Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

“AML (Acute Myeloid Leukemia)”

DI RUANG 23 INFEKSI RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Medikal

Disusun Oleh:

Ni Putu Ika Purnamawati

170070301111032

Kelompok 2A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

AML (Acute Myeloid Leukemia)

DI RUANG 28 RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Medikal

Oleh :

Ni Putu Ika Purnamawati

NIM. 170070301111032

Telah diperiksa dan disetujui pada :

Hari :

Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )
AML (Acute Myeloid Leukemia)

1.1 Pengertian AML


Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa
proliferasio patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan
sum-sum tulang dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke
jaringan tubuh yang lain (Arief Mansjoer, dkk, 2002). Leukimia adalah proliferasi
tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum tulang menggantikan
elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2001)
AML (Acute Myelogenous Leukimia) adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel – sel progenitor
dari seri myeloid (Purnomo, 2005). AML mengenai sel stem hematopeotik yang
kelak berdiferensiasi ke semua sel mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit
dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena; insidensi meningkat sesuai
bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi
(Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2001).

1.2 Klasifikasi AML


Menurut Wakui (2008), FAB telah mengklasifikasikan LMA menjadi 8 subtipe
berdasarkan pada hasil pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia.
Berikut klasifikasi AML
1) M0 (AML berdiferensiasi minimal)
Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut
sebagai AML dengan diferensiasi minimal.
2) M1 (AML tanpa maturasi)
Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat
dari kasus AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules
dan Auer rods. Sel leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula
dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan di M1
3) M2 (AML dengan berbagai derajat maturasi
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara
morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah
menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10 %. Jumlah sel leukemik
antara 30 – 90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum tulang di
M2 adalah mielosit dan promielosit.
4) M3 (leukemia promielositik)
Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi
berat, stain mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk
maupun ukuran, kadang-kadang berlobul . Sitoplasma mengandung granula
besar, dan beberapa promielosit mengandung granula berbentuk seperti
debu . Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ) dihubungkan
dengan granula-granula abnormal ini
5) M4 (Leukemia mielomonositik)
Terlihat 2 ( dua ) type sel, yakni granulositik dan monositik , serta sel-
sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan
M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang bukan eritroit adalah sel pada
jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda.
Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari
M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari
5% darisel yang bukan eritroit, disebut dengan M4 dengan eoshinophilia.
Pasien–pasien dengan AML type M4 mempunyai respon terhadap
kemoterapi-induksi standar.
6) M5 (Leukemia monoblastik)
Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah
monoblas, promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel
monosit dominan adalah monoblas, sedang pada M5b adalah promonosit
dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik.
7) M6 (Eritroleukemia)
Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda
dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran
morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang raksasa. Perubahan
megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara nukleus
dan sitoplasma. M6 disebut Myelodisplastic Syndrome (MDS) jika sel
leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit. M6 jarang terjadi dan
biasanya kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar.

8) M7 (Leukemia megakarioblastik)
Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit.
1.3 Faktor Resiko AML
Meskipun beberapa faktor risiko untuk AML telah diidentifikasi, penyebab
spesifik dari penyakit ini masih belum jelas. Namun terdapat beberapa faktor
prediposisi dari AML pada populasi tertentu (Jabbour, Estey, and Kantarjian,
2006).
a. Obat-obatan seperti chloramphenicol, phenylbutazone, chloroquine dan
methoxypsoralen dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sumsum
tulang yang kemudian beresiko terhadap terjadinya AML.
b. Senyawa kimia seperti yang terkandung pada rokok, pestisida, herbisida, dan
benzene diketahui berpotensi merangsang perkembangan AML.
c. Radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan AML, seperti pada orang-
orang yang selamat dari bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945.
Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5
tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun
sesudah pengeboman.
d. Penyakit yang berhubungan dengan gangguan kromosom, seperti pada
sindrom Down (trisomi kromosom 21), sindrom Bloom, anemia Fanconi dan
klinefelter, diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan
populasi normal untuk menderita AML.
e. Terapi radiasi dengan menggunakan golongan alkylating agent dan
topoisomerase II inhibitor diketahui dapat meningkatkan resiko terjadinya
AML. Golongan alkylating agent seperti cychlophospamide, melphalan, dan
nitrogen mustard sering dihubungkan dengan kejadian abnormalitas pada
kromosom 5 dan/atau 7. Terpapar golongan topoisomerase II inhibitor seperti
etoposide dan teniposide sering menyebabkan abnormalitas pada kromosom
11 dan/atau 27.

1.4 Patofisiologi (terlampir)


1.5 Manifestasi Klinis AML
Tanda dan gejala klinis AML tidak spesifik dan biasanya terkait dengan
infiltrasi leukemik ke sumsum tulang dengan hasil akhir sitopenia. Pada pasien
dapat dijumpai lelah, perdarahan, atau infeksi dan demam karena penurunan sel
darah merah, trombosit, atau sel darah putih. Gejala umumnya adalah pucat,
lelah, dan sesak napas saat beraktivitas dapat pula dijumpai nyeri tulang atau
sendi, pembengkakan abdomen, ruam kulit, gejala saraf pusat seperti kejang,
muntah, kesemutan, penglihatan kabur. Hiperleukositosis (> 100.000 sel darah
putih/ mm3 ) dapat menyebabkan gejala leukostasis, misalnya disfungsi atau
perdarahan okuler dan serebrovaskular yang termasuk kegawatdaruratan medis,
walaupun jarang.
Menurut Safitri (2010), Gejala leukemia akut biasanya terjadi setelah
beberapa minggu dan dapat dibedakan menjadi 3 tipe yaitu
1) Gejala kegagalan sumsum tulang
Gejala kegagalan sumsum tulang merupakan keluhan umum yang paling
sering.leukemia menekan fungsi sumsun tulang sehingga menyebabkan
kombinasi dari anemia,leucopenia dan trombositopenia. Gejala yang khas
adalah lelah dan sesak nafas (akibat darianemia), infeksi bakteri (akibat dari
leucopenia) dan perdarahan (akibat dari trombositopenia atau terkadang
akibat dari koagulasi intravaskuler diseminata). Pemeriksaan fisik juga sering
ditemukan kulit pucat, memar, dan perdarahan serta demam sebagai tanda
infeksi. Perdahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau ptekie yang
sering dijumpai di eksermitas bawah atau berupa epitaksis, perdarahan gusi,
dan retina.
2) Gejala sistemik
Gejala sistemik yang ditemukan dapat berupa malaise, penurunan berat
badan, berkeringat, dan penurunan nafsu makan, serta kelainan metabolic
seperti hiperkalsemia (sangat jarang).
3) Gejala lokal
Gejala lokal yang terkadang ditemukan berupa tanda infiltrasi leukemia sel
blast di kulit, gusi atau sistem saraf pusat. Infiltrasi sel-sel blast dikulit akan
menyebabkan leukemia yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan
tanpa rasa sakit. Infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan
nodul dibawah kulit. Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan menimbulkan
nyeri tulang yang spontan atau dnegan stimulasi ringan. Infiltrasi sel-sel blast
kedalam gusi akan menyebabkan pembengkakan pada gusi. Selain itu dapat
terjadi hepatomegali dan splenomegali akibat infiltrasi sel-sel blast dihati dan
limpa.
1.6 Pemeriksaan Diagnostik AML
a. Morfologi
Aspirasi sumsum tulang merupakan bagian dari pemeriksaan rutin untuk
diagnosis AML. Pulasan darah dan sumsum tulang diperiksa dengan
pengecatan May-Grunwald-Giemsa atau Wright-Giemsa. Untuk hasil yang
akurat, diperlukan setidaknya 500 sel nucleated dari sumsum tulang dan 200
sel darah putih dari perifer. Hitung blast sumsum tulang atau darah ≥ 20%
diperlukan untuk diagnosis AML, kecuali AML dengan t(15;17), t(8;21),
inv(16), atau t(16;16) yang didiagnosis terlepas dari persentase blast.
b. Immunophenotyping
Pemeriksaan ini menggunakan flow cytometry, sering untuk menentukan tipe
sel leukemia berdasarkan antigen permukaan. Kriteria yang digunakan
adalah ≥ 20% sel leukemik mengekpresikan penanda (untuk sebagian besar
penanda).

c. Sitogenetika
Abnormalitas kromosom terdeteksi pada sekitar 55% pasien AML dewasa.
Pemeriksaan sitogenetika menggambarkan abnormalitas kromosom seperti
translokasi, inversi, delesi, adisi.
d. Sitogenetika molekuler
Pemeriksaan ini menggunakan FISH (fluorescent in situ hybridization) yang
juga merupakan pilihan jika pemeriksaan sitogenetika gagal. Pemeriksaan ini
dapat mendeteksi abnormalitas gen atau bagian dari kromosom seperti
RUNX1-RUNX1T1, CBFB-MYH11, fusi gen MLL dan EV11, hilangnya
kromosom 5q dan 7q.
e. Pemeriksaan imaging
Pemeriksaan dilakukan untuk membantu menentukan perluasan penyakit jika
diperkirakan telah menyebar ke organ lain. Contoh pemeriksaannya antara
lain X-ray dada, CT scan, MRI (Yuliana, 2017).
Pemeriksaan peenunjang lain yang dapat dilakukan dinataranya :

 Hitung darah lengkap complete blood cell (CBC). Anak dengan CBC
kurang dari 10.000/mm3 saat didiagnosis memiliki memiliki prognosis
paling baik; jumlah lekosit lebih dari 50.000/mm3 adalah tanda
prognosis kurang baik pada anak sembarang umur, hitung darah
lengkap biasanya juga menunjukkan normositik, anemia normositik.

 Hemoglobulin : dapat kurang dari 10 gr/100ml

 Retikulosit : jumlah biasaya rendah

 Trombosit : sangat rendah (< 50000/mm)

 Sel Darah Putih : mungkin lebih dari 50000/cm dengan peningkatan


SDP immature

 Partial Thromboplastin Time : memanjang

 Laktat Dehidrogenase : mungkin meningkat

 Asam urat serum : mungkin meningkat

 Muramidase serum : pengikatan pada leukemia monositik akut dan


mielomonositik

 Copper serum : meningkat

 Zink serum : menurun

 Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat


keterlibatan

 Pungsi lumbal untuk mengkaji keterlibatan susunan saraf pusat

 Foto toraks untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum.


 Aspirasi sumsum tulang. Ditemukannya 25% sel blas memperkuat
diagnosis.

 Pemindaian tulang atau survei kerangka untuk mengkaji keterlibatan


tulang.

 Pemindaian ginjal, hati, limpa untuk mengkaji infiltrat leukemik.

 Jumlah trombosit menunjukkan kapasitas pembekuan (Smeltzer &


Suzanne, 2002).

1.7 Penatalaksanaan AML


Tujuan terapi adalah memberantas atau eradikasi sel- sel leukemia dengan obat
anti leukemia. Prinsip system pengobatannya adalah melakukan induksi,
konsolidasi, rumatan, dan reinduksi. Penatalaksanaan umum yang dapat
dilakukan (Arief Mansjoer, dkk, 2002):
a. Tranfusi darah diberikan bila kadar Hb< 6 g%. Trombosit diberi bila terjadi
trombositopenia berat dan perdarahan masif.
b. Kortikosteroid
c. Sitostatik
d. Hindari infeksi sekunder, penderita di isolasi
e. Imunoterapi.

Berdasarkan (Yuliana, 2017) terapi AML dapat dibagi menjadi :

 Terapi Induksi
Terapi induksi bertujuan untuk mencapai remisi komplit yang didefinisikan
sebagai blast dalam sumsum tulang 1.000/μL, dan trombosit ≥
100.000/μL
a. Untuk pasien usia 18-60 tahun terapi yang diberikan adalah: Tiga hari
anthracycline (daunorubicin 60 mg/m2 , idarubicin 10-12 mg/ m2, atau
anthracenedione mitoxantrone 10-12 mg/m2 ), dan 7 hari cytarabine
(100-200 mg/ m2 infus kontinu) atau dikenal dengan “3 + 7”
merupakan standar terapi induksi. Respons komplit tercapai pada 60-
80% pasien dewasa yang lebih muda.
b. Untuk pasien usia 60-74 tahun terapi yang diberikan serupa dengan
pasien yang lebih muda, terapi induksi terdiri dari 3 hari anthracycline
(daunorubicin 45-60 mg/m2 atau alternatifnya dengan dosis ekuivalen)
dan 7 hari cytarabine 100-200 mg/m2 infus kontinu). Penurunan dosis
dapat dipertimbangkan secara individual.8 Pada pasien dengan
status performa kurang dari 2 serta tanpa komorbiditas, respons
komplit tercapai pada sekitar 50% pasien.
 Terapi konsolidasi
Terapi konsolidasi atau pasca-induksi diberikan untuk mencegah
kekambuhan dan eradikasi minimal residual leukemia dalam sumsum
tulang. Secara umum, terdapat 2 strategi utama terapi ini, yaitu
kemoterapi dan transplantasi sel punca hematopoietik. Pertimbangan
pemberian terapi didasarkan pada risiko penyakit yang dinilai dengan
profil sitogenetika dan molekuler.
a. Pasien usia 16-60 tahun dengan risiko favorable mendapat terapi
cytarabine 1-1,5 g/ m2 IV setiap 12 jam selama 3 hari atau 1-1,5 g/ m 2
IV hari 1-6 sebanyak 2-4 siklus.
b. Pasien dengan risiko intermediate I, intermediate II, atau adverse,
dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi sel hematopoietik
alogeneik. Jika tidak mungkin, diberi terapi konsolidasi seperti berikut:
cytarabine 1-1,5 g/ m2 IV setiap 12 jam selama 3 hari atau 1-1,5 g/ m 2
IV hari 1-6 sebanyak 2-4 siklus.
c. Pasien usia di atas 60 tahun dengan risiko favorable tanpa kondisi
penyulit mendapat terapi cytarabine 0,5-1 g/m 2 IV setiap 12 jam hari
1-3 atau 0,5-1 g/m2 IV hari 1-6 sebanyak 2-3 siklus
 Terapi kekambuhan
Pada sebagian besar pasien AML yang mencapai remisi komplit,
leukemia akan kambuh dalam 3 tahun setelah diagnosis. Secara umum,
prognosis pasien setelah kambuh adalah buruk. Pasien dengan
kekambuhan dini (respons komplit pertama kurang dari 6 bulan),
sitogenetika adverse, atau usia lebih tua memiliki outcome buruk.Terapi
disesuaikan dengan kondisi pasien. Skor prognostik yang memperkirakan
harapan hidup dapat menjadi dasar penentuan terapi. Skor prognostik
dihitung sebagai berikut:
a. Durasi remisi sebelum relaps: > 18 bulan (skor 0); 7-18 bulan (skor 3);
≤ 6 bulan (skor 5).
b. Sitogenetik saat didiagnosis: inv(16) atau t(16;16) (skor 0); t(8;21)
(skor 3); lainnya (skor 5).
c. Transplantasi sel punca hematopoietik: tidak (skor 0), ya (skor 2).
d. Usia saat kambuh: ≤ 35 tahun (skor 0); 36- 45 tahun (skor 1); > 45
tahun (skor 2)

Terapi kekambuhan bertujuan untuk mencapai remisi baru dan mengarah


pada transplantasi sel punca hematopoietik. Beberapa regimen yang
digunakan adalah:

a. Cytarabine dosis sedang (0,5-1,5 g/m2 IV setiap 12 jam hari 1-3)


b. MEC (mitoxantrone 8 mg/m2 hari 1-5, etoposide 100 mg/m2 hari 1-5,
cytarabine 100 mg/m2 hari 1-5)
c. FLAG-IDA (fludarabine 30 mg/m2 IV hari 1-5, cytarabine 1,5 g/m2 IV
diberikan 4 jam setelah infus fludarabine hari 1-5, idarubicin 8 mg/m2
IV hari 3-5, GCSF 5 μg/ kg subkutan dari hari 6 sampai sel darah
putih > 1 g/L)

Beberapa studi melaporkan data harapan hidup sekitar 5-15 bulan


dengan pemberian regimen terapi salvage. Jika pasien tidak dapat
menerima terapi salvage intensif, diberi terapi dengan intensitas lebih
rendah (misalnya cytarabine dosis rendah, agen hipometilasi) atau
perawatan suportif terbaik. Transplantasi sel punca hematopoietik
termasuk terapi konsolidasi terpilih jika remisi kedua tercapai.The
International Bone Marrow Transplant Registry menunjukkan bahwa pada
lebih dari 3.500 transplantasi sel punca alogeneik pada pasien AML, 3-
year leukemia free survival rate sekitar 60%, 35%, dan 25% selama
remisi komplit pertama, remisi komplit berikutnya, dan kekambuhan.

1.8 Komplikasi AML


Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah yang
laintertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses metabolisme
(terjadigranulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga menginvasi
tulang disekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang. Proliferasi sel leukemia
dalam organmengakibatkan pembesaran limpa atau hepar. Kegagalan sumsum
tulang merupakan hipofungsi sumsum tulang primer sehingga terjadi penurunan
produksi semua unsur sel hemopoietik (pansitopeni). Kegagalan susmsum
tulang merupakan ketidaksanggupan sumsum tulang membentuk sel-sel darah.
Kegagalan tersebut disebabkan kerusakan primer sistem sel mengakibatkan
anemia, leukopenia dan trombositopenia
a. Kelelahan (fatigue). Jika leukosit yang abnormal menekan sel-sel darah
merah, maka anemia dapat terjadi. Kelelahan merupakan akibat dari
kedaan anemia tersebut. Proses terapi AML juga dapat menyebabkan
penurunan jumlah sel darah merah.
b. Pendarahan (bleeding). Penurunan jumlah trombosit dalam darah
(trombositopenia) pada keadaan AML dapat mengganggu proses
hemostasis. Keadaan ini dapat menyebabkan pasien mengalami epistaksis,
pendarahan dari gusi, ptechiae, dan hematom.
c. Rasa sakit (pain). Rasa sakit pada AML dapat timbul dari tulang atau
sendi. Keadaan ini disebabkan oleh ekspansi sum-sum tulang dengan
leukosit abnormal yang berkembang pesat.
d. Pembesaran Limpa (splenomegali). Kelebihan sel-sel darah yang
diproduksi saat keadaan AML sebagian berakumulasi di limpa. Hal ini
menyebabkan limpa bertambah besar, bahkan beresiko untuk pecah.
e. Stroke atau clotting yang berlebihan (excess clotting). Beberapa pasien
dengan kasus AML memproduksi trombosit secara berlebihan. Jika tidak
dikendalikan, kadar trombosit yang berlebihan dalam darah (trombositosis)
dapat menyebabkan clot yang abnormal dan mengakibatkan stroke.
f. Infeksi. Leukosit yang diproduksi saat keadaan AMLadalah abnormal, tidak
menjalankan fungsi imun yang seharusnya. Hal ini menyebabkan pasien
menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Selain itu pengobatan LGK juga
dapat menurunkan kadar leukosit hingga terlalu rendah, sehingga sistem
imun tidak efektif.
KONSEP KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
1) Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register
serta diagnosa medis.
2) Keluhan utama klien adalah tanda-tanda perdarahan pada kulit seperti
ptekie, tanda-tanda infeksi seperti demam, mengisil, serta tanda-tanda
anemia seperti kelelahan dan pucat.
3) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien tampak lemah dan pucat, mengeluh lelah, dan sesak.
Selain itu disertai juga dengan demam dan mengigil, penurunan nafs
makan dan penurunan berat badan
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit dengan gangguan pada kromosom atau pernah
mengalami kemoterapi atau terapi radiasi.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Adanya keluarga yang pernah menderita leukemia atau keganasa lain
sebelumnya.
6) Hasil pemeriksaan
a. Aktivitas biasanya kelelahan, malaise, ketidakmampuan untuk
melakukan aktvitas biasanya dengan ditandai kelelahan otot,
peningkatan kebutuhantidur, dan somnolen
b. Sirkulasi gejalanya adalah palpitasi yang ditandai dengan takikardi,
membaran mukosa pucat, dan tanda perdarahan serebral
c. Eliminasi dengan gejala diare nyeri tekan perianal, darah merah
terang pada tisu, feses hitam, darah pada urin, dan penurunan
haluaran urin.
d. Integritas ego dengan gejala perasaan tidak berdaya atau tidak ada
harapan ditandai dengan depresi menarik diri, ansietas, takut, marah.
e. Nutrisi dan cairan dengan gejala kehilangan nafsu makan, anoreksia,
muntah, dan penurunan berat badan ditandai dengan distensi
abdominal, penurunanbunyi usus, splenomegali, dan hepatomegali.
f. Neuro sensori dengan gejala penurunan koordinasi, perubahan alam
perasaan, kacau, kurang konsentrasi dan ditandai dengan otot mudah
terangsang, aktivitas kejang
g. Nyeri atau kenyamanan dengan gejala nyeri abdomen, sakit kepala,
nyeri tulang atau sendi dan ditandai dengan perilaku berhati-hati dan
focus pada diri sendiri.
h. Pernafasan dengan gejala nafas pendek dengan kerja minimal
ditandai dispnue, takipnue, batuk, dan ronkhi
i. Keamanan dengan gejala saat ini atau dahulu , jatuh, gangguan
penglihatan, perdarahan spontan yang tidak terkontrol dengan trauma
minimal dan ditandai dengan demam, infeksi, pembesaran nodul,
purpura, dan perdarahan pada gusi.

2.2 Diagnosa keperawatan


1) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara umum,
penurunan cadangan energy, dan ketidakseimbangan antara suplai
serta kebutuhan oksigen
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual dan muntah
3) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuat pertahanan
sekunder : gangguan dalam kematangan sel darah putih, peningkatan
jumlah limfosit imatur
4) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan
masukan cairan akibat mual, anoreksia
5) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia
6) Kurang pengetahuan berhubungan dengan penyakit, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpanjan pada
sumber dan salah satu intreprestasi informasi.
2.3 Rencana Asuhan Keperawatan
1) Diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelemahan secara umum, penurunan cadangan energy, dan
ketidakseimbangan antara suplai serta kebutuhan oksigen
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama … jam, terdapat
perbaikan dalam klien beraktivitas
NOC : Activity tolerance
- Jarak berjalan
- Kelelahan
- Kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari
- Nyeri sendi atau otot
NIC : Energy Management
 Kaji keterbatasan fisik klien
 Monitor intake nutrisi
 Monitor respon kardiorespiratori saat beraktivitas (takikardi, disritmia,
dispnea, diaphoresis, tekanan hemodinamik, RR)
 Monitor pola tidur klien dan jumlah jam tidur
 Batasi aktivitas fisik yang berlebihan
 Gunakan latihan ROM aktif/pasif untuk mengembalikan kekuatan otot
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual dan muntah
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ….. jam klien
menunjukan status nutrisi adekuat
Kriteria Hasil :
- BB stabil tidak terjadi mal nutrisi
- Tingkat energi adekuat
- Asupan nutrisi adekuat
NIC : Nutrition Management
 Monitor makanan / cairan tertelan dan menghitung asupan kalori
harian, yang sesuai
 Kolaborasi dengan ahli diet, jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi yang sesuai
 Menjamin ketersediaan diet terapi progresif
NIC : Nutrition Teraphy
 Menanyakan apakah pasien memiliki alergi makanan
 Timbang pasien di Interval yang tepat, mendorong asupan kalori yang
tepat untuk tipe tubuh dan gaya hidup
 Pastikan diet yang mencakup makanan tinggi kandungan serat untuk
mencegah konstipasi
 Memonitor asupan direkam untuk kandungan gizi dan kalori
 Memberikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I made. 2010. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC


Behrman, Kliegman, Arvin. 2008. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit
Buku Kedokteran: EGC.
Desen, Wan. 2008. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed. 2. Jakarta: Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. 2006. Kapita Selekta Hematologi edisi 4.
Jakarta: EGC
Permono B, Ugrasena IDG. 2008. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-
Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti
Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. 2007. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit
Alumni : Bandung
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. 2008. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai