Oleh :
B111 12 405
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
HALAMAN JUDUL
OLEH:
B 111 12 405
SKRIPSI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ABSTRAK
RAMADHAN SATRIA HALIM, NIM: B 111 12 405, Peranan Ilmu Forensik Dalam
Pengungkapan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Lingkup Rumah Tangga Yang
Dilakukan Istri Terhadap Suami (Studi Kasus Putusan No.
1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks) (Di bawah bimbingan Andi Sofyan selaku pembimbing
I dan Haeranah selaku pembimbing II).
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ilmu forensik mempunyai peran
yang sangat penting dalam perkara No.1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks sebagaimana
penjatuhan saksi pidana perundang-undangan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
dengan mengacu pada hasil visum et repertum. Tidak terlepas pula kendala-kendala
yang dihadapi berupa laporan administrasi dari hasil visum et repertum dan
keterangan saksi yang berbelit-beli dan tidak hadirnya saksi dalam persidangan.
ABSTRACT
From the results, this research shows that forensic science has the
fundamental role in the case of No. 1550/Pid.Sus/2015/Pn.Mks as the imposition of a
witness of criminal law regulated in Law Number 23 of 2004 on the Elimination of
Domestic Violence by referring to the result of visum et repertum. The constraints
were inevitably faced as administration report from the result of visum et repertum
and the witness testimony which was convoluted and the absence of witness in the
court.
UCAPAN TERIMA KASIH
skripsi ini dengan judul “Peranan Ilmu Forensik Dalam Pengungkapan Tindak
Pidana Kekerasan Fisik Dalam Lingkup Rumah Tangga Yang Dilakukan Istri
tugas akhir dalam memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan studi pada
baginda Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menjadi penerang dan suri
Drs. H. Abdul Halim Doko, M.Si dan Ibunda Hj. Nurhayati Mappasanda, S.H, yang
tak henti-hentinya mencurahkan banyak cinta dan kasih sayang, doa, baik moril dan
materil sehingga perkuliahan dan penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan
dengan baik. Juga kepada saudara dan saudariku, Ariani Halim, Rezky Amelia
Halim, Tria Utami Halim dan kakak ipar Kusnadi, serta keponakanku Muh. Yusuf Al-
Fatih yang selalu menghibur dan memberi semangat kepada penulis. Untuk itu,
Pada kesempatan ini, penulis juga secara khusus dan kerendahan hati
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M .A, selaku Rektor Universitas
Hasanuddin Makassar.
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
3. Bapak Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H., selaku Pembimbing I dan Ibu Dr.
4. Bapak Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H., M.H., DFM., Bapak Dr. Abd. Asis,
S.M., M.H., dan Ibu Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H., selaku dosen-dosen
5. Bapak Dr. Romi Librayanto, S.H., M.H., dan Ibu Dr. Sakka Pati, S.H., M.H.,
9. Sheila Masyita Muchsen, S.H., yang selalu memberikan perhatian, doa, dan
Hawa Salman, SH., Azhima MJ Maricar, SH., Sadly Bakry, SH., Putri Nirina,
SH., Sheila Masyita Muchsen, SH., A. Kartika Ramadhani, SH., Ika Vebrianty,
SH., Maipa Deapati, SH., Muh. Nur Fajrin, SH., Avel Haezer, SH., Muh.
Syaifullah, SH., Fairuz AS, SH., Fauzan Zarkasi, SH., Lutfhi Dhiaulwajdi, SH.,
Fityatul Kahfi, SH., Afif Muhni, SH., Harry Prasetya, Muh. Akmal Idrus, Adri
Supriady, Tri Putri Utami, dan A. Rizqy Ramadhani. Terima kasih atas doa,
Sadirga, SH., Ukyasa, SH., Maipa Deapati, SH., Muh. Nur Fajrin, SH.,
Hardianti, SH., Arham Aras, SH., Arlin Joemka, SH., Dian Martin, SH., Eko
Setiawan, SH., Yoga Alexander, SH., Oji Tilameo, SH., Firman Nasrullah,
SH., Adri Inggil, Fadly Imran, Wahyudi Kasrul, Aldy Hamzah, A. Rezki
Juliarno, Lisa, Nisrina Atikah, dan Febri Maulana. Terima kasih atas
dukungan, doa, kecerian dan trip-trip nya selama ini, senang bisa kenal
dengan kalian.
S.I.Kom., Ahmad Sidiq, S.Pd, Aryo Louis C, AMD., Fahmi Salman, SE., Reza
Hidayat, Ashar, dan Rizal Anugrah, S.I.Kom. Terima kasih atas kegembiraan
13. Teman-teman Basket SMK 5 Makassar, Odi, Fikar, Osa, Uje, Rian, Duha,
Acol, Erwin, Izra, Coach Firman dll. Terima kasih atas kerja sama, kecerian,
dan jalan-jalannya.
14. Anak-anak Hertasning Hooligans Apriyodi Ali,S.H dkk, tempat berbagi suka
15. Teman-teman angkatan PETITUM 2012, penulis bangga menjadi bagian dari
kalian.
16. Keluarga Besar Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana Korupsi (GARDA
Fachrul, Fitri, Ami, Ica, Ayu, Eno, Kak Accul, Vivin, Ina, Ucam, Agung. Terima
keterbatasan penulis. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang luput
dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dalam ranga perbaikan skripsi ini. Besar harapan penulis,
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan dapat bernilai positif bagi semua
pihak.
Penulis
Pengesahan Skripsi................................................................................... ii
Abstrak......................................................................................... ............ v
Abstract....................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 bahwa negara bertujuan
Namun fakta yang terjadi di masyarakat nyatanya berbanding terbalik dengan tujuan
negara kita. Dewasa ini, berbagai macam permasalahan hukum semakin marak
terjadi seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin pesat. Hal ini mengakibatkan pola tingkah laku masyarakat ikut berubah
menjadi semakin kompleks. Semakin banyak pola tingkah laku manusia yang tidak
umumnya. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk menanggulangi
permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dimana salah satu sifat hukum adalah
dinamis.
tidak terlepas dari dampak positif dan negatif. Mengetahui dampak positif tidaklah
perlu penulis jelaskan dalam penulisan ini. Salah satu dampak negatif yang timbul
tipe dan modus operandi kejahatan, sehingga proses penyidikan dan penyelidikan
perlu pula cara menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang moderen. Salah
satu ilmu bantu untuk memecahkan masalah tersebut adalah ilmu forensik.
pencapaian rumah tangga yang sejahtera, dibutuhkan proses yang panjang. Kerja
sama yang baik dalam lingkup rumah tangga akan mewujudkan suatu pencapaian
kewajibannya harus bersandar pada agama dan aturan hukum. Hal ini perlu terus
sejahtera. Dalam lingkup rumah tangga peran vital dipegang oleh suami-istri yang
telah terikat dalam perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1.
Hal ini berarti rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang aman bagi para
1
Undang‐undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
anggotanya karena keluarga dibangun oleh suami-istri atas dasar ikatan lahir dan
Oleh karena itu rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat berlindung
bagi anggota keluarga, justru menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan. Hal ini
menjadi ironi ketika tindakan tercela tersebut, menjadi tindak pidana yang dilakukan
oleh anggota keluarga itu sendiri. Perbuatan tercela yang terjadi dalam lingkup
rumah tangga karena adanya perbedaan pola pikir yang merugikan salah satu
anggota rumah tangga. Dari perbedaan-perbedaan pola pikir dalam lingkup rumah
tangga yang diawali dari pertengkaran yang mengarah pada kekerasan dan
Pada masa sekarang ini, mungkin karena dalam era keterbukaan sesuatu yang
berupa aib dan menyimpang menurut pandangan dan perasaan sekelompok orang
sekelompok orang atau kelompok masyarakat lainnya, malah pula dijadikan sebagai
tangga yang sudah demikian terbuka dan menimbulkan banyak korban, maka
Kekerasan dalam rumah tangga yang selanjutnya disebut KDRT adalah setiap
2
Maria E. Pandu, 2013, Bunga Rampai Perempuan Keluarga Gender, Yayasan Bina Generasi Makassar,
Makassar, hlm.93.
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
rumah tangga.3 Kesengsaraan atau penderitaan yang timbul pun beraneka ragam
diatur sanksi, definisi dan penjabaran tentang berbagai jenis kekerasan yang dapat
KDRT merupakan salah satu jenis kekerasan yang menjadi masalah kesehatan
global. Studi dari berbagai negara menunjukkan, angka kejadian KDRT berkisar
sekitar 5 kali dibandingkan tahun 2006. KDRT merupakan kasus yang mendominasi
dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu 96% pada 2010. Dalam catatan
tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2011, korban
KDRT yang terbanyak adalah perempuan dalam rentang usia produktif (25-40
tahun).4
yang tidak ditangani secara tuntas akan menimbulakan “lingkaran kekerasan”. Pola
ini berarti kekerasan akan terus berulang, bahkan korban kekerasan suatu saat
prespektif dunia perempuan saja dan jarang melibatkan keikutsertaan laki-laki yang
fenomena kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan yang menjadi korban atau
fenomena kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi terhadap suami yang
dilakukan oleh istri, dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tidak membedakan
antara kekerasan yang dilakukan oleh istri terhadap suami, apabila seorang istri
dirumuskan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004, maka istri akan terkena
kepolisian dalam mencari bukti kekerasan dalam hubungan rumah tangga baik yang
dilakukan oleh suami kepada istri atau sebaliknya, salah satunya dengan cara
mengaitkan ilmu forensik dalam hal ini visum (visum et repertum) dalam mencari
Tindak Pidana Kekerasan Fisik dalam Lingkup Rumah Tangga yang dilakukan
kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami
2. Apa saja kendala-kendala dalam penerapan ilmu forensik terhadap tindak pidana
kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami
C. Tujuan Penelitian
kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri terhadap suami
tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan istri
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari peneitian yang dilakukan oleh penulis adalah untuk memberikan
khususnya terhadap kejahatan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh
istri terhadap suami. Memberikan pengetahuan tentang peran ilmu forensik dan
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Forensik
Forensik dalam bahasa hukum dapat diartikan sebagai hasil pemeriksaan yang
adalah meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah
kejahatan, atau dapat dikatakan bahwa dari segi perannya dalam penyelesaian
1. Hukum pidana
Kata forensik berasal dari bahasa latin yakni dari kata forum, yang untuk
memahami pokok permasalahannya yang menjadi objek kajian dari proposal ini,
maka perlu diketahui pengertiannya. Dengan harapan agar dapat diketahui arti dan
maksud serta tujuan dari istilah tersebut mengandung pengertian sebagai suatu
tempat pertemuan umum di kota-kota pada zaman Romawi kuno yang pada
umumnya dipakai untuk berdagang atau kepentingan lain termasuk suatu sidang
6
Tolib Setiady, 2009, Pokok‐Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta, Bandung, hlm. 6.
peradilan. Sedangkan arti forum itu sendiri adalah suatu tata cara perdebatan di
depan umum.7
krimonologi dengan tujuan membuat terang guna membuktikan ada tidaknya kasus
pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada proses persidangan
begitu juga halnya terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan luka tubuh
manusia, untuk menentukan kapan saat terjadi luka dan apakah luka tersebut
disebabkan oleh tindak kejahatan diperlukan alat bukti yang dapat dipertanggung
semuanya itu, hukum memerlukan bantuan dari disiplin ilmu pengetahuan lain, yaitu
kedokteran, tentunya bantuan ilmu kedokteran bukan hanya terbatas untuk hal-hal
semacam itu, melainkan segala persoalan yang berkaitan dengan luka, kesehatan
dan nyawa seseorang yang diakibatkan oleh suatu kejahatan yang selanjutnya
diterangkan oleh dokter dalam rangka penyelesaian perkara pidana. Cara yang
dapat dilakukan untuk pembuktian perkara pidana antara lain adalah meminta
bantuan dokter sebagai saksi yang dapat membuat keterangan tertulis dalam bentuk
7
Susetio Pramusinto, 1984, Himpunan Karangan Ilmu Forensik Suatu Sumbangan Bagi Wiyata Bhayangkara,
PT. Karya Unipres, Jakarta, hlm. 19.
8
Ibid, hlm. 43.
penyidik, kejaksaan dan hakim dalam hal yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu
kedokteran.9
ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada
pada tubuh, atau yang menimbulkan matinya seseorang, di mana terdapat akibat-
akibat tersebut patut diduga telah terjadi tindak pidana. Berdasarkan pemeriksaan
ahli forensik inilah selanjutnya dapat diketahui apakah luka seseorang, tidak
Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai hukum pidana
pidananya.
b. Apeldoorn, menyatakan dalam hukum pidana dibedakan dan diberi arti yaitu
hukum pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh
objektif (ius poenale) yang meliputi perintah dan larangan yang pelanggarannya
9
Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi, Peranan Dokter Forensik Dalam Pembuktian Perkara Pidana, dalam jurnal
ilmiah yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia, hlm.7.
10
Ibid, hlm.9.
11
Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.4.
yang mengatur upaya yang dapat digunakan apabila norma itu dilanggar yang
dinamakan hukum panitensier, subjektif (ius puniendi) hak negara menurut hukum
pidana.
negatif, ia diterapkan, jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana
suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang
dikenai, oleh karena itu hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk
Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan
lapangan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak
mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapagan hukum yang
luar hukum pidana. Secara tradisional definisi hukum pidana dianggap benar
Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti
hal yang “dipidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada
seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak
Tentunya ada alasan untuk melimpahkan pidana ini dan alasan ini selayaknya
ada hubungan dengan suatu keadaan, yang di dalamnya seorang oknum yang
12
Wirjono Prodjodikoro, 2009, Asas‐asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hlm.1.
bersangkutan bertindak kurang baik. Maka, unsur hukuman sebagai suatu
Akan tetapi kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata
pidana sebab ada istilah hukum pidana disamping hukum perdata seperti misalnya
ganti kerugian berupa pembayaran sejumlah uang atau penyitaan barang disusul
dengan pelelangan.14
Sebenarnya, arti kata suatu istilah tidak begitu penting. Dan pengertian ini
sering diterapkan untuk membedakannya dari istilah lain, dengan tidak begitu
disiplin ilmu lainnya sehingga upaya hukum pidana untuk mencari kebenaran materiil
a. Logika hukum adalah suatu jalan pemikiran tentang bagaimana peraturan itu
dibuat, dan ditemukan dalam bentuk peraturan dan penemuan hukum. Logika
ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran ada suatu bentuk dari
pemikiran. Penalaran tersebut bergerak dari suatu proses yang dimulai dari
penalaran.
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid.
permasalahannya yang mendasar dan harapan agar hukum pidana berperan
sesuai tujuan dan harapan. Dalam hubungannya dengan ilmu pembantu dalam
ilmu alam kehakiman kehakiman antara lain ilmu sidik jari (daktiloskopi) dan
Gangguan kejiwaan, di sisi lain, merupakan penyakit yang memiliki efek yang
kognitif, sosial, dan perilaku seseorang. Sub spesialisasi ilmu kedokteran yang
menelaah mental manusia dan berfungsi membantu hukum dan peradilan. Ilmu
ini merupakan titik singgung antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum dimana
untuk kasus pidana sebagai salah satu alat bukti seperti yang termaktub dalam
e. Kriminologi, berasal dari kata crime artinya kejahatan dan logos artinya ilmu
Kriminologi juga berarti ilmu yang mempelajari kejahatan dan penjahat, bentuk
penjelmaan, sebab dan akibat, dengan tujuan mempelajari sebagai ilmu, atau
16
Hendra Akhdhiat, 2011, Psikologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, hlm. 289.
agar hasilnya digunakan sebagai sarana untuk mencegah dan memberantas
kejahatan.17
yang berwajib dalam hal dijumpai seseorang yang dalam keadaan meninggal
dunia. Pemeriksaan oleh ahli forensik ini akan sangat penting dalam hal
memproses atau tidaknya menuntut hukum. Dalam hal ini ahli forensik akan
b. Pemeriksaan terhadap korban yang luka oleh ahli forensik dimaksudkan untuk
suatu tindak pidana yang terjadi mulai dari tingkat penyidikan sampai pada tahap
pengadilan terhadap kasus yang berhubungan dengan tubuh atau jiwa manusia
4. Teori Pembuktian
17
R. Soesilo, 1985, Kriminologi (pengetahuan sebab‐sebab kejahatan), Politeia, Bogor, hlm 3.
18
Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi, Op.Cit., hlm 6.
19
Ibid.
Pembuktian secara etimologiberasal dari kata bukti yang berarti sesuatu yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata bukti jika mendapat awalan pe- dan
didakwakan merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal inipun
berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar,
untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran
materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang hanya kebenaran formal.
Mencari kebenaran materiil tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut
dan sangat relativ, kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat
pelupa. Bahkan menurut psikologi penyaksian suatu peristiwa yang baru saja
kebenaran materiil dan bukanlah untuk mencari kesalahan orang lain. Pembuktian
ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara. Dalam
hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian konkret, dengan adanya pembuktian
itu, maka hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri
20
Anshoruddin, 2004, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm. 25.
kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang
Hari Sasangka dan Lily Rosita dalam bukunya menyatakan, definisi hukum
mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, system yang dianut
dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan alat bukti tersebut
pembuktian.22
Visum et repertum (VeR) adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas
peradilan. Visum et Repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah
dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia.
Dalam VeR terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian
21
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 273.
22
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung,
hlm. 10.
VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan
a. Subekti, mengatakan:
bahwa:
“Laporan dari ahli untuk pengadilan, khusunya dari pemeriksaan oleh dokter,
“Surat keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji
“Suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang
dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat
pula kesimpulan dan pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.”
Dasar hukum dari Visum et Repertum (Ver) dalam Kitab Hukum Acara Pidana
yang lama, yaitu RIB maupun Kitab Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut
KUHAP tidak ada satu pasal pun yang memuat perkataan VeR. Hanya di dalam
lembaran negara Tahun 1973 No. 350 Pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakn bahwa
Visum et Repertum (Ver) adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter
23
Ibid.
24
Abdul Mun’im Idries, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Asara, Jakarta, hlm.2.
atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pasa benda yang diperiksanya yang
dokter, untuk membantu peradilan, yaitu dalam bentuk: keterangan ahli, pendapat
orang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter dan surat keterangan dari seorang ahli
atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP Pasal 187
butir c).26
Bila dilihat perihal apa yang dimaksudkan dengan alat bukti yang sah menurut
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
Maka Visum et Repertum (Ver) dapat diartikan sebagai keteragan ahli maupun
sebagai surat.
tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban
merupakan Corpus Delicti. Corpus Delicti adalah barang yang erat hubungannya
dengan tindak pidana, sehingga dapat disita sebagai barang bukti material, maka
oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian tidak mungkin disediakan atau
diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum et
25
Ibid, hlm.3.
26
Ibid.
27
Ibid.
Repertum. Kedudukan seorang dokter di dalam penanganan korban kejahatan
kebenaran.
manusia, seperti halnya pada kasus perkosaan, pengaduan atau laporan kepada
pihak kepolisian baru akan dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung
lama sehingga tidak lagi ditemukaan tanda-tanda kekerasan pada diri korban. Jika
korban dibawa kedokter untuk mendapat pertolongan medis, maka dokter punya
korban untuk melapor ke polisi. Korban yang melapor terlebih dahulu ke polisi pada
hubungan seksual (PHS) harus diantisipasi dan dicegah dengan pemberian obat-
obatan. Pengobatan terhadap luka dan keracunan harus dilakukan seperti biasanya.
1. Pengertian Kekerasan
28
Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi, Op.Cit., hlm.7
1.1 Pengertian Kekerasan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kekerasan berarti :
barang lain
c. Paksaan.
yang menyatakan:
Pingsan diartikan hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya. Kemudian yang
dimaksud dengan tidak berdaya dapat diartikan tidak mempunyai kekuatan atau
tenaga yang sama sekali sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sama
sekali, tetapi seseorang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui yang terjadi
padanya. Lebih lanjut dijelaskan pula dalam KUHP mengenai melakukan kekerasan
artinya:
“Mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak
sah”
a. Penganiayaan Biasa.
Jenis penganiayaan ini diatur di dalam Pasal 351 KUHP. Bentuk
lain.
b. Penganiayaan Ringan.
Jenis penganiayaan ini diatur di dalam Pasal 353 KUHP. Pasal ini
direncankan terlebih dahulu. Jika berakibat luka berat atau mati maka
KUHP, yaitu :
1). Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak dapat diharapkan akan
d. Penganiayaan Berat.
Jenis penganiayaan berat ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Pasal ini
berat. Apabila tidak dimaksud dan luka berat itu hanya merupakan akibat
Pasal 355 KUHP. Bahwa yang dimaksud di dalam pasal ini adalah
hukuman.
a. Pembunuhan.
Biasanya rumah tangga terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Namun di Indonesia
seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak-saudara yang ikut bertempat tinggal,
misalnya orang tua, baik dari suami atau istri, saudara kandung/tiri dari kedua belah
pihak, kemanakan dan keluarga yang lain, yang mempunyai hubungan darah. Di
samping itu, juga terdapat pembantu rumah tangga yang bekerja dan tinggal
yang dapat kita jumpai adalah pengertian “keluarga” yang tercantum dalam Pasal 1
tangga sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Namun selama ini selalu
berperan dalam hal ini, karena tindak kekerasan apapun bentuknya yang terjadi
dalam sebuah rumah tangga atau keluarga adalah merupakan masalah keluarga, di
dikatakan, “Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram,
dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Dengan
demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksankan hak dan
kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan
yang ada di dalam lingkup rumah tangga telah dicantumkan oleh pembuat undang-
undang yang terdapat pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
29
Moerti Hadiati Soeroso, 2011, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis‐Viktimologis, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm.61.
30
Mohammad Taufik Makarao, 2013, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 174.
31
Guse Prayudi, 2009, Berbagai Aspek Tindakan Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Cetakan II, Merkid
Press, Sukabumi, hlm. 26.
2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang
sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah
Tahun 2004, tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9, yaitu:32
1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang-
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Selain itu
32
Moerti Hadiati, Op.cit, hlm. 83.
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan
membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas
perilaku dan pengendalia diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan
pengendalian diri tidak dapat terkontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan
orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Perkembangan dewasa ini
perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling banyak Rp.45.000.000,00 (empat puluh lima juta
rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45 :
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp.9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46 :
Pasal 47 :
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48 :
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49 :
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50 :
1. Suami
Suami adalah salah seorang pelaku pernikahan yang berjenis kelamin pria.
Seorang pria biasanya menikah dengan seorang wanita dalam suatu upacara
a. Sebagai pria yang telah terkait Mendapatkan pelayanan lahir bathin dari istri
berikut:
a. Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih
sayang, tanpa kasar dan zhalim
b. Suami wajib menafkahi istri lahir dan bathin
c. Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada
istrinya
d. Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri
e. Suami wajib menjaga nama baik dan kehormatan istri dan tidak boleh
membuka aib istri kepada siapapun.
2. Istri
Kata “istri” diambil dari bahasa sansekerta yaitu “stri” yang artinya adalah
wanita atau perempuan. Istri adalah salah seorang pelaku pernikahan yang berjenis
kelamin wanita. Seorang wanita biasanya menikah dengan seorang pria dalam
Sebagai wanita yang telah terkait oleh hubungan pernikahan, istri mempunyai
a. Istri wajib mendidik dan memelihara anak dengan baik dan penuh tanggung
jawab
b. Istri wajib mentaati suaminya selama bukan dalam kemaksiatan
c. Istri wajib menjaga kehormatan keluarganya
d. Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya
e. Istri wajib senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami.
35
http://budiwiyono.com/2009/10/22/kewajiban‐suami‐istri‐dalam‐islam diakses pada tanggal 25 Maret 2016
Pukul 19:12
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
memperoleh data atau menghimpun berbagai data, fakta, dan informasi yang
hubungan yang relevan dengan permasalahan yang dikaji, sehingga tujuan dalam
data dan informasi yang diperlukan yang berkaitan dengan permasalahan yang
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dikelompokkan dalam dua jenis,
yaitu:
1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara
2. Data sekunder
ilmiah, internet dan sumber bacaan lainnya, serta putusan perkara yang
yaitu
penelitian ini
Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian baik primer maupun sekunder
akan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif, yaitu dengan
menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan permasalahan beserta
analisis kualitatif mencakup semua data penelitian yang telah diperoleh dari
BAB IV
Sebelum penulis membahas lebih jauh terkait dengan kasus yang akan
seorang dokter menjadi tenaga ahli dalam melakukan pemeriksaan terhadap korban
tindak pidana.
bantuannya oleh penegak hukum, maka sangatlah baik bila dokter mengetahui
tentang tata laksana penyidikan perkara pidana, mulai dari saat penyidik sampai
pada bidang hukum pidana. Peran dari dokter kehakiman dalam penyelesaian
perkara pidana di pengadilan adalah membantu hakim dalam menemukan dan
penuntut. Serta memberikan gambaran bagi hakim mengenai laporan dalam visum
et repertum.
KUHAP mengingatkan bahwa semua korban karena tindak pidana yang hidup
maupun yang mati diperiksa oleh ahli kedokteran kehakiman, baru kalau tidak ada,
diperiksa oleh dokter atau ahli lainnya. Hal ini menyebabkan simpang siurnya
Semua dokter ahli atau dokter umum dapat melayani permohonan visum et
repertum. Yang paling tepat adalah permohonan ditujukan kepada ahli kedokteran
kehakiman berstatus pegawai negeri sipil, dokter ahli lain berstatus pegawai negeri
sipil atau dokter umum berstatus pegawai negeri sipil. Ahli kedokteran kehakiman
berstatus pegawai negeri sipil hanya ditemui di kota besar tempat ada fakultas
kodokteran suatu perguruan tinggi negeri, sedangkan dokter ahli lain berstatus
pegawai negeri sipil dapat djumpai di rumah sakit umum kabupaten dan dokter
umum berstatus pegawai negeri sipil dapat dijumpai hampir di tiap puskesmas.
36
Njowito Hamdani, 1992, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 9.
Suatu kewajiban bagi penyidik untuk melakukan suatu pengungkapan kasus,
karena memang hal tersebutlah pekerjaannya. Akan tetapi kerap terjadi suatu kasus
yang sangat sulit untuk dipecahkan dengan berbagai macam kendala yang ada.
Akan tetapi secara utilitas penyidik akan merasakan kepuasan yang lebih dari pada
sekedar prestasi apabila dapat mengungkap suatu kasus tindak pidana yang sangat
sulit diungkap, contohnya seperti kasus pembunuhan yang di mana korban sudah
dimakamkan selama 3 (tiga) bulan, dan saksi-saksi sudah banyak yang berpindah
ke luar kota bahkan ada yang sudah kehilangan kontak dengan para penyelidik
ataupun keluarganya.
dari para penyidik untuk tetap melanjutkan penyelidikan terhadap kasus tersebut.
Para penyidik menelusuri ulang rangkaian kejadian mulai dari TKP, orang tua
korban, saksi-saksi yang masih ada. Akan tetapi setelah beberapa hari tetap tidak
diketemukan suatu petunjuk baru. Untuk itu para penyidik memutuskan untuk
memanggil kehadiran tenaga ahli, dalam hal ini adalah dokter forensik untuk
melakukan ekshumasi. Ekshumasi adalah suatu tindakan medis yang dilkukan atas
menggali kembali jenazah yang sudah dikuburkan dan berdasarkan izin dari
keluarga korban. Akhirnya dengan dilakukannya proses tersebut oleh tenaga ahli,
kembali penyidik mendapatkan petunjuk baru yang lebih jelas. Jadi peran tenaga
ahli dalam proses penyelidikan kasus ini berandil besar dalam penyelesain kasus-
tidak lupa akan peranannya pada saat melakukan olah TKP sewaktu Bom Bali.
37
http://hendravirmanto.blogspot.co.id/2015/01/peranan‐dokter‐forensik‐pada.html?m=1 Jum’at 26 Agust‐
16 17.56 Wita.
Kasus terorisme dapat diungkap dengan keahliannya. Di sini kita semua menyadari
bahwa kehadiran mereka sangat membantu dan bahkan sangat diperlukan dalam
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.
Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan salah
satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang mengatakan
bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan.
Dalam hal ini diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu
atau dipalsukan atau diduga palsu oleh oleh penyidik, maka untuk
kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan
mengenai hal itu dar orang ahli.
merupakan salah satu alat bukti, berarti itu menunjukan bahwa keterlibatan seorang
ahli dalam penyidikan sangatlah penting. Dimana pengungkapan tindak pidana bisa
Dalam suatu proses penyelidikan dan penjatuhan sanksi pidana dalam hal ini
kasus kekerasan dalam lingkup rumah tangga, sering kita jumpai berbagai kendala
yang dihadapi, baik dalam penyelidikan maupun dalam penjatuhan sanksi dalam
persidangan.
Pada sub bab ini penulis menguraikan kendala-kendala yang dihadapi dalam
penerapan ilmu forensik pada kasus kekerasan dalam rumah tangga ini. Melalui
hasil wawancara dengan hakim dan dokter dari kepolisian yang menangani kasus ini
penulis mengurainya.
Bahwa kita ketahui sangat pentingnya keterangan dari saksi dan terdakwa, jika
keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak dikenal dalam undang-
undang atau atas bukti yang tidak mencukupi, misalnya dengan keterangan hanya
dari seorang saksi saja, ataupun karena keyakinan tentang itu sendiri tidak ada.
Oleh karena hakim adalah seorang manusia biasa yang tentunya dapat salah raba
dalam menentukan keyakinannya perihal penjatuhan saksi. Menurut Pasal 189 ayat
(1) KUHAP, keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di dalam
persidangan tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia
alami sendiri. Mengingat bahwa keterangan saksi dan terdakwa yang memuat
hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi keterangan saksi dan terdakwa
haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya kebohongan atau
keterangan palsu yang dibuat oleh saksi dan terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian
Kendala yang berbeda juga ditemui oleh dokter yang melakukan visum pada
saksi korban, karena dalam penyeledikan suatu laporan tertulis dari dokter yang
telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang
Kendala yang paling utama dihadapi adalah surat itu terkadang tidak
bersamaan dengan barang bukti yang dimintakan, jadi sering kali surat permintaan
dari penyidik itu sering terlambat.
Permasalahan atau kendala yang terjadi hanya ada pada administrasi surat
yang dilakukan penyidik dalam kaitannya ini polisi ke dokter yang melakukan visum
repertum yang terlalu lama, dalam suatu penyelidikan surat yang dikeluarkan oleh
dokter dari laporan et repertum harus sesuai dengan KUHAP. Visum et repertum
berbeda dengan catatan medik dan surat keterangan medik lainnya karena visum et
repertum dibuat atas kehendak Undang-undang yang berlaku, maka dokter tidak
dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal
322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien dan selama visum et
repertum dibuat untuk dipergunakan dalam proses peradilan, maka dalam tahap
Pada sub bab ini penulis akan menguraiakan mengenai peranan ilmu forensik
terhadap tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga. Untuk
memahami penerapan ilmu forensik terhadap hal tersebut, maka penulis dalam hal
maka akan tidak lepas dari bagaimana penerapan hukum terhadap suatu peristiwa
pidana atau tindak pidana yang terjadi, sehingga menjadi hal penting dalam
menguraikan dan memahami hal tersebut, dengan memperhatikan mulai dari posisi
kasus atau kronologis terjadinya tindak pidana. Adapun posisi kasus adalah sebagai
berikut :
1. Posisi Kasus
Bahwa benar pada Jum’at tanggal 20 Juni 2014 sekitar pukul 19.30
wita, bertempat di Jalan Urip Sumoharjo depan bengkel Yamaha Sinar Alam
38
Sudikno Mertokusumo, 1993, Bab‐Bab Tentang Penemuan Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 1.
Pratama kota Makassar, ia terdakwa Patricya Nurtanio melakukan tindak
terdakwa dan telah janjian via telepon untuk bertemu di depan Showroom
mobil Hyundai, akan tetapi keadaan lalu lintas saat itu tidak memungkinkan
parkir dan saat hendak menelfon terdakwa, terdakwa sudah lebih dahulu
menelfon saksi korban dan menyuruh saksi korban untuk pulang saja,
Pratama, setelah berada di depan bengkel tersebut terdakwa juga tiba dan
langusung membuka pintu mobil saksi korban sambil berkata “Kau pulang
2. Surat Dakwaan
sebagai berikut :
Pertama:
Kedua :
Bahwa ia terdakwa Patricya Nurtanto alias PAT pada waktu dan tempat
sebagaimana dalam dakwaan pertama di atas, telah melakukan
penganiayaan terhadap saksi korban Ronny.
Perbuatan Patricya Nurtanto alias PAT tersebut sebagaimana diatur
dan diancam pidana menurut Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Adapun yang menjadi amar putusan dalam perkara ini adalah sebagai
berikut :
MENGADILI
amar putusan di atas terdakwa telah secara sah dan terbukti telah
kekerasan fisik, sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 44 ayat (4) Undang-
Rumah Tangga. Hal ini sesuai dengan hasil visum et repertum yang
keterangan forensik sebagai salah satu alat bukti dalam penjatuhan sangsi
pidana. Hal ini kemudian didukung oleh hasil wawancara dengan Kristian
sebagai berikut :
5. Analisis Penulis
Jaksa Penuntut Umum harus membuat surat dakwaan dan surat tuntutan
yang membuat terdakwa dari suatu tindak pidana tidak dapat lolos dari jerat
hukum. Hakim dalam memeriksa suatu perkara tidak boleh menyimpang dari
ia telah melakukan tindak pidana seperti apa yang disebutkan jaksa dalam
surat dakwaannya.
Kasus yang penulis bahas dalam skripsi ini adalah tentang kekerasan
fisik yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh
terdakwa Patricya Nurtanto alias PAT terhadap suaminya, yakni saksi
korban Ronny. Dalam kasus ini, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum
dimaksud Pasal 143 Ayat (2) KUHAP, yaitu harus memuat tanggal dan
itu juga, surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan
yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan telah sesuai dengan
ketentuan baik hukum pidana formil maupun pidana materiil dan syarat
dalam persidangan, di mana alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut
handphone yang mengenai pelipis kiri korban. Dalam kasus ini menurut
penulis sudah tepat diterapkan Pasal 44 Ayat (4), karena sesuai hasil visum
korban hanya mengalami luka lecet disertai memar dan tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan. Maka dari itu dengan
lepas dari disiplin ilmu mereka yang berperan besar dalam mengungkap
kasus ini, hal ini sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara
kepentingan tugas Kepolisian. Maka peran tenaga ahli dari itu semua hakim
ini berjalan, peran hakim dan tenaga ahli lainnya sangatlah penting. Ia
hukum Indonesia.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
telah diuraikan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam kasus ini yaitu, kekerasan fisik dalam rumah tangga yang dilakukan
di mana terdakwa bernama Patriciya Nurtanto alias PAT terbukti secara sah
et repertum yang menjadi salah satu acuan majelis hakim dalam menjatuhkan
2. Kendala yang ditemui dalam pembuktian tindak pidana KDRT dalam kasus ini
adalah keterbatasan saksi dan alat buktinya, sehingga dalam proses laporan
administrasi dari visum et repertum terbatas dari apa yang dilihat dan
diketemukan saja, dan kendala dalam suatu putusan hakim adanya
keterangan saksi yang berbelit belit, adapun kendala lain dimana tidak
B. Saran
saran terkait dengan peranan ilmu forensik terhadap tindak pidana kekerasan dalam
hakim dituntut untuk cermat dan menggali nilai-nilai yang hidup dalam
rumah tangga sudah tentu memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan masalah
putusan, oleh karena itu sangat dimungkinkan untuk menerapkan Pasal 222
tentang akibat hukum atau hukuman pidana yang dapat menjerat pelaku
KDRT, serta peran serta masyarakat dengan cara melakukan ceramah-
ceramah agama yang akan disampaikan dalam rangka membentengi diri dari
perbuatan keji dan munkar dan lebih tertanam rasa cinta akan keluarga untuk
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdul Mun’im Idries, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Asara,
Jakarta.
Anshoruddin, 2004, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Guse Prayudi, 2009, Berbagai Aspek Tindakan Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Cetakan II, Merkid Press, Sukabumi.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Mandar Maju, Bandung.
Maria E. Pandu, 2013, Bunga Rampai Perempuan Keluarga Gender, Yayasan Bina
Generasi Makassar, Makassar.
Moerti Hadiati Soeroso, 2011, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif
Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta.
JURNAL
UNDANG-UNDANG
http://www.hendra.ws/hak-dan-kewajiban-suami-istri-dalam-islam/comment-page-2
diakses pada tangga 25 Maret 2016 Pukul 18:56 Wita.
http://www.shalihah.com/panduan-agama/fiqh/pernikahan/hak-hak-istri-atas-suami
diakses pada tanggal 25 Maret 2016 Pukul 18:32 Wita.