Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Angka kematian ibu (AKI) yang merupakan salah satu indikator
terhadap kesehatan sebuah negara saat ini masih sangat tinggi di Indonesia
(Depkes RI, 2007). Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2009 AKI di Indonesia sebesar 212/100.000 kelahiran hidup.
Sementara di Singapura sebesar 3/100.000 kelahiran hidup,di Malaysia
22/100.000 kelahiran hidup, bahkan di Filiphina 85/100.000 kelahiran hidup
(Depkes RI, 2007). Variasi ini antara lain disebabkan oleh perbedaan norma,
nilai, lingkungan, dan kepercayaan masyarakat, di samping infrastruktur
yang ada. Suatu hal yang penting lainnya adalah perbedaan kualitas
pelayanan kesehatan pada setiap tingkat pelayanan. Pelayanan kesehatan
primer diperkirakan dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) sampai
20%, namun dengan sistem rujukan yang efektif, angka kematian dapat
ditekan sampai 80%. Menurut United Nations International Children’s
Emergency Fund (UNICEF), 80% kematian ibu dan perinatal terjadi di
rumah sakit rujukan. Walaupun kualitas pelayanan kesehatan, khususnya
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal dipengaruhi oleh banyak faktor,
namun kemampuan tenaga kesehatan (bidan, dokter, dokter spesialis)
merupakan salah satu faktor utama (Saifuddin, 2006).
Penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan
(atonia uteri; 50-60%, sisa plasenta; 23-24%, retensio plasenta; 16-17%,
persalinan dengan laserasi jalan lahir; 4-5% dan kelainan darah ; 0,5-0,8%).
Perdarahan terjadi 10 kali lebih sering pada saat persalinan (Mochtar, 2011).
Salah satu penyebab kematian ibu pada sebagian besar kasus perdarahan
dalam masa nifas yang terjadi adalah karena retensio plasenta, sehingga
perlu dilakukan upaya penanganan yang baik dan benar yang dapat
diwujudkan dengan upaya peningkatan ketrampilan tenaga kesehatan
khususnya dalam pertolongan persalinan, peningkatan manajemen
Pelayanan Obstetric Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan Pelayanan

1
Obstetric Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK), ketersediaan dan
keterjangkauan fasilitas kesehatan yang merupakan prioritas dalam
pembangunan sektor kesehatan guna pencapaian target Millenium
Development Goal’s (MDG’s) tersebut.
Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi
waktu setengah jam setelah bayi lahir. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan
yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga
memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera.Bila retensio plasenta
tidak diikuti perdarahan maka perlu diperhatikan ada kemungkinan terjadi
plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta
perkreta.(Manuaba, 2006).
Retensio plasenta disebabkan oleh berbagai faktor yaitu faktor
maternal dan faktor uterus. Faktor maternal antara lain: gravida berusia
lanjut, faktor uterus: bekas sectio caesarea, bekas kuretase, riwayat retensio
plasenta pada persalinan terdahulu, riwayat endometritis. Retensio plasenta
juga disebabkan oleh multiparitas dan faktor plasenta yaitu implantasi
plasenta seperti plasenta adhesiva, plasenta akreta, plasenta inkreta dan
plasenta perkreta (Manuaba, 2010). Umur yang terlalu tua serta paritas
tinggi dapat menjadi predisposisi terjadinya retensio plasenta. Hal ini
dikarenakan umur ibu yang terlalu tua mempengaruhi kerja rahim dimana
sering terjadi kekakuan jaringan yang berakibat miometrium tidak dapat
berkontraksi dan retraksi dengan maksimal (Rochjati, 2011). Sedangkan
pada paritas tinggi, uterus kehilangan elastisitasnya sehingga miometrium
tidak dapat berkontraksi dan retraksi secara maksimal sehingga
menimbulkan terjadinya atonia uteri. Hal ini menyebabkan plasenta tidak
bisa terlepas dari tempat implantasinya ataukah plasenta sudah lepas tetapi
belum keluar karena atonia uteri( Sofian, 2011). Retensio plasenta
merupakan komplikasi persalinan yang cukup serius, karena dalam waktu
singkat ibu bisa mengalami perdarahan post partum dan hal ini juga dapat
menyebabkan ibu jatuh dalam keadaan syok, anemis, infeksi, bahkan
kematian.

2
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Suryani (2007) di Rumah
Sakit Umum Dr. Pirngadi tahun 2007 menyimpulkan bahwa ada hubungan
antara paritas, jarak antar kelahiran, riwayat persalinan, dan kunjungan
antenatal dengan perdarahan pasca persalinan, sedangkan umur, pendidikan
dan anemia tidak ada hubungan.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian untuk mengetahui “Hubungan Usia dan Paritas Ibu dengan
Kejadian Retensio Plasenta di RSUD Dr. Soedarso Pontianak”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar di atas maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah “apakah ada hubungan usia dan paritas dengan kejadian
retensio plasenta di RSUD Dr. Soedarso Pontianak”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menganalisa hubungan usia dan paritas ibu dengan kejadian
retensio plasenta di RSUD Dr. Soedarso Pontianak.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubugan usia ibu dengan kejadian retensio
plasenta di RSUD Dr. Soedarso Pontianak.
b. Untuk mengetahui hubungan paritas ibu dengan kejadian retensio
plasenta di RSUD Dr. Soedarso Pontianak.
c. Untuk mengetahui besar resiko kejadian kasus usia, paritas dengan
retensio plasenta di RSUD Dr. Soedarso Pontianak.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan serta dapat menerapkan ilmu
pengetahuan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, tentang hubungan
antara usia dan paritas ibu dengan kejadian retensio plasenta di RSUD
Dr. Soedarso Pontianak.

3
2. Bagi Institusi Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Pontianak
Sebagai tambahan ilmu pengetahuan serta referensi untuk
pengembangan penulisan selanjutnya.
3. Bagi RSUD Dr. Soedarso Pontianak
Dapat memberikan informasi serta gambaran tentang hubungan
usia dan paritas ibu dengan kejadian retensio plasenta dengan harapan
dapat digunakan sebagai bahan pedoman dalam peningkatan pelayanan.

Anda mungkin juga menyukai