
taksiran persalinan.2
e. Pemeriksaan radiologi
Umur kehamilan ditentukan dengan melihat pusat penulangan.
Gambaran epifisis femur bagian distal paling dini dapat dilihat pada
kehamilan 32 minggu, epifisis tibia proksimal terlihat setelah umur
kehamilan 36 minggu, epifisis kuboid pada kehamilan 40 minggu.
Cara ini sekarang jarang dipakai selain karena dalam pengenalan pusat
penulangan sering kali sulit juga pengaruh tidak baik terhadap janin
10
untuk menentukan apakan janin cukup umur / matang untuk
dilahirkan.
• Aktivitas tromboplasti cairan amnion (ATCA)
Hastwell berhasil membuktikan bahwa cairan amnion
mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat
dengan bertambahnya umur kehamilan. Yaffe menyatakan bahwa
pada umur kehamilan 41-42 minggu ACTA berkisar antara 45–65
detik, pada umur kehamilan lebih dari 42 minggu didapatkan ACTA
kurang dari 45 detik. Bila didapat ACTA antara 42–46 detik
menunjukkan bahwa kehaminan berlangsung lewat waktu
• Sitologi cairan amniom
Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam cairan
amnion . Bila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10 %
maka kehamilan diperkirakan 36 minggu dan apabila 50% atau lebih
maka umur kehamilan 39 minggu atau lebih
• Sitologi vagina
Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20%)
mempunyai sensitivitas 75 %. Perlu diingatkan bahwa kematangan
serviks tidak dapat dipakai untuk menentukan usia gestasi.
11
3. Aspirasi meconium
Meconium keluar ke cairan amnion dan dihirup oleh janin sehingga masuk ke
paru-paru sehingga dapat mengakibatkan pneumoni pada janin, namun hal ini
tidak begitu sering terjadi.
4. Macrosomia
Janin tumbuh terlalu besar sehingga sulit dilahirkan pervaginam.
5. Kematian janin saat lahir
Janin meninggal didalam uterus. Kematian janin saat lahir sangat jarang
terjadi, namun kejadian ini meningkat pada kehamilan postterm.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada ibu, yaitu antara lain: (1.3)
1. Peningkatan resiko luka perineum
Bayi pada kehamilan postterm biasanya lebih besar, dan hal ini
mengakibatkan trauma pada jalan lahir saat persalinan.
2. Peningkatan resiko bedah sesar
Gawat janin sering terjadi selama kehamilan postterm, dan hal ini
meningkatkan resiko dilakukannya bedah sesaria.
3. Efek psikologis
Ibu menjadi gelisah dan tidak tenang.
4. Peningkatan perdarahan setelah persalinan
Hal ini dikarenakan kurangnya kontraktilitas uterus akibat over distensi uterus
yang disebabkan oleh janin yang besar.
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kehamilan postterm saat ini masih kontroversi.
Kehamilan postterm ini dapat ditatalaksana secara aktif dimana kehamilan
diterminasi dengan induksi persalinan setelah usia kehamilan 41 minggu. Agent
pematangan servik seperti prostaglandin digunakan untuk menyiapkan servik, dan
bila perlu oksitosin dan amniotomi juga dapat digunakan. Selain itu juga dapat
ditatalaksana secara ekspetatif, dimana dilakukan pada kehamilan 42 minggu atau
lebih. Persalinan di induksi hanya jika servik telah matang atau dilatasi, atau
12
keduanya, atau terjadi penurunan kondisi janin. Keadaan fetus dievaluasi dengan
berbagai tehnik pengawasan fetus.(4,3)
Sebelum menentukan penatalaksanaan yang dilakukan, perlu diperhatikan
beberapa hal berikut ini: (4)
1. Menentukan apakah kehamilan memang telah berlangsung lewat bulan
(postterm) atau bukan. Dengan demikian penatalaksanaan ditujukan kepada
dua variasi dari postterm ini.
2. Identifikasi kondisi janin dan keadaan yang membahayakan janin .
Pemeriksaan Kardiotokografi seperti nonstres test (NST) & contraction stress
test dapat mengetahui kesejahteraan janin sebagai reaksi terhadap kontraksi
uterus. Pemeriksaan ultrasonografi untuk menentukan besar janin, denyut
jantung janin, gangguan pertumbuhan janin, keadaan dan derajat kematangan
plasenta, jumlah dan kualitas air ketuban. Beberapa pemeriksaan laborat
dapat dilakukan seperti pemeriksaan kadar Estriol
3. Periksa kematangan serviks dengan skor Bishop. Kematangan serviks ini
memegang peranan penting dalam pengelolaan postterm. Sebagian besar
kepustakaan sepakat bahwa induksi persalinan dapat segera dilaksanakan baik
pada usia 41 maupun 42 minggu bilamana serviks telah matang.
Pada umumnya penatalaksanaan sudah dimulai sejak umur kehamilan
mencapai 41 minggu dengan melihat kematangan serviks, mengingat dengan
bertambahnya umur kehamilan maka janin tumbuh besar, terjadi kemunduran
fungsi plasenta dan oligohidramnion. Kematian janin neonatus meningkat 5 – 7 %
pada persalinan 42 mg atau lebih. (1)
1. Bila serviks telah matang ( dengan nilai Bishop > 5 ) dilakukan induksi
persalinan dan dilakukan pengawasan intrapartum terhadap jalannya
persalinan dan keadaan janin
2. Bila serviks belum matang, perlu dinilai keadaan janin lebih lanjut apabila
kehamilan tidak diakhiri :
a) NST dan penilaian volume kantong amnion. Bila keduanya normal,
kehamilan dibiarkan berlanjut dan penilaian janin dilanjutkan seminggu
dua kali.
13
b) Bila ditemukan oligohidramnion (< 2 cm pada kantong yang vertical atau
indeks cairan amnion < 5 ) atau dijumpai deselerasi variable pada NST
maka dilakukan induksi persalinan.
c) Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, tes dengan
kontraksi (CST) harus dilakukan. Bila hasil CST positif, janin perlu
dilahirkan sedangkan bila CST negatif kehamilan dibiarkan berlangsung
dan penilaian janin dilakukan lagi 3 hari kemudian.
d) Keadaan serviks ( Skor Bishop ) harus dinilai ulang setiap kunjungan
pasien dan kehamilan harus diakhiri bila serviks matang.
3. Kehamilan lebih dari 42 minggu diupayakan diakhiri
14
meliputi hiperstimulasi uterus dan efek samping maternal seperti mual,
muntah, diare, dan demam.
b. Oksitosin
Oksitosin merupakan agen farmakologi yang lebih disukai untuk
menginduksi persalinan apabila serviks telah matang. Konsentrasi oksitosin
dalam plasma serupa selama kehamilan dan selama fase laten dan fase aktif
persalinan, namun terdapat peningkatan yang bermakna dalam kadar oksitosin
plasma selama fase akhir dari kala II persalinan. Konsentrasi oksitosin
tertinggi selama persalinan ditemukan dalam darah tali pusat, yang
menunjukkan bahwa adanya produksi oksitosin yang bermakna oleh janin
selama persalinan.
c. Misoprostol
Misoprostol (Cytotec) merupakan PGE sintetis, analog yang
ditemukan aman dan tidak mahal untuk pematangan serviks, meskipun tidak
diberi label oleh Food and drug administration di Amerika Serikat untuk
tujuan ini. Penggunaan misoprostol tidak direkomendasikan pada pematangan
serviks atau induksi persalinan pada wanita yang pernah mengalami
persalinan dengan seksio sesaria atau operasi uterus mayor karena
kemungkinan terjadinya ruptur uteri. Wanita yang diterapi dengan misoprostol
untuk pematangan serviks atau induksi persalinan harus dimonitor denyut
jantung janin dan aktivitas uterusnya di rumah sakit sampai penelitian lebih
lanjut mampu mengevaluasi dan membuktikan keamanan terapi pada pasien.
Uji klinis menunjukkan bahwa dosis optimal dan pemberian interval
dosis 25 mcg intravagina setiap empat sampai enam jam. Dosis yang lebih
tinggi atau interval dosis yang lebih pendek dihubungkan dengan insidensi
efek samping yang lebih tinggi, khususnya sindroma hiperstimulasi, yang
didefinisikan sebagai kontraksi yang berakhir lebih dari 90 detik atau lebih
dari lima kontraksi dalam 10 menit selama dua periode .10 menit berurutan,
dan hipersistole, suatu kontraksi tunggal selama minimal dua menit.
15
Teknik penggunaan misoprostol vagina adalah sebagai berikut :
1. Masukkan seperempat tablet misoprostol intravagina, tanpa menggunakan
gel apapun (gel dapat mencegah tablet melarut)
2. Pasien harus tetap berbaring selama 30 menit
3. Monitor denyut jantung janin dan aktivitas uterus secara kontinyu selama
minimal 3 jam setelah pemberian misoprostol sebelum pasien boleh
bergerak
4. Apabila dibutuhkan tambahan oksitosin (pitosin), direkomendasikan
interval minimal 3 jam setelah dosis misoprostol terakhir
5. Tidak direkomendasikan pematangan serviks pada pasien-pasien yang
memiliki skar uterus.
2. Non Farmakologis
a. Amniotomi
Diduga bahwa amniotomi meningkatkan produksi atau
menyebabkan pelepasan prostaglandin secara lokal. Risiko yang
berhubungan dengan prosedur ini meliputi tali pusat menumbung atau
kompresi tali pusat, infeksi maternal atau neonatus, deselerasi denyut
jantung janin, perdarahan dari plasenta previa atau plasenta letak rendah
dan kemungkinan luka pada janin.
16
c. Pemakaian Rangsangan Listrik
Dengan dua electrode, yang satu diletakkan dalam serviks, sedang
yang lain ditempelkan pada kulit dinding perut, kemudian dialirkan listrik
yang akan memberi rangsangan pada serviks untuk menimbulkan
kontraksi rahim. Bentuk alat ini bermacam-macam, bahkan ada yang
ukurannya cukup kecil sehingga dapat dibawa-bawa dan ibu tidak perlu
tinggal di rumah sakit. Pemakaian alat ini perlu dijelaskan dan disetujui
pasien.
17
DAFTAR PUSTAKA
18