Pembimbing:
Dr. dr. Mukhlis Rudi, SpAn-KNA
Oleh :
Desti Pratiwi 1620221204
Meliany Hutami Putri 16202 21167
I
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT KEDOKTERAN
Oleh :
Desti Pratiwi 1620221204
Meliany Hutami Putri 16202 21167
Dokter Pembimbing :
II
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
referat tentang ‘Intoksikasi Oksigen pada Terapi Oksigen’ ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Kami berterima kasih pada Dr. dr.
Mukhlis Rudi, SpAn-KNA sebagai pembimbing yang telah memberikan tugas
ini kepada kami, serta pihak yang telah membantu dalam menyusun referat ini.
Kami sangat berharap referat ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kami mengenai intoksikasi oksigen. Kami menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam referat ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga referat ini dapat bermanfaat kepada siapapun yang membaca pada
umumnya serta untuk kami sendiri sebagai penyusun pada khususnya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang sifatnya membangun dari
demi perbaikan referat ini di waktu yang akan datang.
Penyusun
III
DAFTAR ISI
IV
BAB I
PENDAHULUAN
Oksigen adalah gas tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa yang
mengisi 20% dari udara yang kita hirup (dan setidaknya setengah dari berat
seluruh kerak bumi yang padat). Oksigen adalah bagian dari udara terpenting
kedua yaitu sebanyak 20,93% setelah nitrogen (78,10%). Oksigen bergabung
dengan sebagian besar unsur-unsur lain untuk membentuk oksida. Oksigen
memiliki fungsi yang sangat penting untuk kehidupan.
Oksigen masuk melalui sistem respirasi. Begitupun darah yang beredar di
dalam tubuh memiliki kabar oksigen yang diikat oleh hemoglobin. Oxygen
delivery (DO2) adalah jumlah total oksigen yang dialirkan darah ke jaringan
setiap menit. Kadar oxygen delivery tergantung dari cardiac output (CO) dan
oxygen content of the arterial blood (CaO2). Komponen dari CaO2 adalah
oksigen yang berikatan dalam serum (2-3%) yang dapat ditelusuri dengan kadar
PaO2 dan oksigen yang berikatan dengan hemoglobin (97-98%) yang dapat
ditelusuri dengan SaO2 (saturasi oksigen pada pembuluh darah arteri). Begitu
pula jika tubuh tidak memiliki asupan oksigen yang memadai akan terjadi
hipoksia sehingga timbul gejala-gejala hipoksia dan sel tidak dapat berfungsi
seperti normalnya.
Mempertahankan oksigenasi adalah upaya untuk memastikan
kecukupan pasokan oksigen ke jaringan atau sel.1 Priestly, penemu yang pertama
kali mengenali oksigen, termasuk juga yang pertama kali mengemukakan adanya
efek samping pada pemberian “udara murni”. Berdasarkan klinis toksisitas
oksigen terjadi secara luas dibagi menjadi dua kelompok, yaitu penggunaan
konsentrasi oksigen sangat tinggi untuk durasi yang pendek, seperti pada HBOT
dan penggunaan konsentrasi gas yang lebih rendah untuk durasi yang panjang.
Kedua hal ini dapat menyebabkan 'akut' dan 'kronis' toxictiy oksigen. Toksisitas
akut memiliki efek SSP yang dominan, sedangkan toksisitas kronis memiliki efek
paru yang dominan. Keracunan oksigen pada pasien sakit kritis masih
kontroversial namun demikian pada kondisi tertentu kelebihan oksigen dapat
merupakan racun yang berbahaya.1
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Oksigen
Oksigen atau zat asam adalah salah satu bahan farmakologi merupakan gas
yang tidak berwarna, tidak berbau digunakan untuk proses pembakaran dan
oksidasi. Oksigen merupakan unsur golongan kalkogen dan dapat dengan mudah
bereaksi dengan hampir semua unsur lainnya (utamanya menjadi oksida). Pada
temperatur dan tekanan standar, dua atom unsur ini berikatan menjadi dioksigen,
yaitu senyawa gas diatomic. Oksigen banyak dipakai untuk pasien dengan
kelainan kardiopulmoner. Di udara terdiri dari 20.95 persen oksigen, 78,08 per
nitrogen persen, 0,0314 persen karbon dioksida, 0,93 persen argon dan terdapat
sejumlah 14 gas lainnya.2
Kebutuhan oksigen orang dewasa sehat pada kondisi istirahat rata-rata 53
liter oksigen per jam, kalau sedang bernapas rata-rata sekitar 500 mL udara per
napas. Hal ini disebut volume tidal normal, yaitu terdiri dari 150 mL udara akan
masuk ke daerah yang tidak berfungsi di paru-paru, hal ini yang disebut "ruang
mati." Tingkat napas rata-rata adalah 12 napas per menit. Jadi, jumlah udara yang
menghirup oleh orang yang tersedia untuk digunakan adalah 12 x(500 ml -150 ml)
= 4.200 mL/menit. Kalikan dengan 60 untuk mendapatkan 252.000 mL / jam.
Artinya, setiap jam, orang akan bernapas dalam 252 liter udara. Indikasi primer
terapi oksigen adalah pada kasus hipoksemia yang telah dibuktikan dengan
pemeriksaan analisa gas darah. Indikasi lain adalah trauma berat, infark miokard
akut, syok, sesak napas, keracunan CO, pasca anestesi dan keadaan-keadaan akut
yang diduga terjadi hipoksemia.
Adapun tujuan dari terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 > 60
mmHg atau SaO2 > 90 %, sehingga dapat mencegah terjadinya hipoksia sel dan
jaringan, menurunkan kerja pernapasan dan menurunkan kerja otot jantung.
3
II.2 Sistem Respirasi
II.2.1 Fisiologi Respirasi4,5,6
Proses pernapasan terdiri dari 2 bagian, yaitu sebagai berikut :
– Ventilasi pulmonal yaitu masuk dan keluarnya aliran udara antara atmosfir dan
alveoli paru yang terjadi melalui proses bernafas (inspirasi dan ekspirasi)
sehingga terjadi disfusi gas (oksigen dan karbondioksida) antara alveoli dan
kapiler pulmonal serta transport O2 & CO2 melalui darah ke dan dari sel
jaringan.5
– Mekanik pernapasan
Masuk dan keluarnya udara dari atmosfir ke dalam paru-paru dimungkinkan
olen peristiwa mekanik pernafasan yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi
(inhalasi) adalah masuknya O2 dari atmosfir & CO2 ke dlm jalan napas.
Dalam inspirasi pernafasan perut, otot difragma akan berkontraksi dan kubah
difragma turun (posisi diafragma datar ), selanjutnya ruang otot intercostalis
externa menarik dinding dada agak keluar, sehingga volume paru-paru
membesar, tekanan dalam paru-paru akan menurun dan lebih rendah dari
lingkungan luar sehingga udara dari luar akan masuk ke dalam paru-paru.
Ekspirasi (exhalasi) adalah keluarnya CO2 dari paru ke atmosfir melalui jalan
nafas. Apabila terjadi pernafasan perut, otot difragma naik kembali ke posisi
semula ( melengkung ) dan muskulus intercotalis interna relaksasi. Akibatnya
tekanan dan ruang didalam dada mengecil sehingga dinding dada masuk ke
dalam udara keluar dari paru-paru karena tekanan paru-paru meningkat. 5
4
b. Difusi
Yaitu proses dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2 pada pertemuan udara
dengan darah. Tempat difusi yg ideal yaitu di membran alveolar-kapilar karena
permukaannya luas dan tipis. Pertukaran gas antara alveoli dan darah terjadi
secara difusi. Tekanan parsial O2 (PaO2) dalam alveolus lebih tinggi dari pada
dalam darah O2 dari alveolus ke dalam darah. 4,5,6
Sebaliknya (PaCO2) darah > (PaCO2) alveolus sehingga perpindahan gas
tergantung pada luas permukaan dan ketebalan dinding alveolus. Transportasi
gas dalam darah O2 perlu ditrasport dari paru-paru ke jaringan dan CO2 harus
ditransport kembali dari jaringan ke paru-paru. Beberapa faktor yg
mempengaruhi dari paru ke jaringan , yaitu:
Cardiac out put.
Jumlah eritrosit.
Exercise
Hematokrit darah, akan meningkatkan vikositas darahmengurangi transport O2
menurunkan CO.
5
II.3 Sistem Sirkulasi dan Kardiovaskular5,6
6
mulai dihantarkan dari sebuah atrium ke atrium yang lain dan dari satu ventrikel
ke ventrikel yang lain melalui sebuah jalur konduksi spesifik. Tidak adanya
hubungan langsung antara atrium dan ventrikel kecuali melalui simpul
Atrioventrikuler (AV) memperlambat konduksi dan membuat kontraksi atrium
lebih dahulu terjadi daripada ventrikel.5
7
Gambar 3. Aliran darah jantung
8
keluarnya anion K+. Sehingga, potensial istirahat membran menggambarkan
keseimbangan antara dua ruang tersebut dimana perpindahan K+ menurunkan
konsentrasi K+ dalam sel dan aktifitas listrik yang negatif dari ruang intraseluler
menjadi positif hanya dengan ion potassium. 4,5,6
Depolarisasi juga terjadi melalui penurunan yang cepat pada permeabilitas
potassium. Dengan mengembalikan permeabilitas potassium pada keadaan normal
dan menutup sodium serta kalsium channel maka hal tersebut dapat membuat
keadaan potensial membran sel menjadi normal kembali. 4,5,6
9
II. 5.2 Patofisiologi Toksisitas Oksigen
Hiperoksia adalah suatu keadaan terjadinya kelebihan jumlah oksigen dalam
jaringan dan organ. Toksisitas oksigen terjadi saat tekanan parsial oksigen di
alveolar (PaO2) meningkat. Keadaan terjadinya paparan secara terus menerus pada
kondisi konsentrasi oksigen yang suprafisiologik, keadaan hiperoksia terbentuk.
Pada kondisi hiperoksi yang patologis terjadi influks besar-besaran dari oksigen
reaktif (reactive O2 species/ROS). Pada sistem biologis baik intraselular maupun
ekstraselular, efek peningkatan ROS yang diakibatkan oleh paparan oksigen
berlebihan akan mengganggu keseimbangan antara oksidan dan antioksidan, dan
gangguan homeostasis ini menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Lamanya
paparan, tekanan atmosfer, dan fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) menentukan
dosis oksigen kumulatif yang bisa berakibat terjadinya toksisitas oksigen.1
Oksigen akan menjadi zat beracun di paru jika dihirup dengan FiO2 yang
tinggi, yaitu >0,60 dalam waktu yang lama (≥24 jam) pada tekanan barometrik
normal, yaitu 1 atm (atmospheres absolute (ATA)). Tipe paparan ini disebut
keracunan oksigen bertekanan rendah, toksisitas pulmoner, atau efek Lorraine
Smith. Paparan oksigen setelah hampir 12 jam akan berakibat terjadinya kongesti
jalan napas, edem paru, dan atelektasis yang disebabkan oleh kerusakan dinding
bronkus dan alveolus. Terbentuknya cairan di paru menyebabkan sesak dan rasa
terbakar pada tenggorokan dan dada, sehingga akan terasa sakit saat menarik
napas. Penyebab terjadinya efek ini pada paru, namun tidak pada jaringan lain
adalah karena ruangan udara paru-lah yang terpapar langsung oleh oksigen
bertekanan tinggi tersebut. Oksigen diantarkan ke jaringan tubuh lain dengan
PaO2 yang hampir normal karena adanya sistem buffer hemoglobin-oksigen.1
Toksisitas juga terjadi saat tekanan atmosfer tinggi (1,6 – 4 atm) dan
lamanya paparan dengan FiO2 tinggi hanya sebentar. Tipe paparan ini disebut
keracunan oksigen tekanan tinggi atau efek Paul Bert dan efek utamanya adalah
pada sistem saraf pusat (SSP). Toksisitas pada SSP menyebabkan terjadinya
kejang yang diikuti dengan koma pada hampir seluruh korban dalam waktu 30
hingga 60 menit. Kejang sering terjadi tanpa didahului gejala sebelumnya dan
cenderung mematikan. Gejala lain termasuk nausea, twitching otot, rasa berputar,
gangguan penglihatan, iritabilitas, dan disorientasi dengan keadaan sekitar. Yang
10
lebih sering mengalami toksisitas SSP adalah pada kasus penyelam. Endotel
kapiler paru dan sel epitel alveolar adalah target dari ROS yang berakibat pada
edem paru yang diakibatkan oleh cedera sel, perdarahan, dan deposit kolagen,
elastin, dan membran hyalin. Di atas PaO2 kritis, terjadi kegagalan mekanisme
buffer hemoglobin-O2 dan PO2 jaringan dapat meningkat hingga ratusan atau
ribuan mmHg. Pada O2 kadar tinggi, sistem enzim antioksidan endogen yang
bersifat protektif akan menjadi “mangsa” ROS yang akan mengakibatkan
kematian sel.1
Sumber: Sawatzky D. Oxygen toxicity – signs and symptoms. Sport Diving Medicine 2012; 12:
55.
Seperti terlihat pada diagram, efek toksik dari tekanan parsial oksigen antara
0,5 – 1,6 atm akan mengenai paru, sedangkan efek toksik pada tekanan parsial
lebih dari 1,6 atm lebih mengganggu otak.1
Toksisitas oksigen yang disebabkan oleh ROS menyebabkan fase-fase
cedera terjadi tumpang tindih sesuai dengan keparahan dan reversibilitas cedera.
Fase tersebut adalah inisiasi, inflamasi, proliferasi, dan fibrosis. Diawali dengan
peningkatan ROS dan kekurangan kadar antioksidan, kemudian paru akan gagal
membersihkan mukus yang ada. Fase inflamasi atau fase eksudatif memiliki
karakteristik adanya destruksi dari dinding paru dan migrasi leukosit dan mediator
inflamasi lain ke tempat cedera. Fase proliferasi merupakan fase subakut dan
11
terjadi hipertrofi sel, peningkatan sekresi dari sel alveolar tipe 2 yang mensekresi
surfaktan dan peningkatan monosit. Fase akhir adalah fase fibrotik dimana terjadi
perubahan yang telah ireversibel dan permanen. Terjadi deposisi kolagen dan
penebalan ruang interstisial paru dan terjadi fibrosis jaringan.
Secara klinis, hipoksemia yang progresif atau peningkatan tekanan O2
dalam darah, memerlukan peningkatan FiO2 dan bantuan ventilasi, yang
menyebabkan perburukan perubahan patofiologis yang berkaitan dengan
toksisitas oksigen. Foto rontgen dada bisa memperlihatkan adanya bentukan
distribusi ireguler dari interstisial alveolar dengan adanya gambaran atelektasis
sedang, meskipun tidak banyak gejala klinis yang terlihat jelas. Biopsi spesimen
paru dapat memperlihatkan perubahan konsisten dengan toksisitas O2, namun nilai
primer biopsi adalah untuk menyingkirkan penyebab lain dari cedera paru.
Perubahan tekanan udara bersamaan dengan tertutupnya kavitas paru dan cedera
yang berkaitan dengan ventilator juga dapat menyertainya dan sulit dibedakan
dengan toksisitas paru itu sendiri. Keracunan oksigen dapat diminimalisir dengan
menjaga PaO2 kurang dari 80 mmHg atau FiO2 di bawah 0,4 sampai 0,5.1
Respon selular paru terhadap paparan hiperoksik dan peningkatan ROS
telah dapat dijelaskan. Secara anatomis, permukaan epitel paru mudah terpapar
respon inflamasi yang bersifat detruktif. Proses inflamasi ini merusak barrier
kapiler alveolar yang akan mengakibatkan gangguan pertukaran udara dan edem
paru. ROS merangsang sekresi kemoatraktan oleh sel paru dan sitokin
menstimulasi pergerakan dan akumulasi makrofag dan monosit menuju paru, yang
akan semakin menambah ROS. Interaksi ROS dengan leukosit akan
mengeksaserbasi cedera yang lebih lanjut.1
12
10%. Komplians paru yang dinamis serta kapasitas difusi karbon monoksida juga
akan menurun. antioksidan eksogen seperti vitamin E dan C dapat diberikan
sebagai pencegahan pada bayi dengan resiko keracunan oksigen, mengingat
mekanisme keracunan ini didasarkan pada ROS sebagai radikal bebas. Dosis yang
direkomendasikan adalah, vitamin E 100mg/kgBB/hari selama 4 – 6 minggu.1
Terapi oksigen harus diberikan terus menerus sampai pasien pulih dan tidak
boleh dihentikan mendadak, karena penghentian mendadak dapat mengakibatkan
turunnya tekanan oksigen alveolar. Dosis oksigen harus dihitung cermat. Tekanan
parsial oksigen dapat diukur dalam darah arteri. Saturasi hemoglobin dalam darah
arteri tidak harus 100%. PO2 arteri 60mmHg dapat memberikan saturasi 90%,
tetapi jika ada asidosis, PaO2 lebih dari 80mmHg diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas dengan anemia harus diperbaiki dengan memperbaiki kadar
hemoglobin agar transportasi oksigen kejaringan cukup. Peningkatan kecil
tekanan oksigen arteri menyebabkan kenaikan bermakna saturasi hemoglobin.
Dalam keadaan normal, tidak ada manfaat meningkatkan PaO2 lebih besar dari
60-80mmHg. Peningkatan konsentrasi oksigen 1% meningkatkan tekanan
oksigen sebesar 7 mmHg.12
13
Pasien dengan keadaan klinik tidak stabil yang mendapatkan terapi oksigen
perlu dievaluasi analisis gas darah setelah terapi untuk menentukan perlu tidaknya
terapi oksigen jangka panjang.
14
lebih disukai daripada oksigen bertekanan tinggi karena tempat penyimpanannya
lebih kecil, ringan dan mudah dibawa pergi. Kerugiannya lebih mahal dan
pengisian kembali di pabrik yang sama.
3. Oksigen konsentrat
Sistem oksigen konsentrat didapat dengan mengekstraksiikan udara luar
menggunakan metode molekuler sieve, oksigen diekstraksi sehingga dapat
diberikan kepada pasien dan nitrogen dibuang kembali ke udara luar. Alat ini
dioperasikan secara elektrik. Keuntungannya cukup murah, tidak perlu
penyimpanan khusus, sedang kerugiannya kurang portabel, bersuara dan perlu
perawatan yang teratur.
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Patel N,D et all. 2003. Oxygen toxicity. JIACM 2003; 4(3): 234-7
2. D J Brake1, Fellow and G P Bates, A Guide to Breathing Rates in
Confined Environments: Criteria for the design of emergency refuge
stations for an underground metal mine. United Kingdom.
3. Moore, KL, Agur, AM, 2002, Anatomi Klinis Dasar, Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC. p46-79
4. Guyton, A.C., dan Hall, J. E. 2007. Textbook of Medical Physiology, 11th
Edition. Jakarta: EGC.
5. Sherwood, L. 2010. Human Physiology, 7th Edition. Canada:
Brooks/Cole.
6. Ganong, WF, 2010, Review of Medical Physiology, 23th ed., McGraw-
Hill, New York.
7. Soenarjo, Jatmiko, HD, 2013, Anestesiologi ed 2, Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Undip/RSUP Dr. Kariadi
Semarang.
8. Conte, B, Joël L'hermite, Ripart J, Lefrant, J, 2010, Perioperative
Optimization of Oxygen Delivery, www.medscape.com
9. Burton, DA, Stokes, K, Hall, GM, 2004, Continuing Education in
Anaesthesia, Critical Care and Pain; Physiological effects of exercise. The
Board of Management and Trustees of the British. p185- 188
10. Gomez, MN, 1998, Magnesium and cardiovascular disease.
Anesthesiology, 89 : 222.
11. Morgan, EG, Mikhail, MS, Murray, MJ, 2006, Clinical Anesthesiology 4th
edition, 27:413.
12. Semedi & hardiono,2012,Pemantauan oksigenasi,Departemen
Anestesiologi dan Reaminasi,Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
17
18