Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehamilan adalah masa dimulainya konsepsi sampai lahirnya janin.
Lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari)
dihitung dari hari pertama haid terakhir (Prawirohardjo, 2010). Kehamilan
sebagai keadaan fisiologis dapat diikuti proses patologis yang mengancam
keadaan ibu dan janin. Kehamilan merupakan sesuatu yang didambakan oleh
wanita dan keluarga. Namun kehamilan dengan komplikasi, menjadi
kegawatan bagi ibu atau bayi yang dikandungnya karena dapat mengancam
jiwa. Kematian ibu menurut, World Health Organization (WHO) yaitu
kematian selama kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah berakhirnya
kehamilan, akibat semua sebab yang terkait atau diperberat oleh kehamilan
atau penanganannya, tapi bukan karena kecelakaan atau cidera (Depkes,
2012).
Menurut WHO sekitar 830 perempuan meninggal akibat komplikasi
kehamilan dan melahirkan diseluruh dunia. Pada tahun 2013, 289.000 wanita
meninggal selama kehamilan dan setalah persalinan, hampir semua kematian
ini sebagian besar dapat dicegah. Rasio kematian ibu di negara-negara
berkembang pada tahun 2013 adalah 230 per 100.000 kelahiran hidup lebih
besar dibandingkan kelahiran hidup di negara maju yaitu 16 per 100.000
kelahiran hidup. Ada perbedaan besar antara negara berkembang dan negara
maju. Komplikasi utama hampir 75% dari kematian ibu yaitu perdarahan,
infeksi, hipertensi dalam kehamilan (preeklamsia dan eklamsia) dan aborsi
yang tidak aman (WHO, 2014).
World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2005
terdapat 536.000 wanita hamil di seluruh dunia meninggal akibat hipertensi
pada saat persalinan. Angka Kematian Ibu (AKI) di Subsahara Afrika
270/100.000 kelahiran hidup, di Asia Selatan 188/100.00 kelahiran.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,
AKI di Indonesia masih tinggi sebesar 359/100.000 kelahiran hidup. Angka

1
ini sedikit menurun jika dibandingkan dengan SDKI tahun 1991, yaitu
sebesar 390/100.000 kelahiran hidup. Target global Millenium Development
Goals (MDGs) ke-5 adalah menurunkan AKI menjadi 102/100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2015 (Infodatin, 2014). Berdasarkan Data Profil Kesehatan
Provinsi Lampung terlihat bahwa kematian ibu dapat terjadi pada saat
kehamilan, melahirkan, dan nifas yaitu sebanyak 179 kasus, kasus kematian
ibu terbesar (59,78%) terjadi pada saat persalinan (Profil Kesehatan
Lampung, 2012).
Hipertensi pada kehamilan masih menempati urutan kedua dalam
penyebab kematian ibu di Indonesia, yaitu 26,9% di tahun 2012 dan
meningkat menjadi 27,1% di tahun 2013. Pencegahan untuk terjadinya
komplikasi perlu dilakukan dengan cara deteksi dini dan monitoring
penyebab kematian ibu dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat dan
terarah pada setiap ibu hamil, bersalin dan nifas agar dapat dilakukan
intervensi lebih awal. Hasil pemeriksaan laboratorium digunakan untuk
penetapan diagnosis, pemberian pengobatan, pemantauan hasil pengobatan
dan penentuan prognosis. Dengan demikian diharapkan hasil pemeriksaan
laboratorium yang benar dan akurat turut berperan membantu menurunkan
angka kematian ibu selama masa kehamilan, persalinan dan nifas
(Kemenkumham, 2013)
Tuberkolosis (TB) juga merupakan masalah kesehatan di seluruh
dunia. Menurut WHO, insiden TB pada tahun 2008 adalah 9,4 juta dan 3,6
juta diantaranya menginfeksi wanita. TB merupakan salah satu penyebab
terbesar kematian pada wanita, yaitu sekitar 700.000 kematian setiap tahun,
dan sepertiga dari kematian tersebut terjada pada wanita usia subur. Suatu
penelitian lain yang dilakukan di UK pada tahun 2008, insiden TB pada
kehamilan adalah 4,2 per 100.000 kehamilan. Tb pada kehamilan dapat
bermanifestasi sebagai TB pulmoner dan TB ekstra pulmoner. Pada dua
penelitian yang dilakukan di UK, 53% dan 77% dari wanita hamil dilaporkan
mengalami TB ekstra pulmoner.
Indonesia belum mempunyai data prefelensi TB pada perepuan hamil.
Di poliklinik Tuberkolosis Persatuan Pemberantasan Tuberkolosis Indonesia

2
(PPTI) tahun 2006 dan 2007 terdapat 0,2% perempuan hamil yang mengidap
TB. Angka tersebut sebanding dengan prevalensi TB pada masyarakat umum.
Untuk itu di asumsikan bahwa penyebab TB pada perempuan hamil minimal
tidak berbeda dengan sebaran di kalangan masyarakat. Oleh karna itu usaha
penapisan seharusnya dapat dilakukan pada populasi perempuan hamil
mengingat resiko yang lebih tinggi yang akan didapat oleh ibu dan janin.
Tenaga kesehatan harus dapat mengenal perubahan yang mungkin
terjadi dan mengingat akan bahaya TB paru dan hipertensi sehingga kelainan
yang ada dapat terdeteksi lebih dini agar dapat memberikan terapi yang tepat,
penanganan serta pencegahan komplikasi. Misalnya perubahan yang terjadi
adalah edema tungkai bawah pada trimester terakhir dapat merupakan
fisiologis. Namum bila disertai edema di tubuh bagian atas seperti muka dan
lengan terutama bila diikuti peningkatan tekanan darah dicurigai adanya
preeklamsi (Mansjor, 2011).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan hipertensi
gestasional dan TB paru
2. Tujuan Khusus
a. Memahami definisi hipertensi gestasional
b. Memahami etiologi hipertensi gestasional
c. Memahami klasifikasi hipertensi gestasional
d. Memahami tanda dan gejala hipertensi gestasional
e. Memahami patofisiologi hipertensi gestasional
f. Memahami komplikasi hipertensi gestasional
g. Memahami penatalaksanaan hipertensi gestasional
h. Memahami konsep medik hipertensi gestasional
i. Memahami pengkajian keperawatan pada ibu hamil
denganhipertensi gestasional
j. Memahami perencanaan keperawatan pada ibu hamil dengan
hipertensi gestasional
3. TB Paru
a. Memahami definisi tb paru
b. Memahami etiologi tb paru
c. Memahami klasifikasi tb paru
d. Memahami tanda dan gejala tb paru
e. Memahami patofisiologi tb paru
f. Memahami komplikasi tb paru

3
g. Memahami penatalaksanaan tb paru
h. Memahami konsep medik TB paru
i. Memahami pengkajian pada ibu hamil dengan TB paru
j. Memahami perencanaan keperawatan pada pasien dengan tb paru

BAB II
KONSEP DASAR

A. Hipertensi Gestasional
1. Definisi
Hipertensi gestasional atau hipertensi transien adalah tekanan
darah abnormal di dalam arteri yang dialami oleh ibu hamil dengan
peningkatan tekanan darah yang dideteksi pertama kali setelah
pertengahan kehamilan, tanpa proteinuria, diklasifikasikan menjadi
hipertensi gestasional. Jika preeklampsia tidak terjadi selama kehamilan
dan tekanan darah kembali normal setelah 12 minggu postpartum,
diagnosis transient hypertension dalam kehamilan dapat ditegakkan.
Namun, jika tekanan darah menetap setelah postpartum, wanita tersebut

4
didiagnosis menjadi hipertensi kronik. Hipertensi gestasional dan
preeklampsia meningkatkan risiko komplikasi pada kehamilan seperti
berat lahir bayi yang rendah dan kelahiran prematur.
Gangguan hipertensi pada kehamilan mengacu pada berbagai
keadaan, dimana terjadi peningkatan tekanan darah meternal disertai
risiko yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan janin. Awalnya,
gangguan hipertensi pada kehamilan disebut toksemia, tetapi istilah ini
kurang tepat karena tidak ada agens toksik atau toksin yang bisa
ditemukan (Bobak, 2010). Hipertensi pada kehamilan adalah komplikasi
serius trimester kedua-ketiga dengan gejala klinis, seperti: edema
hipertensi, proteinuria, kejang sampai koma dengan umur kehamilan
diatas 20 minggu, dan dapat terjadi antepartum-intrapartum-pascapartum
(Manuaba, 2008).
Hipertensi Akibat Kehamilan (HAK) adalah peningkatan tekanan
darah tanpa proteinuria dan tidak ada patologi yang berhubungan dengan
kehamilan. Kejadian hipertensi akibat kehamilan sekitar tiga kali lebih
sering daripada pre-eklamsia (Chapman, 2006). Tekanan darah diastolik
merupakan indikator dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan,
oleh karena tekanan diastolik mengukur tahanan perifer dan tidak
tergantung pada keadaan emosional pasien. Diagnosis hipertensi dibuat
jika tekanan diastolik ≥90 mmHg pada 2 kali pengukuran berjarak 1 jam
atau lebih (Depkes RI, 2007).

2. Etiologi
Meskipun sebab utama dari hipertensi dalam kehamilan belum
jelas, tampaknya terjadi reaksi penolakan imunologik ibu terhadap
kehamilan di mana janin dianggap sebagai hostile tissue graff reaction
dimana “Reaksi penolakan imunologik dapat menimbulkan gangguan
yang lebih banyak pada tubuh wanita hamil dibanding akibat tingginya
tekanan darah, yaitu perubahan kimia total pada reaksi yang tidak dapat

5
diadaptasi yang dapat menyebabkan kejang dan kematian pada wanita
hamil,” akibat Hipertensi Gestasional.
Menurut Prof DR H Mohamammad Anwar Mmed Sc SpOG,
hipertensi yang tidak diobati dapat memberikan efek buruk pada ibu
maupun janin:
a. Efek kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah wanita
hamil akan merusak sistem vascularasi darah, sehingga
mengganggu pertukaran oksigen dan nutrisi melalui placenta dari
ibu ke janin. Hal ini bisa menyebabkan prematuritas placenta
dengan akibat pertumbuhan janin yang lambat dalam rahim.
b. Hipertensi yang terjadi pada ibu hamil dapat mengganggu
pertukaran nutrisi pada janin dan dapat membahayakan ginjal
janin.
c. Hipertensi bisa menurunkan produksi jumlah air seni janin
sebelum lahir. Padahal, air seni janin merupakan cairan penting
untuk pembentukan amnion, sehingga dapat terjadi
oligohydromnion (sedikitnya jumlah air ketuban).

3. Faktor-faktor Resiko Hipertensi


Hipertensi dalam kehamilan merupakan gangguan multifactorial.
Beberapa factor resiko dari hipertensi dalam kehamilan adalah:
a. Faktor maternal
1) Usia maternal
Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia
20-30 tahun. Komplikasi maternal pada wanita hamil dan
melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2 sampai 5
kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi
pada usia 20 sampai 29 tahun. Dampak dari usia yang
kurang, dapat menimbulkan komplikasi selama kehamilan.
2) Primigravida
Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi pada
kehamilan pertama. Jika ditinjau dari kejadian hipertensi

6
dalam kehamilan, grafiditas paling aman adalah kehamilan
kedua sampai ketiga.
3) Riwayat keluarga
Terdapat peranan genetic dalam hipertensi kehamilan. Hal
tersebut dapat terjadi karena terdapat riwayat keluarga
dengan hipertensi dalam kehamilan.
4) Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama kehamilan
dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, dimana komplikasi tersebut dapat mengakibatkan
superimpose pre-eklamsia dan hipertensi kronis dalam
kehamilan.
5) Tingginya indeks masa tubuh
Tingginya nilai indeks masa tubuh merupakan masalah gizi
karena kelebihan kalori, kelebihan gula dan garam yang kelak
bisa menjadi factor resiko terjadinya berbagai jenis penyakit
degenerative, seperti Diabetes Mellitus, Hipertensi
Kehamilan, penyakit jantung coroner, Reumatik dan berbagai
jenis keganasan dan gangguan kesehatan lain. Hal tersebut
berkaitan dengan timbunan lemak berlebih dalam tubuh.
6) Gangguan ginjal
Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita pada
ibu hamil dapat menyebabkan hipertensi dalam kehamilan.
Hal tersebut berhubungan dengan kerusakan glomerus yang
menimbulkan gangguan filtrasi dan vasokontriksi pembuluh
darah.
b. Faktor kehamilan
Faktor kehamilan seperti malla hidatidosa, hydrops fetalis
dan kehamilan ganda berhubungan dengan hipertensi dalam
kehamilan. Pre-eklamsia dan eklamsia mempunyai resiko 3 kali
lebih sering terjadi pada kehamilan ganda. Dari 105 kasus kembar
dua, didapatkan 28,6% kejadian pre-eklamsia dan satu kasus
kematian ibu karena eklamsia.

7
4. Tanda dan Gejala
a. Tanda dan gejala untuk Hipertensi ringan dalam kehamilan
antara lain:
1) Proteinuria samar sampai +1
2) Peningkatan enzim hati minimal
3) Tekanan darah diastolik > 100 mmHg
b. Manifestasi klinis untuk Hipertensi berat dalam kehamilan
antara lain:
1) Tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih
2) Proteinuria + 2 persisten atau lebih
3) Nyeri kepala
4) Gangguan penglihatan
5) Nyeri abdomen atas
6) Oliguria
7) Kreatinin meningkat
8) Trombositopenia
9) Peningkatan enzim hati
10) Pertumbuhan janin terhambat
11) Edema paru
c. Dampak pada ibu:
1) Organ tubuh kekurangan oksigen dan tidak bisa
bekerja sempurna.
2) Plasenta lepas.
3) Terjadi pre-eklampsia di usia kehamilan lewat dari
20 minggu (tandanya: tekanan darah naik, terdapat protein
dalam urin dan pembengkakan di bagian tubuh tertentu).
4) Perdarahan di otak.
5) Kejang.
6) Kematian ibu.
d. Dampak pada Janin:
1) Berat badan bayi lahir rendah
2) Kematian bayi

5. Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia berdasarkan Report of the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on
High Blood Pressure in Pregnancy ialah :
a. Hipertensi kronik
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur
kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis

8
setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai
12 minggu pascapersalinan.
b. Preklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria.
c. Eklampsia
Eklampsia adalah apabila ditemukan kejang-kejang pada penderita
preeklampsia, yang juga dapat disertai koma.

6. Patofisiologi
Patofisiologi hipertensi gestasional ( Cunningham, 2006 ) adalah :
a. Perubahan volume intravaskuler
Pada kehamilan preeklamsi terjadi vasokontriksi menyeluruh pada
sistem pembuluh darah astiole dan prakapiler pada hakekatnya
merupakan kompensasi terhadap terjadinya hipovolemi.
b. Patofisiologi terpenting pada hipertensi gestasional adalah
perubahan arus darah di uterus koriodesidua, dan plasenta yang
merupakan faktor penentu hasil akhir kehamilan.
c. Iskemia uteroplasenter
Ketidakseimbangan antara masa plasenta yang meningkat dengan
perfusi darah sirkulasi yang berkurang.
d. Hipoperfusi uterus
Produksi renin uteroplasenta meningkat menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi vaskular dan meningkatkan kepekaan vaskuler pada
zat – zat vasokonstriktor lain ( angiotensi dan aldosteron ) yang
menyebabkan tonus pembuluh darah meningkat
e. Gangguan uteroplasenter
Suplai O2 janin berkurang sehingga terjadi gangguan pertumbuhan/
hipoksia/ janin mati.

7. Pathway

9
Faktor Resiko :
1. Primigravida dan Multigravida
2. Riwayat keluarga engan pre-eklamsia
atau eklamsia
Faktor Imunologik Tekanan darah 3. Pre-eklamsia pada kehamilan
( hipertensi sebelumnya, abortus
4. Ibu hamil dengan usia <2 tahun atau
>35 tahun
5. Wanita dengan gangguan fungsi
organ atau riwayat kesehatan diabetes,
penyakit ginjal, migraine, dan tekanan
Perfusi jaringan
darah tinggi
6. Kehamilan kembar
7. Obesitas
8.Intenal antar kehamilan yang jauh

Aliran darah Kebutuhan Kerusakan Terjadi Edema


berkurang nutrisi glomerulus mikroemboli
janin tidak pada
terpenuhi hati( kerusak
Transport O2 an liver) )
menurun Kemampuan Edem Edem
filtrasi a a
Adanya
menurun paru serebr
lesi pada Nyeri
arteri al
Gangguan epigastrium
utero
perfusi
plasenta
jaringan
perifer Protei Retens Nyeri
Resiko Dypnea Spas
nuria i urin
gangguan me
hubungan arter
ibu janin iolar
Ketidak retin
efektifa a
n pola
Protein plasma Gangguan nafas
darah menurun eliminasi urin
Pandangan
Gangguan kabur
pesepsi sensori
Kekurangan
volume cairan

8. Pemeriksaan Penunjang

10
a. Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap
volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko
seperti: hipokoagulabilitas, anemia.
b. BUN / kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi /
fungsi ginjal.
c. Glucosa: Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi)
dapat diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
d. Urinalisa: darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi
ginjal dan ada DM.
e. CT Scan: Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
f. EKG: Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas,
peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit
jantung hipertensi.
g. IVP (Intra Venous Pyelography): mengidentifikasikan
penyebab hipertensi seperti: Batu ginjal, perbaikan ginjal.
h. Photo dada: Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area
katup, pembesaran jantung (Prawirohadjo, 2010)

9. Penatalaksanaan Medis
Terapi Hipertensi pada kehamilan menurut Manuaba (2001)
a. Hipertensi ringan pada kehamilan (sistolik 140-159 mmHg
dan diastolik 90-99 mmHg)
1) Dengan berobat jalan (ambulatori).
2) Dengan nasehat, untuk menurunkan gejala klinik:
Tirah baring 2x2 jam/hari miring, untuk meningkatkan aliran
darah venosus dengan tujuan meningkatkan peredaran darah
menuju jantung dan plasenta sehingga menurunkan iskemia
plasenta.
3) Pengobatan tambahan:
a) Diuretik ringan dapat menambah produksi urine ,
sehingga perlu diimbangi dengan banyak minum.
b) Mengurangi makan garam.
c) Pemberian aspirin 80 mgr/hari, akan berkaitan
dengan tromboksan sehingga vasokonstriksi berkurang
dan tekanan darah menurun.

11
d) Sedativa ringan sehingga lebih banyak istirahat
miring, untuk meningkatkan aliran darah menuju
plasenta dan ginjal serta organ vital.
b. Hipertensi berat pada kehamilan (sistolik ≥180 mmHg dan
diastolik ≥110 mmHg)
1) Dalam keadaan gawat darurat segera masuk rumah sakit.
2) Istirahat dengan tirah baring ke satu sisi dalam suasana
isolasi.
3) Pemberian obat-obatan untuk:
a) Menghindari kejang-kejang.
b) Antihipertensi.
c) Pemberian diuretikum.
d) Pemberian infus dekstros 5%.
e) Pemberian antasida.

B. TB Paru
1. Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena
infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk
suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M.
Tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan
kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan
tuberkulosis ekstrakolumnar. Diperkirakan bahwa sepertiga penduduk
dunia pernah terinfeksi kuman M. Tuberculosis. Tuberkulosis paru-paru
merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat pula
menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan
nodus limfe (Somantri, 2007).

2. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk
batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian
besar komponen Mycobacterium Tuberculosis adalah berupa lemak/lipid
sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap
zat kimia dan factor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni

12
menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, Mycobacterium
Tuberculosis senang tinggal di apeks paru-paru yang kandungan
oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk
penyakit tuberculosis (Somantri, 2007).

3. Tanda dan Gejala


Tanda TB Paru:
a. Batuk menahun
b. Hemaptoe (batuk darah)
c. Kurus kering
Gejala klinik infeksi tuberkulosis adalah batuk dengan sputum
minimal, hemoptisis, subfebris, penurunan berat badan, dan pada
pemeriksaan foto toraks ditemukan gambaran ilfitrat, kavitas, dan
limfadenopati mediastinum. Pemeriksaan radiologik harus memakai
pelindung timah pada abdomen, sehingga bahaya radiasi dapat
diminimalisasi. Pada trimester I hindari pemeriksaan foto toraks karena
efek radiasi yang sedikitpun masih berdampak negatif pada sel-sel muda
janin (Prawirohardjo, 2010).

4. Klasifikasi
Klarifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik,
bakteriologik, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya.
Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan
untuk menetapkan strategi terapi. Sesuai dengan program Gerdunas
P2TB klasifikasi TB Paru dibagi sebagai berikut:
a. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
1) Dengan atau tanpa gejala klinik
2) BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif
1 kali disokong biakan positif satu kali atau disokong radiologik
positif 1 kali.
3) Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru. B. TB Paru
BTA Negatif dengan kriteria:
a) Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan
TB Paru aktif
b) BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
C. Bekas TB Paru.

13
5. Patofisiologi
Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil M. tuberculosis.
Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang
biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan M. tuberculosis juga dapat
menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru (lobus atas). Selanjutnya,
system kekebalan tubuh memberi respon dengan melakukan reaksi
inflamasi. Neutrophil dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan
bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan
(melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini
mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang
menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam
waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.
Interaksi antara M. tuberculosis dan system kekebalan tubuh pada
masa awal infeksi membentuk sebuah masa jaringan baru yang disebut
granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup yang mati yang
dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya
berubah bentuk menjadi masa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari masa
tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan
bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang
penampakannya seperti keju. Hal ini akan menjadi klasifikasi dan
akhirnya membentuk jaringan kolagen kemudian bakteri menjadi non
aktif. Setelah infeksi awal, jika respon system imun tidak adekuat maka
penyakit akan menjadi lebih parah.
Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi tulang atau
bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus
ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing
caseosa di dalam bronkus. Tubercle yang ulserasi selanjutnya menjadi
sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi
kemudian meradang. Mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia
membentuk tubercle dan seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh

14
dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus dan bacillus di fagosit
(berkembang biak ) di dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tubercle
epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari).
Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi
sel epitel dan fibroblast akan menimbuilkan respon berbeda, kemudian
pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh
tuberkel (Somantri, 2007).
Infeksi ditularkan melalui inhalasi Mycobacterium tuberculosis,
yang memicu suatu reaksi granulomatosa di paru. Pada lebih dari 90%
pasien, infeksi dapat dikendalikan dan menjadi dorman untuk jangka
waktu yang lama. Pada beberapa pasien, terutama yang mengalami
imunosupresi atau mengidap penyakit lain, tuberkulosis mengalami
reaktivasi dan menimbulkan gejala klinis. Gambaran klinis biasanya
berupa batuk dengan sputum minimal, demam ringan, hemoptisis, dan
penurunan berat. Berbagai pola infiltrat tampak pada foto toraks, dan
mungkin juga terdapat kavitasi atau limfadenopati mediastinum. Basil
tahan asam dijumpai pada apusan sputum pada sekitar 2/3 dari pasien
yang biakannya positif. Tuberkulosis ekstraparu dapat timbul di semua
organ, dan hampir 40% pasien positif HIV mengalami penyakit
diseminata (Cunningham. 2005).
Prognosis bagi wanita hamil dengan penyakit tuberculosis yang
aktif telah mengalami perbaikan yang luar biasa selama waktu 30 tahun
terakhir ini. Beberapa preparat tuberculosis urutan pertama tidak terlihat
memberikan efek yang merugikan bagi janin. Penyakit tuberculosis yang
aktif selalu dapat diobati paling tidak dengan dua .macam preparat
tuberculosis. Dalam suatu tinjauan (Snider,dkk 1980) tidak menemukan
frekuensi cacat lahir pada anak-anak yang ibunya mendapatkan
pengobatan isoniazid, ethambutol maupun rifampisin selama
kehamilannya. Kelainan auditorius dan vestibuler yang ringan pernah
ditemukan pada terapi dengan streptomisin. Kalau isoniazid digunakan

15
selama kehamilan, piridoksin harus pula diberikan sebagai suplemen
untuk mengurangi kemungkinan neurotoksisitas yang potensial pada
janin. Bayi dari wanita yang menderita tuberculosis, mempunyai berat
badan lahir rendah, 2 x lipat meningkatkan persalinan premature, kecil
masa kehamilan, dan meningkatkan kematian perinatal 6 kali lipat.

Pengaruh utama tuberculosis terhadap kehamilan adalah


mencegah terjadinya konsepsi sehingga banyak penderita tuberculosis
yang mengalami infertilitas. Jika seorang wanita positif tuberculosis,
riwayat penyakit harus dianamnesis dengan cermat dan pemeriksaan fisik
yang lengkap harus dilakukan dengan melakukan foto thorks dan bagian
abdomen dilindungi ketika pemeriksaan kardiologi itu dilakukan. Jika
hasilnya negative, pengobatan tidak diberikan sampai sesudah persalinan
bayi, yaitu dengan pemberian isoniazid selama satu tahun sebagai
tindakan profilaksis. Bayi yang lahir dari ibu dengan tuberculosis cukup
rentan terhadap penyakit tersebut. Karena itu bayi harus diisolasi segera
dari ibunya yang dicurigai tuberculosis aktif. Karena adanya risiko untuk
terjadinya penyakit tuberculosis yang aktif pada bayi, maka terapi
profilaksis dengan isoniazid ataukah tindakan vaksinasi BCG, keduanya
mempeunyai manfaat yang cukup besar.

6. Pathway

16
7. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis TB pada wanita hamil dilakukan melalui pemeriksaan
fisik (sesuai luas lesi), pemeriksaan laboratorium (apakah ditemukan
BTA?), serta uji tuberkulin. Uji tuberkulin hanya berguna untuk
menentukan adanya infeksi TB, sedangkan penentuan sakit TB perlu
ditinjau dari klinisnya dan ditunjang foto torak. Pasien dengan hasil uji
tuberkulin positif belum tentu menderita TB. Adapun jika hasil uji
tuberkulin negatif, maka ada tiga kemungkinan, yaitu tidak ada infeksi
TB, pasien sedang mengalami masa inkubasi infeksi TB, atau terjadi
anergi. Kehamilan tidak akan menurunkan respons uji tuberkulin. Untuk

17
mengetahui gambaran TB pada trimester pertama, foto toraks dengan
pelindung di perut bisa dilakukan, terutama jika hasil BTA-nya negatif.

8. Penatalaksanaan Medis
a. Sebelum hamil perlu diberi konseling mengenai pengaruh
kehamilan dan TBC, serta pengobatan adanya TBC tidak merupakan
indikasi untuk melakukan abortus. Pengobatan TBC dengan
isoniazid, rifampisin, etambutol dan pirazinamid tidak merupakan
kontraindikasi pada kehamilan. Pengobatan TBC dengan amino-
glikosida (streptomisin) merupakan kontraindikasi pada kehamilan
karena dapat menyebabkan ototoksik pada janin. Pengobatan TBC
dalam kehamilan menurut rekombinasi WHO adalah dengan
pemberian regimen kombinasi isoniazid, rifampisisn, etambutol
selama 9 bulan. Saat persalinan mungkin diperlukan pemberian
oksigen yang adekuat dan cara persalinan sesuai indikasi obstetrik.
Pemakaian masker dan ruangan isolasi diperlukan untuk mencegah
penularan. Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun
ibu mendapat obat anti TBC. Perlu divaksinasi BCG (Prawirohardjo,
2010 )
b. Dalam kehamilan
1) Ibu hamil dengan proses aktif, hendaknya jangan
dicampurkan dengan wanita hamil lainnya pada pemeriksaan
antenatal.
2) Di diagnosis pasti dan pengobatan selalu bekerjasama
dengan ahli paru-paru.
3) Penderita dengan proses aktif, apalagi dengan batuk darah,
sebaiknya dirawat di rumah sakit, dalam kamar isolasi. Gunanya
untuk mencegah penularan, untuk menjamin istirahat dan
makanan yang cukup, serta pengobatan yang intensif dan teratur.
4) Obat-obatan : INH, PAS, rifadin dan streptomisin.
5) TBC paru-paru tidak merupakan indikasi untuk abortus
dengan terminasi kehamilan.
c. Dalam persalinan
1) Bila proses tenang, persalian akan berjalan seperti biasa dan
tidak perlu tindakan apa-apa.

18
2) Bila proses aktif, kala I dan II diusahakan seringan
mungkin. Pada kala I, ibu hamil diberi obat-obat penenang dan
analgetika dosis rendah. Kala II diperpendek dengan ekstrasi
vakum/forceps.
3) Bila ada indikasi obstetrik untuk seksio sesarea, hal ini
dilakukan bekerja sama dengan ahli anastesi untuk
memperoleh anastesi mana yang terbaik.
d. Dalam masa nifas :
1) Usahakan jangan terjadi perdarahan yang banyak, diberi
uterus tonika dan koagulansia.
2) Usahakan mencegah terjadinya infeksi tambahan dengan
memberikan antibiotika yang cukup.
3) Bila ada anemia sebaiknya diberikan transfusi darah, agar
daya tahan ibu lebih kuat terhadap infeksi sekunder.
4) Ibu dianjurkan segera memakai kontrasepsi atau bila
jumlah anak sudah cukup, segera dilakukan tubektomi.
e. Perawatan bayi Biasanya bayi akan ditulari ibunya setelah
kelahiran, dan TBC bawaan (kongenital) sangat jarang.
1) Bila ibu dalam proses TBC aktif, (Secepatnya bayi
diberikan BCG) Bayi segera dipisah dari ibunya selama 6-8
minggu. Bila uji mantoux sudah positif pada bayi, barulah
bayi barulah bayi dapat ditemukan lagi dengan ibunya.
2) Menyusukan bayi, pada proses aktif, dilarang karena
kontak langsung dari mulut ibu pada bayi.
3) Dapat diberikan anti TBC profilaksis pada bayi yaitu INH:
nig/kg berat badan/hari (Moechtar,1998).

19
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data pada Ibu Hamil dengan Hipertensi
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama
Pasien dengan hipertensi pada kehamilan didapatkan keluhan
seperti sakit kepala terutama area kuduk bahkan mata dapat
berkunang-kunang, pandangan mata kabur, proteinuria (protein
dalam urin), peka terhadap cahaya, nyeri ulu hati.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien hipertensi dalam kehamilan, biasanya akan diawali
dengan tanda-tanda mudah letih, nyeri kepala (tidak hilang dengan

20
analgesic biasa), diplopia, nyeri abdomen atas (epigastrium),
oliguria (<400 ml/ 24 jam) serta nokturia dan sebagainya. Perlu
juga dinyatakan apakah klien menderita diabetes, penyakit ginjal,
rheumatoid arthritis, lupus atau scleroderma, perlu ditanyakan juga
mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah
dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhan
tersebut.
d. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti
kronis hipertensi (tekanan darah tinggi sebelum hamil), obesitas,
ansietas, angina, dyspnea, ortopnea, hematuria, nokturia dan
sebagainya. Ibu beresiko dua kali lebih besar bila hamil dari
pasangan yang sebelumnya menjadi bapak dari satu kehamilan
yang menderita penyakit ini. Pasangan suami baru mengmbalikan
resiko ibu sama seperti primigravida. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui kemungkinan adanya factor predisposisi.

e. Riwayat penyakit keluarga


Perlu tanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit-penyakit yang disinyalir sebagai penyebab hipertensi
dalam kehamilannya. ada Hubungan genetic yang telah diteliti.
Riwayat keluarga ibu atau saudara perempuan meningkatkan resiko
empat sapai delapan kali.
f. Riwayat psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan
yang dilakukan terhadap dirinya.
2. Pengumpulan data pada Ibu Hamil dengan TB Paru
a. Identitas klien
b. Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit
yang dirasakan saat ini. Dengan adanya sesak nafas, batuk, nyeri
dada, keringat malam, nafsu makan menurun dan suhu badan
meningkat mendorong penderita untuk mencari pengobatan.
c. Riwayat penyakit dahulu

21
Keadaan atau penyakit-penyakit yang pernah diderita oleh
penderita yang mungkin sehubungan dengan tuberkolosis paru
antara lain ISPA efusi pleura serta tuberkolosis paru yang kembali
aktif.
d. Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkolosis paru yang
menderita penyakit tersebut sehingga diteruskan penularannya.
e. Riwayat psikososial
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan
sanitasi kesehatan kesehatan yang kurang ditunjang dengan
padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan
penderita tuberkolosis paru yang lain.

3. Pengkajian Sistem Tubuh


a. B1 (Breathing)
Pernafasan meliputi sesak nafas sehabis aktifitas, batuk dengan
atau tanpa sputum, riwayat merokok, penggunaan obat bantu
pernafasan, bunyi nafas tambahan, sianosis.
b. B2 (Blood)
Gangguan fungsi kardiovaskular pada dasarnya berkaitan dengan
meningkatnya afterload jantung akibat hipertensi. Selain itu
terdapat perubahan hemodinamik, perubahan volume darah berupa
hemokonsentrasi. Pembekuan darah terganggu waktu trombin
menjadi memanjang. Yang paling khas adalah trombositopenia dan
gangguan faktor pembekuan lain seperti menurunnya kadar
antitrombin III. Sirkulasi meliputi adanya riwayat hipertensi,
penyakit jantung coroner, episodepalpitasi, kenaikan tekanan darah,
takhicardi, kadang bunyi jantung terdengar S2 pada dasar , S3 dan
S4, kenaikan TD, nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,
radialis, takikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena
jugularis, kulit pucat, sianosis, suhu dingin.
c. B3 (Brain)
Lesi ini sering karena pecahnya pembuluh darah otak akibat
hipertensi. Kelainan radiologis otak dapat diperlihatkan dengan CT-

22
Scan atau MRI. Otak dapat mengalami edema vasogenik dan
hipoperfusi. Pemeriksaan EEG juga memperlihatkan adanya
kelainan EEG terutama setelah kejang yang dapat bertahan dalam
jangka waktu seminggu.Integritas ego meliputi cemas, depresi,
euphoria, mudah marah, otot muka tegang, gelisah, pernafasan
menghela, peningkatan pola bicara. Neurosensori meliputi keluhan
kepala pusing, berdenyut , sakit kepala sub oksipital, kelemahan
pada salah satu sisi tubuh, gangguan penglihatan (diplopia,
pandangan kabur), epitaksis, kenaikan terkanan pada pembuluh
darah cerebral.
d. B4 (Bladder)
Riwayat penyakit ginjal dan diabetes mellitus, riwayat penggunaan
obat diuretic juga perlu dikaji. Seperti pada glomerulopati lainnya
terdapat peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein
dengan berat molekul tinggi. Sebagian besar penelitian biopsy
ginjal menunjukkan pembengkakan endotel kapiler glomerulus
yang disebut endoteliosis kapiler glomerulus. Nekrosis hemoragik
periporta dibagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar
merupakan penyebab meningkatnya kadar enzim hati dalam serum.
e. B5 (Bowel)
Makanan/cairan meliputi makanan yang disukai terutama yang
mengandung tinggi garam, protein, tinggi lemak, dan kolesterol,
mual, muntah, perubahan berat badan, adanya edema.
f. B6 (Bone)
Nyeri/ketidaknyamanan meliputi nyeri hilang timbul pada tungkai,
sakit kepala sub oksipital berat, nyeri abdomen, nyeri dada, nyeri
ulu hati. Keamanan meliputi gangguan cara berjalan, parestesia,
hipotensi postural.

B. Diagnosa
1. Hipertensi
Diagnosa Keperawatan Etiologi
Ketidakefektifan perfusi jaringan Transport O2 menurun ( hipertensi )
perifer

23
Resiko gangguan hubungan ibu janin Transport O2 menurun ( hipertensi )
Kekurangan volume cairan Kegagalan mekanisme regulasi,
kehilangan cairan aktif
Gangguan eliminasi urin Obstruksi anatomik, penyebab
multipel
Nyeri akut Agen cidera biologis
Ketidakefektifan pola nafas Hiperventilasi, kelemahan otot
pernafasan

2. TB Paru
Diagnosa Keperawatan Etiologi
Gangguan pertukaran gas Ketidakseimbangan ventilasi perfusi,
perubahan membran alveolar kapiler
Pola nafas tidak efektif Hiperventilasi, kelemahan otot
pernafasan
Gangguan pola tidur Sesak nafas
Keletihan Gangguan tidur
Bersihan jalan nafas tidak efektif Produksi mukus berlebih, obstruksi
jalan nafas
Intoleransi aktifitas Ketidakseimangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen

24

Anda mungkin juga menyukai