Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan hasil cohort study yang melibatkan 1.532 peresepan pasien anak-

anak di Intensive Care Unit (ICU) 12 Rumah Sakit di Amerika yang disampling

secara random, diketahui sekitar 14% di antaranya mengalami medication error yang

terinci menjadi prescribing error (10.1%) dan drug administration error (3,9%). Atas

dasar ini farmasis dituntut untuk memberikan pelayanan yang lebih baik guna

mengurangi angka kejadian medication error. Perubahan orientasi obat menjadi

orientasi pada pasien (pharmaceutical care) menuntut seorang farmasis untuk

memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik (1) .

Ada beberapa sebab terjadinya medication error yaitu kesalahan dalam

komunikasi, kurangnya distribusi obat, kesalahan dosis, adanya masalah terkait obat

dan penyampaian obat, ketidaktepatan dalam administrasi obat, serta kurangnya

pengetahuan pasien(2) .

Pengatasan terhadap kejadian medication error dapat dilakukan dengan

pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Pelayanan yang berorientasi

pada pasien ini menuntut seorang farmasis untuk dapat melakukan pelayanan

kefarmasian terhadap pasien secara lebih baik sehingga diharapkan mampu

meminimalkan terjadinya medication error. Pelayanan kepada pasien ini meliputi

komunikasi dengan pasien, pemberian informasi obat pada pasien serta monitoring

penggunaan obat kepada pasien. Orientasi menjadi pharmaceutical care ini sekaligus

meminimalkan kejadian medication error yang sering terjadi dalam instansi

kesehatan, dengan kata lain meminimalkan kejadian medication error yang erat
hubungannya dengan Drug Related Problems (DRP). Medication error yang terjadi

pada fase apapun tentu akan merugikan pasien dan dapat menyebabkan kegagalan

terapi, bahkan kejadian medication error ini dapat menimbulkan efek obat yang tidak

diharapkan bagi pasien(3) .

Karena kejadian medication error yang cukup tinggi seperti uraian di atas, maka

perlu adanya penelitian mengenai pengaruh pemberian informasi dan alat bantu

ketaatan terhadap perilaku pasien yang pada akhirnya diusulkan menjadi suatu judul

Pengaruh Pemberian Informasi dan Alat Bantu Ketaatan terhadap Perilaku Pasien

ISPA di puskesmas Pabuaran Tumpeng Kota Tangerang.

Penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Informasi dan Alat Bantu Ketaatan

terhadap Perilaku Pasien ISPA di puskesmas Pabuaran Tumpeng Kota Tangerang ini

dilakukan di Puskesmas dengan alasan tingginya angka kejadian medication error di

Instansi Kesehatan di Indonesia, yaitu sebesar 63,6%(4) . Pemilihan ISPA dipilih

karena penghentian pemberian obat sebelum waktunya, pada umumnya terjadi pada

penggunaan antibiotik (5) .

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimanakah profil pasien ISPA rawat jalan di Puskesmas Pabuaran Tumpeng

periode Mei-Juni 2018. Apakah pemberian alat bantu ketaatan minum dan informasi

obat saat home visit menyebapkan perbedaan perilaku terhadap pasien ISPA yang

menerima alat bantu ketaatan dan informasi obat dan yang tidak mendapatkan alat

bantu dan informasi obat.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui profil pasien ISPA di Puskesmas

Pabuaran Tumpeng serta untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan perilaku pasien

ISPA akibat pemberian alat bantu ketaatan dan informasi obat saat home visit.

D. Pembatasan Masalah

Penelitihan ini dibatasi pada pengujian alat bantu ketaatan dan informasi obat saat

home visit terhadap antibiotik pasien ISPA.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh

pemberian alat bantu ketaatan dan informasi terhadap perubahan perilaku pasien ISPA

Puskesmas Pabuaran Tumpeng Mei-Juni 2018 terhadap alat bantu dan informasi yang

diberikan serta untuk mengetahui profil ketaatan pasien ISPA masyarakat Pabuaran

Tumpeng.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Medication Error

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 medication error adalah kejadian yang merugikan

pasien, yang diakibatkan karena pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga

kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Kejadian medication error dibagi dalam 4

fase, yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase dispensing dan fase administration

oleh pasien.

Tabel I. Fase-Fase Kejadian Medication Error (National Coordinating Council for

Medication Error Reporting and Prevention, 1998)

FASE DEFINISI KETERANGAN

Obat yang diresepkan tidak

tepat indikasi, tidak tepat

pasien atau ontraindikasi,


Error yang terjadi pada fase
Prescribing tidak tepat obat atau ada obat
penulisan resep
yang tidak ada indikasinya,

tidak tepat dosis dan aturan

pakai

Salah membaca resep karena


Error yang terjadi saat
tulisan yang tidak jelas,
Transcribing pembacaan resep untuk
misalnyaLosec®
proses dispensing
(omeprazole) dibaca Lasix®
(furosemide), aturan pakai 2

kali sehari 1 tablet terbaca 3

kali sehari 1 tablet. Salah

dalam menterjemahkan order

pembuatan resep dan

signature juga dapat terjadi

pada fase ini

Salah dalam mengambil obat

dari rak penyimpanan karena

kemasan atau nama obat

Error yang terjadi pada saat yang mirip atau dapat pula

penyiapan hingga terjadi karena berdekatan


Dispensing
penyerahan resep oleh letaknya. Selain itu, salah

petugas apotek dalam menghitung jumlah

tablet yang akan diracik,

ataupun salah dalam

pemberian informasi

Fase ini dapat melibatkan

petugas apotek dan pasien

atau keluarganya pasien.

Error yang terjadi pada Misalnya salah menggunakan


Administration
proses penggunaan obat. supositoria yang seharusnya

melalui dubur tapi dimakan

dengan bubur, salah waktu

minum obatnya seharusnya 1


jam sebelum makan tetapi

diminum bersama makan.

Seorang pasien dapat melakukan beberapa cara untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya medication error selama pengobatan. Pemberian informasi

pada pasien adalah hal yang dapat membantu meningkatkan keamanan dalam minum

obat serta mencegah terjadinya medication error pada fase 𝑎𝑑𝑚𝑖𝑛𝑖𝑠𝑡𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛(2) .

Dari fase-fase medication error tersebut, dapat dikemukakan bahwa faktor

penyebabnya dapat juga berupa :

1. Komuniksi yang buruk baik secara tertulis dalam bentuk kertas resep

maupun secara lisan (antara pasien, dokter dan apoteker)

2. Sistem distribusi obat yang kurang mendukung (sistem komputerisasi,

sistem penyimpanan obat dan lain sebagainya)

3. Sumber daya manusia (kurang pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan

dan lain-lain

4. Edukasi kepada pasien kurang

5. Peran pasien dan keluarga kurang

B. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

1. Definisi

Menurut DepKes RI (2005) istilah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

mengandung 3 unsur, yaitu infeksi; saluran pernapasan; dan akut. Pengertian atau

batasan masing-masing unsur adalah sebagai berikut ini.

a. Yang dimaskud dengan infeksi adalah masuknya kuman atau

mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga


menimbulkan gejala penyakit (DepKes.RI, 2005).

b. Yang dimaksud dengan saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung

hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga

telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara anatomis

mencakup saluran pernafasan bagian atas, bawah (termasuk jaringan paru-

paru) dan organ adneksa saluran pernapasan (DepKes.RI, 2005).

c. Yang dimaksud dengan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung

sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan

proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan

dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari

(DepKes.RI,2005).

Saluran pernapasan pada manusia adalah alat-alat tubuh yang digunakan

untuk bernafas, yaitu mulai dari hidung, hulu kerongkongan, tenggorokan,

batang tenggorokan samapa paru − paru(6)

Gambar I. Sistem Respirasi Pada Manusia (kiri) dan Struktur Alveolus (kanan)
Berdasarkan data di USA, medication error (kesalahan dalam pengobatan) di RS

terjadi satu di antara 200 pasien. Sementara di Indonesia sendiri medication error di

ICU mencapai 96% dan puskesmas 80%(7)

Di pelayanan kesehatan primer (Puskesmas), studi tentang medication error

sangat jarang dilakukan, padahal jika diamati secara lebih mendalam di arean inilah

biasanya medication error berpotensi untuk terjadi karena pelayanan kesehatan primer

umumnya tidak hanya melibatkan dokter tetapi juga perawat, bidan, dan petugas obat

yang sebagian besar tidak memiliki kompetensi memadai dalam penatalaksanaan

pasien, khususnya dalam hal peresepan obat (8) .

Berdasarkan data penggunaan obat ISPA yang dikumpulkan secara retrospektif

dari 20 Puskesmas yang terdapat di 5 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur

diketahui bahwa 2.585 resep menunjukkan 90% diantaranya tidak lengkap atau

mengalami medication error. Bentuk medication error yang paling sering dijumpai

adalah pemilihan obat keliru, cara pemberian obat yang keliru, frekuensi pemberian

keliru, dan sediaan keliru(8) .

Secara umum terdapat 3 faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan,

faktor individu, serta faktor perilaku. Yang dimaksud dengan faktor lingkungan

meliputi pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah, serta kepadatan hunian

rumah. Faktor individu meliputi umur dan berat badan lahir rendah (BBLR) artinya

bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram sedangkan faktor perilaku

adalah peran aktif keluarga atau masyarakat dalam menangani ISPA(9) .

2. Klasifikasi

Secara umum, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibagi ke dalam 2

kelompok yakni infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran pernapasan

bawah. Infeksi saluran pernapasan atas meliputi rinitis akut; faringitis akut; tonsilitis
akut; epiglotitis akut; laringotrakeo-bronkitis; tonsilitis, faringitis, laringitis difteri

sedangkan infeksi saluran pernafasan bawah meliputi bronkitis akut dan

𝑝𝑛𝑒𝑚𝑜𝑛𝑖𝑎(8) .

C. Pharmaceutical Care

Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian adalah suatu bentuk pelayanan dan

tanggung jawab langsung profesi apoteker yang berpusat/berorientasi kepada pasien.

Salah satu bentuk Pharmaceutical Care adalah pelayanan residensial (Home visit)

dalam hal ini Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan

pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok

lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini

apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record)(10).

Selama proses Pharmaceutical care, Farmasis dapat melakukan pengambilan

keputusan secara rasional yang disebut Pharmacotherapy Workup dengan tujuan

untuk membuat suatu penilaian tentang kebutuhan obat pasien, mengidentifikasi Drug

Therapy Problem (DTP), membuat perencanaan pengobatan, dan mengadakan

evaluasi untuk memastikan bahwa semua obat yang digunakan efektif dan aman untuk

terapi(11).

Dengan adanya Pharmaceutical care, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran

pasien akan efek samping yang merugikan dari obat serta dapat mencegah timbulnya

Drug Therapy Problem (DTP).

D. Ketaatan pasien (Patient Compliance)

Ketaatan terhadap aturan pengobatan dapat didefinisikan sebagai tingkat

ketepatan perilaku seorang individu dengan nasihat medis atau kesehatan. Ketaatan

ini mencakup beberapa perlakuan khusus, seperti: istirahat; diet; berapa lama obat
tersebut harus dikonsumsi; bagaimana cara menggunakannya; kapan waktu

penggunaan yang tepat; kapan obat harus dihentikan; kapan harus mengunjungi

dokter lagi dan lain-lain.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Turki pada tahun 2002 menyebutkan bahwa

ada beberapa alasan ketidaktaatan pasien dalam pengobatan, antara lain lupa minum

obat (63,41%), minum obat hanya ketika merasa tidak enak (12,20%), tidak mau

mengkonsumsi obat (12,20%), dan pernah mengalami kejadian efek samping

(9,76%)(12).

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ketidaktaatan

penggunaan obat, yaitu:

1. Bertanya kepada pasien apakah ada kesulitan untuk memakai obat, atau untuk

mengikuti petunjuk-petunjuk pemakaian;

2. Pengamatan terhadap sisa obat, cara ini sangat mudah dilakukan terutama

untuk obat-obat yang gampang dihitung, misalnya tablet dan sirup, sedangkan

untuk jenis aerosol mungkin sulit;

3. Penilaian terhadap efek farmakologik yaitu dengan melihat apakah obat yang

diberikan bermanfaat atau tidak;

4. Pengukuran kadar obat, cara ini lebih pasti namun memerlukan biaya karena

pengukuran kadar secara kuatitatif harus dilakukan di laboratorium(13).

Untuk meningkatkan ketaatan pasien dapat dilakukan upaya-upaya antara lain

identifikasi faktor risiko, pengembangan rencana pengobatan, alat bantu kepatuhan,

pemantauan terapi, komunikasi yang baik antara apoteker dengan pasien. Dalam

banyak hal, ketidaktaatan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang.

Dengan cara demikian, pasien kehilangan manfaat terapi yang diharapkan dan

kemungkinan mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk(6).


E. Informasi

Informasi adalah data yang penting yang memberikan pengetahuan yang berguna

(Terry, 1962). Definisi lain mengatakan bahwa informasi merupakan fungsi penting

untuk membantu mengurangi rasa cemas seseorang(14).

F. Edukasi

Edukasi adalah upaya yang dilakukan agar masyarakat berperilaku atau

mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, himbauan, ajakan,

memberikan informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya melalui kegiatan yang

disebut pendidikan atau penyuluhan kesehatan. Pendidikan kesehatan sendiri pada

hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada

masyarakat, kelompok, atau individu. Dengan adanya pesan tersebut diharapkan dapat

memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Pengetahuan tersebut

akhirnya dapat berpengaruh terhadap perilaku individu (15).

G. Perilaku

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme) terhadap

stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan, serta lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respon

dan stimulus atau perangsangan. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat aktif

(tindakan yang nyata atau practice); sedangkan stimulus rangsangan disini terdiri dari

empat unsur pokok, yakni sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan

lingkungan (15).
H. Kuisioner

Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu

pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden

yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan maupun pernyataan

tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuisioner dapat berupa

pertanyaan/pernyataan tertutup atau terbuka, dapat diberikan kepada responden secara

langsung atau tidak langsung (dikirim melalui pos atau internet) (16).

I. Landasan

Perilaku pasien dalam menggunakan obat selama pengobatan sangat berpengaruh

terhadap keberhasilan suatu terapi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh komunikasi,

informasi dan edukasi yang diterima oleh pasien, oleh karena itu diperlukan interaksi

yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan, dalam hal ini adalah Pemberi Layanan

Obat dan Kesehatan. Penggunaan obat oleh pasien bergantung dari informasi yang

diperoleh, terkadang pasien tidak menggunakan obat secara tepat karena kurangnya

informasi referensi tertulis maupun dari tenaga kesehatan yang bertanggung jawab

terhadap pemahamannya akan penggunaan obat yang benar.

Farmasis merupakan tenaga kesehatan yang bertanggung jawab memberikan

informasi obat kepada pasien. Pemberian informasi oleh farmasis dapat dilakukan

dengan beberapa cara, yaitu informasi verbal, demonstrasi dengan alat visual,

multimedia, maupun dengan form kepatuhan.

Pemberian informasi disertai alat bantu ketaatan berupa kotak obat dan label

kepatuhan akan lebih mempermudah pemberian informasi dan meningkatkan

pemahaman pasien tentang penggunaan obat yang tepat. Pemberian alat bantu

ketaatan lebih melibatkan banyak indera sehingga pasien lebih mudah mengingat
informasi yang diberikan. Dengan label kepatuhan, pasien akan lebih mudah

mengingat penggunaan obat yang teratur dan benar, alat bantu berupa kotak obat akan

membantu pasien untuk lebih taat dalam menggunakan obat. Dengan demikian alat

bantu akan meningkatkan ketaatan dan dampak terapi, selain itu akan mengurangi

biaya terapi serta meningkatkan kualitas hidup pasien.

Kerangka Konsep

Pengetahuan, Peningkatan
Sikap, dan Informasi +Alat pengetahuan,
tindakan Bantu sikap, dan
tindakan
tindakan

Gambar II. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Sebelum dan Setelah
Diberikan Informasi Disertai Pemberian Alat Bantu Terhadap Peningkatan
Pengetahuan, Sikap dan Tindakan

J. Hipotesis

Adanya perbedaan perilaku dan ketaatan minum obat setelah pemberian alat bantu

ketaatan dan informasi saat home visit terhadap pasien ISPA Puskesmas Pabuaran

Tumpeng periode 21 Mei- 21 Juni 2018.

Anda mungkin juga menyukai