Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


GAGAL GINJAL KRONIK

I. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik adalah penurunan semua fungsi yang bertahap
diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit (Mary E. Doengoes, 2000.hal 626 ).
Gagal ginjal kronik adalah suatu proses penurunan fungsi ginjal
yang progresif dan pada umumnya pada suatu derajat memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis dan transplantasi ginjal (Aru A.
Sudoyo, 2006).
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif
dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan
uremia (Suzanne C.Smeltzer, 2001 dan Brunner and Suddarth, hal 1448).
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif, dan
cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glumerolus (LFG) kurang
dari 50 mL/menit. Gagal ginjal kronik sesuai dengan tahapannya, dapat
ringan, sedang atau berat ( Suhardjono, Aida Lydia.hal 427 )

B. Etiologi Gagal Ginjal Kronik


Menurut Smeltzer, Suzanne, 2002 hal 1448, penyebab dari gagal ginjal
kronik adalah:
1. Diabetus mellitus
2. Glumerulonefritis kronis
3. Pielonefritis
4. Hipertensi tak terkontrol
5. Obstruksi saluran kemih
6. Penyakit ginjal polikistik
7. Gangguan vaskuler
8. Lesi herediter
9. Agen toksik (timah, kadmium, dan merkuri)

Sedangkan penyebab dari gagal ginjal kronik menurut Lorrainem M.


Wilson terbagi menjadi delapan kelas yaitu:
1. Infeksi Traktus Urinarius, Pielonefritis, Dan Nefropati Refluks
Infeksi traktur urinarius, sring terjadi menyerang manusia tanpa
memandang usia terutama perempuan. Infeksi traktus urinarius
bertanggung jawab atas sekitar 7 juta kunjungan pasien kepada
dokter setiap tahunnya di Amerika Serikat ( Stam, 1998). Secara
mikrobiologi infeksi traktus urinarius dinyatakan ada jika terdapat
bakteriuria yang ditemukan mikroorganisme pathogen 105/mL pada
urine pancaran tengah yang dikumpulkan dengan cara yang benar
abnormalnya dapat hanya berupa kolonisasi bakteri dari urine atau
bakteriuria dapat disertai infeksi simtomatik dari struktur-struktur
traktur urinarius. Infeksi traktur urinarius umumnya terbagi dalam
subkategori besar: infeksi traktur urinarius bagian atas atau
Pielonefritis Akut dan infeksi traktur urinarius bawah atau Sistitis
akut.
Sistitis akut (infeksi vesika urinaria) dan pielonefritis akut
(infeksi pelvis dan interstisium ginjal) adalah infeksi yang paling
berperan dalam menimbulkan morbiditas, tetapi jarang berakhir
sebagai gagal ginjal kronik. Pielonefritis krinik adalah cedera
ginjal kronik yang menunjukkan pembentukan jaringan parut
parenkimal pada pemeriksaan IVP, disebabkan oleh infeksi
berulang atau infeksi menetap pada ginjal.
2. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal
bilateral. Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi
sebagai proteinuria dan pada hematuria. Meskipun lesi terutama
ditemukan pada glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya
akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal kronik.
Penyakit ini mula-mula digambarkan oleh Richard Bright tahun
1827 sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak penyakit
dengan berbagai etiologi, meskipun respons imun menimbulkan
beberapa bentuk glomerulonefritis.
Pada beberapa tahun terakhir, penyakit tentang perubahan
patologik penyakit ginjal kronik berkembang pesat melalui
pemeriksaan biopsi dengan mikroskop cahaya, maka timbul
kategori-kategori karena bertambahnya kemampuan untuk
mendefinisikan sifat alamiah lesi ginjal. Berbagai usaha yang
dilakukan untuk memisahkan dan memilah berbagai jenis
glomerulonefrritis dengan menghubungkan gambaran histologist
dan klinisnya.
Berbagai kategori tersebut tidak eksklusif dan dan
dimengerti mengapa cirri-ciri tersebut tumpang tindih karena ginjal
hanya mempunyai respons fungsional dan morfologik yang
terbatas. Kebingungan semakin bertambah karena berbagai
gangguan sitemik matabolik yang menyerang ginjal dan
menimbulkan perubahan-perubahan pada glomerulus yang tidak
dapat dibedakan dengan glomerulonefritis primer.
3. Nefrosklerosis Hipertensif
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang
menetap di atas normal yang disepakati, yaitu diastolic 90 mmHg
atau sistolik 140 mmHg. Hipertensi dan gagal ginjal kronik
memiliki kaitan yang erat. Hipertensi mungkin merupakan
penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Sebaliknya, penyakit gagal ginjal kronik yang berat dapat
menyebabkan hipertensi atau ikut berperan dalam hipertensi
melalui mekanisme retensi natrium dan air, pengaruh vasopresor
dari sistem renin-angitensin, dan mungkin pula melalui difisiensi
prostaglandin. Kadang kadang sulit bagi seorang ahli nefrologi
untuk menentukan mana yang primer.
Nefrosklerosis atau pengerasan ginjal menunjukkan adanya
perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal akibat hipertensi.
Keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal
kronik, terutama pada populasi bukan orang kulit putih.

4. Gangguan Jaringan Ikat


Gangguan jaringan ikat atau penyakit kolagen merupakan
penyakit sistemik yang manifestasinya terutama jaringan lunak
tubuh. Kasus ini sangat menarik dalam nefrologi karena ginjal
sering terserang. Sekitar dua pertiga pasien Lupus Eritematosus
Sitemik ( penyakit multisistem yang tidak diketahui asalnya dan
ditandai dengan autoantibodi dalam sirkulasi terhadap DNA) dan
Sklerosis Sistemik Progresif ( penyakit sistemik yang jarang
dijumpai dan ditandai dengan sklerosis dari kulit dan organ-organ
lain).
5. Gangguan Kongenital Heriditer
Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal
merupakan gangguan heriditer yang terutama mengenai tubulus
ginjal dan dapat berakhir pada gagal ginjal, walaupun gagal ginjal
lebih sering dijumpai pada penyakit polikistik. Kedua penyakit ini
mempunyai bentuk infantile dan bentuk dewasa yang
manifestasinya sangat berbeda.
6. Gangguan Metabolik
Gangguan metabolik yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik
antara lain diabetes mellitus, hiperparatiroidisme, dan amiloidosis.
a. Diabetes Melitus
Nefropati diabetika atau penyakit ginjal pada pasien diabetes
merupakan salah satu penyebab kematian terpenting pada
diabetes melitus yang lama. Lebih dari sepertiga dari semua
pasien baru yang masuk dalam program ESRD menderita
gagal ginjal. Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga
40% pasien diabetes tipe 1 berkembang menjadi gagal ginjal
kronik dalam wantu 15 hingga 25 tahun setelah awitan
diabetes. Individu dengan diabetes tipe 2 lebih sedikit yang
berkembang menjadi gagal ginjal kronik dengan pengecualian
pada orang Indian Pima dengan insidensi mendekati 50%.
Diabetes melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam
berbagai bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang
mencakup semua lesi yang terdapat di ginjal pada diabetes
melitus. Glomerulosklerosis diabetik dapat merupakan lesi
yang paling sering terjadi, trediri dari penebalan difus matriks
mesangeal dengan eosinofilik disertai penebalan membran
kapiler.
b. Hiperparatiroidisme Primer
Hiperparatiroidisme primer yang menyebabkan hiperskresi
hormone paratiroid, merupakan penyakit yang relatif langka
yang dapat mengakibatkan sefrokalsinosis dan selanjutnya
dapat menyebabkan gagal ginjal. Hiperparatiroidisme
sekunder merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada
gagal ginjal kronik. Manifestasi penyakit ini sama walaupun
bersifat primer maupun sekunder.
c. Amiloidosis
Amiloidosis merupakan suatu penyakit metabolik dengan
penimbunan amiloid atau suatu protein ektraseluler yang
abnormal pada berbagai jaringan. Timbunan amiloid ini dapat
merusak ginjal, hepar, limpa, jantung, lidah, dan sistem saraf.
Amiloid terdeteksi secara histologist sebagai bahan hialin
berwarna merah muda terang, amiloid juga menangkap
beberapa pewarna khusus seperti merah Congo. Amiloid dapat
diklasifikasikan berdasarkan sifat protein precursor dan
berdasarkan apakah penimbunan amiloid terjadi secara
sistemik (melibatkan banyak organ) atau hanya terbatas pada
satu organ atau jaringan.

7. Nefropati Toksik
Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan, dan
bahan-bahan kimia karena beberapa alasan, antara lain:
1) Ginjal menerima 25% dari curah jantung sehingga
sering dan mudah kontak dengan zat kimia dalam
jumlah besar.
2) Interstisium yang hiperosmotik memungkinkan zat
kimia dikonsentrasikan pada daerah yang relative
hipovaskuler.
3) Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk
sebagian besar obat, sehingga insufisiensi ginjal
mengakibatkan konsentrasi dalam cairan tubulus.
Nefrotoksin yang paling sering dijumpai menyebabkan
timbulnya gagal ginjal akut. Gagal ginjal kronik dapat terjadi
akibat penyalahgunaan analgetik dan panjanan timbal.
a. Penyalahgunaan Analgetik
Secara umum bahwa penyalahgunaan analgetik dalam
waktu lama dapat menyebabkan cedera ginjal. Gagal ginjal
akibat kelebihan pemakaian analgetik merupakan
permasalahan yang cukup sering dijumpai dan barangkali
merupakan bentuk penyakit ginjal yang paling mudah
dicegah. Insidennya bervariasi, bergantung pada perbedaan
daerah tempat penyalahgunaan ini terjadi. Secara
keseluruhan nefropati analgetik berjumlah sebanyak 9%,
3%, dan kurang dari 1% dapat pasien menjalani dialisis di
Australiadan Amerika Serikat secara berurutan ( USDR,
1995).
b. Panjanan Timbal
Pengaruh terhadap timbale terjadi pada beberapa jenis
pekerjaan, dan timbale dapat pula tertelan oleh peminum
Wisky yang terdestilasi secara tidak semestinya. Timbale
yang masuk ke dalam tubuh akan bergabung dengan tulang
dan secara perlahan-lahan akan dilepaskan kembali setelah
selang waktu bertahun-tahun. Timbal juga akan terikat pada
tubulus ginjal. Pasien dengan nefropati timbale secara khas
menderita hiperurisemia. Artritis gout akut terjadi pada
kira-kira setengah dari pasien nefropati timbale, sebaliknya,
gout jarang terjadi pada bentuk gagal ginjal yang lain.
Hepertensi sering terjadi. Lesi ginjal dasar adalah nefritis
interstisial, dan dapat menyebabkan gagal ginjal yang
berjalan progresif lambat.

C. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik


Terdapat dua pendekatan teoretis yang umumnya diajukan untuk
menjelaskan gangguan fungsi pada gagal ginjal kronik. Sudut pandang
tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit
namun dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari
nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak
atau berubah strukturnya. Misalnya, lesi organic pada medulla akan
merusak susunan asotomik pada lengkung Henle dan Vasa rekta, pompa
klorida pada pars asendens lengkung Henle dan aliran balik penukar.
Pendekatan kedua dikerjakan dengan nama hipotesis bricker atau hipotesis
nefron yang utuh, yang berpendapat bahwa bila nefron serang penyakit,
maka seluruh unitnya akan hancur namun sisa nefron yang masih utuh
tetap bekerja normal. Uremia akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat
berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat
dipertahankan lagi. Hipotesis nefron yang utuh sangat berguna untuk
menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit gagal ginjal kronik,
yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit
tubuh kendati GFR sangat menurun.
Untuk peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal kronik dapat
diuraikan dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun penyakit gagal
ginjal kronik terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus
diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostatis tidaklah
berubah, kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut
sudah menurun secara progresif.
Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respons
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron
yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan
seluruh beban kerja ginjal. terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat
terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk
seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai
normal.
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit hingga tingkat fungsi ginjal yang
sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron hancur,
maka kecepatan filtrasi dan beban untuk terlarut bagi setiap nefron
demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus atau
kesimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh
tubulus tidak akan lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses
ekskresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang.
Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang
rawan tersebut, karena makin rendah GFR ( yang berarti makin sedikit
nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron.
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine
menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm
( yaitu sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala
poliuria dan rekturia. Sebagai contoh, seseorang dengan makanan normal
mengekskresi zat terlarut sekitar 600 mOsm per hari. Kalau orang tersebut
tidak dapat lagi memekatkan urinenya dari osmolalitas plasma normal
sebesar 285 mOsm, maka tanpa memandang banyaknya asupan air akan
terdapat kehilangan obligatorik 2 liter air untuk ekskresi zat terlarut 600
mOsm (285 mOsm/liter). Sebagai respons terhadap beban zat terlarut yang
sama dan keadaan kekurangan cairan, orang normal dapat memekatkan
urine sampai 4 kali lipat konsentrsi plasma dan dengan demikian hanya
akan mengekskresi sedikit urine yang pekat. Bila GFR terus turun sampai
akhirnya mencapai nol, maka semakin perlu mengatur asupan cairan dan
zat terlarut secara tepat untuk mampu mengkomodasikan penurunan
fleksibilitas fungsi ginjal.
Tercatat beberapa kali bahwa gagal ginjal kronik sering bersifat
progresif, bahkan bila faktor pencetus cedera disingkirkan. Sebagai
contoh, pada anak-anak dengan pielonefritis kronik yang disebabkan oleh
refluks vesikouretral dan infeksi traktus urinarius yang berulang akan
timbul jaringan parut pielonefritis yang menyerang tubulus dan
interstisium, namun, bila refluks tersebut dikoreksi secara bedah dan
infeksi ginjal dihentikan dengan antibiotik, gagal ginjal kronik tetap akan
berlanjut. Observasi ini telah memulai upaya penelitian utama baru-baru
ini untuk mempelajari alasan perkembangan penyakit ginjal dan cara untuk
menghentikan atau memperlambat perkembangan tersebut.
Penjelasan terbaru yang paling popular untuk gagal ginjal kronik
tampa penyakit primer yang aktif adalah Hipotesis hiperfiltrasi. Menurut
hiperfiltrasi tersebut, nefron yang utuh pada akhirnya akan cedera karena
kenaikan aliran plasma dan GFr serta kenaikan tekanan hidrostatik
intrakapiler glomerulus (misalnya, tekanan kapiler glomerulus). Walaupun
kenaikan SNGFR dapat menyesuaikan diri dengan lari jangka pendek,
namun tidak dapat menyesuaikan dengan lari jangka panjang.
Penyesuaian fungsi terhadap penurunan massa nefron
menyebabkan hipertensi sistemik dan peningkatan SNGFR pada sisa
nefron yang utuh. Peningkatan SNGFR sebagian besar dicapai melalui
dilatasi ateriol aferen. Pada saat yang bersamaan, arteriol eferen
berkontraksi karena pelepasan angiotensin II local. Sebagai akibatnya,
aliran plasma ginjal meningkat, karena sebagian besar tekanan sistemik
dipindahkan ke glomerulus.
Kompensasi fungsional ini berkaitan dengan perubahan structural
yang bermakna. Volume rumbai glomerulus meningkat tanpa diiringi
peningkatan jumlah sel epitel visera, dan mengakibatkan penurunan
densitas dalam rumbai glomerulus yang membesar. Diyakini bahwa
kombinasi hipertensi glomerulus dan hipertrofi merupakan perubahan
yang signifikan yang menyebabkan cedera sekunder dari rumbai
glomerulus dan merusak nefron dengan progresif. Penurunan densitas
epiter visera menyebabkan penyatuan pedikulus dan hilangnya selektif
terukur sehingga akan meningkatkan protein yang hilang dalam urine.
Peningkatan permeabilitas dan hipertensi intraglomerulus juga membantu
akumulasi dari protein besar (misalnya, immunoglobulin M (IgM) dalam
subendotelial. Subendotelial ini menumpuk bersama prolefirasi matriks
mesangial yang pada akhirnya menyebabkan penyempitan lumen kapiler
akibat tertekan. Cedera sekunder lainya adalah pembentukan
mikroaneurisma akibat disfungsi sel endotel. Akibat keseluruhan adalah
kolapsnya kapiler glomerulus dan glomerulosklerosis, yang ditunjukkan
dengan protenuria dan gagal ginjal kronik. Selain itu, rangkaian ini
menyebabkan timbale balik positif dari lengkung henle dengan percepatan
proses yang destruktif, sehingga semakin sedikit sisa nefron yang utuh.
Perubahan struktur dan fungsional akan menyebabkan cedera sekunder
pada glomerulus. ( Sylvia Aprice, hal 914 )

D. WOC
Terlampir

E. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik


a. Kardiovaskuler : hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung,
pericarditis, pitting edema, edema periorbital, pembesaran vena
jugularis, friction rub perikardial.
b. Integumen : pucat, mudah lecet, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan
rapuh, rambut tipis dan kasar, leukonikia, warna kulit abu-abu
mengkilat, kulit kering bersisik.
c. Pulmoner : heperventilasi, asidosis, edema paru, efusi pleura,
krekels, napas dangkal, kussmaul, sputum kental dan liat.
d. Gastrointestinal : anorexia, nausea, gastritis, konstipasi/diare,
vomitus, perdarahan saluran GI.
e. Neurologi : kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan
perilaku.
f. Muskuloskeletal : kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur
tulang, foot drop, hiperparatiroidisme, defisiensi vit. D, gout.
g. Reproduktif : amenore, atropi testis, penurunan libido, impotensi,
infertilitas, nokturia, poliuri, oliguri, haus, proteinuria,
(Brunner & Suddarth, 2001. Hal 1450 )

F. Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 4 stadium yang didasarkan pada
tingkat GFR yang tersisa :
1. Penurunan cadangan ginjal
Terjadi apabila GFR turun 50% dari normal, tetapi tidak ada
akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron
yang sudah rusak dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin,
menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam
diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi.
2. Insufisiensi ginjal
Terjadi bila GFR menurun menjadi 20-35% dari normal. Nefron-
nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulasi sisa metabolik
dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi
mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic menyebabkan
oliguri, oedema. Derajat insuffisiensi dibagi menjadi ringan, sedang
dan berat, tergantung dari GFR sehingga perlu pengobatan medis.
3. Gagal ginjal
Terjadi bila GFR kurang dari 20% normal
4. Penyakit gagal ginjal stadium akhir
Bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron
fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut
dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolik dalam jumlah banyak
seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau
penggantian ginjal (Smeltzer & Bare, 2002)

G. Komplikasi
Komplikasi potensial yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis
(Smeltzer & Bare, 2001. Hal 1449 ) antara lain :
a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, sidosis metabolic,
katabolisme, dan masukan diet berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tanponade jantungakibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
renin-angistensis-aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin,
dan kehilangan darah selama hemodialisis.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metastatic akibat retensi prostat,
kadar kalium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal,
dan peningkatan kadar aluminium.

H. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostic
Pemeriksaan penunjang mencakup (Mary E. Doengoes, 2000.hal 628 ) :
1. Pemeriksaan laboratorium :
a. Urine :
a) Volume : biasanya kurang dari 400ml/24 jam (oligouria)
atau urin tak ada (anuria)
b) Warna : secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan
oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat dan urat.
Sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
mioglobin, porfirin.
c) Berat : kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat).
d) Osmolalitas : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan
kerusakan tubular, dan rasio urine/serum sering 1:1
e) Klirens kreatinin : mungkin agak menurun
f) Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena tidak mampu
mereabsorpsi natrium.
g) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen
juga ada.
b. Darah :
a) BUN/Kreatinin: Meningkat, biasanya meningkat dalam
proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap akhir
(mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap: Ht: Menurun pada adanya anemia.
Hb: biasanya kurang dari 7-8 mg/dL.
c) SDM: Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin
seperti pada azotemia.
d) GDA: pH: Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk
mengekskresi hidrogen dan ammonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun. PCO2 menurun.
e) Natrium serum: Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan
natrium” atau normal (menunjukkan status dilusi
hipernatremia).
f) Kalium: Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
dengan perpindahan selular (asidosis) atau pengeluaran
jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir, perubahan
EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau
lebih besar.
g) Magnesium/fosfat: Meningkat.
h) Kalsium: Menurun
i) Protein (khusus albumin): kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urin, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis
karena kurang asam amino esensial.
j) Osmolalitas serum: Lebih besar dari 285 mOsm/kg; sering
sama dengan urine.
c. Pemeriksaan Radiologi
a) KUB foto: Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung
kemih dan adanya obstuksi (batu).
b) Pielogram retrograde: Menunjukkan abnormalitas pelvis
ginjal dan ureter.
c) Arteriogram ginjal: Mengkaji sirkulasi ginjal dan
mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
d) Sistouretrogram ginjal: Menunjukkan ukuran kantok
kemih, refluks ke dalam ureter, retensi.
e) Ultrasono ginjal: Menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian
atas.
f) Biopsi ginjal: Mungkin dilakukan secara endoskopik unutk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologi.
g) Endoskopi ginjal, nefroskopi: Dilakukan untuk menentukan
pelvis ginjal; keluar batu, hematuria dan pengangkatan
tumor selektif.
h) EKG: Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam/basa.
i) Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal, dan tangan: Dapat
menunjukkan demineralisasi, kalsifikasi.

I. Terapi/Tindakan Penanganan
Penatalaksanaan GGK mencakup tindakan konservatif dan tindakan
dialysis serta transplantasi ginjal (Suzanne C.Smeltzer, 2001. 1449).
1. Intervensi diet meliputi pengaturan cermat masukan protein,
masukan cairan untuk mengganti cairan yang hilang (biasanya cairan
yang diperbolehkan antara 500 - 600 ml per 24 jam), masukan
natrium untuk mengganti natrium yang hilang dan pembatasan
kalium. Pada saat yang sama masukan kalori adekuat dan suplemen
vitamin dianjurkan.
2. Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida
mengandung aluminium yang mengikat fosfat makanan di saluran
gastrointestinal.
3. Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif
kontrol volume intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema
pulmoner juga memerlukan pembatasan cairan, diet rendah natrium,
diuretic, agen inotropik seperti digitalis atau dobutamine dan
dialysis. Asidosis metabolik pada GGK biasanya tanpa gejala dan
tidak memerlukan penanganan.
4. Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialysis yang
adekuat disertai pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat
terhadap kalium pada seluruh medikasi oral maupun intravena.
5. Abnormalitas neurologi dapat terjadi dan memerlukan observasi dini
terhadap tanda-tanda seperti kedutan, sakit kepala, delirium, atau
aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari cedera dengan menempatkan
pembatas tempat tidur.
6. Anemia ditangani dengan pemberian epogen (eritropoetin manusia
rekombinan).
7. Pasien dengan GGK yang meningkat dirujuk ke pusat dialysis dan
transplantasi sedini mungkin sejak penyakit renal mulai berkembang.
Dialisis biasanya dimulai ketika pasien tidak mampu
mempertahankan gaya hidup normal dengan penanganan konservatif.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Data pasien yang harus dikaji mencakup :
1. Identitas Pasien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan,
penghasilan dan alamat.
2. Riwayat penyakit terdahulu
Kemungkinan yang muncul pada riwayat kesehatan terdahulu pada pasien
dengan gagal ginjal kronis antara lain Glomerulonefritis, Pielonefritis,
Nefrosklerosis, Sindroma Nefrotik, Tumor Ginjal dll.
3. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama
Kaji keluhan yang biasa muncul pada pasien dengan gagal ginjal kronis.
4. Riwayat penyakit keluarga
Kaji apakah di keluarga pasien ada yang pernah mengalami gagal ginjal
kronis atau kelainan ginjal lainnya.
5. Data bio-psiko
a) Aktifitas & istirahat ;
 Gejala : Kelemahan,malaise, gangguan tidur
(insomnia,gelisah,atau somnolen).
 Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan
rentang gerak.
b) Sirkulasi :
 Gejala : Riwayat hipertensi lama/baru, palpitasi, nyeri
dada (angina)
 Tanda : Hipertensi (nadi kuat,edema jaringan umum dan
pitting pada kaki,telapak tamgam), disritmia jantung.
Friction rub pericardial, kulit pucat, kecenderungan
pedarahan.
c) Integritas ego :
 Gejala : Faktor stress, perasaan tak berdaya, tidak ada
harapan.
 Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah
terangsang, perubahan kepribadian.
d) Eliminasi :
 Gejala : Produksi urine menurun
(oligouri,anuria),abdomen kembung,diare atau
konstipasi.
 Tanda : Warna urine kuning pekat,merah,coklat.
e) Makanan /Cairan :
 Gejala : Peningkatan BB secara cepat akibat edema.
Penurunan BB akibat malnutrisi.
 Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa tak sedap
di mulut (napas bau ammonia)
 Tanda : Distensi abdomen/ascites, pembesaran hati
(tahap akhir), Edema, ulserasi/perdarahan gusi atau
lidah,
f) Neuro sensori :
 Gejala : Nyeri kepala, kram otot/kejang, kesemutan
ekstremitas bawah.
 Tanda : Penurunan tingkat kesadaran/konsentrasi,
rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
g) Nyeri/Kenyamanan
 Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri
kaki.
 Tanda : Perilaku hati – hati (distraksi), gelisah.
h) Pernapasan.
 Gejala : Napas pendek ; dispnea nocturnal paroksismal,
batuk dengan atau tanpa sputum.
 Tanda : Takipnea,dispnea,pernapasan Kussmaul, batuk
produktif.

i) Keamanan.
 Gejala : Berulangnya infeksi.
 Tanda : Fraktur tulang, kalsifikasi
metastasik,keterbatasan gerak sendi.
j) Seksualitas.
 Gejala : Penurunan libido, amenore, infertilitas.
k) Interaksi social.
 Gejala : Kesulitan menjalankan fungsi peran dalam
keluarga.
l) Penyuluhan/pembelajaran
 Gejala : riwayat DM keluarga ( risiko tinggi untuk gagal
ginjal), penyakit polikistik, nefritis herediter, kalkulus
urinaria, malignansi.

B. Diagnosa Keperawatan
(Suzanne C.Smeltzer, 2001. Hal 1451).
1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urine, masukan
cairan berlebih, dan retensi cairan dan natrium.
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia,
mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa
mulut.
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penanganan b.d. kurang
informasi.
4. Intoleran aktifitas b.d. keletihan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialysis.
5. Gangguan harga diri b.d. ketergantungan, perubahan peran,
perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.
6. Perubahan kenyamanan b.d. rasa gatal yang parah (pruritus).
7. Risiko cidera b.d penurunan konsentrasi dan kesadaran.
8. PK : Hiperkalemia
9. PK : Perikarditis, Efusi Perikardial dan tamponade jantung.
10. PK : Hipertensi
11. PK : Anemia
12. PK : Penyakit tulang dan kalsifikasi metastasik.

C. Intervensi
(Suzanne C.Smeltzer, 2001. Hal 1451).
Dengan munculnya beberapa diagnosa keperawatan dan masalah
kolaboratif seperti di atas, maka muncul rencana tindakan pada diagnosa
dan masalah kolaboratif yang paling sering terjadi pada pasien GGK.
Rencana Tindakan Keperawata pada pasien GGK beserta rasional
tindakan.
1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urine,
masukan cairan berlebih, dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan : mempertahankan berat tubuh ideal
Tindakan Rasional
a. Kaji status cairan ( timbang BB tiap a. Pengkajian adalah dasar dan data
hari,catat intake output, vena turgor dasar berkelanjutan untuk
kulit dan adanya edema, distensi memantau perubahan dan
leher, tekanan darah, denyut dan mengevaluasi intervensi.
irama nadi)
b. Batasi masukan cairan
b. Pembatasan cairan akan
menentukan berat tubuh ideal,
haluaran urine, dan respon
c. Identifikasi sumber potensial cairan
terhadap terapi
- Medikasi dan cairan yg
c. Sumber kelebihan cairan yg tdk
digunakan
diketahui dapat diidentifikasi
- Makanan
d. Jelaskan pd pasien & keluarga
rasional pembatasan cairan
d. Pemahaman dapat meningkatkan
e. Beritahu pasien dalam menghadapi
kerjasama pasien & keluarga dlm
ketidaknyamanan akibat
pembatasan cairan.
pembatasan cairan
e. Kenyamanan pasien meningkatkan
f. Tingkatkan dan dorong hygiene oral
kepatuhan terhadap pembatasan
dengan sering.
cairan.
f. Higiene oral mengurangi kepekaan
terhadap membran mukosa mulut.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia,


mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane
mukosa mulut.
Tujuan : mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
Tindakan Rasional
a. Kaji status nutrisi (perubahan a. Menyediakan data dasr untuk
BB, pengukuran antropometrik, memantau perubahan dan
nilai elektrolit serum, BUN, mengevaluasi intervensi.
Kreatinin, protein, transperin
dan kadar besi.) b. Pola diet dahulu dan
b. Kaji pola diet nutrisi pasien
sekarang dapat
(riwayat diet, makanan
dipertimbangkan dalam
kesukaan,hitung kalori)
menyusun menu.
c. Kaji factor yang berperan dalam
c. Menyediakan informasi
merubah masukan nutrisi
mengenai factor lain yang
(anoreksia,mual,muntah, diet yg
dapat diubah atau
tdk menyenangkan, depresi,
dihilangkan untuk
kurang memahami pembatasan
meningkatkan masukan diet.
diet, stomatitis)
d. Menyediakan makanan
kesukaan pasien dalam batas-
d. Mendorong peningkatan
batas diet.
e. Tingkatkan masukan protein nmasukan diet.
e. Protein lengkap dipakai
yang mengandung nilai biologis
untuk mencapai
tinggi spt telur, produk
keseimbangan nitrogen yang
susu,daging
diperlukan untuk
pertumbuhan dan
f. Anjurkan camilan tinggi kalori
penyembuhan.
rendah protein rendah natrium
f. Mengurangi makanan dan
diantara waktu makan.
g. Ubah jadwal madikasi sehingga protein yang dibatasi &
medikasi tidak segera diberikan menyediakan kalori untuk
sebelum makan energy
h. Jelaskan rasional pembatasan g. Ingesti medikasi sebelum
diet dan hubungannya dgn makan menyebabkan
penyakit ginjal dan peningkatan anoreksia & rasa kenyang.
h. Meningkatkan pemahaman
urea & kreatinin.
i. Ciptakan lingkungan yang pasien tentang hubungan
menyenangkan waktu makan diet, urea & kreatinin dgn
pembatasan diet.

i. Faktor yang tidak


j. Kaji bukti masukan protein tdk
menyenangkan waktu makan
adekuat (terjadi edema,
berperan dalam
penyembuhan lambat,
menimbulkan anoreksia
penurunan kadar albumin
dihilangkan.
serum) j. Masukan protein yg tdk
adekuat menyebabkan
penurunan albumin &
protein lain, edeme &
perlambatan penyembuhan.

3. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penanganan b.d. kurang


informasi.
Tujuan : meningkatkan pengetahuan mengenai kondisi dan penanganan
yang bersangkutan
Tindakan Rasional
a. Kaji pemahaman ttg penyebab, a. Merupakan instruksi dasar
konsekuensi dan penanganan untuk penjelasan dan
GGK penyuluhan lebih lanjut.
b. Pasien dapat belajar tentang
b. Jelaskan fungsi ginjal dan
penyakitnya setelah pasien
penyakit gagal ginjal sesuai
merasa siap.
pemahaman pasien c. Pasien dpt melihat bahwa
c. Bantu pasien mengidentifikasi
kehidupan tdk harus berubah
cara cara memahami
akibat penyakit.
perubahab akibat GGK

4. Intoleransi aktifitas b.d. keletihan, anemia, retensi produk sampah


dan prosedur dialysis.
Tujuan : berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi
Tindakan Rasional
a. Kaji faktor yang menimbulkan a. Menyediakan informasi
keletihan. indikasi tk keletihan
b. Tingkatkan kemandirian b. Meningkatkan aktifitas
dalam perawatan diri, bantu ringan/sedang, dan
jika keletihan terjadi. memperbaiki harga diri.
c. Anjurkan aktifitas alternative c. Mendorong aktifitas dalam
sambil istirahat. batas toleransi dan istirahat
yang adekuat.

5. Gangguan harga diri b.d. ketergantungan, perubahan peran,


perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.
Tujuan : memperbaiki konsep diri
Tindakan Rasional
a. Kaji respon pasien dan a. Menyediakan data ttg masalah
keluarga tentang penyakit dan pasien & klg dlm menghadapi
penangannya. perubahan.
b. Pola koping yg efektif di masa
b. Kaji pola koping pasien dan
lalu dapat menjadi destrksif
keluarga.
saat ini.
c. Ciptakan diskusi terbuka
c. Pasien dapat mengidentifikasi
tentang perubahan dalam
masalah & langkah yg
hidup pasien akibat penyakit
diperlukan.
d. Gali alternative ekspresi
seksual selain hubungan
d. Bentuk alternative ekspresi
seksual
e. Diskusikan peran member & seksual dapat diterima.
e. Seksualitas memiliki arti
menerima cinta kehangatan
berbeda bagi tiap individu
dan kemesraan
sesuai tk maturitasnya.

6. PK : Hiperkalemia
Tujuan : pasien menunjukkan tidak adanya komplikasi
Tindakan Rasional
a. Pantau kadar kalsium serum a. Hiperkalemia menyebabkan
dan beritahu dokter bila kerusakan & potensial
kadarnya melebihi 5,5 mEq/dl. perubahan dlm tubuh serta
dpt mengancam jiwa.
b. Tanda & gejala
b. Kaji adanya kelemahan
kardiovaskuler merupakan
otot,diare,perubahan
karakteristik hiperkalemia
EKG(gelombang T memuncak
dan QRS melebar)
7. PK : Perikarditis, Efusi Perikardial dan tamponade jantung.
Tujuan : pasien menunjukkan tidak adanya komplikasi
Tindakan Rasional
a. Kaji tentang demam,nyeri dada a. Sekitar 30-50% GGK
& friction rub pericardial (tanda- mengalami perikarditis
tanda perikarditis), beritahu akibat uremia.
dokter jika ada.
b. Jika mengalami perikarditis,kaji
factor berikut @ 4 jam:
b. Efusi pericardial umumnya
- Denyut paradoksikal >10
akibat perikarditis yg
mm Hg
- Hipotensi berat. fatal.Tanda efusi mencakup
- Lemah/hilangnya denyut
denyut paradoksikal (tek
periper.
darah selama inspirasi turun
- Perub tingkat kesadaran.
- Penonjolan vena leher. >10 mm Hg) dan tanda syok
c. Persiapkan pasien untuk USG
akibat kompresi jantung
jantung utk mendukung adanya
oleh efusi yg
efusi & tamponade. luas.Tamponade jantung
d. Jika terjadi tamponade siapkan
terjadi ketika pasien secara
pasien utk perikardiosentesis
hemodinamik sangat
darurat.
terganggu.
c. USG jantung berguna utk
menggambarkan efusi
pericardial & tamponade
jantung.
d. Tamponade jantung
merupakan kondisi
mengancam jiwa disertai
laju mortalitas yg tinggi.
Aspirasi segera cairan
perkardial sangat penting.

8. PK : Hipertensi
Tujuan : pasien menunjukkan tidak adanya komplikasi
Tindakan Rasional
a. Pantau & catat tekanan darah a. Pengukuran tekanan darah
sesuai indikasi. menyediakan data obyektif utk
pemantauan. Peningkatan
tekanan darah adalah indikasi
ketidakpatuhan.
b. Berikan medikasi b. Medikasi antihipertensi
antihipertensif sesuai berperan penting dlm
instruksi. penanganan hipertensi akibat
GGK.
c. Dorong kepatuhan terhadap
c. Kepatuhan pembatasan diet
pembatasan diet dan cairan.
cairan & dialysis mencegah
kelebihan cairan dan
d. Ajarkan pasien melaporkan
penumpukan natrium.
tanda kelebihan cairan, sakit d. Merupakan indikasi
kepala,edema atau kejang. pengendalian hipertensi yg tdk
adekuat dan perlunya utk
mengubah terapi

9. PK : Anemia
Tujuan : pasien menunjukkan tidak adanya komplikasi
Tindakan Rasional
a. Pantau eritrosit & hematokrit a. Untuk mengetahui tk
sesuai indikasi. keparahan anemia.
b. Berikan medikasi sesuai resep b. Eritrosit membutuhkan
mencakup suplemen besi & besi,asam folat & vitamin utk
asam folat, epogen & multivit. produksinya, epogen
merangsang sumsum tulang
c. Hindari pengambilan memproduksi eritrosit.
c. Anemia dicetuskan oleh
specimen darah yang tidak
pengambilan specime
perlu.

d. Perdarahan di setiap tempat di


d. Instruksikan cara mencegah
tubuh memperburuk anemia.
perdarahan : menghindari olah
raga berat, & anjurkan
penggunaan sikat gigi yg
e. Terapi komponen darah
lembut.
e. Beri terapi komponen darah mungkin diperlukan jika
sesuai indikasi pasien simptomatik.

10. PK : Penyakit tulang dan kalsifikasi metastasik.


Tujuan : pasien menunjukkan tidak adanya komplikasi
Tindakan Rasional
a. Berikan medikasi berikut a. GGK menyebabkan
sesuai resep : pengikat perubahan fisiologis yang
fosfat,suplemen mempengaruhi
kalsium,suplemen vit D. metab.kalsium,fosfat,vit D.
b. Pantau sesuai indikasi : kadar b. Hiperfosfatemia,
kalsium,fosfor,aluminium, hipokalsemia dan akumulasi
lapor dokter bila temuan aluminium berlebih umumnya
abnormal. terjadi pd GGK.
c. Bantu pasien dalam program c. Demineralisasi tulang
latihan. meningkat akibat imobilitas.

D. Implementasi
Disesuaikan dengan rencana intervensi keperawatan yang telah disusun.
E. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dalam bentuk evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
Evaluasi dilakukan sesuai dengan kriteria hasil yang telah disusun

Evaluasi keperawatan terhadap masing – masing diagnosa keperawatan


dan masalah –masalah kolaboratif mencakup :
1. Kelebihan volume cairan, tujuan : mempertahankan berat badan
ideal tanpa kelebihan cairan.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, tujuan : mempertahankan
masukan nutrisi yang adekuat.
3. Kurang pengetahuan, tujuan : meningkatkan pengetahuan tentang
kondisi dan penanganan yang bersangkutan.
4. Intoleransi aktifitas, tujuan : berpartisipasi dalam aktifitas yang
dapat ditoleransi.
5. Gangguan harga diri, tujuan : memperbaiki konsep diri.
6. Terhadap masalah – masalah kolaboratif, tujuan : pasien
menunjukkan tidak terjadi komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Aru W. Sudoyo, dkk.2010.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi V.

Jakarta : InternaPublishingh

Brunner & Suddarth, (1996), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC,

Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.

Jakarta : EGC

Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman

Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3.

Jakarta : EGC

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses

Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan

Keperawatan

Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta : Media

Aesculapius

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis

Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan

Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II.

Jakarta.: Balai Penerbit FKUI

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH IV


LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP DASAR
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
GAGAL GINJAL KRONIK

OLEH :

NI KETUT AYU SUWIANDANI


P07120012026
III. 1 REGULER

POLITEKNIK KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2014

Anda mungkin juga menyukai