Anda di halaman 1dari 63

SKRIPSI

PERANAN ILMU FORENSIK DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA


KEKERASAN FISIK DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN ISTRI
TERHADAP SUAMI

(Studi Kasus Putusan No.1550/PID.SUS/2015/PN.MKS)

Oleh :

RAMADHAN SATRIA HALIM

B111 12 405

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

 
HALAMAN JUDUL

PERANAN ILMU FORENSIK DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA


KEKERASAN FISIK DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN
ISTRI TERHADAP SUAMI

(Studi Kasus Putusan No. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks)

Disusun dan Diajukan

OLEH:

RAMADHAN SATRIA HALIM

B 111 12 405

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana


Dalam Bagian Hukum Pidana
Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

 
 

 
 

 
 
 

 
ABSTRAK
RAMADHAN SATRIA HALIM, NIM: B 111 12 405, Peranan Ilmu Forensik Dalam
Pengungkapan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Lingkup Rumah Tangga Yang
Dilakukan Istri Terhadap Suami (Studi Kasus Putusan No.
1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks) (Di bawah bimbingan Andi Sofyan selaku pembimbing
I dan Haeranah selaku pembimbing II).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran ilmu forensik dalam


mengungkap tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang
dilakukan istri terhadap suami dan untuk mengetahui kendala-kendala dalam
penerapan ilmu forensik tersebut sesuai putusan No.1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks.

Penelitian ini dilakukan di kota Makassar yaitu tepatnya di kantor Pengadilan


Negeri Makassar dan Rumah Sakit Bhayangkara Makassar. Penulis mengambil data
yang diperoleh dari putusan pengadilan dan berupa wawancara kepada salah satu
hakim Pengadilan Negeri Makassar dan dokter forensik pada Rumah Sakit
Bhayangkara Makassar serta berupa berbagai kepustakaan yaitu literatur, jurnal,
buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan masalah
tersebut.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ilmu forensik mempunyai peran
yang sangat penting dalam perkara No.1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks sebagaimana
penjatuhan saksi pidana perundang-undangan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
dengan mengacu pada hasil visum et repertum. Tidak terlepas pula kendala-kendala
yang dihadapi berupa laporan administrasi dari hasil visum et repertum dan
keterangan saksi yang berbelit-beli dan tidak hadirnya saksi dalam persidangan.

Kata Kunci: Hukum Pidana, Ilmu Forensik, Tindak Pidana Kekerasan.

 
ABSTRACT

RAMADHAN SATRIA HALIM, NIM: B 111 12 405, Role of Forensic Science in


Disclosure Crime of Violence in the Scope of Households Done by Wives
against Husbands (Case Study Decision No. 1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks) (Under
the Guidance of Andi Sofyan as the First Supervisor and Haeranah as the Second
Supervisor)

This research aims to determine the role of forensic science in uncovering


criminal acts of physical violence in the household done by wives against husbands
and to identify constraints in the implementation of the appropriate forensic science
decision No. 1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks.

This research was conducted in the city of Makassar precisely in the


Makassar District Court office and Bhayangkara Hospital Makassar. The researcher
collected the data from the court decision in the form of an interview to one of the
Makassar District Court judge and a forensic doctor at Bhayangkara Hospital as well
as the form of published literatures, namely, journals, books, relevant legislation to
the issue.

From the results, this research shows that forensic science has the
fundamental role in the case of No. 1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks as the imposition of a
witness of criminal law regulated in Law Number 23 of 2004 on the Elimination of
Domestic Violence by referring to the result of visum et repertum. The constraints
were inevitably faced as administration report from the result of visum et repertum
and the witness testimony which was convoluted and the absence of witness in the
court.

Keywords: Criminal Law, Forensic Sience, Crimes of Violence.


 

 
UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan judul “Peranan Ilmu Forensik Dalam Pengungkapan Tindak

Pidana Kekerasan Fisik Dalam Lingkup Rumah Tangga Yang Dilakukan Istri

Terhadap Suami (Studi Kasus Putusan No. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks)” sebagai

tugas akhir dalam memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan studi pada

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Shalawat serta salam tercurahkan kepada

baginda Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menjadi penerang dan suri

tauladan bagi seluruh umat-Nya di muka bumi.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda

Drs. H. Abdul Halim Doko, M.Si dan Ibunda Hj. Nurhayati Mappasanda, S.H, yang

tak henti-hentinya mencurahkan banyak cinta dan kasih sayang, doa, baik moril dan

materil sehingga perkuliahan dan penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan

dengan baik. Juga kepada saudara dan saudariku, Ariani Halim, Rezky Amelia

Halim, Tria Utami Halim dan kakak ipar Kusnadi, serta keponakanku Muh. Yusuf Al-

Fatih yang selalu menghibur dan memberi semangat kepada penulis. Untuk itu,

penulis haturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya.

Pada kesempatan ini, penulis juga secara khusus dan kerendahan hati

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M .A, selaku Rektor Universitas

Hasanuddin Makassar.
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin dan para Wakil Dekan beserta seluruh jajarannya.

3. Bapak Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H., selaku Pembimbing I dan Ibu Dr.

Haeranah, S.H., M.H., selaku Pembimbing II atas bimbingan, arahan, dan

waktu yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H., M.H., DFM., Bapak Dr. Abd. Asis,

S.M., M.H., dan Ibu Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H., selaku dosen-dosen

penguji yang telah memberikan saran serta masukan-masukan dalam

penyusunan skripsi penulis.

5. Bapak Dr. Romi Librayanto, S.H., M.H., dan Ibu Dr. Sakka Pati, S.H., M.H.,

selaku Penasehat Akademik Penulis.

6. Seluruh Bapak-bapak/Ibu-ibu dosen, terkhusus dosen bagian Hukum Pidana

Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

7. Ketua Pengadilan Negeri Kota Makassar dan Kepala Rumah Sakit

Bhayangkara Makassar bersama seluruh staf dan jajarannya yang telah

membantu penulis selama proses penelitian.

8. Keluarga besar Doko dan Mappasanda yang senantiasa memberikan doa

dan semangat kepada penulis.

9. Sheila Masyita Muchsen, S.H., yang selalu memberikan perhatian, doa, dan

semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

10. Rekan-rekan seperjuangan di Papacu selama kuliah, Ichwanul Reiza, SH.,

Hawa Salman, SH., Azhima MJ Maricar, SH., Sadly Bakry, SH., Putri Nirina,

SH., Sheila Masyita Muchsen, SH., A. Kartika Ramadhani, SH., Ika Vebrianty,

SH., Maipa Deapati, SH., Muh. Nur Fajrin, SH., Avel Haezer, SH., Muh.

Syaifullah, SH., Fairuz AS, SH., Fauzan Zarkasi, SH., Lutfhi Dhiaulwajdi, SH.,
Fityatul Kahfi, SH., Afif Muhni, SH., Harry Prasetya, Muh. Akmal Idrus, Adri

Inggil, Aning Riani, Ekarini Septiana, Andi Syahrun Hidayatullah, Musdalifah

Supriady, Tri Putri Utami, dan A. Rizqy Ramadhani. Terima kasih atas doa,

dukungan, kerja sama, kecerian dan kebersamaannya selama ini, senang

bisa mengenal kalian.

11. Rekan-rekan seperjuangan di Gazebo Sektor 6 selama kuliah, M. Noartawira

Sadirga, SH., Ukyasa, SH., Maipa Deapati, SH., Muh. Nur Fajrin, SH.,

Heriansyah, SH., Nurul Fatia, SH., Nyoman Suarningrat, SH., Anggy

Hardianti, SH., Arham Aras, SH., Arlin Joemka, SH., Dian Martin, SH., Eko

Setiawan, SH., Yoga Alexander, SH., Oji Tilameo, SH., Firman Nasrullah,

SH., Adri Inggil, Fadly Imran, Wahyudi Kasrul, Aldy Hamzah, A. Rezki

Juliarno, Lisa, Nisrina Atikah, dan Febri Maulana. Terima kasih atas

dukungan, doa, kecerian dan trip-trip nya selama ini, senang bisa kenal

dengan kalian.

12. Sahabat-sahabat dari dari zaman bangku sekolahan, Reztarial Ramadhan,

S.I.Kom., Ahmad Sidiq, S.Pd, Aryo Louis C, AMD., Fahmi Salman, SE., Reza

Hidayat, Ashar, dan Rizal Anugrah, S.I.Kom. Terima kasih atas kegembiraan

selama ini, Senang bisa mengenal kalian.

13. Teman-teman Basket SMK 5 Makassar, Odi, Fikar, Osa, Uje, Rian, Duha,

Acol, Erwin, Izra, Coach Firman dll. Terima kasih atas kerja sama, kecerian,

dan jalan-jalannya.

14. Anak-anak Hertasning Hooligans Apriyodi Ali,S.H dkk, tempat berbagi suka

duka dan kecerian.

15. Teman-teman angkatan PETITUM 2012, penulis bangga menjadi bagian dari

kalian.
16. Keluarga Besar Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana Korupsi (GARDA

TIPIKOR), UKM BASKET FAKULTAS HUKUM UNHAS. Terima kasih atas

kerja samanya. We play with justice!

17. Teman-teman seperjuangan KKN Reguler Gelombang 90 UNHAS

Kecamatan Bacukiki, Kelurahan Lemoe, Kota Pare-pare: Arman Eki, Ara,

Fachrul, Fitri, Ami, Ica, Ayu, Eno, Kak Accul, Vivin, Ina, Ucam, Agung. Terima

kasih atas kerja samanya, keceriaan, dan kebersamaanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan karena

keterbatasan penulis. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang luput

dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun dalam ranga perbaikan skripsi ini. Besar harapan penulis,

semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan dapat bernilai positif bagi semua

pihak.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, Januari 2017

Penulis

Ramadhan Satria Halim


DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................................... i

Pengesahan Skripsi................................................................................... ii

Persetujuan Pembimbing ....................................................................... iii

Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi.................................................... iv

Abstrak......................................................................................... ............ v

Abstract....................................................................................................... vi

Ucapan Terima Kasih ............................................................................... vii

Daftar Isi ................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................... 7
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ........................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Forensik .......................................................... 9


B. Penerapan Ilmu Forensik Dalam Hukum Pidana ............... 10
1. Pengertian Hukum Pidana ............................................. 12
2. Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana .................................. 14
3. Hubungan Ilmu Forensik dan Hukum Pidana ................ 16
4. Teori Pembuktian ........................................................... 17
5. Tinjauan Umum Tentang Visum et Repertum ................ 19
C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ....................... 23
1. Pengertian Kekerasan ................................................. 23
2. Pengertian Rumah Tangga .......................................... 27
3. Ruang Lingkup Rumah Tangga ................................... 28
4. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...... 30
D. Suami dan Isteri ................................................................ 34
1. Suami .......................................................................... 34
2. Isteri ............................................................................. 35

BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian ............................................................... 37


B. Jenis dan Sumber data .................................................... 38
C. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 38
D. Metode Analisis Data ........................................................ 39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Peranan Ilmu Forensik Dalam Mengungkap Tindak Pidana
Kekerasan............................................................................. 40
1. Peran Dokter Dalam Penyeledikan Tindak Pidana..... . 40
2. Pentingnya Kehadiran Tenaga Kerja Profesional...... .. 42
B. Kendala Dalam Peranan Ilmu Forensik Terhadap Tindak Pidana Fisik
Dalam Lingkup Rumah Tangga Sesuai Putusan No :
1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks............................ ................... 44
C. Analisis Putusan Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Fisik Dalam
Lingkup Rumah Tangga Sesuai Putusan No :
1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks.................................................. 47
1. Posisi Kasus................................................................... 48
2. Surat Dakwaan............................................................... 49
3. Tuntutan Penuntut Umum.............................................. 50
4. Amar Putusan................................................................. 51
5. Analisis Penulis............................................................... 54

 
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan Negara Republik Indonesia secara jelas dituangkan dalam Undang-

Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 bahwa negara bertujuan

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta

dalam upaya perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah sepatutnya masyarakat

Indonesia mendapatkan perlindungan dalam aspek-aspek kehidupannya.

Namun fakta yang terjadi di masyarakat nyatanya berbanding terbalik dengan tujuan

negara kita. Dewasa ini, berbagai macam permasalahan hukum semakin marak

terjadi seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi yang

semakin pesat. Hal ini mengakibatkan pola tingkah laku masyarakat ikut berubah

menjadi semakin kompleks. Semakin banyak pola tingkah laku manusia yang tidak

sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Perilaku-perilaku yang menyimpang inilah yang dapat berujung pada suatu

pelanggaran bahkan kejahatan. Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam

kehidupan yang memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut dikarenakan

kejahatan akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat pada

umumnya. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk menanggulangi

kejahatan tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk memberantas

kejahatan secara tuntas karena pada dasarnya kejahatan akan senantiasa

berkembang pula seiring dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan hukum


akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Demikian pula

permasalahan hukum juga akan ikut berkembang seiring dengan perkembangan

permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dimana salah satu sifat hukum adalah

dinamis.

Sebagaimana diketahui akibat perkembangan pengetahuan teknologi saat ini,

tidak terlepas dari dampak positif dan negatif. Mengetahui dampak positif tidaklah

perlu penulis jelaskan dalam penulisan ini. Salah satu dampak negatif yang timbul

dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah timbulnya peningkatan

tipe dan modus operandi kejahatan, sehingga proses penyidikan dan penyelidikan

perlu pula cara menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang moderen. Salah

satu ilmu bantu untuk memecahkan masalah tersebut adalah ilmu forensik.

Setiap orang ingin mempunyai rumah tangga yang sejahtera. Dalam

pencapaian rumah tangga yang sejahtera, dibutuhkan proses yang panjang. Kerja

sama yang baik dalam lingkup rumah tangga akan mewujudkan suatu pencapaian

yang diinginkan dalam rumah tangga tersebut.

Setiap individu dalam rumah tangga dalam melaksanakan hak dan

kewajibannya harus bersandar pada agama dan aturan hukum. Hal ini perlu terus

ditumbuh kembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga yang

sejahtera. Dalam lingkup rumah tangga peran vital dipegang oleh suami-istri yang

telah terikat dalam perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1.

Hal ini berarti rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang aman bagi para

                                                            
1
 Undang‐undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 
anggotanya karena keluarga dibangun oleh suami-istri atas dasar ikatan lahir dan

batin di antara keduanya.

Oleh karena itu rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat berlindung

bagi anggota keluarga, justru menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan. Hal ini

menjadi ironi ketika tindakan tercela tersebut, menjadi tindak pidana yang dilakukan

oleh anggota keluarga itu sendiri. Perbuatan tercela yang terjadi dalam lingkup

rumah tangga karena adanya perbedaan pola pikir yang merugikan salah satu

anggota rumah tangga. Dari perbedaan-perbedaan pola pikir dalam lingkup rumah

tangga yang diawali dari pertengkaran yang mengarah pada kekerasan dan

berujung tindak pidana.

Pada masa sekarang ini, mungkin karena dalam era keterbukaan sesuatu yang

berupa aib dan menyimpang menurut pandangan dan perasaan sekelompok orang

atau sekelompok masyarakat malah dijadikan hal-hal yang membanggakan oleh

sekelompok orang atau kelompok masyarakat lainnya, malah pula dijadikan sebagai

sesuatu yang hebat apabila dapat dilakukan misalnya perceraian, perselingkuhan,

sampai-sampai pada hal-hal yang bersifat kekerasan.

Menanggapi kondisi kekerasan terhadap anggota-anggota keluarga dan rumah

tangga yang sudah demikian terbuka dan menimbulkan banyak korban, maka

masyarakat dan pemerintah merasa perlu untuk menangani masalah yang

menyimpang dan menimbulkan korban antara lain bentuknya adalah kekerasan

dalam rumah tangga.2

Kekerasan dalam rumah tangga yang selanjutnya disebut KDRT adalah setiap

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

                                                            
2
 Maria E. Pandu, 2013, Bunga Rampai Perempuan Keluarga Gender, Yayasan Bina Generasi Makassar, 
Makassar, hlm.93. 
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga.3 Kesengsaraan atau penderitaan yang timbul pun beraneka ragam

sehingga dalam ketentuan pidana berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2004

diatur sanksi, definisi dan penjabaran tentang berbagai jenis kekerasan yang dapat

dilakukan dalam hubungan rumah tangga, hak-hak korban, pemulihan terhadap

korban dan perlindungan terhadap korban.

KDRT merupakan salah satu jenis kekerasan yang menjadi masalah kesehatan

global. Studi dari berbagai negara menunjukkan, angka kejadian KDRT berkisar

antara 15-71%. Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung

mengalami peningkatan. Jumlah kasus kekerasan pada tahun 2010 meningkat

sekitar 5 kali dibandingkan tahun 2006. KDRT merupakan kasus yang mendominasi

dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu 96% pada 2010. Dalam catatan

tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2011, korban

KDRT yang terbanyak adalah perempuan dalam rentang usia produktif (25-40

tahun).4

Kejadian KDRT dapat menyebabkan morbiditas, mortalitas5 dan tidak menutup

kemungkinan akan mempengaruhi kesehatan mental pada korban. Kasus KDRT

yang tidak ditangani secara tuntas akan menimbulakan “lingkaran kekerasan”. Pola

ini berarti kekerasan akan terus berulang, bahkan korban kekerasan suatu saat

dapat menjadi pelaku kekerasan.


                                                            
3
 Undang‐Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah 
Tangga  
4
  Komisi  Nasional  Perempuan,  2011,  Teror  dan  Kekerasan  Terhadap    Perempuan:  Hilangnya  Kendali  Negara, 
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP), Komnas Perempuan, Jakarta. 
5
 Mortalitas adalah ukuran jumlah kematian (umumnya, atau karena akibat yang spesifik) pada suatu populasi, 
skala besar suatu populasi, per dikali satuan. Mortalitas khusus mengekspresikan pada jumlah satuan kematian 
per 1000 individu per tahun, hingga, rata‐rata mortalitas sebesar 9.5 berarti pada populasi 100.000 terdapat 
950  kematian  per  tahun.  Mortalitas  berbeda  dengan  morbiditas  yang  merujuk  pada  jumlah  individual  yang 
memiliki penyakit selama periode waktu tertentu. 
Dalam keseharian, pembahasan tentang KDRT lebih banyak melihat dari

prespektif dunia perempuan saja dan jarang melibatkan keikutsertaan laki-laki yang

selama ini menjadi subjek dalam pembahasan mengenai pemberdayaan

perempuan. Undang-undang KDRT tidak hanya ditunjuk untuk perempuan,

meskipun ide besar yang melatarbelakangi lahirnya Undang-undang KDRT adanya

fenomena kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan yang menjadi korban atau

terjadi terhadap perempuan, namun tidak lantas berarti Undang-undang KDRT

hanya memberikan perlindungan terhadap perempuan atas terjadinya KDRT. Dalam

fenomena kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi terhadap suami yang

dilakukan oleh istri, dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tidak membedakan

antara kekerasan yang dilakukan oleh istri terhadap suami, apabila seorang istri

melakukan kekerasan terhadap suami dan menimbulkan akibat sebagai mana

dirumuskan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004, maka istri akan terkena

sanksi pidana sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang tersebut.

Upaya yang dapat dilakukan dalam proses penyelidikan dalam membantu

kepolisian dalam mencari bukti kekerasan dalam hubungan rumah tangga baik yang

dilakukan oleh suami kepada istri atau sebaliknya, salah satunya dengan cara

mengaitkan ilmu forensik dalam hal ini visum (visum et repertum) dalam mencari

fakta yang mampu menunjang proses pembuktian di persidangan. Dari uraian-uraian

di atas penulis mengangkat judul “Peranan Ilmu Forensik dalam Pengungkapan

Tindak Pidana Kekerasan Fisik dalam Lingkup Rumah Tangga yang dilakukan

Istri Terhadap Suami (Studi Kasus Putusan No. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks)”.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka rumusan

masalah yang akan dibahas adalah :

1. Bagaimanakah peranan ilmu forensik dalam mengungkap tindak pidana

kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami

(studi kasus putusan no. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks)?

2. Apa saja kendala-kendala dalam penerapan ilmu forensik terhadap tindak pidana

kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami

(studi kasus putusan no. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah, yaitu :

1. Untuk mengetahui peranan ilmu forensik dalam mengungkap tindak pidana

kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami

(studi kasus putusan no. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks).

2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam penerapan ilmu forensik terhadap

tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri

terhadap suami (studi kasus putusan no. 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks).

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari peneitian yang dilakukan oleh penulis adalah untuk memberikan

sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum pidana pada umumnya,

khususnya terhadap kejahatan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh

istri terhadap suami. Memberikan pengetahuan tentang peran ilmu forensik dan

kendala-kendala yang dihadapi selama proses penyelidikan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Forensik

Forensik dalam bahasa hukum dapat diartikan sebagai hasil pemeriksaan yang

diperlukan dalam proses pengadillan. Sedangkan forensik dalam pengertian bahasa

Indonesia berarti berhubungan dengan pengadilan. Ilmu forensik ( Forensik Science)

adalah meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah

kejahatan, atau dapat dikatakan bahwa dari segi perannya dalam penyelesaian

kasus kejahatan maka ilmu-ilmu forensik memegang peranan penting. Adapun

semua peranan ilmu-ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah

kejahatan tersebut, ialah:6

1. Hukum pidana

2. Hukum acara pidana

3. Ilmu kedokteran forensik

4. Psikologi forensik dan psikiatri (Neurologi) forensik.

Kata forensik berasal dari bahasa latin yakni dari kata forum, yang untuk

memahami pokok permasalahannya yang menjadi objek kajian dari proposal ini,

maka perlu diketahui pengertiannya. Dengan harapan agar dapat diketahui arti dan

maksud serta tujuan dari istilah tersebut mengandung pengertian sebagai suatu

tempat pertemuan umum di kota-kota pada zaman Romawi kuno yang pada

umumnya dipakai untuk berdagang atau kepentingan lain termasuk suatu sidang

                                                            
6
 Tolib Setiady, 2009, Pokok‐Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta, Bandung, hlm. 6. 
peradilan. Sedangkan arti forum itu sendiri adalah suatu tata cara perdebatan di

depan umum.7

Forensik ialah ilmu pengetahuan yang menggunakan ilmu multidisiplin untuk

menerapkan ilmu pengetahuan alam, kimia, kedokteran, biologi, psikologi dan

krimonologi dengan tujuan membuat terang guna membuktikan ada tidaknya kasus

kejahatan/pelanggaran dengan memeriksa barang bukti atau physical evidence

dalam kasus tersebut.8

B. Penerapan Ilmu Forensik Dalam Hukum Pidana

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan

pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada proses persidangan

begitu juga halnya terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan luka tubuh

manusia, untuk menentukan kapan saat terjadi luka dan apakah luka tersebut

disebabkan oleh tindak kejahatan diperlukan alat bukti yang dapat dipertanggung

jawabkan secara hukum. Berangkat dari ketidakmampuan untuk mengungkapkan

semuanya itu, hukum memerlukan bantuan dari disiplin ilmu pengetahuan lain, yaitu

kedokteran, tentunya bantuan ilmu kedokteran bukan hanya terbatas untuk hal-hal

semacam itu, melainkan segala persoalan yang berkaitan dengan luka, kesehatan

dan nyawa seseorang yang diakibatkan oleh suatu kejahatan yang selanjutnya

diterangkan oleh dokter dalam rangka penyelesaian perkara pidana. Cara yang

dapat dilakukan untuk pembuktian perkara pidana antara lain adalah meminta

bantuan dokter sebagai saksi yang dapat membuat keterangan tertulis dalam bentuk

visum at repertum dan memberikan keterangan dipersidangan sebagai saksi ahli.

Artinya, bahwa ilmu pengetahuan kedokteran sangat berperan dalam membantu

                                                            
7
 Susetio Pramusinto, 1984, Himpunan Karangan Ilmu Forensik Suatu Sumbangan Bagi Wiyata Bhayangkara, 
PT. Karya Unipres, Jakarta, hlm. 19. 
8
 Ibid, hlm. 43. 
penyidik, kejaksaan dan hakim dalam hal yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu

kedokteran.9

Selanjutnya ilmu kedokteran juga mempunyai peranan dalam hal menentukan

hubungan kausalitas antara suatu perbuatan dengan akibat yang akan

ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada

pada tubuh, atau yang menimbulkan matinya seseorang, di mana terdapat akibat-

akibat tersebut patut diduga telah terjadi tindak pidana. Berdasarkan pemeriksaan

ahli forensik inilah selanjutnya dapat diketahui apakah luka seseorang, tidak

sehatnya seseorang tersebut diakibatkan oleh tindak pidana atau tidak.10

1. Pengertian Hukum Pidana

Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai hukum pidana

diantaranya sebagai sebagai berikut:11

a. Pompe, menyatakan bahwa hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan

hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan

pidananya.

b. Apeldoorn, menyatakan dalam hukum pidana dibedakan dan diberi arti yaitu

hukum pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh

sebab perbuatannya dapat dipidanakan sedangkan hukum pidana formil

mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat ditegakkan.

c. D.Hazewinkel-Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti yaitu

objektif (ius poenale) yang meliputi perintah dan larangan yang pelanggarannya

diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak, ketentuan-ketentuan

                                                            
9
 Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi, Peranan Dokter Forensik Dalam Pembuktian Perkara Pidana, dalam jurnal 
ilmiah yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia, hlm.7. 
10
 Ibid, hlm.9. 
11
 Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.4. 
yang mengatur upaya yang dapat digunakan apabila norma itu dilanggar yang

dinamakan hukum panitensier, subjektif (ius puniendi) hak negara menurut hukum

untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan

pidana.

d. Soedarto, mengatakan bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang

negatif, ia diterapkan, jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana

dikatakan mempunyai fungsi yang subsider.

Pidana termasuk juga tindakan (maatregelen) bagaimanapun juga merupakan

suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang

dikenai, oleh karena itu hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk

memberikan alasan pembenar (justification) pidana itu.

e. Bambang Poernomo, menyatakan bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi.

Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan

lapangan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak

mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapagan hukum yang

lain, dan saksi pidananya diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma di

luar hukum pidana. Secara tradisional definisi hukum pidana dianggap benar

sebelum hukum pidana berkembang dengan pesat.

Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti

hal yang “dipidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada

seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak

sehari hari dilimpahkan.12

Tentunya ada alasan untuk melimpahkan pidana ini dan alasan ini selayaknya

ada hubungan dengan suatu keadaan, yang di dalamnya seorang oknum yang

                                                            
12
 Wirjono Prodjodikoro, 2009, Asas‐asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hlm.1. 
bersangkutan bertindak kurang baik. Maka, unsur hukuman sebagai suatu

pembalasan tersirat dalam kata pidana.13

Akan tetapi kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata

pidana sebab ada istilah hukum pidana disamping hukum perdata seperti misalnya

ganti kerugian berupa pembayaran sejumlah uang atau penyitaan barang disusul

dengan pelelangan.14

Sebenarnya, arti kata suatu istilah tidak begitu penting. Dan pengertian ini

sering diterapkan untuk membedakannya dari istilah lain, dengan tidak begitu

mengutamakan arti kata.15

2. Ilmu Bantu Dalam Hukum Pidana

Dalam perkembangan untuk mengungkap kasus-kasus pidana, dibutuhkan

disiplin ilmu lainnya sehingga upaya hukum pidana untuk mencari kebenaran materiil

dapat tercapai. Ilmu bantu yang dimaksud ialah:

a. Logika hukum adalah suatu jalan pemikiran tentang bagaimana peraturan itu

dibuat, dan ditemukan dalam bentuk peraturan dan penemuan hukum. Logika

hukum berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau

ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran ada suatu bentuk dari

pemikiran. Penalaran tersebut bergerak dari suatu proses yang dimulai dari

penciptaan konsep, diikuti oleh pembuatan pernyataan, kemudian diikuti oleh

penalaran.

b. Psikologi, ilmu pengetahuan yang berusaha memahami tingkah laku manusia

dengan tujuan untuk dapat memberlakukannnya secara lebih tepat. Makna

                                                            
13
 Ibid. 
14
 Ibid. 
15
 Ibid. 
permasalahannya yang mendasar dan harapan agar hukum pidana berperan

sesuai tujuan dan harapan. Dalam hubungannya dengan ilmu pembantu dalam

hukum pidana, ilmu psikologi berperan dapat membantu aparat penegak

hukum memberi gambaran utuh kepribadian si pelaku dan korban.16

c. Kriminalistik, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai

masalah teknik, sebagai alat untuk mengadakan pengejaran atau penyidikan

perkara kejahatan secara teknis dengan mempergunakan ilmu-ilmu alam kimia

dan lain-lain seperti ilmu kedokteran kehakiman (ilmu kedokteran forensik),

ilmu alam kehakiman kehakiman antara lain ilmu sidik jari (daktiloskopi) dan

ilmu kimia kehakiman tentang racun (taksikologi).

d. Psikiatri adalah cabang khusus dari kesehatan yang melibatkan pemahaman,

penilaian, diagnosis, perawatan, serta pencegahan gangguan kejiwaan.

Gangguan kejiwaan, di sisi lain, merupakan penyakit yang memiliki efek yang

penting dan terkadang merusak terhadap kemampuan pengelolaan emosi,

kognitif, sosial, dan perilaku seseorang. Sub spesialisasi ilmu kedokteran yang

menelaah mental manusia dan berfungsi membantu hukum dan peradilan. Ilmu

ini merupakan titik singgung antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum dimana

kegiatan utamanyanya adalah pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum

untuk kasus pidana sebagai salah satu alat bukti seperti yang termaktub dalam

pasal 184 (1) KUHAP yakni sebagai keterangan ahli.

e. Kriminologi, berasal dari kata crime artinya kejahatan dan logos artinya ilmu

pengetahuan, jadi kriminologi berarti ilmu pengetahuan tentang kejahatan.

Kriminologi juga berarti ilmu yang mempelajari kejahatan dan penjahat, bentuk

penjelmaan, sebab dan akibat, dengan tujuan mempelajari sebagai ilmu, atau

                                                            
16
 Hendra Akhdhiat, 2011, Psikologi Hukum, Pustaka Setia,  Bandung, hlm. 289. 
agar hasilnya digunakan sebagai sarana untuk mencegah dan memberantas

kejahatan.17

3. Hubungan Ilmu Forensik dan Hukum Pidana

Ilmu forensik dapat memberikan bantuannya dalam hubungannya dengan

proses peradilan dalam hal:18

a. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara, ini biasanya dimintakan oleh pihak

yang berwajib dalam hal dijumpai seseorang yang dalam keadaan meninggal

dunia. Pemeriksaan oleh ahli forensik ini akan sangat penting dalam hal

menentukan jenis kematian dan sekaligus untuk mengetahui sebab-sebab dari

kematiannya tersebut, sangat berguna bagi pihak yang berwajib untuk

memproses atau tidaknya menuntut hukum. Dalam hal ini ahli forensik akan

membuat visum at repertum sebelum mayat dikuburkan.

b. Pemeriksaan terhadap korban yang luka oleh ahli forensik dimaksudkan untuk

mengetahui ada atau tidaknya penganiayaan, menentukan ada atau tidaknya

kejahatan atau pelanggaran kesusilaan, untuk mengetahui umur seseorang

dan untuk menetukan kepastian seorang bayi yang meninggal dalam

kandungan seorang ibu.

Ilmu forensik sangat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkapkan

suatu tindak pidana yang terjadi mulai dari tingkat penyidikan sampai pada tahap

pengadilan terhadap kasus yang berhubungan dengan tubuh atau jiwa manusia

sehingga membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi.19

4. Teori Pembuktian

                                                            
17
 R. Soesilo, 1985, Kriminologi (pengetahuan sebab‐sebab kejahatan), Politeia, Bogor, hlm 3. 
18
 Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi, Op.Cit., hlm 6. 
19
 Ibid. 
Pembuktian secara etimologiberasal dari kata bukti yang berarti sesuatu yang

menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata bukti jika mendapat awalan pe- dan

akhiran –an maka berarti proses, perbuatan, dari membuktikan, secara

terminologimpembuktian berarti usaha untuk menunjukkan benar atau salahnya si

terdakwa dalam sidang pengadilan.20

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal inipun

hak asasi manusia dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang

didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan

berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar,

untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran

materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang hanya kebenaran formal.

Mencari kebenaran materiil tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut

Undang-undang sangat relativ. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur

dan sangat relativ, kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat

pelupa. Bahkan menurut psikologi penyaksian suatu peristiwa yang baru saja

terjadi oleh beberapa orang berbeda-beda. Pembuktian menempati titik sentral

dalam hukum acara pidana.

Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan menempatkan

kebenaran materiil dan bukanlah untuk mencari kesalahan orang lain. Pembuktian

ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara. Dalam

hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian konkret, dengan adanya pembuktian

itu, maka hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri

                                                            
20
 Anshoruddin, 2004, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif. Pustaka Pelajar, 
Yogyakarta, hlm. 25. 
kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang

sebenarnya terjadi, sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh Undang-undang

dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.21

Hari Sasangka dan Lily Rosita dalam bukunya menyatakan, definisi hukum

pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang

mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, system yang dianut

dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan alat bukti tersebut

serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai sesuatu

pembuktian.22

5. Tinjauan Umum Tentang Visum et Repertum

Visum et repertum (VeR) adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas

permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis

terhadap manusia, hidup ataupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh

manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan

peradilan. Visum et Repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah

dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia.

Dalam VeR terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian

pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.

                                                            
21
 M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang 
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 273. 
22
 Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 
hlm. 10. 
VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan

medis yang tertuang dalam bagian kesimpulan.23

Di dalam pengertian secara hukum Visum et Repertum (VeR), adalah:24

a. Subekti, mengatakan:

“Suatu surat keterangan seorang dokter yang membuat kesimpulan suatu


pemeriksaan yang telah dilakukannya, misalnya atas mayat seorang untuk
menentukan sebab kematian dan lain sebagainya, keterangan mana
diperlukan oleh hakim dalam suatu perkara.”

b. Fockeman Andrea dalam rechtsgeleerd handwoordenboek menyatakan

bahwa:

“Laporan dari ahli untuk pengadilan, khusunya dari pemeriksaan oleh dokter,

dan di dalam perkara pidana.”

c. Ny. Karlina P.A Soebroto menyatakan bahwa:

“Surat keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji

tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya “

d. Abdul Mun’im Idries memberikan pendapat:

“Suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang
dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat
pula kesimpulan dan pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.”

Dasar hukum dari Visum et Repertum (Ver) dalam Kitab Hukum Acara Pidana

yang lama, yaitu RIB maupun Kitab Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut

KUHAP tidak ada satu pasal pun yang memuat perkataan VeR. Hanya di dalam

lembaran negara Tahun 1973 No. 350 Pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakn bahwa

Visum et Repertum (Ver) adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter

                                                            
23
 Ibid. 
24
 Abdul Mun’im Idries, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Asara, Jakarta, hlm.2. 
atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pasa benda yang diperiksanya yang

mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.25

Di dalam KUHAP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban

dokter, untuk membantu peradilan, yaitu dalam bentuk: keterangan ahli, pendapat

orang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter dan surat keterangan dari seorang ahli

yang memuat pendapat bedasarkan mengenai keahliannya mengenai sesuatu hal

atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP Pasal 187

butir c).26

Bila dilihat perihal apa yang dimaksudkan dengan alat bukti yang sah menurut

KUHAP Pasal 184 ayat (1) yaitu: 27

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa.

Maka Visum et Repertum (Ver) dapat diartikan sebagai keteragan ahli maupun

sebagai surat.

Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan

tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban

merupakan Corpus Delicti. Corpus Delicti adalah barang yang erat hubungannya

dengan tindak pidana, sehingga dapat disita sebagai barang bukti material, maka

oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian tidak mungkin disediakan atau

diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum et

                                                            
25
 Ibid, hlm.3. 
26
 Ibid. 
27
 Ibid. 
Repertum. Kedudukan seorang dokter di dalam penanganan korban kejahatan

dengan menerbitkan Visum et Repertum seharusnya didasari dan dijamin

netralitasnya, karena bantuan profesi dokter akan sangat menentukan adanya

kebenaran.

Sehubungan dengan peran Visum et Repertum yang semakin penting dalam

pengungkapan suatu kasus tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh

manusia, seperti halnya pada kasus perkosaan, pengaduan atau laporan kepada

pihak kepolisian baru akan dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung

lama sehingga tidak lagi ditemukaan tanda-tanda kekerasan pada diri korban. Jika

korban dibawa kedokter untuk mendapat pertolongan medis, maka dokter punya

kewajiban untuk melaporkan kasus tersebut ke polisi atau menyuruh keluarga

korban untuk melapor ke polisi. Korban yang melapor terlebih dahulu ke polisi pada

akhirnya juga akan dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis

sekaligus pemeriksaan forensik untuk dibuatkan Visum et Repertum nya. Sebagai

dokter klinis, pemeriksa bertugas menegakkan diagnosis dan melakukan

pengobatan. Adanya kemungkinan terjadinya kehamilan atau penyakit akibat

hubungan seksual (PHS) harus diantisipasi dan dicegah dengan pemberian obat-

obatan. Pengobatan terhadap luka dan keracunan harus dilakukan seperti biasanya.

Pengobatan secara psikiatris untuk penanggulangan trauma pasca perkosaan juga

sangat diperlukan untuk mengurangi penderitaan korban.28

C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

1. Pengertian Kekerasan

                                                            
28
 Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi, Op.Cit., hlm.7  
1.1 Pengertian Kekerasan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

kekerasan berarti :

a. Perihal yang bersifat, berciri keras

b. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang menyebabkan cedera

atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau

barang lain

c. Paksaan.

1.2. Pengertian Kekerasan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

KUHP terbatas hanya pada pengertian yang tercantum dalam pasal 89

yang menyatakan:

“Yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang pingsan

tidak berdaya lagi”

Pingsan diartikan hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya. Kemudian yang

dimaksud dengan tidak berdaya dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan atau

tenaga yang sama sekali sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sama

sekali, tetapi seseorang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui yang terjadi

padanya. Lebih lanjut dijelaskan pula dalam KUHP mengenai melakukan kekerasan

artinya:

“Mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak

sah”

Perbuatan kekerasan seperti tersebut diatas dalam bahasa hukum

dibahasakan sebgai penganiayaan. Di dalam buku kedua KUHP, penganiayaan

dapat dibedakan atas 5 (lima) jenis, yaitu :

a. Penganiayaan Biasa.
Jenis penganiayaan ini diatur di dalam Pasal 351 KUHP. Bentuk

penganiayaan ini dapat dikatakan sebagai penganiayaan biasa apabila

menimbulkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.

Termasuk pula penganiayaan yang sengaja merusak kesehatan orang

lain.

b. Penganiayaan Ringan.

Jenis penganiayaan ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Bentuk

penganiayaan ini disebut sebagai penganiayaan ringan apabila

penganiayaan tersebut tidak menjadikan sakit atau terhalang untuk

melakukan pekerjaan sehari-hari.

c. Penganiayaan Yang Direncanakan Terlebih Dahulu.

Jenis penganiayaan ini diatur di dalam Pasal 353 KUHP. Pasal ini

dapat dikenakan ke pelaku apabila penganiayaan yang dilakukan

direncankan terlebih dahulu. Jika berakibat luka berat atau mati maka

hukumannya lebih berat. Percobaan melakukan penganiayaan ini dapat

dikenakan hukuman. Pengertian luka berat dapat dilihat pada Pasal 90

KUHP, yaitu :

1). Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak dapat diharapkan akan

sembuh secara sempurna, atau yang menimbulkan bahaya maut.

2). Untuk selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan atau

pekerjaan yang merupakan mata pencahariannya.

3). Kehilangan salah satu panca indera.

4). Mendapat cacat berat.

5). Menderita sakit lumpuh.

6). Terganggunya daya pikir.


7). Gugurnya atau terbunuhnya kandungan seseorang perempuan

d. Penganiayaan Berat.

Jenis penganiayaan berat ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Pasal ini

dapat dikenakan apabila niat pelaku memang ditujukan pada melukai

berat. Apabila tidak dimaksud dan luka berat itu hanya merupakan akibat

saja, maka perbuatan itu termasuk penganiayaan biasa yang berakibat

luka berat (dikenakan Pasal 351 KUHP). Percobaan melakukan kejahatan

ini dapat dikenakan hukuman.

e. Penganiayaan Berat Yang Direncankan Terlebih Dahulu.

Penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu diatur dalam

Pasal 355 KUHP. Bahwa yang dimaksud di dalam pasal ini adalah

penganiayaan dalam Pasal 354 yang dilakukan dengan direncanakan

terlebih dahulu. Percobaan melakukan kejahatan ini dapat dikenakan

hukuman.

Menurut para ahli jenis kekerasan yang utama adalah pembunuhan,

penganiayaan berat, dan pencurian dengan kekerasan.

a. Pembunuhan.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pembunuhan

terdiri atas beberapa macam, yaitu :

1. Pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338

2. Pembunuhan yang dipikir lebih dahulu atau dikenal dengan

pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP.

b. Penganiayaan berat merupakan jenis penganiayaan yang oleh

Undang-undang dikualifikasikan sebagai penganiayaan berat yang

diatur dalam Pasal 354.


c. Pencurian dengan kekerasan diatur dalam Pasal 365 KUHP.

2. Pengertian Rumah Tangga

Secara umum dapat diketahui bahwa rumah tangga merupakan organisasi

terkecil dalam masyarakat yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan.

Biasanya rumah tangga terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Namun di Indonesia

seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak-saudara yang ikut bertempat tinggal,

misalnya orang tua, baik dari suami atau istri, saudara kandung/tiri dari kedua belah

pihak, kemanakan dan keluarga yang lain, yang mempunyai hubungan darah. Di

samping itu, juga terdapat pembantu rumah tangga yang bekerja dan tinggal

bersama-sama di dalam sebuah rumah (tinggal satu atap).

Pengertian “rumah tangga” tidak tercantum dalam ketentuan khusus, tetapi

yang dapat kita jumpai adalah pengertian “keluarga” yang tercantum dalam Pasal 1

ke 30 Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana. Bunyi Pasal 1 angka 30 sebagai berikut:

“Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajad

tertentu atau hubungan perkawinan”.

Pengertian rumah tangga atau keluarga hanya dimaksudkan untuk

memberikan gambaran tentang apa yang menjadi objek pembicaraan tentang

kekerasan terhadap perempuan. Karena terjadinya kekerasan dalam sebuah rumah

tangga sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Namun selama ini selalu

dirahasiakan oleh keluarga, maupun korban sendiri. Budaya masyarakat ikut

berperan dalam hal ini, karena tindak kekerasan apapun bentuknya yang terjadi
dalam sebuah rumah tangga atau keluarga adalah merupakan masalah keluarga, di

mana orang luar tidak boleh mengetahuinya.29

3. Ruang Lingkup Rumah Tangga

Dalam penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara umum

dikatakan, “Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram,

dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Dengan

demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksankan hak dan

kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan

dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.30 Yang termasuk orang-orang

yang ada di dalam lingkup rumah tangga telah dicantumkan oleh pembuat undang-

undang yang terdapat pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, meliputi:31

1. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi:

a. Suami, istri, dan anak

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan daerah,

perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap

dalam rumah tangga; dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut.

                                                            
29
 Moerti Hadiati Soeroso, 2011, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis‐Viktimologis, Sinar 
Grafika, Jakarta, hlm.61. 
30
 Mohammad Taufik Makarao, 2013, Hukum Perlindungan  Anak  dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah 
Tangga, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 174. 
31
 Guse Prayudi, 2009, Berbagai Aspek Tindakan Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Cetakan II, Merkid 
Press, Sukabumi, hlm. 26. 
2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang

sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah

tangga yang bersangkutan.

4. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pada umumnya tindak kekerasan fisik selalu didahului dengan kekerasan

verbal misalnya saling mencaci, mengumpat, mengungkit masa lalu atau

mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan salah satu pihak. Bentuk-

bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang Nomor 23

Tahun 2004, tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9, yaitu:32

1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit

atau luka berat (Pasal 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004).

2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa ketakutan,

hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak

berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2004).

3. Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan

terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Selain itu

juga berarti pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam

                                                            
32
 Moerti Hadiati, Op.cit, hlm. 83. 
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan

tertentu (Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004).

4. Penelantaran rumah tangga juga di masukkan dalam pengertian kekerasan,

karena setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena

persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan penghidupan, perawatan atau

pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran tersebut juga berlaku bagi

setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara

membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar

rumah, sehingga korban di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9 Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2004).

Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan dalam rumah tangga, sangat

tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas

perilaku dan pengendalia diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan

pengendalian diri tidak dapat terkontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan

dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap

orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Perkembangan dewasa ini

menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan

penelantaran rumah tangga pada kenyataanya terjadi sehingga dibutuhkan

perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.

Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam

rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan.

Adapun ketentuan pidana dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah sebagai berikut :


Pasal 44 :

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling banyak Rp.45.000.000,00 (empat puluh lima juta
rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pasal 45 :

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp.9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Pasal 46 :

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana


dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah).

Pasal 47 :

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 48 :
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49 :

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

Pasal 50 :

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, hakim dapat


menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjatuhkan
pelaku dari korban dalam jarak dan waktu terentu, maupun
pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.

D. Suami dan Istri

1. Suami

Suami adalah salah seorang pelaku pernikahan yang berjenis kelamin pria.

Seorang pria biasanya menikah dengan seorang wanita dalam suatu upacara

pernikahan sebelum diresmikan statusntya sebagai seorang suami dan pasangan

sebagai seorang istri.

a. Sebagai pria yang telah terkait Mendapatkan pelayanan lahir bathin dari istri

b. Dihormati oleh istri sebagai kepala keluarga

c. Ditaati oleh istri selama tidak dalam kemaksiatan


oleh hubungan pernikahan, suami mempunyai hak-hak atas istrinya. Hak-hak

tersebut adalah sebagai berikut:33

Sedangkan kewajiban seorang suami yang harus dipenuhi ialah sebagai

berikut:

a. Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih
sayang, tanpa kasar dan zhalim
b. Suami wajib menafkahi istri lahir dan bathin
c. Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada
istrinya
d. Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri
e. Suami wajib menjaga nama baik dan kehormatan istri dan tidak boleh
membuka aib istri kepada siapapun.

2. Istri

Kata “istri” diambil dari bahasa sansekerta yaitu “stri” yang artinya adalah

wanita atau perempuan. Istri adalah salah seorang pelaku pernikahan yang berjenis

kelamin wanita. Seorang wanita biasanya menikah dengan seorang pria dalam

suatu upacara pernikahan.

Sebagai wanita yang telah terkait oleh hubungan pernikahan, istri mempunyai

hak-hak atas suaminya. Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:34

a. Suami harus memperlakukan istri dengan cara yang baik


b. Suami harus menjaga dan memelihara istri dari segala sesuatu yang dapat
merusak dan mencemarkan kehormatannya
c. Suami harus menjaga istri tentang perkara-perkara penting dalam masalah
agama
d. Suami istri tidak boleh menyebarkan rahasia dan menyebutkan kejelekan
istri di depan orang lain, karena suami adalah orang yang dipercaya untuk
menjaga istrinya
e. Suami harus bermusyawarah dengan istri dalam setiap permasalahan dalam
rumah tangganya
f. Suami harus segera pulang ke rumah setelah shalat Isya. Janganlah ia
begadang di luar rumah sampai larut malam. Karena hal itu akan membuat
hati istri menjadi gelisah.
                                                            
33
 http://www.hendra.ws/hak‐dan‐kewajiban‐suami‐istri‐dalam‐islam/comment‐page‐2 diakses pada tangga 
25 Maret 2016 Pukul 18:56  
34
 http://www.shalihah.com/panduan‐agama/fiqh/pernikahan/hak‐hak‐istri‐atas‐suami diakses pada tanggal 
25 Maret 2016 Pukul 18:32. 
 
Selain dari hak-hak tersebut diatas, seorang istri juga mempuyai kewajiban-

kewajiban yang dipenuhi, yaitu sebagai berikut:35

a. Istri wajib mendidik dan memelihara anak dengan baik dan penuh tanggung
jawab
b. Istri wajib mentaati suaminya selama bukan dalam kemaksiatan
c. Istri wajib menjaga kehormatan keluarganya
d. Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya
e. Istri wajib senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami.

                                                            
35
 http://budiwiyono.com/2009/10/22/kewajiban‐suami‐istri‐dalam‐islam diakses pada tanggal 25 Maret 2016 
Pukul 19:12  
 
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis melakukan penilitian untuk

memperoleh data atau menghimpun berbagai data, fakta, dan informasi yang

diperlukan. Dalam melakukan penelitian, data yang didapatkan harus mempunyai

hubungan yang relevan dengan permasalahan yang dikaji, sehingga tujuan dalam

memecahkan masalah dapat terselesaikan. Kualifikasi data yang baik akan

melahirkan tulisan ilmiah yang proporsional.

Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian di Rumah Sakit

Bhayangkara Makassar dan Pengadilan Negeri Makassar. Penulis juga mencari

data dan informasi yang diperlukan yang berkaitan dengan permasalahan yang

dibahas dalam kasus ini guna mempermudah pembahasan dan penyelesaian

penulisan yaitu di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

B. Jenis dan Sumber Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dikelompokkan dalam dua jenis,

yaitu:

1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara

dan penelitian secara langsung dengan pihak terkait untuk memberikan

keterangan yang dibutuhkan dengan judul penulis

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperbolehkan melalui studi

kepustakaan berupa literature, peraturan perundang-undangan, karya-karya

ilmiah, internet dan sumber bacaan lainnya, serta putusan perkara yang

menjadi faktor penunjang dalam penelitian ini.

C. Teknik Pengumpulan data

Dalam teknik pengumpulan data penulis menggunakan dua metode: penelitian,

yaitu

1. Metode Penelitian Pustaka (Library Research)

Penelitian pustaka dilaksanakan untuk mengumplkan sejumlah data

meliputi bahan pustaka yang bersumber dari buku-buku dan dokumen-

dokumen perkara serta peraturan-peraturan yang berhubungan dengan

penelitian ini

2. Metode wawancara (Interview)

Sehubungan dengan kelengkapan data yang dikumpulkan maka

penulis melakukan wawancara dengan pihak pihak yang dapat memberikan

informasi yang berkaitan dengan judul yang ditulis.

D. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian baik primer maupun sekunder

akan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif, yaitu dengan
menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan permasalahan beserta

penyelesaiannya yang berkaitan erat dengan penulisan ini. Penggunaan teknik

analisis kualitatif mencakup semua data penelitian yang telah diperoleh dari

wawancara, agar membentukdeskripsi yang mendukung kualifikasi kajian ini

sehingga dapat memcahkan objek permasalahan yang diteliti.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peranan Ilmu Forensik Dalam Mengungkap Tindak Pidana Kekerasan.

1. Peran Dokter Dalam Penyeledikan Tindak Pidana

Sebelum penulis membahas lebih jauh terkait dengan kasus yang akan

dibahas, penulis akan membahas dulu terkait dengan ilmu forensik.

Dokter adalah seorang tenaga kesehatan untuk menyelesaikan semua

masalah kesehatan. Keterkaitan dokter dengan penyelidikan tindak pidana adalah

seorang dokter menjadi tenaga ahli dalam melakukan pemeriksaan terhadap korban

tindak pidana.

Dokter dalam melakukan tugas sehari-hari, suatu waktu dapat diminta

bantuannya oleh penegak hukum, maka sangatlah baik bila dokter mengetahui

tentang tata laksana penyidikan perkara pidana, mulai dari saat penyidik sampai

hakim menjatuhkan keputusan. Mendatangkan seorang dokter yang diperlukan

sehubungan dengan perkara tidak termasuk wewenangnya. Dokter boleh dikatakan

tidak ada hubungannya kerja dengan penyelidik.

Ilmu kedokteran kehakiman adalah cabang spesialistik ilmu kedokteran yang

memanfaatkan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum, terutama

pada bidang hukum pidana. Peran dari dokter kehakiman dalam penyelesaian
perkara pidana di pengadilan adalah membantu hakim dalam menemukan dan

membuktikan unsur-unsur yang didakwakan dalam pasal yang diajukan oleh

penuntut. Serta memberikan gambaran bagi hakim mengenai laporan dalam visum

et repertum.

KUHAP mengingatkan bahwa semua korban karena tindak pidana yang hidup

maupun yang mati diperiksa oleh ahli kedokteran kehakiman, baru kalau tidak ada,

diperiksa oleh dokter atau ahli lainnya. Hal ini menyebabkan simpang siurnya

pengertian surat keterangan ahli. Keadaan sebenarnya di rumah sakit di tempat

adanya fakultas kedokteran adalah sebagai berikut :36

a. Korban luka diperiksa oleh dokter ahli bedah.

b. Korban kejahatan kesusilaan diperiksa oleh dokter ahli kebidanan dan

penyakit kandungan (obgyn).

c. Korban keracunan diperiksa oleh dokter ahli penyakit dalam.

d. Korban mati dipriksa oleh ahli kedokteran kehakiman.

Semua dokter ahli atau dokter umum dapat melayani permohonan visum et

repertum. Yang paling tepat adalah permohonan ditujukan kepada ahli kedokteran

kehakiman berstatus pegawai negeri sipil, dokter ahli lain berstatus pegawai negeri

sipil atau dokter umum berstatus pegawai negeri sipil. Ahli kedokteran kehakiman

berstatus pegawai negeri sipil hanya ditemui di kota besar tempat ada fakultas

kodokteran suatu perguruan tinggi negeri, sedangkan dokter ahli lain berstatus

pegawai negeri sipil dapat djumpai di rumah sakit umum kabupaten dan dokter

umum berstatus pegawai negeri sipil dapat dijumpai hampir di tiap puskesmas.

2. Pentingnya Kehadiran Tenaga Kerja Profesional

                                                            
36
 Njowito Hamdani, 1992, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 9. 
Suatu kewajiban bagi penyidik untuk melakukan suatu pengungkapan kasus,

karena memang hal tersebutlah pekerjaannya. Akan tetapi kerap terjadi suatu kasus

yang sangat sulit untuk dipecahkan dengan berbagai macam kendala yang ada.

Akan tetapi secara utilitas penyidik akan merasakan kepuasan yang lebih dari pada

sekedar prestasi apabila dapat mengungkap suatu kasus tindak pidana yang sangat

sulit diungkap, contohnya seperti kasus pembunuhan yang di mana korban sudah

dimakamkan selama 3 (tiga) bulan, dan saksi-saksi sudah banyak yang berpindah

ke luar kota bahkan ada yang sudah kehilangan kontak dengan para penyelidik

ataupun keluarganya.

Dari hambatan-hambatan yang ada tersebut tidak mematahkan semangat

dari para penyidik untuk tetap melanjutkan penyelidikan terhadap kasus tersebut.

Para penyidik menelusuri ulang rangkaian kejadian mulai dari TKP, orang tua

korban, saksi-saksi yang masih ada. Akan tetapi setelah beberapa hari tetap tidak

diketemukan suatu petunjuk baru. Untuk itu para penyidik memutuskan untuk

memanggil kehadiran tenaga ahli, dalam hal ini adalah dokter forensik untuk

melakukan ekshumasi. Ekshumasi adalah suatu tindakan medis yang dilkukan atas

dasar Undang-undang dalam rangka pembuktian suatu tindakan pidana dengan

menggali kembali jenazah yang sudah dikuburkan dan berdasarkan izin dari

keluarga korban. Akhirnya dengan dilakukannya proses tersebut oleh tenaga ahli,

kembali penyidik mendapatkan petunjuk baru yang lebih jelas. Jadi peran tenaga

ahli dalam proses penyelidikan kasus ini berandil besar dalam penyelesain kasus-

kasus pidana yang membutuhkan tenaga ahli tersebut.37

Tenaga ahli dalam penanganan kasus memang sangat besar pengaruhnya,

tidak lupa akan peranannya pada saat melakukan olah TKP sewaktu Bom Bali.

                                                            
37
 http://hendravirmanto.blogspot.co.id/2015/01/peranan‐dokter‐forensik‐pada.html?m=1 Jum’at 26 Agust‐
16 17.56 Wita. 
Kasus terorisme dapat diungkap dengan keahliannya. Di sini kita semua menyadari

bahwa kehadiran mereka sangat membantu dan bahkan sangat diperlukan dalam

penanganan kasus tindak pidana.

Definisi keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah

keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal

yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

pemeriksaan.

Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1)

KUHAP yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan salah

satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang mengatakan

bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan.

Mengenai peran ahli dalam memberikan keterangannya dalam pemeriksaan di

persidangan terdapat sejumlah peraturan dalam KUHAP, antara lain :

Pasal 132 ayat (1) KUHAP

Dalam hal ini diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu
atau dipalsukan atau diduga palsu oleh oleh penyidik, maka untuk
kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan
mengenai hal itu dar orang ahli.

Pasal 133 ayat (1) KUHAP

Dalam pasal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang


korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya.

Pasal 179 ayat (1) KUHAP

Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman


atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan.
Dapat kita lihat dari apa yang tertera dalam KUHAP bahwa keterangan ahli

merupakan salah satu alat bukti, berarti itu menunjukan bahwa keterlibatan seorang

ahli dalam penyidikan sangatlah penting. Dimana pengungkapan tindak pidana bisa

didapatkan dari keahliannya.

B. Kendala Dalam Peranan Ilmu Forensik Terhadap Tindak Pidana


Kekerasan Fisik Dalam Lingkup Rumah Tangga Sesuai Putusan No :
1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks

Dalam suatu proses penyelidikan dan penjatuhan sanksi pidana dalam hal ini

kasus kekerasan dalam lingkup rumah tangga, sering kita jumpai berbagai kendala

yang dihadapi, baik dalam penyelidikan maupun dalam penjatuhan sanksi dalam

persidangan.

Pada sub bab ini penulis menguraikan kendala-kendala yang dihadapi dalam

penerapan ilmu forensik pada kasus kekerasan dalam rumah tangga ini. Melalui

hasil wawancara dengan hakim dan dokter dari kepolisian yang menangani kasus ini

penulis mengurainya.

Kristian menjelaskan (wawancara tanggal 29 Juli 2016) :

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di


dalamnya. Dalam kasus ini penting diketahui bagaimana hasil visum et repertum
untuk mengetahui bagaimana seorang hakim dalam menjatuhkan putusan tidak
keliru, seringkali hakim juga menemui kendala dalam hal itu, pada kasus ini kendala
yang ditemukan oleh hakim adalah kadang keterangan dari saksi yang berbelit belit,
seakan tidak ada kesusian alur cerita dengan saksi yang lain dan kendala yang lain
adalah saksi juga kadang tidak hadir dalam persidangan.

Bahwa kita ketahui sangat pentingnya keterangan dari saksi dan terdakwa, jika

keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak dikenal dalam undang-

undang atau atas bukti yang tidak mencukupi, misalnya dengan keterangan hanya
dari seorang saksi saja, ataupun karena keyakinan tentang itu sendiri tidak ada.

Oleh karena hakim adalah seorang manusia biasa yang tentunya dapat salah raba

dalam menentukan keyakinannya perihal penjatuhan saksi. Menurut Pasal 189 ayat

(1) KUHAP, keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di dalam

persidangan tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia

alami sendiri. Mengingat bahwa keterangan saksi dan terdakwa yang memuat

informasi tentang kejadian peristiwa bersumber dari keterangan mereka, maka

hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi keterangan saksi dan terdakwa

haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya kebohongan atau

keterangan palsu yang dibuat oleh saksi dan terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian

atau peristiwa pidana yang terjadi.

Kendala yang berbeda juga ditemui oleh dokter yang melakukan visum pada

saksi korban, karena dalam penyeledikan suatu laporan tertulis dari dokter yang

telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang

diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna

kepentingan peradilan, adapun menurut pendapat dari.

Mauluddin menjelaskan (wawancara tanggal 9 Agustus 2016) :

Kendala yang paling utama dihadapi adalah surat itu terkadang tidak
bersamaan dengan barang bukti yang dimintakan, jadi sering kali surat permintaan
dari penyidik itu sering terlambat.

Permasalahan atau kendala yang terjadi hanya ada pada administrasi surat

yang dilakukan penyidik dalam kaitannya ini polisi ke dokter yang melakukan visum

terhadap saksi korban. Keterlambatan terjadi karena adanya proses visum et

repertum yang terlalu lama, dalam suatu penyelidikan surat yang dikeluarkan oleh

dokter dari laporan et repertum harus sesuai dengan KUHAP. Visum et repertum

berbeda dengan catatan medik dan surat keterangan medik lainnya karena visum et
repertum dibuat atas kehendak Undang-undang yang berlaku, maka dokter tidak

dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal

322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien dan selama visum et

repertum dibuat untuk dipergunakan dalam proses peradilan, maka dalam tahap

administrasi laporan dari hasil visum et repertum memakan waktu sehingga

menemui kendala sesuai dengan hasil wawancara dengan narasumber.

C. Analisis Putusan Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Fisik Dalam Lingkup


Rumah Tangga Sesuai Putusan No : 1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks

Pada sub bab ini penulis akan menguraiakan mengenai peranan ilmu forensik

terhadap tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga. Untuk

memahami penerapan ilmu forensik terhadap hal tersebut, maka penulis dalam hal

ini menganalisis putusan Nomor 1550/Pid.Sus/2015/PN.Makassar.

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, setiap orang mengharapkan

hukumnya itulah yang harus berlaku.38

Dalam pelaksanaan dan penegakan hukum sebagaimana disebutkan di atas,

maka akan tidak lepas dari bagaimana penerapan hukum terhadap suatu peristiwa

pidana atau tindak pidana yang terjadi, sehingga menjadi hal penting dalam

menguraikan dan memahami hal tersebut, dengan memperhatikan mulai dari posisi

kasus atau kronologis terjadinya tindak pidana. Adapun posisi kasus adalah sebagai

berikut :

1. Posisi Kasus

Bahwa benar pada Jum’at tanggal 20 Juni 2014 sekitar pukul 19.30

wita, bertempat di Jalan Urip Sumoharjo depan bengkel Yamaha Sinar Alam

                                                            
38
 Sudikno Mertokusumo, 1993, Bab‐Bab Tentang Penemuan Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 1. 
Pratama kota Makassar, ia terdakwa Patricya Nurtanio melakukan tindak

pidana yang dilakukan dengan cara berikut :

Bahwa berawal ketika saksi korban Ronny hendak menjemput

terdakwa dan telah janjian via telepon untuk bertemu di depan Showroom

mobil Hyundai, akan tetapi keadaan lalu lintas saat itu tidak memungkinkan

sehingga saksi korban terus menjalankan kendaraannya mencari tempat

parkir dan saat hendak menelfon terdakwa, terdakwa sudah lebih dahulu

menelfon saksi korban dan menyuruh saksi korban untuk pulang saja,

namun saksi korban tetap berupaya untuk menjemputnya sehingga saksi

korban meminta untuk menemuinya di depan Bengkel Yamaha Sinar Alam

Pratama, setelah berada di depan bengkel tersebut terdakwa juga tiba dan

langusung membuka pintu mobil saksi korban sambil berkata “Kau pulang

saja anjing” lalu terdakwa melempari saksi korban dengan menggunakan

Handphone miliknya yang mengenai bagian pelipis kiri saksi korban.

2. Surat Dakwaan

Berdasarkan posisi kasus di atas, maka jaksa penuntut umum

membuat surat dakwaan dalam tahap penuntutan sesuai dengan Berita

Acara Pemeriksaan (BAP) dari penyidik. Adapun surat dakwaan adalah

sebagai berikut :

Pertama:

Bahwa ia terdakwa Patriciya Nurtanto, pada hari Jumat tanggal 20 Juni


2014 sekitar pukul 19.30 wita, bertempat di Jalan Urip Sumoharjo depan
bengkel Yamaha Sinar Alam Pratama kota Makassar atau setidak-tidaknya
disuatu tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah Hukum Pengadilan
Negeri Makassar, telah melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga terhadap saksi korban Ronny yaitu suami sah dari terdakwa
sebagaimana kutipan Akta Perkawinan Nomor 7371-KW-02012012-0011
yang dibuat pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Makassar, yang mana telah menyebabkan saksi korban mengalami luka
lecet dibagian pelipis kiri saksi korban, dengan cara-cara sebagaimana telah
dicantumkan dalam posisi kasus di atas.
Hal tersebut berdasarkan hasil Visum Et Repertum Nomor:
VER/18/VI/2014/Rumkit tanggal 21 Juni 2014 atas nama Ronny, jenis
kelamin Laki-laki umur 32 tahun, yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr.
Mauluddin,M.Sp.F, dokter pada Rumah sakit Bhayangkara Makassar
dengan kesimpulan hasil pemeriksaan hasil sebagai berikut :
1. Telah diperiksa seorang korban hidup, berjenis kelamin laki-laki dan
berusia dewasa.
2. Ditemukan luka lecbet disertai memar pada alis kiri akibat trauma
tumpul.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Kedua :

Bahwa ia terdakwa Patricya Nurtanto alias PAT pada waktu dan tempat
sebagaimana dalam dakwaan pertama di atas, telah melakukan
penganiayaan terhadap saksi korban Ronny.
Perbuatan Patricya Nurtanto alias PAT tersebut sebagaimana diatur
dan diancam pidana menurut Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

3. Tuntutan Penuntut Umum

Berdasarkan berkas perkara dan surat-surat, keterangan saksi dan

terdakwa, serta barang bukti yang diajukan di persidangan, maka Jaksa

Penuntut Umum menuntut agar Majelis Hakim memutuskan sebagai berikut

1. Menyatakan Terdakwa Patricya Nurtanio alias PAT terbukti secara sah


dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2. Menjatuhkan pidana Terdakwa Patricya Nurtanto alias PAT, dengan
pidana penjara selama 4 (empat) bulan, dengan perintah agar
Terdakwa tetap ditahan.
3. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar
Rp. 2000,- (dua ribu rupiah) apabila dipersalahkan dan dijatuhi pidana.
4. Amar Putusan

Adapun yang menjadi amar putusan dalam perkara ini adalah sebagai

berikut :

MENGADILI

1. Menyatakan Terdakwa Patricya Nurtanto alias PAT telah terbukti


secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dalam
dakwaan.
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama
3 (tiga) bulan.
3. Menyatakan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali
dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim bahwa
terpidana sebelum masa percobaan selama 6 (enam) bulan.
4. Membebani biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.2000,- (dua
ribu rupiah).

Dalam posisi kasus, surat dakwaan, tuntutan penuntut umum, dan

amar putusan di atas terdakwa telah secara sah dan terbukti telah

melakukan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga yakni berupa

kekerasan fisik, sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 44 ayat (4) Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga. Hal ini sesuai dengan hasil visum et repertum yang

ditangani oleh Mauluddin, dokter forensik yang melakukan visum. Bahwa

lewat pemeriksaan visum, peranan ilmu forensik dapat berjalan dengan

memecahakan kasus-kasus pidana. Hal ini sejalan dengan kutipan hasil


wawancara penulis dengan Kristian, hakim dalam perkara ini (wawancara

tanggal 29 Juli 2016) yang menyatakan bahwa :

Dalam pengambilan putusan dalam perkara ini peranan ilmu forensik


sangat penting, sebab dengan adanya hasil visum menjadi salah satu tolak
ukur hakim dalam menjatuhkan pidana pada terdakwa, hal ini juga tertuang
dalam KUHAP Pasal 187 butir c yang menyatakan kewajiban dokter untuk
membantu peradilan dalam bentuk keterangan ahli, pendapat orang ahli,
dan surat keterangan ahli, berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal
atau suatu keadaan yang diminta secara resmi padanya.

Secara sosiologis, maka penjatuhan hukuman harusnya tidak saja

berdasarkan kepastian hukum, tetapi juga berlandaskan asas keadilan dan

kemanfaatan yaitu memperhtikan rasa keadilan masyarakat, memulihkan

keadilan sosial masyarakat, mencegah orang lain untuk tidak melakukan

tindak pidana dan sebagainya. Oleh karena hakim mempertimbangkan

keterangan forensik sebagai salah satu alat bukti dalam penjatuhan sangsi

pidana. Hal ini kemudian didukung oleh hasil wawancara dengan Kristian

(wawancara pada tanggal 29 Juli 2016) yang menyatakan bahwa :

Keterikatan hakim terhadap visum et repertum sebagai alat bukti surat


yang sah dapat dilihat pada saat hakim menerima hasil kesimpulan visum et
repertum, dan mengambil alih kesimpulan tersebut dan didukung paling
sedikit satu alat bukti lain ditambah dengan keyakinan hakim bahwa terjadi
tindak pidana penganiayaan dan terdakwalah yang bersalah melakukannya,
maka berdasarkan visum et repertum di persidangan, barulah hakim
menjatuhkan sangsi pidana.

Dalam hal ini penulis juga berkesempatan melakukan wawancara

dengan Mauluddin. Dokter yang melakukan visum dalam perkara ini

(wawancara dilakukan pada tanggal 9 Agustus 2016), yang menyatakan

sebagai berikut :

Sesuai dengan aturan perundang undangan yang ada di negara kita


yaitu dalam KUHAP, salah satu alat bukti yang nanti bisa menjadi atau
membuktikan perkara pidana nanti adalah keterangan ahli dan hasil visum
sebagai alat bukti kategori surat. Dokter forensik setelah menerima
pekerjaan untuk membuktikan perkara pidana tadi maka dia
menuangkannya dalam bentuk visum et repertum. Jadi peranan forensik
yang pailng penting adalah melakukan pemeriksaan pada korban dan
menuangkan hasil pemeriksaan dalam bentuk visum et repertum untuk
pembuktian dalam persidangan.

Berhasilnya suatu proses penegakan hukum sangat bergantung pada

penerapan hukum, di mana peran penegakan hukum salah satunya adalah

bagaimana mengaktualisasikannya dengan dengan baik di dunia nyata.

5. Analisis Penulis

Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan

menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi

hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan.

Berhasilnya suatu proses penegakan hukum sangat bergantung pada

penerapan hukum pidana, dimana peran penegak hukum salah satunya

adalah bagaimana mengaktualisasikannya dengan baik di dunia nyata.

Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan dalam sidang

pengadilan, sedangkan surat tuntutan adalah surat yang berisi tuntutan

penuntut umum terhadap suatu tindak pidana. Pada hakikatnya, seorang

Jaksa Penuntut Umum harus membuat surat dakwaan dan surat tuntutan

yang membuat terdakwa dari suatu tindak pidana tidak dapat lolos dari jerat

hukum. Hakim dalam memeriksa suatu perkara tidak boleh menyimpang dari

apa yang dirumuskan di dalam surat dakwaan. Seorang terdakwa hanya

dapat dijatuhkan hukuman karena telah terbukti dalam persidangan bahwa

ia telah melakukan tindak pidana seperti apa yang disebutkan jaksa dalam

surat dakwaannya.

Kasus yang penulis bahas dalam skripsi ini adalah tentang kekerasan

fisik yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh
terdakwa Patricya Nurtanto alias PAT terhadap suaminya, yakni saksi

korban Ronny. Dalam kasus ini, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum

secara teknis telah memenuhi syarat formil surat dakwaan sebagaimana

dimaksud Pasal 143 Ayat (2) KUHAP, yaitu harus memuat tanggal dan

ditandatangani oleh penuntut umum serta identitas lengkap terdakwa. Selain

itu juga, surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan

lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu

dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Hakim dalam pemeriksaan perkara pidana berusaha mencari dan

membuktikan kebenaran materiil berdasarkan fakta-fakta yang terungkap

dalam persidangan serta berpegang teguh pada apa yang dirumuskan

dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Berdasarkan posisi kasus

yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan telah sesuai dengan

ketentuan baik hukum pidana formil maupun pidana materiil dan syarat

dapat dipidananya seorang terdakwa. Hal ini didasarkan pada pemeriksaan

dalam persidangan, di mana alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut

Umum saling bersesuaian. Oleh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Makassar menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan terdakwa

terdapat dalam Pasal 44 Ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Lingkup Rumah Tangga.

Penjatuhan sanksi pidana dalam dakwaan mengakomodir kronologis

kejadian dengan menerapkan Pasal 44 Ayat (4) Undang-undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

dalam perkara Nomor 1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks ini yaitu terdakwa

Patriciya Nurtanto menunjukkan perbuatan kekerasan fisik yang dilakukan


istri terhadap suami, melempari saksi korban Ronny dengan menggunakan

handphone yang mengenai pelipis kiri korban. Dalam kasus ini menurut

penulis sudah tepat diterapkan Pasal 44 Ayat (4), karena sesuai hasil visum

et repertum nomor : VER/18/VI/2014/Rumkit pada tanggal 21 Juni 2014,

korban hanya mengalami luka lecet disertai memar dan tidak menimbulkan

penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan. Maka dari itu dengan

adanya peran ilmu forensik, kasus ini dapat terpecahkan.

Peran dari anggota kedokteran kepolisian yang disingkat Dokpol tidak

lepas dari disiplin ilmu mereka yang berperan besar dalam mengungkap

kasus ini, hal ini sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Kedokteran Kepolisian,

yang di mana bertujuan sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi para

pengemban Dokpol, terselenggaranya Dokpol secara efektif, efisien dan

profesional dan terwujudnya pelayanan Dokpol yang prima untuk

kepentingan tugas Kepolisian. Maka peran tenaga ahli dari itu semua hakim

dapat menilai secara objektif penjatuhan sanksi pada terdakwa dengan

menerapkan pasal sesuai hasil visum.

Pemidanaan merupakan suatu proses, yang di mana sebelum proses

ini berjalan, peran hakim dan tenaga ahli lainnya sangatlah penting. Ia

mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan

dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Jadi pidana yang dijatuhkan

diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan dan juga dapat

mendatangkan kedamaian dalam masyarakat. Pemidanaan ini tidak

dimaksud untuk menderitakan dan juga tidak diperkenakan merendahkan


martabat manusia, namun merupakan pemberian makna kepada sistem

hukum Indonesia.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari rumusan masalah, berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang

telah diuraikan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Dalam kasus ini yaitu, kekerasan fisik dalam rumah tangga yang dilakukan

istri terhadap suami studi kasus putusan No.1550/Pid.Sus/2015/PN.Mks yang

di mana terdakwa bernama Patriciya Nurtanto alias PAT terbukti secara sah

dan menyakinkan telah melakukan kekerasan terhadap saksi korban yaitu

saksi korban sendiri adalah suaminya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 44

ayat (4) Undang-undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang didakwakan ke terdakwa telah tepat,

mengingat peranan forensik dalam pengaplikasiannya terlihat dari hasil visum

et repertum yang menjadi salah satu acuan majelis hakim dalam menjatuhkan

sanksi pidana terhadap terdakwa.

2. Kendala yang ditemui dalam pembuktian tindak pidana KDRT dalam kasus ini

adalah keterbatasan saksi dan alat buktinya, sehingga dalam proses laporan

administrasi dari visum et repertum terbatas dari apa yang dilihat dan
diketemukan saja, dan kendala dalam suatu putusan hakim adanya

keterangan saksi yang berbelit belit, adapun kendala lain dimana tidak

hadirnya saksi dalam persidangan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan serta

kesimpulan sebagaimana tertuang pada bagian kesimpulan di atas memberikan

saran terkait dengan peranan ilmu forensik terhadap tindak pidana kekerasan dalam

lingkup rumah tangga adalah sebagai berikut :

1. Diperlukan adanya pengetahuan dan pemahaman lebih khusus hakim dalam

berbagai masalah hukum yang timbul dalam kehidupan masyarkat. Apalagi

dalam menangani perkara yang menyangkut kekerasan dalam rumah tangga,

hakim dituntut untuk cermat dan menggali nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam perkara kekerasan dalam

rumah tangga sudah tentu memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan masalah

yang sering timbul dalam masyarakat.

2. Sebagian masyrakat yang belum mengetahui dan memahami arti dan

kegunaan visum et repertum, sehingga mempunyai keterbatasan dalam suatu

putusan, oleh karena itu sangat dimungkinkan untuk menerapkan Pasal 222

KUHP kepada mereka yang dianggap menghalangi–halangi atau mengulur-

ulur jalanya persidangan guna kepentingan peradilan.

3. Pemerintah khususnya para penegak hukum harus melakukan sosialisasi

tentang akibat hukum atau hukuman pidana yang dapat menjerat pelaku
KDRT, serta peran serta masyarakat dengan cara melakukan ceramah-

ceramah agama yang akan disampaikan dalam rangka membentengi diri dari

perbuatan keji dan munkar dan lebih tertanam rasa cinta akan keluarga untuk

membinah rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdul Mun’im Idries, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Asara,
Jakarta.

Anshoruddin, 2004, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Guse Prayudi, 2009, Berbagai Aspek Tindakan Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Cetakan II, Merkid Press, Sukabumi.

Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Mandar Maju, Bandung.

Hendra Akhdhiat, 2011, Psikologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung.

M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP


Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,
Sinar Grafika, Jakarta.

Maria E. Pandu, 2013, Bunga Rampai Perempuan Keluarga Gender, Yayasan Bina 
Generasi Makassar, Makassar.

Mohammad Taufik Makarao, 2013, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan


Kekerasan dalam Rumah Tangga, Rineka Cipta, Jakarta.

Moerti Hadiati Soeroso, 2011, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif
Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta.

Njowito Hamdani, 1992, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta.

R. Soesilo, 1985, Kriminologi (pengetahuan sebab-sebab kejahatan), Politeia,


Bogor.
Sudikno Mertokusumo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung.

Susetio Pramusinto, 1984, Himpunan Karangan Ilmu Forensik Suatu Sumbangan


Bagi Wiyata Bhayangkara, PT. Karya Unipres, Jakarta.

Tolib Setiady, 2009, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta, Bandung.


Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Wirjono Prodjodikoro, 2009, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika


Aditama, Bandung.

JURNAL

Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi, Peranan Dokter Forensik Dalam


Pembuktian Perkara Pidana, dalam jurnal ilmiah yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter
Indonesia.

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-


undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-


undang Hukum Pidana.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.12 Tahun 2011 Tentang
Kedokteran Kepolisian.
INTERNET

Komisi Nasional Perempuan, 2011, Teror dan Kekerasan Terhadap Perempuan:


Hilangnya Kendali Negara, Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP),
Komnas Perempuan, Jakarta.

http://www.hendra.ws/hak-dan-kewajiban-suami-istri-dalam-islam/comment-page-2
diakses pada tangga 25 Maret 2016 Pukul 18:56 Wita. 
 
http://www.shalihah.com/panduan-agama/fiqh/pernikahan/hak-hak-istri-atas-suami
diakses pada tanggal 25 Maret 2016 Pukul 18:32 Wita.

http://budiwiyono.com/2009/10/22/kewajiban-suami-istri-dalam-islam diakses pada


tanggal 25 Maret 2016 Pukul 19:12 Wita.
http://hendravirmanto.blogspot.co.id/2015/01/peranan-dokter-forensik-
pada.html?m=1 Jum’at 26 Agustus 2016 Pukul 17.56 Wita.
 

Anda mungkin juga menyukai