Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK II

KESETIMBANGAN UAP-CAIR PADA SISTEM BINER

Nama : Rizka Fithriani Safira Sukma


NIM : 131810301049
Kelompok :5
Fakultas/ jurusan : MIPA / Kimia
Asisten : Nanang Sugiarto

LABORATORIUM KIMIA FISIKA


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Larutan yang mendidih bilamana tekanan uap cairan sama dengan tekanan uap
diluar. Suatu zat cair ketika dipanaskan dalam wadah yang tertutup akan lebih cepat
mendidih dibanding dengan zat cair yang dipanaskan dalam wadah terbuka. Hal itu terjadi
karena pengaruh tekanan uap cairan, ketika tekanan uap cairan sama dengan tekanan uap
luar saat itulah dikatakan mendidih. Zat cair dalam wadah terbuka, tekanan uap zat cair
yang dipanaskan akan naik dan ketika tekanan sama dengan tekanan luar, penguapan dapat
terjadi diseluruh bagian cairan dan uap dapat memuai di lingkungannya. Temperatur
dimana pada saat mendidih disebut temperatur didih.
Salah satu contoh aplikasi dari percobaan kesetimbangan uap cair ini adalah
pembuatan tabung gas LPG. Proses pembuatan tabung gas LPG ini menggunakan prinsip
distilasi, yaitu tekanan uap dalam tabung bila semakin besar akan mengubah gas di dalam
tabung menjadi cair. Prinsip distilasi yang digunakan sangat penting dipelajari oleh
mahasiswa. Karena dengan begitu praktikan akan memperoleh nilai dari densitas dan fraksi
mol dari larutan biner dan pengaruhnya antar satu sama lain. Percobaan ini dilakukan
untuk dapat mengetahui kesetimbangan uap-cair larutan biner.

1.2 Tujuan
Tujuan dari percobaan ini adalah menentukan sifat larutan biner dengan membuat
diagram temperatur versus komposisi dan menentukan konsentrasi etanol.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Material Safety Data Sheet (MSDS)


2.1.1 Akuades
Akuades atau air mempunyai rumus kimia H2O. Air tidak bersifat korosif, iritasi,
permeator atupun sensitif untuk mata, kulit atau menelan. Akuades juga tidak berbahaya
jika terhirup. Akuades tidak memiliki efek karsinogenik dan mutagenic. Bahan ini tidak
mudah terbakar ataupun meledak. Akuades merupakan senyawa netral yang memiliki pH
7, tidak berbau dan tidak berwarna serta tidak berasa. Air mempunyai titik didih 100oC dan
merupakan senyawa yang stabil (Anonim, 2015).
O
H H

Gambar 2.2 Struktur Air


2.1.2 Etanol

Etanol (C2H5OH) sudah sangat terkenal dikehidupan sehari-hari.Etanol sama dengan


alkohol yang lain juga memabukkan. Etanol tidak larut dalam air dan akan miscible
meskipun dia memiliki gugus OH. Etanol berwujud cair, tidak berwarna (terang) dan
berbau manis. Etanol memiliki berat molekul 46,0414 g/mol dengan titik leleh- 114,1°C (-
387,1 K) dan titik didih 78°C (351 K). Etanol juga merupakan senyawa yang mudah
terbakar.Natrium hidroksida sangat berbahaya untuk kulit, mata, dan pernafasan.
Pertolongan pertama jika terkena etanol sama seperti pada aceton (Anonim, 2015).
2.2 Dasar Teori
Larutan merupakan suatu campuran yang homogen dan dapat berwujud padatan,
maupun cairan. Akan tetapi larutan yang paling umum dijumpai adalah larutan cair,
dimana suatu zat tertentu dilarutkan dalam pelarut berwujud cairan yang sesuai hingga
konsentrasi tertentu (Brady, 1999).
Pelarut yang mendekati murni, komponennya berperilaku sesuai dengan Hukum
Roult dan mempunyai tekanan uap yang sebanding dengan fraksi mol. Beberapa larutan
menyimpang jauh dari Hukum Roult. Walaupun demikian, dalam hal ini hukum itu
semakin dipatuhi jika komponennya berlebih (sebagai pelarut) sehingga mendekati
kemurnian. Hukum ini menerangkan pendekatan yang baik untuk pelarut selama larutan ini
encer (Atkins, 1994).
Gas ideal tidak memiliki gaya intermolekul dalam gas tersebut. Cairan ideal berarti
semua gaya intermolekul baik gaya intermolekul pada molekul- molekul sejenis (misal
pelarut-pelarut) atau pada molekul yang tidak sejenis (misal pelarut-zat terlarut) adalah
sama. Salah satu sifat larutan yang penting adalah tekanan suatu komponen yang terdapat
dalam larutan tersebut pada permukaan larutan. Mengetahui besarnya kecenderungan suatu
komponen untuk menguap yang berarti keluar dari larutan dapat diduga gaya-gaya
intermolekul apa yang bekerja di dalam larutan. Mempelajari kecenderungan untuk
menguap atau tekanan uap parsial sebagai fungsi dari suhu dan konsentrasi (Bird, 1993).
Larutan dikatakan ideal jika larutan tersebut mengikuti hukum Roult pada seluruh
kisaran komposisi sistem. Hukum Roult dalam bentuknya yang lebih umum didefinisikan
sebagai fugasitas dari tiap komponen dalam larutan yang sama dengan keadaan serta fraksi
molnya dalam larutan tersebut, yakni:
f1 = X1 . f1*
Sedangkan hubungan antara tekanan parsial dan komposisinya dalam larutan
merupakan pendekatan dalam hal larutan yang mempunyai komponen tekanan parsial
kecil.
P1 = X1 . P1o.
Dimana : p1 = tekanan uap larutan po = tekanan uap larutan murni X1 = mol fraksi
larutan Potensial kimia dari tiap komponen dalam larutan didefinisikan sebagai : µ1 = µ1o +
R T ln X1 (Dogra, 1990).
Umumnya hanya sedikit larutan yang memenuhi hukum Raoult. Larutan yang tidak
memenuhi hukum Raoult disebut larutan non ideal. Larutan ideal dari zat pelarut A dan zat
pelarutB, tarikan A-B sama dengan tarikan A-A dan B-B, sedangkan kalor pelarutan, ΔH(l)
=0. Jika tarikan antara A-B, lebih besar dari tarikan A-Adan B-B, maka proses pelarutan
adalah eksoterm dan ΔH(l)<0. Misalnya pada campuran antara aseton (CH3COOCH3) dan
kloroform (CHCl3) terjadi ikatan hidrogen antara aseton dan kloroform sehingga tekanan
uap larutan lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang dihitung dengan hukum Raoult.
Penyimpamgan dari hukum Raoult ini disebut dengan penyimpangan negatif
(Achmad,1996).
Pengertian dari larutan ideal diadakan untuk perbandingan dengan larutan-larutan
yang biasa didapat yaitu larutan non ideal. Disini akan ditinjau larutan ideal cairan dalam
cairan jadi merupakan suatu larutan zat cair biner. Larutan ideal adalah larutan yang gaya
tarik antara molekul – molekulnya sama, artinya gaya tarik antar molekul pelarut dan zat
terlarut, sama dengan gaya tarik molekul pelarutnya atau molekul zat terlarutnya
(Sukardjo, 1989).
Komponen (pelarut dan zat terlarut) larutan ideal mengikuti Hukum Roult pada
seluruh selang konsentrasi. Larutan encer yang tak mempunyai interaksi kimia di antara
komponen-komponennya, Hukum Roult berlaku bagi pelarut, baik ideal maupun tak ideal.
Tetapi Hukum Roult tak berlaku pada zat terlarut pada larutan tak ideal encer. Perbedaan
ini bersumber pada kenyataan : molekul-molekul pelarut yang luar biasa banyaknya. Hal
ini menyebabkan lingkungan molekul terlarut sangat berbeda dalam lingkungan pelarut
murni. Zat terlarut dalam larutan tak ideal encer mengikuti Hukum Henry, bukan Hukum
Roult (Petrucci, 1992).

Tampilan data kesetimbangan uap-cair yang normal diperlihatkan oleh Gambar


11.3a, kurva ABC menunjukkan suatu cairan dengan berbagai komposisi yang mendidih
pada berbagai temperatur, dan kurva ADC menunjukkan komposisi uapnya pada berbagai
temperatur yang bersangkutan. Contoh, suatu cairan dengan komposisi x1 akan mendidih
pada temperatur T1, dan komposisi uap yang berada dalam kesetimbangan dengan cairan
tersebut adalah y1 (ditunjukkan oleh titik D). Berdasarkan kurva-kurva dalam Gambar 11.3
a, b dan c dapat disimpulkan bahwa untuk sembarang cairan dengan komposisi x1 akan
menghasilkan uap dengan komposisi tertinggi dimiliki oleh komponen (zat) yang lebih
mudah menguap (volatile). Symbol-simbol x dan y disini menunjukkan fraksi mol
komponen yang lebih volatile di dalam cairan dan di dalam uap. Pada Gambar 11.3b dan c
terdapat suatu komposisi kritis (critical composition) xg. Pada titik ini uap memiliki
komposisi yang sama dengan cairan, dengan demikian tidak ada perubahan yang terjadi
pada proses pendidihan. Campuran kritis itu disebut azeotrope (Atkin, 2006).
Seluruh larutan biner jika diuapkan secara parsial, komponen yang mempunyai
tekanan uap lebih tinggi akan terkonsentrasi pada fase uapnya, hingga terjadi perbedaan
komposisi antara cairan dengan uap yang setimbang. Uap tersebut dapat diembunkan
sebagai kondensat. Uap yang diperoleh dengan menguapkan secara parsial kondensat itu
akan mempunyai komposisi yang lebih kaya lagi akan komponen yang mudah menguap
(Alberty, 1987).
Dua fasa dikatakan berada dalam kesetimbangan jika temperatur, tekanan, dan
potensial kimia dari masing-masing komponen yang terlibat di kedua fasa bernilai sama.
Ketika berada dalam keadaan kesetimbangan, fraksi mol suatu komponen dari suatu
campuran memiliki nilai yang tertentu. Komponen yang lebih mudah menguap akan
memilki nilai fraksi mol yang lebih besar pada fasa uap dan sebaliknya. Sifat ini kemudian
dimanfaatkan dalam proses pemisahan dengan metode distilasi. Kemurnian suatu
komponen yang mudah menguap akan lebih baik pada fasa uap, fasa uap ini kemudian
diambil untuk mendapatkan campuran dengan kadar kemurnian yang lebih baik. Jika kita
menghendaki komposisi uap yang dalam kesetimbangan dengan campuran air, tidak cukup
bila kita hanya mengetahui sifat-sifat campuran cair pada komposisi seperti itu saja;
sekarang kita juga harus mengetahui sampai sejauh mana sifat-sifat itu (khususnya energi
Gibbs) bergantung pada komposisi. Pengaruh temperatur yang pokok pada kesetimbangan
uap-cair terdapat dalam tekanan uap komponen murni atau lebih tepatnya dalam fugasitas
zat cair komponen murni. Sementara koefisien aktivitas bergantung pada temperatur
sebagaimana halnya komposisi, ketergantungan itu biasanya kecil bila dibandingkan
dengan ketergantungan tekanan uap zat cair murni pada temperatur. Kenaikan temperatur
dalam suatu campuran, walaupun hanya 10oC meningkatkan tekanan uap zat cair sebesar
1,5 - 2 kali. Oleh karena itu, kecuali pada perubahan temperatur yang besar sering lebih
mudah bila pengaruh temperatur terhadap energi Gibbs diabaikan saja ketika menghitung
kesetimbangan uap-cair (Reid, 1990).
Salah satu alat yang digunakan untuk memperoleh data kesetimbangan antara fase
liquida dan fase gas adalah Glass Othmer Still. Adapun hal – hal yang berpengaruh dalam
sistem kesetimbangannya yaitu : Tekanan (P), Suhu (T), konsentrasi komponen A dalam
fase liquid (x) dan konsentrasi komponen A dalam fase uap (y). Penelitian ini digunakan
bahan baku etanol dari hasil fermentasi rumput gajah dengan kadar etanol 96% dan etanol
Pro Analisis dengan kadar 99,8%. Berdasarkan data yang diperoleh, dibuat kurva
kesetimbangan uap–air sistem biner etanol–air. Analisis bahan baku dan produk
menggunakan spektrofotometer pharo 100, atau Gas Kromatografi (GC). Penelitian sistem
biner yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, penelitian tersebut masih diperlukan
kesetimbangan uap-air sistem biner untuk menghasilkan data yang benar dan model
korelasi yang dapat di aplikasikan untuk memperkirakan kesetimbangan uap-air sistem
multikomponen (Wiryanto & Teddy, 1998).
BAB 3. METODE PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
- Kondensor
- Labu leher tiga
- Piknometer
- Gelas beker
- Pipet volume
- Pipet tetes
- Pipet Mohr
- Labu ukur
- Erlenmeyer
- Alat sensor alkohol
- Pemanas
3.1.2 Bahan
- Etanol
- Aquades
3.2 Prosedur Kerja
Akuades
- diencerkan dengan komposisi 50, 60, 70, 80, 90 % masing-
masing dalam 10 mL.
- dihitung massa piknometer kosong dan massa piknometer yang
terisi 10 mL setiap larutan dengan masing-masing konsentrasi
untuk mengetahui massa jenisnya.
- direfluks tiap campuran dan dicatat titik didihnya masing-
masing.diambil 10 mL untuk dilakukan destilasi.
- didestilasi dan dicatat titik didihnya.
- dimasukkan destilat dan residu ke dalam botol uji dan ditentukan
kandungan alkoholnya dengan sensor alkohol(dilakukan pada
masing-masing larutan dengan variasi konsentrasi).
- dibuat grafik komposisi vs suhu untuk setiap etanol yang telah
diukur

Hasil
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Rata-rata % alkohol Rata-rata % alkohol


Konsentrasi Titik didih pada destilat pada residu
0% 96oC 0 0
30% 83oC 98.4 4.2
40% 81oC 97.8 25.0
50% 79oC 98.6 41.7
60% 77oC 88.3 62.5
70% 75oC 88.1 70.8

4.2 Pembahasan

Kesetimbangan dapat diartikan suatu keadaan dimana tidak terjadi perubahan sifat
makroskopis dari sistem terhadap waktu. Kesetimbangan uap-cair dapat ditentukan ketika
ada variabel yang tetap (kostant) pada suatu waktu tertentu. Saat kesetimbangan model ini,
kecepatan antara molekul-molekul campuran yang membentuk fase uap sama dengan
kecepatan molekul-molekulnya membentuk cairan kembali.
Larutan biner adalah larutan yang mengandung dua komponen yaitu komponen zat
terlarut dan komponen pelarut. Larutan biner memiliki beberapa sifat yakni homogen,
tidak mempunyai entalpi pencampuran (∆H=0), dan tidak ada volume pencampuran
∆V=0. Larutan ideal adalah larutan yang gaya tarik menarik molekul-molekul
komponennya sama dengan gaya tarik menarik antara molekul dari masing-masing
komponennya. Larutan zat A dan B jika bersifat ideal, maka gaya tarik antara molekul A
dan B, sama dengan gaya tarik antara molekul A dan A atau antara B dan B. Semua
komponen dalam larutan ideal (pelarut dan zat terlarut) mengikuti hukum Raoult pada
seluruh selang konsentrasi.
Azeotrop (constant boiling mixtures) adalah campuran dengan komposisi yang
konstan pada tekanan tertentu. Jika tekanan total diubah, baik titik didih maupun komposisi
azeotrop juga akan berubah. Azeotrop bukan merupakan suatu senyawa pasti yang
komposisinya konstan pada seluruh range temperatur dan tekanan, tetapi merupakan suatu
campuran yang dihasilkan dari interaksi gaya intermolekuler dalam larutan. Kondisi ini
terjadi karena ketika azeotrop di didihkan, uap yang dihasilkan juga memiliki
perbandingan konsentrasi yang sama dengan larutannya semula akibat ikatan antar
molekul pada kedua larutannya.
Percobaan yang telah dilakukan tentang kesetimbangan uap cair pada sistem biner
bertujuan untuk mempelajari sifat larutan biner dengan membuat diagram temperatur
versus komposisi. Percobaan ini akan dilakukan dengan proses destilasi. Destilasi
merupakan teknik pemisahan yang didasari atas perbedaan titik didih dari masing-masing
zat penyusun dari campuran homogen. Proses destilasi terdapat dua tahap proses yaitu
tahap penguapan dan dilanjutkan dengan tahap pengubahan kembali uap menjadi cair.
Proses destilasi diawali dengan pemanasan, sehingga zat yang memiliki titik didih lebih
rendah akan menguap. Uap tersebut bergerak menuju kondensor yaitu pendingin, proses
pendinginan terjadi karena kedalam dinding (bagian luar kondensor) dialiri air sehingga
uap yang dihasilkan akan kembali cair. Saat destilasi ini akan diperoleh titik didih alkohol.
Titik didih yang diperoleh saat distilasi masing-masing konsentrasi antara lain 83, 81, 79,
77, 75°C sedangkan titik didih air adalah 96oC. titik didih air seharusnya 100oC, namun
disini pada 96oC sudah mendidih. Hal ini mungkin terjadi karena dalam labu leher tiga
yang digunakan sebagai wadah air ang akan disedtilasi masih terdapat etanol sehingga
etanol membuat titik didih air menurun seperti halnya titik didih etanol yang memang lebih
rendah dari air.
Hal pertama yang dilakukan adalah mengencerkan etanol 99,8% menjadi 30, 40,
50, 60 dan 70% dalam labu ukur 25 mL. lartan yang sudah diencerkan kemudian diambil
sebanyak 15 mL dan dimasukkan ke dalam labu leher tiga untuk didestilasi. Destilasi
dihentikan pada saat destilat kira-kira sudah mencapai 1 mL sehingga residu yang tersisa
tidak terlalu sedikit. 1 mL destilat tadi selanjutnya diencerkan kembali dalam labu ukur 10
mL agar tidak terlalu pekat pada saat diukur kadarnya menggunakan software labview
dengan sensor alkohol. Residu juga diambil 1 mL dan diencerkan sama seperti pada
destilat.
Hasil pengenceran kemudian diletakkan dalam botol kecil untuk diukur. Sebelum
dilakukan pengukuran dengan sensor alcohol, software labView yang akan digunakan
diberi kontrol berupa slope dari kurva standar sensor etanol seperti dapat dilihat dibawah.
Kurva standard etanol ini juga digunakan sebagai perbandingan dengan hasil yang
diperoleh pada praktikum.
Kurva Standard Sensor Etanol
2
1.8
1.6
1.4 y = 0.0471x + 1.3963
Potensial (V)

1.2 R² = 0.992
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi (%) Etanol

Prinsip kerja dari sensor alkohol ini adalah sensor menghisap zat etanol dan zat lain
yang menguap sehingga akan mengakibatkan hambatan sensor (Rs) turun sehingga
membuat tegangan naik. Teknik pengoperasian sensor alkohol dilakukan dengan
memasukkan zat yang akan diuji pada botol uji sensor kemudian zat yang terdapat dalam
botol ditutup oleh alat pendeteksi dan diklik run, kemudian hasil dari deteksi uji sensor
akan terlihat pada layar komputer.
Suhu pada saat destilasi dihentikan juga dicatat pada setiap kali dilakukan destilasi.
Suhu tersebut bersama dengan kadar etanol dalam destilat dan residu akan digunakan
untuk membuat grafik kesetimbangan uap-cair. Menurut literature, campuran air dan
benzene merupakan campuran 2 komponen yang merupakan larutan non ideal deviasi
negative. Larutan non ideal deviasi negative mempunyai volume kontraksi di mana akan
menghasilkan titik didih yang minimal pada system campuran. Grafik yang akan diperoleh
seharusnya memiliki azeotrop dititik yang rendah atau larutan non-ideal deviasi negative.
Grafik yang diperoleh pada praktikum ini adalah sebagai berikut.
Grafik yang diperoleh diatas tidak sesuai dan bentuknya tidak mendekati grafik
larutan non-ideal deviasi negative yang telah disebutkan di atas. Hal tersebut kemungkinan
terjadi karena dua hal. Pertama, data yang diperoleh tidak stabil atau acak. Kedua, adalah
cara pembuatan grafik yang kurang benar. Berikut adalah grafik dalam teori pada system
larutan non-ideal deviasi negative.

Berdasarkan data yang diperoleh diatas, komposisi alkohol yang dihasilkan pada
destilat dan residu berbeda. Residu memiliki kandungan alkohol yang cukup rendah karena
masih dalam bentuk campuran antara alkohol dan aquades sedangkan pada destilat
komposisinya lebih tinggi karena yang terkandung dalam destilat adalah alkohol murni.
Hal ini sesuai literatur yang ada dimana destilat akan memiliki komposisi alkohol lebih
besar dibanding dengan sebelum didestilasi. Suhu yang dihasilkan juga telah sesuai dengan
literatur dimana pada saat konsentrasi bertambah maka suhu akan menurun.
Hasil sensor alkohol baik destilat maupun residu semakin naik seiring dengan
naiknya konsentrasi campuran (komposisi alkohol). Namun, perbandingan hasil sensor
destilat dan residu menunjukkan hasil yang lebih besar pada destilat. Hal ini menunjukkan
bahwa komposisi alkohol lebih banyak pada destilat setelah campuran mencapai titik
didihnya. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa alkohol akan menguap
terlebih dahulu sehingga pada destilat lebih banyak mengandung alkohol (etanol).
Hasil dari percobaan ini memang belum sempurna karena data uji komposisi
alkohol pada destilat menghasilkan data yang tidak sesuai dengan literatur. Hal ini terjadi
kemungkinan karena penghentian destilasi tidak sepenuhnya pada saat destilat sudah
mencapai 1 mL. destilat kadang dihentikan dengan hasil destilat terlalu banyak dan kadang
pas 1 mL sehingga residu yang tersisa juga tidak menentu. Penambahan hasil pengenceran
larutan etanol-air sebelum destilasi juga mungkin mempengaruhi. Konsentrasi 30%,
ditambahkan sebanyak 15 mL dalam labu leher tiga, larutan 40% ditambahkan dalam labu
leher tiga sebanyak 10 mL dan konsentrasi pada akhir-akhir tidak diukur volume
penambahannya. Sensor alcohol yang juga bermasalah juga kemungkinan mempengaruhi
hasil yang diperoleh pada praktikum ini.
BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan kesetimbangan uap-cair pada larutan biner maka dapat
disimpulkan bahwa larutan biner adalah larutan yang mengandung dua komponen yaitu
komponen zat terlarut dan komponen pelarut. Hasil pada praktikum ini seharusnya berupa
larutan non-ideal deviasi negative yang memiliki titik azeotrop dibagian bawah, namun
praktikum ini memiliki beberapa kesalahan sehingga grafik yang dihasilkan tidak sesuai
teori. Campuran etanol dengan air merupakan campuran Azeotrop. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kesetimbangan uap cair adalah suhu (titik didih), massa jenis, dan
komposisi zat dalam larutan. Semakin tinggi komposisi etanol maka titik didih suatu
larutan semakin menurun dan kandungan alcohol yang diperoleh juga semakin meningkat.
5.2 Saran
Saran untuk praktikum selanjutnya agar praktikan lebih teliti dalam melakukan
prosedur praktikum sehingga hasil yang diperoleh nantinya akan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Hiskia. 1996. Kimia Larutan. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Alberty, A.R. 1987. Kimia Fisik Jilid I Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Anonim. 2015. MSDS Akuades. [Serial Online].


http://www.sciencelab.com/msds.php?msdsId=9927165. diakses 23 September 2015.
Anonim. 2015. Etanol [serial online].
http://www.sciencelab.com/msds.php?msdsId=9927321. diakses 23 September 2015.
Atkins, P.W. 1994. Kimia Fisika Jilid 1 edisi 5. Jakarta: Erlangga.

Atkins, P.W. 2006. Kimia Fisika. Jakarta : Erlangga.

Bird, Tony. 1993. Kimia Untuk Universitas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Brady, James.E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta : Bina Rupa Aksara.

Dogra, SK. 1990. Kimia Fisik dan Soal – Soal. Jakarta : Universitas Indonesia.

Petrucci, Ralph H. 1992. General Chemistry, Principle and Modern Application 7th
edition. New York : Collier-McMillan.

Reid. 1990. Sifat-Sifat Gas dan Zat Cair. Jakarta : Gramedia.

Sukardjo. 1989. Termodinamika Kimia. Jakarta : Erlangga.

Wiryanto dan Tedddy S.W. (1999). “Kesetimbangan Uap-Cair Sistem Biner Etanol(1) –
Air (2), Aseton (1) – Air (2), Air (1) – n-Butanol (2) dan Kesetimbangan Cair-cair
Air(1) – n- Butanol(2)”, Jurnal Penelitian Teknik Kimia.
LAMPIRAN

Lembar Perhitungan
Perhitungan Pengenceran
1. Volume pengenceran etanol konsentrasi 30%
M 1 V1  M 2 V2
M 1 V1
V2 
M2
30 %  25 mL
V2 
99,8%
V2  7,5 mL
2. Volume pengenceran etanol konsentrasi 40%
M 1 V1  M 2 V2
M 1 V1
V2 
M2
40 %  25 mL
V2 
99,8%
V2  10,0 mL
3. Volume pengenceran etanol konsentrasi 50%
M 1 V1  M 2 V2
M 1 V1
V2 
M2
50 %  25 mL
V2 
99,8%
V2  12,5 mL
4. Volume pengenceran etanol konsentrasi 60%
M 1 V1  M 2 V2
M 1 V1
V2 
M2
60 %  25 mL
V2 
99,8%
V2  15 ,0mL
5. Volume pengenceran etanol konsentrasi 70%
M 1 V1  M 2 V2
M 1 V1
V2 
M2
70 %  25 mL
V2 
99,8%
V2  17,5 mL

Anda mungkin juga menyukai