Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN PERUBAHAN PERSEPSI

SENSORI ( HALUSINASI)

OLEH:

I PUTU PRAJA SANTIKA ABADI


P07120213018
D IV KEPERAWATAN REG. TK. II

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR


JURUSAN KEPERAWATAN
2015
LAPORAN PENDAHULUAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI
( HALUSINASI)

A. Pengertian Halusinasi
1. Persepsi/
Persepsi adalah proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari
dan dimengerti penginderaan/sensasi : proses penerimaan rangsang. (Harber,
Judith, 1987 ).
Persepsi mengacu pada identifikasi dan interpretasi awal dari suatu
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui pancaindra. (Stuart,
2007).
Jadi, gangguan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam
membedakan antara rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran,
perasaan, sensasi somatik dengan impuls dan stimulus eksternal dengan
maksud bahwa manusia masih mempunyai kemampuan dalam
membandingkan dan mengenal mana yang merupakan respon dari luar dirinya.
Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara
fantasi dan kenyataaan. Mereka dalam menggunakan proses pikir yang logis,
membedakan dengan pengalaman dan dapat memvalidasikan serta
mengevaluasinya secara akurat. Jika ego diliputi rasa kecemasan yang berat
maka kemampuan untuk menilai realitas dapat terganggu.
Gangguan persepsi dapat terjadi pada proses sensoris dari pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan. Gangguan ini dapat
bersifat ringan, berat, sementara atau lama. (Harber, Judith, 1987).

2. Halusinasi
Halusinasi adalah penerapan tanpa adanya rangsang pada panca indera
seorang pasien yang terjadi dalam keadaan bangun, dasarnya mungkin organik,
fungsional, psikotik atau histerik (W.F Maramis, 2005)
Halusinasi adalah kesan atau pengalaman sensori yang salah (Stuart,
2007).
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah di mana tidak terdapat
stimulus sensorik yang berkaitan dengannya, yang dapat berwujud pengindraan
kelima indra yang keliru. (Arif, 2006).
Halusinasi adalah bila rangsang dari luar terhadap indera itu tidak nyata
tetapi penderita yakin kalau itu ada (Soewadi, 1999).
Halusinasi adalah persepsi yang salah terjadi tanpa adanya stimulus
eksternal (Stuart dan Laraia, 2002, dikutip oleh Bambang Triwahono ).
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan
(stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan ditelinganya
padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).
Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai
halusinasi, maka halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera terhadap
lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata.

B. Jenis-Jenis Halusinasi
Halusinasi dapat diklasifikasikan menjadi 7 macam (Stuart dan Laraia, 2001, hal
409) yaitu :
1. Halusinasi pendengaran : mendengar suara-suara atau bisikan paling sering
suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata
yang jelas berbicara tentang klien. Pikiran yang terdengar dimana klien
mendengar perkataan bahwa pasien disuruh untuk melakukan sesuatu yang
kadang-kadang dapat membahayakan.
2. Halusinasi penglihatan : stimulus visual dalam bentuk kelihatan cahaya,
bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau
menakutkan seperti melihat monster.
3. Halusinasi penciuman : membaui bau-bauan tertentu umumnya bau-bauan
yang tidak menyenangkan.
4. Halusinasi pengecapan : Merasakan sesuatu yang tidak nyata seperti rasa
darah, urine, feses.
5. Halusinasi perabaan : mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus
yang jelas.
6. Halusinasi Cenesthetic : merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena
atau arteri, pencernaan makanan.
7. Halusinasi Kinesthetic : merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa
bergerak.

C. Tahapan Halusinasi
Tahapan halusinasi terdiri dari 4 (empat) fase (Stuart dan Laraia, 2001 hal
424) yaitu :
1. Fase I (Conforting) : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasa bersalah dan takut dan mencoba untuk berfokus pada pikiran
yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau
tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata
yang cepat, diam dan asyik sendiri.
2. Fase II (Condeming) : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien
mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya
dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda
sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung,
pernapasan dan tekanan darah, asyik dengan pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
3. Fase III (Controlling) : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap
halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Disini klien sukar
berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi
perintah.
4. Fase IV Conquering) : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien
mengikuti perintah halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi,
menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks, tidak
mampu berespon lebih dari 1 (satu) orang.

D. Tanda dan Gejala Halusinasi


Seseorang yang mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-
gejala yang khas. Menurut H.G. Morgan (1998) bahwa gejala halusinasi adalah
1. Mendengar pikirannya sendiri
2. Mendengar suara-suara yang berargumentasi, mengomentari perbuatannya.
3. Somatic passivity : pengalaman bahwa ada kekuatan dari luar yang
mempengaruhi tubuhnya.
4. Pikiran ditarik keluar, disisipi atau diinterupsi oleh pengaruh luar.
5. Pikiran yang dipancarkan (disiarkan) atau percaya bahwa orang lain juga
demikian.
6. Perasaan, impuls dorongan dirasakan diatur dari luar.

Sedangkan menurut Yani (2005), gejala halusinasi adalah :

1. Bicara, senyum, tertawa sendiri.


2. Menggerakkan bibir tanpa suara.
3. Pergerakan mata yang cepat.
4. Respon verbal lambat.
5. Menarik diri dan menghindar dari orang lain.
6. Tidak dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata.
7. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
8. Perhatian dengan lingkungan kurang
9. Sulit berhubungan dengan orang lain.
10. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah.
11. Tidak mampu mengikuti perintah perawat.
12. Tampak tremor dan berkeringat.
13. Perilaku panik agitasi atau katakon
14. Tidak dapat mengurus diri sendiri.

E. Pohon Masalah Halusinasi

F. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :

1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik


Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat
halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual
dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di
pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap
perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien.
Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien
di beritahu tindakan yang akan di lakukan.
Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian
dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam
dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan
2. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali
masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta
membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat
melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
3. Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya
berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu
mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan
orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan
yang sesuai.
4. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar
ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny
dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering
mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-
suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan
menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada.
Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugas lain
agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak
bertentangan.
5. Terapi dokter (fakmakologi)
a. Chlorpromazine (CPZ)
CPZ adalah derivat yang mempunyai khasiat dan bekerja pada susunan
saraf pusat, yaitu mendepresi sub kortikal SSP yang menimbulkan efek
psikotropik, sedasi, anti emetik dan dapat menekan refleks batuk.
Penghambatan pada hipothalamus dapat mempengaruhi mekanisme
pengaturan suhu. CPZ digunakan dalam penanganan psikosis akut atau
kronis yang meliputi skizofrenia dan fase manik pada gangguan depresi
manik.
Efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian CPZ meliputi efek
sedasi, pusing, pingsan, hipotensi orthostatik, palpitasi, takikardi, sindroma
pada mulut, kemerahan pada mukosa, vesikel lidah kotor, gigi tanggal,
pandangan kabur, konstipasi, retensi urine, ejakulasi tertahan. CPZ juga
menyebabkan efek samping ekstra piramidal yang meliputi parkinsonisme,
distonia, diskinesia. Gangguan hormonal dapat terjadi yaitu menstruasi tidak
teratur, ginekomastia, penurunan libido, peningkatan nafsu makan, berat
badan meningkat, edema glikosuria, hiperglikemia atau hipoglikemia.
Reaksi hipersensitif pada beberapa orang menimbulkan efek/gejala-gejala
jaundice, gatal-gatal pada kulit, petechia, dermatitis dan reaksi anafilaktif.
b. Haloperidol (HLP)
HLP adalah obat antipsikotik derivat yang khasiatnya hampir sama
dengan derivat fenotiazin (CPZ). Kemungkinan terjadinya efek samping
ekstrapiramidal lebih tinggi dibandingkan obat golongan fenotiazin
sedangkan efek sedatif dan hipotensi kurang dibandingkan dengan jenis obat
transequalizer yang lain. Mekanisme tepatnya yaitu mendepresi susunan
saraf pusat pada tingkat subkortikal mid brain dan batang otak. Efek anti
emetik juga terjadi. Haloperidol biasanya digunakan pada psikosa akut dan
kronis, fase manik pada psikosis manik-depresi dan psikoreaktif.
Efek samping HLP serupa dengan CPZ, perbedaannya terletak pada
efek samping hipotensi orthostatik lebih ringan, sedang efek samping reaksi
ekstra lebih berat. Efek samping pada SSP meliputi parkinsonisme, gelisah,
ataksia, hiperfleksi, kortikolis dan kardive diskenesia. Efek otonomi dapat
terjadi, mulut kering (hipersalivasi), konstipasi (diare), reaksi urine
diaporesis (dosis berlebihan). Pada darah, dapat terjadi leukopenia,
leukositosis, anemia. Pada saluran napas, terjadi laringospasme,
bronkhospasme, peningkatan kedalaman napas, bronchopneumonia, depresi
pernapasan. Pada endokrin, menstruasi tidak teratur, nyeri pada payudara,
ginekomastia, impotensi. Pada kulit, kemerahan, rambut rontok. Dapat juga
terjadi anoreksia, mual, muntah, jaundice, penurunan kadar kolesterol darah.
c. Trihexyphenidil (THP)
THP adalah obat yang sering dipakai sebagai penyerta pemberian obat
anti psikotik jenis fenotiazin dan butirofenon karena khasiatnya merelaksasi
otot polos dan spasmodik.
Efek samping yang umum terjadi : mulut kering, pusing, pandangan
kabur, midriasis, fotofobia, mual, nervous, konstipasi, mengantuk, retensi
urine. Pada SSP dapat terjadi : bingung, agitasi, delirium, manifestasi
psikotik, euforia, reaksi hipersensitif : glaukoma parotitis.

G. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan, yang terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan,
atau masalah klien. (Keliat, 2006). Kegiatan yang perlu dilakukan perawat
adalah mengkaji data dari klien dan keluarga tentang tanda dan gejala serta
faktor penyebab. Data yang langsung yang didapat oleh perawat disebut
sebagai data primer, dan data yang diambil dari hasil pengkajian atau catatan
tim kesehatan lain disebut sebagai data sekunder.
Menurut Stuart (2007), berbagai aspek pengkajian sesuai dengan
pedoman pengkajian umum, pada formulir pengkajian proses keperawatan.
Pengkajian meliputi beberapa faktor antara lain :
1. Faktor predisposisi
Meliputi faktor perkembangan, sosio kultural, psikologi, genetik
dan biokimia. Jika tugas perkembangan terhambat dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stres dan
kecemasan. Berbagai faktor di masyarakat dapat membuat seseorang
merasa terisolasi dan kesepian yang mengakibatkan kurangnya
rangsangan dari eksternal. Stres yang berlebihan dapat mengganggu
keseimbangan sistem neurotransmiter. Hubungan interpersonal tidak
harmonis. Peran ganda bertentangan sering mengakibatkan kecemasan
dan stres.
2. Faktor presipitasi
Berbagai stressor dapat mengakibatkan timbulnya halusinasi,
hubungan interpersonal masalah psikososial dapat meningkatkan
kecemasan dan stres sebagai pencetus terjadinya halusinasi.
a. Kesehatan : nutrisi kurang, kurang tidur, kelelahan, infeksi,
obat ssp, hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
b. Lingkungan
Lingkungan yang memasuki, masalah di rumah tangga, sosial, tekanan
kerja, kurangnya dukungan sosial, kehilangan kebebasan hidup.
c. Sikap/ prilaku merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa
merasa gagal, kehilangan rendah diri, merasa malang, perilaku agresif,
perilaku kekerasan, ketidakadekuatan pengobatan.
d. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, rasa
tidak aman, gelisah, bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian,
tidak mampu mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri,
tidak membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata.
3. Mekanisme koping
a. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari
b. Proyeksi : mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
c. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal.
d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
4. Status Mental
Pemeriksaan status mental merupakan contoh representatif
kehidupan psikologis pasien dan sejumlah observasi dan kesan perawat
pada saat itu. Pemeriksaan ini terdiri atas beberapa elemen seperti
penampilan, pembicaraan, aktivitas motorik, interaksi selama
wawancara, alam perasaan, afek, persepsi, isi pikir, proses pikir, tingkat
kesadaran, memori, tingkat konsentrasi dan berhitung, penilaian, dan
daya tilik diri. (Stuart, 2007).
Ketahui tentang halusinasi klien meliputi :
a. Isi halusinasi yang dialami klien.
b. Waktu dan frekuensi halusinasi.
c. Situasi pencetus halusinasi.
d. Respon klien tentang halusinasinya.

H. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan masalah klien yang
mencakup baik respon sehat adaptif maupun maladaptif serta stressor yang
menunjang. (Stuart dan Sundeen, 1998)
Komponen diagnosa keperawatan :
1. Problem (masalah) : nama atau label diagnose
2. Etiologi (penyebab) : alasan yang dicurigai dari respon yang telah diidentifikasi
dari pengkajian.
3. Sign dan Sympton (tanda dan gejala) : manifesitasi yang diidentifikasi dalam
pengkajian yang menyokong diagnosa keperawatan.
Ada beberapa diagnosa keperawatan yang sering ditemukan dan dapat
ditegakkan pada klien dengan halusinasi menurut Keliat (2006), antara lain :
1. Gangguan persepsi sensori : halusinasi.
2. Resiko perilaku mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
3. Isolasi sosial.
4. Defisit perawatan diri.

Daftar Pustaka

Carpenito, Lynda Jual, 1998, Aplikasi pada Praktek Klinik, Edisi 6, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta.

Keliat, B.A, Panjaitan, R.U., & Helena, N.(2006). Proses Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Edisi 2. Jakarta: EGC

Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9., Surabaya: Airlangga


University Press

Stuart, G.W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. (Edisi 5). Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Stuart,G.W.,& Sundeen, S.J (1995). Principles and Practice of Psychiatric


Nursing. St. Louis:
Stuart & Laraia. (2001). Principles and practice of psychiatric nursing. USA:
Mosby Company.

Towsend, M.C. (1993). Psychiatric Mental Health Nursing: Concept of Care. (2


nd ed.). Philadelphia: Davis Company.

Anda mungkin juga menyukai