Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Gambaran Umum Objek


Bursa Efek Indonesia (BEI) atau Indonesia Stock Exchange (IDX) merupakan
bursa hasil penggabungan dari Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan Bursa Efek
Surabaya (BES). Demi efektivitas operasional dan transaksi, Pemerintah
memutuskan untuk menggabung Bursa Efek Jakarta sebagai pasar saham dengan
Bursa Efek Surabaya sebagai pasar obligasi dan derivatif. Bursa hasil
penggabungan ini mulai beroperasi pada 1 Desember 2007. BEI menggunakan
sistem perdagangan bernama Jakarta Automated Trading System baru yang akan
disediakan OMX.
Di dalam Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, pengertian BEI
atau pasar modal dijelaskan lebih spesifik sebagai kegiatan yang bersangkutan
dengan Penawaran Umum dan Perdagangan Efek, perusahaan publik yang
berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan Efek.
Ada sebelas jenis indeks harga saham dalam Bursa Efek Indonesia, kesebelas
jenis indeks harga saham itu adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG),
Indeks Sektoral, Indeks LQ45, Jakarta Islamic Index (JII), Indeks Kompas100,
Indeks BISNIS-27, Indeks PEFINDO25, Indeks SRI-KEHATI, Indeks Papan
Utama, Indeks Papan Pengembangan, Indeks Individual.
Indeks sektoral adalah jenis indeks harga saham yang menggunakan
semua Perusahaan Tercatat yang termasuk dalam masing-masing sektor. Saat ini
terdapat 10 sektor di BEI yaitu sektor Pertanian, Pertambangan, Industri Dasar,
Aneka Industri, Barang Konsumsi, Properti, Infrastruktur, Keuangan,
Perdangangan dan Jasa, dan Manufaktur.

1
1.2.Latar Belakang Penelitian
Pasar modal dalam arti sempit adalah suatu pasar (tempat, berupa gedung)
yang disiapkan guna memperdagangkan saham-saham, obligasi-obligasi, dan jenis
surat berharga lainnya dengan memakai jasa para perantara pedagang efek. Lebih
diuraikan lagi, pasar modal adalah tempat pertemuan antara penawaran dengan
permintaan surat berharga (Sunariyah 2011:4).
Indeks harga saham adalah indikator atau cerminan pergerakan harga saham.
Indeks merupakan salah satu pedoman bagi investor untuk melakukan investasi di
pasar modal, khususnya saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
menggunakan semua Perusahaan Tercatat sebagai komponen perhitungan Indeks.
Agar IHSG dapat menggambarkan keadaan pasar yang wajar, Bursa Efek
Indonesia berwenang mengeluarkan dan atau tidak memasukkan satu atau
beberapa Perusahaan Tercatat dari perhitungan IHSG. Dasar pertimbangannya
antara lain, jika jumlah saham Perusahaan Tercatat tersebut yang dimiliki oleh
publik (free float) relatif kecil sementara kapitalisasi pasarnya cukup besar,
sehingga perubahan harga saham Perusahaan Tercatat tersebut berpotensi
mempengaruhi kewajaran pergerakan IHSG (http://www.idx.co.id).
Banyak teori dan penelitian terdahulu yang mengungkapkan bahwa
pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Seperti faktor yang berasal dari luar negeri (eksternal) dan faktor yang
berasal dari dalam negeri (internal). Faktor yang berasal dari luar negeri tersebut
bisa datang dari indeks bursa asing negara lain (Dow Jones, Hang Seng, Nikkei,
dll), tren perubahan harga minyak dunia, tren harga emas dunia, sentimen pasar
luar negeri, dan lain sebagainya. Pada umumnya bursa yang memiliki pengaruh
kuat terhadap kinerja bursa efek lainnya adalah bursa efek yang tergolong maju
seperti bursa Amerika, Jepang, Inggris, dan sebagainya. Selain itu bursa efek yang
berada dalam satu kawasan juga dapat mempengaruhi karena letak geografisnya
yang saling berdekatan seperti, Indeks STI di Singapura, Nikkei di Jepang, Hang
Seng di Hong Kong, Kospi di Korea Selatan, KLSE di Malaysia, dan lain
sebagainya. Sedangkan faktor yang berasal dari dalam negeri bisa datang dari
nilai tukar atau kurs di suatu negara terhadap negara lain, tingkat suku bunga dan

2
inflasi yang terjadi di negara tersebut, kondisi sosial dan politik suatu negara,
jumlah uang beredar dan lain sebagainya (Mauliano 2012:2).
Fenomena turunnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menjadi dasar dari
krisis di Indonesia tahun 2015 ini. Turunnya kurs Rupiah menyebabkan Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ikut jatuh, seperti yang dilansir dalam
http://www.tribunnews.com pada hari Rabu 23 September 2015, Indeks Saham
anjlok 2,29 persen atau 99,61 poin ke level 4.244,42 pukul 16.15 WIB. Tercatat
208 saham bergerak turun, 64 saham bergerak naik, dan 69 saham stagnan. Pada
perdagangan Rabu, 23 September 2015 melibatkan 7,02 miliar lot saham dengan
nilai transaksi mencapai Rp 4,9 triliun. Sembilan indeks sektoral melemah. Sektor
aneka industri turun 4,11 sekaligus memimpin pelemahan. Selanjutnya diikuti
keuangan turun 3,25 persen, manufaktur turun 2,95 persen, dan barang konsumsi
turun 2,74 persen.
Terdepresiasinya nilai Rupiah terhadap Dolar AS memang bukan hal yang
baru dalam sejarah kurs Rupiah. Namun, yang membuat fenomena ini penting
untuk dibahas adalah nilai tukar Rupiah terhadap Dolar sudah mencapai Rp
14.067,- di tanggal 25 Agustus 2015. Selain selisih nilai tukar Rupiah yang
dianggap sudah tidak wajar, kurun waktu melemahnya pun patut diperhatikan.
Awal September 2015, Rupiah justru semakin parah terdepresiasi, hingga
menembus angka Rp 14.000,- dan membuat IHSG cenderung ikut melemah,
hingga sepekan ini indeks BEI diperkirakan masih bergerak melemah.
Sebelumnya, mengakhiri perdagangan saham Rabu (23/9/2015), IHSG ditutup
melemah 99,61 poin atau 2,29% menjadi 4.244,42.
Pada 28 September 2015, seperti yang diberitakan dalam
http://www.antaranews.com/berita/520508/Rupiah-senin-sore-menguat-menjadi-
rp14646 Rupiah dinyatakan menguat tipis sebesar 44 poin menjadi Rp14.646
dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.690 per dolar AS. Namun hal serupa tidak
terjadi dengan IHSG yang justru dinyatakan jatuh 88,93 poin. IHSG BEI ditutup
terpangkas tajam 88,93 poin atau 2,11 persen ke posisi 4.120,50, sedangkan
indeks kelompok 45 saham unggulan yang tergabung dalam LQ-45 melemah
19,06 poin (2,72 persen) menjadi 680,30.

3
Keadaan yang terjadi di Indonesia tahun 2015 juga merupakan dampak dari
krisis ekonomi yang terjadi di Yunani pada tahun 2015 dan berpengaruh ke
perekonomian Indonesia melalui pelemahan nilai tukar rupiah akibat menguatnya
mata uang dollar Amerika Serikat. Jika pelemahan rupiah terus berlanjut, beban
sektor industri akan semakin berat karena sebagian besar input produksi berasal
dari impor. (http://bisnis.tempo.com)
Dampak dari krisis Yunani tidak terlalu besar dalam hal perdagangan
internasional, namun berpengaruh terhadap kurs dan indeks harga saham di
Indonesia. Input industri nasional masih tergantung dari bahan baku impor karena
industri penghasil bahan baku di dalam negeri belum berkembang. Pelemahan
nilai tukar rupiah menyebabkan biaya bahan baku dalam denominasi rupiah
meningkat karena dibeli menggunakan valuta asing. (http://print.kompas.com).
Data Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id), investor asing hanya mencatat
pembelian bersih Rp 3,87 triliun sejak awal tahun hingga akhir Juli 2015. Padahal,
tujuh bulan pertama 2014, pembelian bersih mereka mencapai Rp 57,2 triliun.
Setelah mengambil keuntungan dan melihat tanda-tanda pelambatan ekonomi,
investor asing menarik diri dari pasar Indonesia. Hal itulah yang merupakan
tanda-tanda krisis ekonomi akan terjadi di Indonesia.
Selain faktor Yunani, menurut Mirza (2015) dalam
http://kaltim.tribunnews.com, ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya krisis
ekonomi di Indonesia. Ketiga faktor yang menjadi „perusak‟ utama perekonomian
nasional itu semuanya berasal dari eksternal. Ketiga hal itu adalah harga
komoditas perkebunan dan tambang yang merosot di pasaran internasional,
perlambatan ekonomi Tiongkok/China, dan penguatan mata uang dollar Amerika
Serikat terhadap mata uang semua negara, kecuali Swiss Franc.
Selain karena perlambatan ekonomi China, pemerintah China juga
menerapkan kebijakan untuk mendevaluasi nilai Yuan, hal itu dimaksudkan untuk
meningkatkan nilai ekspor China. Jika nilai Yuan turun terhadap USD, maka nilai
ekspor China yang dicatat dalam mata uang USD akan naik. Ketika pada Juni –
Juli 2015 indeks Shanghai Stock Exchange (SSE) turun hingga 30% dalam tempo
satu bulan, Pemerintah Tiongkok bersama-sama dengan PBOC segera

4
mengumumkan beberapa kebijakan untuk memulihkan kembali pasar saham
disana. Salah satu kebijakan tersebut adalah dengan menurunkan nilai tukar Yuan
terhadap USD, yang bertujuan untuk meningkatkan ekspor dan mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya mendorong SSE untuk kembali naik.
Korelasi perekonomian China sangat tinggi dengan Indonesia. Jika
perekonomian China turun 1 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia surut 0,3 -
0,4 persen. Bahkan ketika serapan komoditas ekspor Indonesia tinggi ke China,
korelasinya akan lebih besar lagi. Satu persen pertumbuhan ekonomi China
berdampak bagus sebesar 0,6 persen pada peningkatan perekonomian Indonesia.
Hal ini terjadi karena China pengimpor terbanyak produk-produk dari Nusantara.
China dan India adalah dua negara penyerap terbanyak komoditas ekspor dari
Indonesia. Sebanyak 50 - 70 persen dari total ekspor adalah komoditas dan
manufaktur. Volume ekspor itu didominasi komoditas minyak mentah kelapa sawit
(CPO) dan batu bara. Sedangkan di dunia internasional sendiri harga CPO dan batu bara
turun, harga batu bara dari semula 150 dollar AS kini di bawah 50 dollar, CPO
yang semula 1.200 dollar AS sekarang jatuh menjadi 551 dollar AS.
Berikut adalah gambar yang menggambarkan pergerakan indeks harga saham
pada saham Sektoral (Gambar 1.1) dan kurs rupiah terhadap dolar AS (Gambar
1.2) dari tanggal 18 Agustus 2015 sampai 18 November 2015

0
18-Aug-15
-1 18-Sep-15

-2 28-Okt-15
18-Nov-15
-3

-4

-5

Gambar 1.1
Grafik Pergerakan Indeks Saham Sektoral
Sumber: http://duniainvestasi.com/

5
Gambar 1.2
Grafik Kurs Transaksi IDR-USD
Sumber: http://www.bi.go.id/

Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa pada bulan Agustus


2015, semua indeks sektoral mengalami penurunan, terutama terjadi pada sektor
aneka industri dan disusul oleh sektor industri dasar. Hal tersebut memperkuat
pernyataan bahwa krisis di Yunani dan Cina berdampak pada melemahnya nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS, melemahnya nilai tukar rupiah pada akhirnya juga
berdampak pada menurunnya indeks harga saham di Indonesia dan menimbulkan
krisis selama periode Agustus 2015 sampai awal Oktober 2015.
Terkait hubungan kurs dan indeks harga saham, disebutkan bahwa
menurunnya kurs dapat meningkatkan biaya impor bahan baku dan meningkatkan
suku bunga. Menurunnya kurs rupiah terhadap mata uang asing memiliki
pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal. (Sunariyah 2011:23).
Mardiyati dan Rosalina (2013) menjelaskan bahwa nilai tukar berpengaruh
negatif signifikan terhadap indeks harga saham di sektor properti. Pasaribu dan
Nugroho (2014), menjelaskan Dolar AS adalah mata uang yang berpengaruh
sangat kuat dalam semua sektor di Bursa Efek Indonesia terutama untuk sektor
pertanian dan pertambangan, sedangkan Yen Jepang tidak memiliki pengaruh
yang cukup signifikan terhadap sektor industri otomotif.

6
Diluar negeri sendiri Dolar AS memiliki pengaruh yang kuat dalam berbagai
indeks, Anlas (2012) menyatakan bahwa perubahan dalam Dolar AS dan Dolar
Kanada berpengaruh positif terhadap perubahan Indeks ISE-100 (Istanbul Stock
Exchange), sedangkan fluktuasi tingkat bunga domestik dan Riyal Saudi Arabia
memiliki pegaruh negatif terhadap indeks saham.
Sedangkan Wu, et al. (2012), hasil dari Granger Causality menunjukkan
bahwa efek dari kurs Dolar AS tidak berpengaruh signifikan terhadap PSEI
(Philippine Stock Exchange Index), namun PSEI mempengaruhi pergerakan kurs
Dolar AS secara langsung.
Beberapa peneliti yang periode penelitiannya pada saat krisis diantaranya
Utami dan Rahayu (2003), menyatakan perubahan profitabilitas, suku bunga,
inflasi dan nilai tukar mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap perubahan
harga saham badan usaha selama periode krisis ekonomi, dan secara parsial hanya
suku bunga dan nilai tukar yang mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap
harga saham selama periode krisis ekonomi tersebut.
Pudyawati (2012) meneliti nilai tukar rupiah pada periode Januari 2008
sampai dengan Desember 2010 dengan hasil, nilai tukar rupiah berpengaruh
signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sedangkan Zubair
(2013), hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan antara nilai tukar
mata uang dan indeks saham selama periode sebelum dan saat krisis keuangan
global yang terjadi di Nigeria.
Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut diatas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul: “Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah
terhadap Indeks Saham Sektoral di Bursa Efek Indonesia”

1.3.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dikemukakan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh nilai tukar Rupiah terhadap saham-saham yang
tergabung dalam Indeks Saham Sektoral di Bursa Efek Indonesia pada
tanggal 2 Januari 2015 sampai dengan 22 Agustus 2015?

7
2. Bagaimanakah pengaruh nilai tukar Rupiah terhadap saham-saham yang
tergabung dalam Indeks Saham Sektoral di Bursa Efek Indonesia saat
terjadinya krisis 2015 pada tanggal 23 Agustus 2015 sampai dengan tanggal
27 November 2015?
3. Berapa lamakah dampak krisis 2015 yang ditimbulkan terhadap kurs dan
sektor-sektor dalam Indeks Saham Sektoral?

1.4.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, tujuan
penelitian ini adalah:
1 Mengetahui pengaruh nilai tukar Rupiah terhadap saham-saham yang
tergabung dalam Indeks Saham Sektoral di Bursa Efek Indonesia pada
tanggal 2 Januari 2015 sampai dengan 22 Agustus 2015.
2 Mengetahui pengaruh nilai tukar Rupiah terhadap saham-saham yang
tergabung dalam Indeks Saham Sektoral di Bursa Efek Indonesia saat
terjadinya krisis 2015 pada tanggal 23 Agustus 2015 sampai dengan tanggal
27 November 2015.
3 Mengetahui berapa lama dampak krisis 2015 berpengaruh terhadap kurs dan
sektor-sektor di Indeks Saham Sektoral

1.5. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat pada:
1. Akademis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan akademis dalam
bidang keuangan khususnya tentang pengaruh nilai tukar Rupiah terhadap
indeks saham sektor perbankan di BEI
2. Investor
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi investor dalam
pengambilan keputusan investasi

8
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan skripsi ini merupakan gambaran singkat tentang isi
dari skripsi yang penulis susun, dengan judul ”Analisis Pengaruh Krisis Ekonomi
Terhadap Indeks Saham Sektor Perbankan di Bursa Efek Indonesia.” Dalam
skripsi ini dibagi menjadi lima bab sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang Gambaran Umum Objek, Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LINGKUP PENELITIAN
Bab ini berisi tentang landasan teori yang meliputi Krisis Ekonomi, Pasar
Modal, Kurs Valuta Asing, Indeks Harga Saham. Penelitian Terdahulu,
Kerangka Pemikiran, Hipotesis Penelitian, dan Ruang Lingkup Penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang Jenis Penelitian, Variabel Operasional,Tahapan
Penelitian, Populasi dan Sampel, Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang Hasil Analisis Data dan Pembahasan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi tentang Kesimpulan dan Saran

Anda mungkin juga menyukai