Anda di halaman 1dari 54

TUGAS PBL PELAYANAN KEFARMASIAN (FAI 303)

FARMAKOTERAPI SIROSIS HEPATIK

Oleh:
Kelas A Kelompok 2

Octavia Librayanti Vierdina Piay 050911019


Sukmaning Ayunda 050911025
Dian Arum Puspitasari 050911031
Ridha Auiliarahma 050911035
Larastuti Jami Mukti Sabatani 050911039
Megan Kumala 050911041
Anietta Indri Nur Ramadhani 050911043
Rany Windysari 050911047
Ria Hesty F Jacobus 050911061

DEPARTEMEN FARMASI KLINIK


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
2012

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wbr.


Tidak ada kata yang lebih pantas kami sampaikan selain memanjatkan syukur
sebesar-besarnya atas rahmat, karunia, dan hidayah Allah SWT yang telah terlimpah
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan naskah akademik mata kuliah PBL
Pelayanan Kefarmasian (FAI 303) dengan bahasan utama mengenai Farmakoterapi
Sirosis Hepatik.
Penyusunan karya ilmiah ini selain bertujuan untuk memenuhi tugas yang telah
dibebankan kepada kami, juga disusun guna memberikan pengetahuan serta tambahan
informasi kepada pembaca sekalian.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan naskah akademik ini sehingga dapat tersusun semaksimal mungkin.
Kami sadar bahwa naskah akademik ini masih sangat jauh dari kriteria sempurna.
Oleh sebab itu, semua kritik dan saran yang bersifat positif senantiasa kami harapkan
guna perbaikan dan peningkatan dalam penyusunan naskah akademik berikutnya.
Wassalamualaikum Wr. Wbr.

Surabaya, 17 Desember 2012

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar isi ii
Anatomi-Fisiologi Hepar 1
Anatomi dan Histologi Hepar 1
Fisiologis Hepar 4
Vaskularisasi Hepar 5
Etiologi-Patofisiologi Sirosis 7
Etiologi Sirosis 7
Patogenesis Sirosis 7
Komplikasi sirosis dan terapi 10
Hipertensi portal 10
Ascites dan udema 14
Hepatik ensefalopati 19
Defek koagulasi 22
Data laboratorium 23
Studi kasus 26
Terapi hari ke 1 – 3 26
Terapi hari ke 3 - 6 35
Terapi hari ke 7 42
Skenario konseling pasien 48
Daftar pustaka 51

ii
ANATOMI FISIOLOGI HEPAR

A. Anatomi dan Histologi Hepar


1. Anatomi Hepar

Hepar merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat antara 1400-
1800 gram pada pria dan antara 1200 gram-1400grampada wanita, kira-kira ¼
berat tubuh. Konsistensinya kenyal,berwarna merah tua. Bagian-bagian hepar
diantaranya :
- Facies diaphragmatica
Licin, sesuai bentuk cekungan diafragma. Terbagi menjadi facies ventro
cranalis, facies dorsalis, dan facies dextra.
- Facies viisceralis atau caudalis
Mengandung lobus quadratus dan lobus caudatus yang dipisahkan oleh celah
berbentuk huruf H. Bagian celah yang melintang ditempati oleh porta hepatis
(hilus daripada hati) yang berisi ductus hepaticus, vena porta, dan arteri
hepatica propria.
Pembagian hepar secara anatomis dan fungsional adalah sebagai berikut :
- Anatomic Lobation
Terdiri dari lobus dextra yang besar, lobus sinistra yang kecil, dan 2 buah lobus
yang rudimenter.

1
- Functional lobation
Pembagian ini berdasarkan percabangan pembuluh darah dan ductus hepaticus.
Jadi disini tidak ada perbedaan fungsi dari masing-masing bagian hepar,
pembagian ini untuk kepentingan klinis/bedah. Hepar dibagi menjadi 2 lobus
yang hampir sama besar yaitu lobus dextra dan lobus sinistra hepatis.
- Anatomi permukaan
Letaknya sebagian besar tertutup kerangka thorax dan diafragma. Di sebelah
kanan batas cranial terletak di sebelah cranial dari batas caudal paru-paru
karena diafragma yang cembung ke cranial. Biopsi pada hepar (mengambil
sebagian kecil dari hepar) penting untuk mengetahui struktur dan fungsi
jaringan hepar dalam keadaan tidur, sehingga diagnosa penyakit lebih tepat.

2. Histologi Hepar

Terdapat kelompok-kelompok sel-sel yang memanjang dengan di sekitarnya


sinusoid yang berhubungan satu dengan yang lain. Di antara sel-sel hepar terdapat
kapiler empedu ke dalam dimana dikeluarkan sekresi empedu. Kapiler empedu
membentuk pembuluh empedu dari yang kecil sampai besar dan membentuk
ductus hepaticus dextra dan sinistra.
Sel-sel hepar mendapat darah dari cabang cabang arteria hepatica propria
dan vena porta yang telah bercampur di dalam sinusoid. Selanjutnya dari sinusoid
ke vena centralis dan terus ke vena hepatica dan akhirnya ke vena cava inferior.
Hepar diliputi jaringan ikat sebagai kapsula baru kemudian diliputi peritoneum

2
viceral. Porta hepatis merupakan tempat keluar masuknya pembuluh darah. Hepar
sendiri terdiri atas :
a. Parenchyma hepar
Parenchyma hepar sendiri terdiri atas sel-sel hepar (hepatosit) dan kapiler-
kapiler empedu (bile canaliculi). Hepatosit tersusun atas lempengan lempengan
setebal satu sel yang disebut lamina hepatis/hepatic plates dan merupakan
epitel kelenjar. Bentuk selnya polihidris dengan inti satu atau lebih dan
berbentuk bulat. Mempunyai nukleolus jelas, satu atau lebih. Sitoplasma
eosinofil mempunyai banyak organel dan inklusi di antaranya mitokondria,
reticulum endoplasma, apparatus golgi, RNA, lisosom, butir glikogen, dan
tetesan lemak.

Kapiler empedu dibentuk oleh selaput sel dari dua sel hepatosit yang
berdekatan, dindingnya memiliki mikrovili. Mengalirkan empedu ke arah
perifer lobuli dan kemudian ditampung ke dalam kanal dari Hering
(cholangiole). Intra-lobuler bile duct merupakan saluran empedu di dalam
lobuli hepar yang sudah mempunyai dinding sendiri berupa epitel selapis
pipih. Saluran ini tidak selalu ada.

3
b. Sinusoid
Merupakan sistem kapiler intra lobuler yang berisi darah campuran antara
darah arteri dan darah vena yang berasal dari cabang arteria hepatika dan
cabang dari vena porta, kemudian menyalurkan isinya ke dalam vena centralis.
Sinusoid memisahkan lamina hepatis satu dengan yang lain. Dinding sinusoid
terdiri atas 2 macam sel yaitu :
- Sel endotel
Merupakan sel pipih berinti gelap dan mempunyai sifat khusus, yaitu 1)
Selaput sel berlubang-lubang (fenestrated); 2) Hubungan antar sel tidak
lengkap; dan 3) Tidak terdapat basal membran. Sifat tersebut berfungsi
untuk meningkatkan efisiensi resorbsi dan sekresi.
- Sel Von Kupffer
Merupakan sel fagosit, berbentuk seperti bintang karena mempunyai
juluran-juluran sitoplasma yang menyusup di antara sel-sel endotel. Sel ini
berasal dari monosit.

B. Fisiologi Hepar
1. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah
penyerapan mereka dari saluran pencernaan.
2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing
lainnya.
3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein penting untuk
pembekuan darah serta mengangkut hormon tiroid, steroid, dan kolesterol dalam
darah.
4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.
5. Pengaktifan vitamin D yang dilaksanakan oleh hati bersama ginjal.
6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang, berkat adanya makrofag
residen.
7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang terakhir adalah produk penguraian yang
berasal dari destruksi sel darah merah yang sudah usang.

4
C. Vaskularisasi Hepar
Hati menerima darah dari dua sumber yaitu dari arteri hepatika dan vena porta.
Cabang dari kedua arteri hati dan vena porta hati membawa darah ke sinusoid hati, di
mana oksigen, sebagian besar nutrisi, dan zat beracun tertentu diambil oleh hepatosit.
Pada kondisi normal, darah mengalir dari hati menuju ke vena hepatica, kemudian ke
vena cava, jantung, dan arteri hepatika.
Pada hati, ada 3 saluran (triad portal) yaitu arteri hepatica, vena porta hepatica,
dan saluran empedu. Vena porta merupakan gabungan dari pembuluh darah yang
berasal dari usus, lambung, limfa, dan pancreas. Vena porta bersifat fungsional,
membawa darah dari lien dan usus (yang mengandung bahan-bahan yang telah
diserap usus) kecuali lemak (diangkut oleh pembuluh pembuluh limfa).

5
6
Darah masuk melalui vena porta, kemudian vena interlobularis. Darah
selanjutnya disaring saat melewati celah-celah sinusoid sinusoid, dan kemudian
berjalan menuju vena centralis, vena sublobularis, kemudian menuju vena hepatika,
dan kemudian masuk ke dalam vena cava inferior.

7
ETIOLOGI-PATOFISIOLOGI SIROSIS

A. Etiologi Sirosis
1. Konsumsi alkohol kronik
2. Infeksi kronik virus hepatitis tipe B, C, dan D
3. Penyakit metabolik hati
- Hemochromatosis
- Wilson’s disease
- α1-Antitrypsin deficiency
- Nonalcoholic steatohepatitis (fatty liver)
4. Cholestatic liver diseases
- Primary biliary cirrhosis
- Secondary biliary cirrhosis (Gallstone, infeksi parasitis)
- Primary sclerosing cholangitis
- Budd-Chiari’s syndrome
- Severe congestive heart failure and constrictive pericarditis
5. Obat-obatan dan herbal
Isoniazid, methyldopa, amiodarone, methotrexate, phenothiazine, estrogen,
anabolic steroids, black cohosh, Jamaican bush tea.

B. Patogenesis Sirosis
Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis virus
menjadi sirosis hepatis belum jelas. Patogenesis yang mungkin terjadi:
1. Mekanis
Hati mengalami nekrosis konfluen, kerangka retikulum lobulus hepar yang
mengalami kolaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya daerah parut
yang luas. Dalam kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan
hidup berkembang menjadi nodul regenerasi.
2. Teori imunologis
Mekanisme imunologis mempunyai peranan penting dalam hepatitis kronis. Ada 2
bentuk hepatitis kronis :
a. Hepatitis kronik tipe B
b. Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB

8
Pada respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk menyingkirkan
virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang mengandung virus merupakan
rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus sampai
terjadi kerusakan sel hati.
3. Kombinasi keduanya
Faktor genetik dan lingkungan yang menyebabkan kerusakan sel hati dapat
menyebabkan sirosis melalui respon patobiologi yang saling berhubungan, yaitu
reaksi sistem imun, peningkatan sintesis matriks dan abnormalitas perkembangan
sel hati yang tersisa.
Perlukaan terhadap sel hati dapat menyebabkan kematian sel, yang kemudian diikuti
terjadinya jaringan parut (fibrosis) atau pembentukan nodul regenerasi. Hal tersebut
selanjutnya akan menyebabkan gangguan fungsi hati, nekrosis sel hati dan hipertensi
portal.

9
KOMPLIKASI SIROSIS DAN TERAPI

Pada pasien sirosis hepatik terjadi kegagalan mikrosirkulasi hati akibat terjadinya
fibrosis, perlukaan, bentukan nodul dan kolateral yang menyebabkan hambatan aliran
darah ke dalam liver. Untuk mengimbanginya, liver akan membentuk nodul-nodul
(formasi nosul) dan pengaktifan pembuluh kolateral. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain:

A. Hipertensi Portal
1. Penyebab Hipertensi Portal
a. Kenaikan resistensi intrahepatik
Kerusakan sel hepatosit menyebabkan penggantian sel hepatosit dengan
jaringan ikat (fibrosis). Sehingga terjadi peningkatan resistensi hepatik yang
menyebabkan aliran darah yang akan masuk ke dalam hepar dan merembes
melalui sel hepatosit melalui pembuluh vena porta terhambat. Sehingga
tekanan dalam vena porta tinggi. Selain itu, perubahan formasi sel-sel hepatik
akan menyebabkan konstriksi pada sinusoid yang mengakibatkan peningkatan
resistensi hepatik.
b. Pembentukan kolateral
Akibat hambatan masuknya darah menuju hepar maka tubuh melakukan
mekanisme lain agar darah tetap dapat mengalir menuju jantung. Yakni dengan
pengaktifan kembali pembuluh darah yang tidak digunakan yang disebut
pembuluh kolateral. Aliran darah yang menuju ke hepar lajunya tetap tinggi
sehingga tekanan dalam vena porta tetap tinggi.
c. Kenaikan aliran darah portal
Akibat terhambatnya aliran darah yang akan masuk menuju hepar maka dalam
pembuluh portal tersebut akan terjadi aliran balik yang menyebabkan kenaikan
aliran darah portal yang pada akhirnya mengakibatkan hipertensi portal.
d. Vasodilatasi splanchnich
Akibat aliran balik dari hepar dalam vena porta maka tubuh melakukan
penyesuaian dengan melakukan vasodilatasi splanchnich. Hal ini menyebabkan
aliran darah menuju vena porta semakin meningkat dan mengakibatkan
tekanan di dalam vena porta tinggi.

10
2. Terapi Hipertensi Portal
Diberi -bloker non-selektif seperti propranolol dan nadolol. Kedua obat tersebut
menghambat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan menurunkan cardiac
output pembuluh darah arteri mesenterika.

3. Manifestasi Klinis Hipertensi Portal


a. Kolateral pada dinding abdomen
Akibat adanya pembuluh kolateral pada dinding abdomen pasien, maka bagian
abdomen pasien akan terlihat seperti bentukan jaring laba-laba.
b. Varises esofagus dan gaster
Akibat tingginya tekanan dalam vena porta maka tubuh melakukan adpatasi
dengan melakukan vasodilatasi agar hipertensi portal dapat diatasi. Sehingga,
vena dari eosophagus dan gaster mengalami dilatasi atau yang disebut dengan
varises. Varises dapat terjadi bila tekanan portal mencapai 8-10 mmHg dan
perdarahan varises dapat terjadi bila tekanan portal mencapai >12 mmHg.
Pembuluh vena merupakan pembuluh darah yang tipis sehingga rawan terjadi
bleeding bila ada tekanan yang tinggi. Gambaran klinis dari terjadinya bleeding
akibat pecahnya varises adalah terjadinya hematemesis (muntah darah) atau
melena (berak darah).
Terapi yang dilakukan untuk menangani varises ini dibagi menjadi 3 yakni
primary prophylaxis, treatment of acute variceal hemorrhage, dan secondary
prohylaxis.
Primary prophylaxis dilakukan agar tidak terjadi variceal hemorrhage yang
dapat menyebabkan GI bleeding. Terapi utama pada primary prophylaxis
dipilih -bloker non-selektif (propranolol dan nadolol). Pada small varises
sebaiknya diberi -bloker non-selektif. Sedangkan pada pasien dengan large
varises dapat diberi -bloker non-selektif dan atau EVL (Endoscopic Variceal
Ligation). Dosis untuk propranolol adalah 20 mg 2x sehari sedangkan untuk
nadolol adalah 40 mg 1x sehari. Terapi kedua obat tersebut tidak boleh
diberikan pada pasien asma, pasien yang mengalami IDDM (Insulin Dependent
Diabetes Mellitus). EVL adalah metode endoskopi untuk mengetahui lokasi
terjadinya varises lalu varises tersebut diikat dengan band rubber. Kemudian
48-72 jam kemudian akan terjadi obliterasi varises yang telah diikat tersebut.

11
Terapi untuk mengatasi acutevariceal hemorrhage sebagai berikut yang
pertama penggantian cairan dan darah yang hilang dengan koloid atau
kristaloid seperti infus NS, RL dan RCP (Red Cell Packed) atau whole blood.
Tujuannya yakni untuk menjaga stabilitas hemodinamik tubuh dan
mengembalikan sistem koagulasi hingga tercapai Hb 8 g/dL, Tekanan sistolik
90-100 mmHg dan denyut jantung <100 bpm. Lalu, pasien diberi octreotide
atau vasopressin. Vasopressin memiliki efek samping yang lebih banyak
dibanding octreotide maka lebih dianjurkan menggunakan octreotide dibanding
dengan vasopressin. Dosis terapi yang dianjurkan adalah 50 µg/ jam hingga 5
hari setelah bleeding secara i.v. infus. Selain diberi vasokonstriktor, pasien juga
diberi antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi oportunistik dan
menurunkan insidensi rebleeding. Antibiotik yang digunakan adalah
Norfloxacim p.o 2x 400 mg sehari atau ciprofloksasin i.v. Langkah selanjutnya
adalah dilakukan endoskopi untuk mengetahui apakah bleeding terjadi akibat
variceal hemorrhage. Selain untuk diagnosis endoskopi juga dapat
dimanfaatkan sebagai terapi yakni EVL dan sclerotherapy. Berikut algoritma
untuk pengatasan acute variceal hemorrhage:

12
Bila telah diketahui penyebab GI bleeding maka pengobatan berikutnya dapat
diputuskan seperti pada gambar diatas. Bila hemorrhage tetap terjadi setelah
diberi obat vasoaktif maupun dilakukan tindakan EVL/schlerotherapy maka
pilihan pengobatan selanjutnya yakni dilakukan TIPS (Transjuglar Intrahepatic
Portosystemic Shunt). Berikut ilustrasi metode TIPS :

Terapi untuk secondary prophylaxis bertujuan untuk mencegah rebleeding.


Terapinya antara lain kombinasi -bloker non selektif dan EVL atau -bloker
non selektif dan isosorbid mononitrat bagi pasien yang tidak bisa dilakukan
EVL. Fungsi digunakannya -bloker non selektif selain untuk menurunkan
cardiac output dan menghambat vasodilatasi juga untuk menunda pembentukan
varices sebelum obliterasi varises pada terapi EVL. Dosis -bloker non
selektif : Propranolol 20 mg 2x sehari, nadolol 20 mg 1x sehari. Dosis dapat
ditingkatkan hingga mencapai heart rate 55-60 bpm atau hingga dosis
maksimum. Untuk mengatasi hemorrhage akibat gastric varices dapat
dilakukan dengan metode balloon tamponade untuk kontrol perdarahan
sebelum diputuskan untuk dilakukan tindakan tertentu seperti TIPS.

13
c. Gastropati hipertensi portal
d. Splenomegali dan hipersplenisme
Splenomegali terjadi akibat aliran balik dari vena porta menuju masing-masing
cabang pembuluh portal salah satunya vena splenic. Untuk penyesuaian spleen
dengan aliran darah balik yang terjadi maka spleen akan mengalami
pembesaran untuk dapat menampung sel darah merah, putih dan trombosit
sehingga spleen mengalami splenomegali dan aktivitas yang terjadi akibat
splenomegali ini disebut dengan hipersplenism. Hipersplenisme ini ditunjukkan
dengan terjadinya anemia, leukopenia dan trombositopenia. Hal ini terjadi
karena spleen berfungsi sebagai filter sel darah merah, putih dan trombosit.
Lalu spleen melakukan destruksi sel darah merah menjadi bilirubin. Bilirubin
akan dibawa oleh albumin menuju saluran empedu. Tetapi pada penderita
sirosis jumlah albumin berkurang sehingga bilirubin akan ikut dengan aliran
darah sistemik yang akhirnya mengakibatkan jaundice.

B. Ascites dan Udema


Pendekatan untuk mengetahui penyebab ascites dan udema antara lain:
a. Teori Overflow
Albumin merupakan senyawa yang disintesis oleh hepar dan berfungsi untuk
menjaga tekanan onkotik plasma. Produksi albumin menurun menyebabkan
penurunan resistensi vaskular sistemik dan peningkatan permeabilitas vaskular
sehingga cairan plasma dalam pembuluh darah merembes keluar menuju ruang
interstisial yang seiring dengan berjalannya waktu akan menumpuk dan
menyebabkan ascites dan udema. Ascites terjadi bila penumpukan cairan terjadi di
ruang interstisial abdomen sedangkan udem bila penumpukan cairan terjadi di
kaki.
b. Teori Underfilling
Untuk mengimbangi terjadinya hipertensi portal maka endotel pembuluh darah
akan melepaskan NO agar vena mengalami vasodilatasi. Tetapi NO tidak hanya
diproduksi oleh pembuluh vena tetapi juga arteri sehingga vasodilatasi terjadi di
seluruh tubuh yang mengakibatkan perfusi darah mengalami penurunan termasuk
penurunan perfusi darah ke ginjal. Baroresptor ginjal yakni sel juxtaglomerular
menangkap sinyal tersebut dan mengaktifkan sistem RAA. Sistem RAA
menstimulasi korteks adrenal untuk sekresi renin, renin berfungsi untuk

14
mengubah angiotensinogen jadi angiotensin I (AT I). AT I diubah menjadi AT II
oleh ACE (Angiotensin Converting Enzyme). AT II merupakan vasokonstriktor
dan dapat menstimulasi sekresi aldosteron. Aldosteron berfunngsi untuk retensi
natrium. Natrium direabsorpsi, begitu pula dengan air. Cairan dalam pembuluh
darah semakin banyak tetapi jumlah albumin menurun. Sehingga, cairan dalam
pembuluh darah merembes keluar menuju ruang interstisial dan tidak berhenti
membasahi rongga peritoneal.
Terapi untuk mengatasi ascites dan udema adalah dengan mengontrol ascites,
untuk mencegah atau mengurangi gejala yang berhubungan dengan ascites seperti
dyspnea, nyeri abdominal, dan distensi abdominal serta untuk mencegah komplikasi
yang membahayakan nyawa seperti SBP dan sindrom hepatorenal.
Terapinya antara lain secara non farmaskologis dengan membatasi konsumsi
garam Na 2 gram/hari. Untuk terapi secara farmakologis adalah dengan terapi obat
diuretik baikmonoterapispironolakton atau terapi kombinasi spironolakton (100
mg/hari) dan furosemid (40 mg/hari). Tempat kerja furosemid dan spironolakton
berbeda, furosemid bekerja di loop of henle sedangkan spironolakton bekerja di
tubulus distal. Sehingga bila dikombinasi maka cairan ascites yang dikeluarkan lebih
banyak bila dibandingkan dengan penggunaan monoterapi. Bila volume ascites
mencapai >5 L dan asites refrakter dianjurkan terapi berupa paresentesis. Asites
refrakter merupakan asites yang tidak bisa diterapi dengan terapi farmakologi
sehingga diperlukan terapi paresentasis. Untuk asites refrakter yang volume
cairannya <5 L, saat paresentesis diberi juga plasma ekspander agar volume cairan
dalam plasma tetap terjaga. Bila terapi dengan paresentesis tidak dapat mengatasi
asites yang terjadi maka dapat dilakukan TIPS.
Untuk mengetahui terjadinya ekskresi cairan ascites adalah dengan mengukur
berat badan pasien, mengukur lingkar perut pasien.
Komplikasi yang disebabkan oleh ascites antara lain:
a. SBP (Spontaneous Bacterial Peritoneal)
SBP adalah infeksi dari cairan ascites karena cairan ascites merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri. SBP merupakan komplikasi yang banyak
berkembang pada pasien rawat inap dengan penyakit liver ringan, sirosis, dan
ascites. Mekanisme perkembangan SBP berasal dari translokasi bakteri.
Penurunan motilitas saluran gastrointestinal dengan gangguan aliran flora normal,
mengubah struktur saluran gastrointestinal, dan menurunkan kombinasi imunitas

15
lokal dan humoral sehingga menyebabkan aliran bebas mikroorganisme dan
endotoksin ke dalam nodes mesenterik getah bening. SBP biasanya disebabkan
karena Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, dan pneumococci. Gejala dan
tanda-tanda SBP antara lain demam, nyeri abdominal, abdominal terasa kenyal
saat ditekan (memantul kembali), ensepalopati, kegagalan ginjal, asidosis,
leukositosis perifer, dan perubahan status mental. Paralitik ileus, hipotensi, dan
hipotermia adalah indikator terburuk. 13% pasien dengan SBP tanpa gejala. Untuk
alasan ini, diagnosa harus dilakukan dengan menganalisa cairan ascites. Diagnosa
SBP dilakukan ketika memungkinkan dilakukan kultur bakteri cairan ascitis dan
sel cairan ascitis yang terukur menunjukkan nilai absolut polimorfonuklear
(PMN) jumlah leukosit lebih tinggi atau sama dengan 250 sel/mm3.
Terapi SBP antara lain untuk pencegahan timbulnya SBP: Pasien diberi
Ofloksasin PO 2x400 mg atau Cefotaxim 2 gram tiap 8 jam atau Sefalosporin
generasi 3 yang lain IV (yang merupakan DOC) atau Siprofloksasin IV 2x200 mg
selama 2 hari  PO 2x500 mg selama 5 hari. Bila cairan ascites mengandung
PMN > 250 sel/mm3 dan indikasi terjadi SBP maka pasien diberi albumin 1,5
g/kg BB dan dilanjutkan 1 g/kg BB pada hari ke-3 terapi.
b. Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal (HRS) merupakan komplikasi umum yang serius dari sirosis
dimana karakteristiknya adalah melemahnya fungsi renal dan gangguan pada
sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoaktif. Pada sirkulasi renal terdapat tanda
kenaikan resistensi vaskular pada saat total resistensi vaskular sistemik menurun.
Penurunan resistensi vaskular sistemik ini kebanyakan disebabkan oleh
vasodilatasi sirkulasi splanchnic dan vasokonstriksi non-splanchnic. Tanda-tanda
patofisiologi HRS adalah vasokonstriksi pada aliran ginjal. Struktur ginjal pada
umumnya utuh. Mekanisme vasokonstriksi belum sepenuhnya diketahui dan
mungkin melibatkan kedua proses tersebut, yaitu faktor kenaikan vasokonstriktor
dan penurunan vasodilator pada sirkulasi renal. Teori patogenesis HRS yang
diterima saat ini adalah terjadinya vasodilatasi arteri yang menyebabkan
hipoperfusi renal sehingga terjadi manifestasi ekstrem pemenuhan sirkulasi arteri
pada pasien sirosis. Pemenuhan arteri ini menghasilkan baroreseptor progresif
yang dipengaruhi oleh sistem vasokonstriktor (seperti renin angiotensin dan
sistem saraf simpatik), yang menyebabkan vasokonstriksi bukan hanya pada
sirkulasi renal tapi juga vaskular lainnya. Area splanchnic dapat terbebas dari efek

16
vasokonstriksi dan tanda vasodilatasi dapat terlihat, hal ini karena adanya stimuli
vasodilator lokal yang sangat poten. Pada tahap awal perkembangan ascites,
perfusi renal perlu dipantau pada keadaan normal atau mendekati normal
disamping aktifitas berlebihan dari sistem vasokonstriksi oleh kenakan aktifitas
faktor vasodilatasi renal. Perkembangan hipoperfusi renal membawa HRS yang
terjadi merupakan hasil dari aktifasi maksimal faktor sistem vasokonstriktor yang
tidak dapat dinetralkan oleh faktor vasodilatasi, akibat penurunan aktifitas faktor
vasodilator dan atau kenaikan produksi vasokonstriktor intrarenal.
Teori lain menyebutkan bahwa vasokonstriksi renal merupakan hasil dari
hubungan langsung antara liver dan ginjal tanpa dipengaruhi oleh gangguan
hemodinamik sistemik. Hubungan keduanya antara lain faktor vasodilatasi liver,
sintesis yang dapat mengurangi resiko kegagalan liver atau respon hepatorenal
yang menyebabkan vasokonstriksi renal. (Gines, Pere, et. al., June 1997)

17
Berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic, kriteria hepatorenal sindrom
antara lain :
a. Kriteria utama
- Rendahnya nilai GFR yang ditandai dengan nilai serum kreatinin yang lebih
besar dari 1,5 mg/dl atau dalam 24 jam klirens kreatinin kurang dari 40
ml/menit
- Tidak adanya syok, selama sakit terjadi infeksi bakteri, kehilangan cairan,
dan treatment terakhir menggunakan obat-obatan nefrotoksik
- Tidak ada bukti secara berkala mngenai fungsi renal (penurunan serum
kreatinin hingga 1,5 mg/dl atau kurang, atau kenaikan klirens kreatinin
menjadi 40 ml/menit atau lebih) yag diikuti efek diuretik dan ekspansi
volume plasma 1,5 liter
- Proteinuria lebih rendah dari 500 mg/hari dan tidak ada ultrasonografi
sebagai penyebab obstruksi uropati atau penyakit parenkim ren

18
b. Kriteria tambahan
- Volume urin kurang dari 500 ml/hari
- Natrium urin kurang dari 10 mEq/liter
- Osmolalitas urin lebih besar dari osmolalitas plasma
- Sel darah merah pada urin kurang dari 50 tiap bagiannya
- Konsentrasi serum natrium kurang dari 130 mEq/liter
(Gines, Pere, Et. Al., June 1997)
c. Sindrom Hepatopulmoner
Sindroma ini jarang terjadi pada pasien sirosis. Akibat penumpukan cairan di
rongga peritoneal dan rongga abdomen maka terjadi hambatan aliran darah di
paru-paru. Sehingga, aliran darah yang melewati paru-paru menurun, ambilan
oksigen oleh darah dari alveoli berkurang yang pada akhirnya menyebabkan
pasien mengalami kesulitan bernafas, terjadi sesak nafas atau nafas pendek.
Terapi yang dapat dilakukan adalah suplementasi oksigen dan ekskresi cairan
ascites.

C. Hepatik Ensefalopati (HE)


HE terdiri dari beberapa tipe antara lain tipe A yang diinduksi oleh kegagalan akut
liver, tipe B berkaitan dengan jalur portal sistemik tanpa berhubungan dengan
kegagalan akut liver, dan tipe C adalah HE terjadi pada pasien dengan sirosis. HE
tipe A gejalanya seperti terjadinya agitasi, kebingungan, seizure, dan koma.
Penyebab HE antara lain:
1. Peningkatan jumlah amonia
Protein didalam usus akan dirombak oleh bakteri di usus dan menghasilkan
amonia. Amonia akan ikut diabsorbsi dan mengalami metabolisme di hepar.
Hepar mengalami kerusakan sehingga hepar kehilangan fungsinya sebagai
detoksifikan. Akibatnya amonia akan ikut dalam aliran darah sistemik dan
mencapai otak. Di otak, amonia merupakan toksikan, memprekursori
pembentukan energi dan menyebabkan ensefalopati.
2. Perubahan keseimbangan kadar AAA : BCAA
Kadar normal AAA (Aromatic Amino Acid) : BCAA (Branched Chain Amino
Acid) adalah 4:2 atau 6:1. Dengan adanya Amonia diotak, maka akan terjadi
stimulasi pembentukan energi di otak melalui glukoneogenesis dari asam amino
BCAA. Kadar BCAA menurun sedangkan kadar AAA tetap atau meningkat

19
karena clearance AAA di hepar menurun. AAA merupakan prekursor dari false
NT (Neurotransmitter) seperti GABA, Benzodiazepin dan trasmitter depresan.
Perubahan kadar ke 2 asam amino ini menyebabkan perubahan perilaku dan
berpeluang menyebabkan HE.
3. Inflamasi
Dismetabolime protein bukan satu-satunya mekanisme yang dapat menjelaskan
perubahan neurologi pada pasien HE. Sepsis diketahui sebagai faktor yang
mempercepat dekompensasi gangguan liver pada pasien sirosis. Telah dilakukan
studi mengenai efek induksi hiperamonemia pada pasien dengan sirosis yang
mengalami systemic inflamatory response syndrome (SIRS). Pasien SIRS yang
diberi larutan asam amino oral yang menginduksi hiperamonemia memberikan
hasil tes psikometri yang buruk. Saat SIRS berhasil diterapi, jumlah marker
inflamasi tumor necrosis factor (tnF), interleukin (il) 1 dan il6 kembali normal.
Sistem imun periferal bekerja sama dengan otak dalam merespon infeksi dan
inflamasi. Astrosit dan sel-sel mikroglia melepaskan sitokin dalam merespon
perlukaan atau inflamasi. Jumlah tnF dalam darah akan meningkat selama
inflamasi yang menstimulasi sel-sel mikroglia untuk melepaskan sitokin, il1, dan
il6. tnF juga membahayakan endotel BBB dan il1 berefek pada integritas bagain
glial dari BBB. Baik tnF dan il6 meningkatkan permeabilitas fase cair yang
berada dalam sel endotel otak, dan tnF juga meningkatkan difusi amonia ke dalam
astrosit.
Faktor resiko dari HE:
Gangguan liver ringan, akut, hingga kronis serta portosystemic venous shunting
merupakan faktor yang menyebabkan berkembangnya HE. Semakin tinggi level
gangguan liver, semakin besar peluang berkembangnya HE. Pasien dengan sirosis
yang memiliki minimal HE (yang disebut HE subklinik) memiliki resiko
berkembangnya HE yang jelas. Perpindahan dari transjugular intrahepatic
portosystemic shunt (TIPS) juga merupakan faktor resiko. Pasien yang memiliki
diabetes melitus atau malnutrisi sepertinya berkembang ke arah HE lebih sering
dengan sirosis. HE merupakan faktor penting dari kegagalan liver akut.
Hiperamonemia ringan (150-200 mmol/L) dengan kegagalan liver akut dapat
menyebabkan edema serebral yang berkontribusi menjadi HE. Pasien dengan
trombosis vena portal dan portosystemic shunting yang luas tanpa gangguan

20
parenkim liver yang signifikan memiliki kesempatan berkembangnya HE. Faktor
resiko lainnya yang dapat mempercepat terjadinya HE antara lain:
- Dehidrasi
- Pendarahan gastrointestinal
- Infeksi (terutama spontaneous bacterial peritonitis, saluran urin, kulit, dan
pulmoner)
- Konstipasi
- Diet protein berlebihan
- Obat-obat yang bekerja pada sistem saraf pusat
- Hipokalemia
- Kegagalan ginjal
- Hiponatremia (serum natrium kurang dari 125 mEq/L)
- Operasi
- Transjugular intrahepatic portosystemic shunt
- Perlukaan berat pada liver (hepatitis akut, obat yang menginduksi perlukaan pada
liver)
- Hepatoseluler karsinoma
- Gangguan sambungan liver
Terapi HE yang biasa diberikan antara lain:
a. Laktulosa
Laktulosa merupakan disakarida laksatif yang terhidrolisis menjadi senyawa yg
dapat menarik air kedalam colon antara lain asam asetat, asam formiat
yangmenstimulasi defekasi. Selain itu hasil hidrolisis laktulosa dapat menurunkan
pH kolon sehingga terjadi konversi NH3 jadi ion ammonium (NH4+) yang
diekskresi melalui feces. Dosis 2-3 x 15-30 mL/hari atau dapat ditingkatkan.
b. Antibiotik
Katabolisme protein menjadi amonia dilakukan oleh bakteri di usus. Dengan
pemberian antibiotik maka dapat menghambat katabolisme protein menjadi
amonia. Antibiotik yang biasa digunakan antara lain kanamisin, neomisin,
metronidazol, vancomisin, dan rifaximin. Kanamisin memiliki bioavailabilitas
yang buruk sehingga kanamisin tidak/sedikit diabsorbsi dan bekerja secara lokal
di usus. Neomisin menghambat bakteri amoniagenik koliform yang menghasilkan
urease (enzim pengubah urea menjadi amonia). Efek yang tidak diinginkan pada
penggunaan neomisin adalah adanya komponen sulfat yang menyebabkan efek

21
ototoksik dan nefrotoksik serta malabsobsi intestinal. Metronidazol dan oral
vancomisin digunakan secara terbatas. Rifaximin, turunan antibiotik rifamisin
nonabsorbable paling banyak digunakan untuk terapi secara luas. Obat ini
memiliki toksisitas dan efek samping rendah karena absorbsi gastrointestinalnya
minimal. Rifaximin meningkatkan kecepatan penerimaan sebagai terapi utama
atau dengan penambahan laktulosa. Dosis yang dianjurkan adalah 1200 mg/hari.
Selain terapi farmakologi, terapi non-farmakologi juga dilakukan yakni dengan
pembatasan konsumsi protein 10-20 g/hari.

D. Defek Koagulasi
Penyebab terjadinya defek koagulasi darah antara lain :
a. Defisiensi Vitamin K
Vitamin K adalah koenzim dalam proses sintesis faktor pembekuan darah antara
lain II, VII, IX dan X.Vit. K merupakan senyawa yang bersifat lipofil dan agar ia
dapat diabsorbsi perlu bantuan empedu untuk emulsifikasi. Tetapi, empedu tidak
dapat terbentuk karena empedu berasal dari metabolisme kolesterol. Sedangkan
sel-sel hepar tidak dapat melakukan metabolisme tsb. sehingga pada akhirnya vit.
K tidak dapat diabsorbsi dan faktor II, VII, IX dan X tidak terbentuk. Bila ada
bleeding maka tidak akan terhenti.
b. Sintesis faktor pembekuan darah
Faktor pembekuan darah diproduksi oleh hepar. Sedangkan hepar pada pasien
sirosis mengalami kerusakan. Akibatnya faktor pembekuan darah tidak terbentuk.
c. Defisiensi bersihan hati
Fungsi normal hati salah satunya adalah metabolisme zat-zat yang sudah tidak
diperlukan oleh tubuh termasuk zat aktivator dan prokoagulan. Kedua senyawa ini
dapat mencegah proses koagulasi. Zak aktivator akan mengaktifkan plasminogen
menjadi plasmin yang menyebabkan fibrinolisis.

Selain komplikasi diatas, juga terjadi penurunan jumlah albumin akibat sel-sel di
hepar mengalami kerusakan. Sehingga fungsi normal liver untuk sintesis protein plasma
(termasuk albumin) menjadi berkurang atau menghilang. Terjadi palmar eritema dimana
tangan pasien berwarna lebih merah karena pengaktifan pembuluh kolateral.
Ginekomasti juga dapat terjadi pada pasien pria karena hormon androgen seperti
hormon testosteron tidak termetabolisme.

22
DATA LABORATORIUM

Tidak ada data laboratorium yang spesifik untuk diagnosis penyakit sirosis. Tapi dapat
digunakan gabungan beberapa data lab yang hasilnya saling mendukung untuk
diagnosis penyakit sirosis.
1. Albumin
Pada pasien sirosis, produksi albumin menurun karena sel hepar mengalami
kerusakan. Harga normal albumin : 3,3 – 5,5 g/dL
2. Protrombin time
Pada pasien sirosis, faktor pembekuan darah tidak terbentuk. Bila salah satu faktor
tidak terbentuk maka waktu protrombin (FII) menjadi lebih panjang. Harga normal
prothrombin time : 8,8-11,6 detik
3. Trombosit
Pada pasien sirosis, pasien dapat mengalami splenomegali sehingga jumlah
trombositnya berkurang dan mengalami trombositopeni. Harga normal : 150.000-
400.000/mm3.
4. Alkalin fosfatase dan GGT (Gamma Glutamyl Transpeptidase)
Peningkatan Alkalin fosfatase dan GGT terjadi karena perlukaan liver yang disertai
penyakit seperti sirosis bilier. Baik alkalin fosfatase maupun GGT merupakan
biomarker dari berbagai macam penyakit hati yang mempengaruhi jaringan tubuh
yang lain. Kombinasi peningkatan kadar alkalin fosfatase dan GGT dapat diduga
akibat kerusakan hepar. Harga normal :
Wanita : 30-100 U/L (0.5-1.67 mkat/L SI units)
Pria : 45-115 U/L (0.75-1.92 mkat/L SI units)
5. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase)/ AST (Aspartat
Aminotransferase)
Kadarnya meningkat pada :
- Peningkatan tinggi ( > 5 kali nilai normal) : kerusakan hepatoseluler akut, infark
miokard, kolaps sirkulasi, pankreatitis akut, mononukleosis infeksiosa.
- Peningkatan sedang ( 3-5 kali nilai normal ) : obstruksi saluran empedu, aritmia
jantung, gagal jantung kongestif, tumor hati (metastasis atau primer), distrophia
muscularis.
- Peningkatan ringan ( sampai 3 kali normal ) : perikarditis, sirosis, infark paru,
delirium tremeus, cerebrovascular accident (CVA).

23
Kadar normal SGOT :
Pria : 10-40 U/L
Wanita : 9-25 U/L
6. SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)/ALT (Alanin Transferase)
Kadarnya meningkat pada :
- Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral akut, nekrosis hati
(toksisitas obat atau kimia).
- Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif,
sumbatan empedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard
(SGOT>SGPT).
- Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis Laennec,
sirosis biliaris.
Kadar normal SGPT :
Pria : 10-55 U/L
Wanita : 7-30 U/L
7. Bilirubin
Pada pasien sirosis, kadar bilirubin dalam darah meningkat.
Total = 0,3-1,0 mg/dL
Direct bilirubin (conjugated bilirubin) = 0,0-0,4 mg/dL
Indirect bilirubin (unconjugated bilirubin) = 0,1-1,0 mg/dL
8. Seromarker
Seromarker adalah serum yang menjadi penanda adanya virus dalam darah.
Misalnya seromarker untuk TB adalah ICT TB dan anti mycotec TB.
Pada Hepatitis B seromarkernya antara lain :
a. HBsAg dan anti HBs
Merupakan menifestasi pertama infeksi hepatitis B. HBsAg telah positif dalam
masa inkubasi, biasanya 2-6 minggu sebelum timbulnya gejala klinis dan
titernya akan meningkat setelah tampak gejala klinis.
Pada kondisi akut HbsAg hilang dalam waktu beberapa minggu atau bulan,
kemudian timbul Anti-HBs. Bila HBsAg tidak hilang, dan persisten lebih dari 6
bulan maka akan menjadi Hepatitis B kronik atau penderita akan menjadi
pembawa virus (carrier).

24
b. HBcAg dan Anti HBc
HBcAg tidak terdapat bebas pada serum, dan Anti HBc adalah antibody
terhadap HBcAg. Anti HBc akan ditemukan sebelum atau sesudah ada gejala
klinik di mana titernya akan segera meninggi. Pada masa jendela, Anti HBc
merupakan pertanda yang penting dari Hepatitis B Akut. Anti HBc merupakan
antibody yang ditemukan seumur hidup, namun titernya akan menurun sesuai
dengan waktu.
c. HBeAg dan Anti Hbe
HBeAg timbul bersama-sama bersama-sama atau segera setelah timbulnya
HBsAg. HBeAg menandakan invektivitas yang tinggi pada penderita, karena
ditemukannya HBeAg menunjukkan jumlah virus yang banyak dan aktivitas
DNA polymerase yang tinggi. Bila HBeAg masih ada lebih dari 10 minggu
sesudah timbulnya gejala klinik, menunjukkan penyakit berkembang menjadi
kronis.
d. HBV DNA
Seperti HBeAg, HBV DNA adalah penanda bahwa ada replikasi HBV yang
masih aktif. Ditemukan dan hilang dari serum kira-kira bersamaan dengan
HBeAg.

25
STUDI KASUS

Data Pasien
Tn. HR masuk rumah sakit (MRS) tgl 1 Okt 2012 dengan keluhan mual dan panas sejak
2 hari yang lalu. Pasien datang dengan kondisi perut membesar, cemas, dan gelisah.
Usia : 57 th
BB : 60 kg
TB : 165 cm
Pekerjaan : wiraswasta
Riwayat Penyakit
Hepatitis B (2009) setelah membaik tidak melakukan kontrol
Sirosis Hepatik (2011)
Diagnosa
Sirosis hepatik, asites, hepatik ensefalopati

Data Klinik (1 Okt 2012)


TD 110/70 mmHg RR 24 bpm
Temp 38,5oC Nadi 80 bpm
GCS 345 Nyeri perut/ rasa tidak nyaman +

Data Lab (1 Okt 2012)


Leukosit 14.000/ mm3 SGOT 50 IU
Hematokrit 24,0% SGPT 75 IU
Hemoglobin 9,7 g/dL GDA 155 mg/dL
Trombosit 150.000/µL Natrium 136 mmol/L
Albumin 2,4 g/dL Kalium 4,8 mmol/L
Bilirubin total 1,8 mg/dL Kreatinin 1,5 mg/dL
Bilirubin direk 0,79 mg/dL BUN 40 mg/dL
Bilirubin indirek 1,01 mg/dL LED 40 mm/jam
HbsAg +

26
Terapi Obat yang Didapat
1. Inf D5 : Comafusin 1:1
Infus D5 : Comafusin terdiri dari dekstrosa 5% dan comafusin dengan
perbandingan yang sama. Comafusin terdiri dari Asam amino rantai cabang
(AARC) dosis tinggi 50 % (Isoleucin, Leucin, Valin), asam amino lainnya, xylitol,
vitamin, dan elektrolit. Comafusin diberikan sebagai nutrisi parenteral,
meningkatkan kadar AARC pada pasien yang menderita Hepatik Ensefalopati
(HE). Pada penderita HE terjadi ganguan keseimbangan asam amino yang
menyebabkan perubahan neurotransmitter. Asam Amino Aromatik (AAA)
meningkat pada HE karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan Asan
Amino Rantai Cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang
terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik. Termasuk AAA adalah
metionin, fenilalanin, tirosin. Sedangkan dekstrosa digunakan untuk nutrisi
parenteral bagi pasien.

2. Antasida PO 3 x C I
No Keterangan Antasida PO 3 x C I
1. Klasifikasi Obat lokal saluran cerna
2. Kegunaan pada Menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk
Tn. HR mencegah terjadinya stress ulcer.
3. Mekanisme kerja Menetralkan asam lambung dan meningkatkan pH
sehingga menurunkan aktivitas perubahan pepsinogen
menjadi pepsin.
4. Efek samping Sindroma susu alkali, batu ginjal, neurotoksisitas,
diare
5. Interaksi Dapat mengurangi absorpsi INH, penisilin, tetrasiklin,
nitrofurantoin, asam nalidiksat, sulfonamid,
fenilbutazon, digoksin, dan klorpromazin.
Antasid sistemik dapat meningkatkan pH urin,
sehingga menurunkan ekskresi amin misalnya kina dan
amfetamin serta meningkatkan ekskresi salisilat.
6. Sediaan Tablet dan suspensi PO. Umumnya diminum sebelum
makan.

27
3. Ranitidin IV 2 x 50 mg
No Keterangan Ranitidin IV 2 x 50mg
1. Klasifikasi Antagonis reseptor H2
2. Kegunaan pada Mencegah terjadinya stress ulcer
Tn. HR
3. Mekanisme kerja Menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel
sehingga produksi asam lambung dapat dikurangi.
4. Efek samping Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare,
konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido,
ddan impoten.
5. Interaksi Ranitidin dapat menghambat absorpsi diazepam.
Penggunaan ranitidin bersama antasid atau kolinergik
sebaiknya diberikan dengan selang waktu 1 jam.
Nifedipin, warfarin, teofilin dan metoprolol dilaporkan
berinteraksi dengan ranitidin
6. Aspek Bioavailabilitas per oral sekitar 50% dan meningkat
biofarmasetik & pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya 1,7-3 jam
farmakokinetik pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua,
pasien gagal ginjal, dan pasien penyakit hati. Kadar
puncak dalam plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah
penggunaan 150 mg ranitidin secara oral. Ranitidin
dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal,
sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang
diberikan IV dan 30% dari PO diekskresi dalam urin
dalam bentuk asal.

4. Kanamisin PO 3 x 500 mg
No Keterangan Kanamisin PO 3 x 500mg
1. Klasifikasi Antibiotik golongan aminoglikosida
2. Kegunaan pada Tn. Untuk mengatasi komplikasi Hepatik Ensefalopati
HR (HE)
3. Mekanisme kerja Bekerja secara lokal di usus dengan menghambat
sintesis protein bakteri sehingga bakteri mengalami

28
kematian dan protein tidak diuraikan menjadi NH3.
4. Efek samping Alergi : rash, eosinofilia, demam, diskrasia darah,
angioderma, dermatitis eksfoliatif, stomatis dan syok
anafilaksis. Reaksi iritasi dan toksik : rasa nyeri,
ototoksik, nefrotoksik. Perubahan biologik :
gangguan pada pola mikroflora tubuh dan gangguan
absorpsi di usus.
5. Aspek Sukar diabsorpsi melalui saluran cerna. Pemberian
biofarmasetik & per oral hanya dimaksudkan untuk mendapatkan efek
farmakokinetik lokal dalam saluran cerna. Masa paruh untuk ginjal
normal 0,7-14 jam (kreatinin serum , 0,5 mg/100 ml)
dan pada keadaan ginjal yang terganggu 4-70 jam.
Ikatan protein rendah (< 30%).
6. Sediaan Sediaan sistemik (IV/IM) dan topikal (PO).
Untuk suntikan tersedia larutan dalam vial ekuivalen
dengan basa kanamisin 500mg/2mL dan 1 g/3 mL
untuk orang dewasa. Vial bubuk berisi 1 g dan 0,5 g.
untuk pemberian oral tersedia bentuk kapsul/tablet
250 mg dan sirup 50 mg/mL. Dosis oral untuk orang
dewasa dapat mencapai 8 g sehari.
7. Monitoring terapi Status mental, diare, fungsi renal, tanda ototoksisitas.

5. Laktulosa PO 3 x C II
No Keterangan Laktulosa PO 3 x C II
1. Klasifikasi Pencahar garam dan pencahar osmotik, merupakan
disakarida semisintetik
2. Kegunaan pada Tn. Mengatasi komplikasi Hepatik Ensefalopati (HE)
HR
3. Mekanisme kerja - Merupakan disakarida laksatif yang terhidrolisis
menjadi senyawa yg dapat menarik air kedalam
colon sehingga menimbulkan stimulasi untuk
defekasi.
- Menurunkan pH kolon karena saat terhidrolisis

29
laktulosa diubah menjadi asam laktat, asam asetat
dan asam formiat. Ke-3 asam ini merupakan
sumber H+ sehingga NH3 dikonversi menjadi NH4+
(ion amonium) yang dapat diekskresi melalui feces.
4. Kontra indikasi Pasien dengan dugaan apendisitis, obstruksi usus atau
sakit perut yang tidak diketahui penyebabnya.
Pasien dengan mual, muntah, spasme, kolik atau
berbagai gangguan abdomen lain.
5. Mekanisme kerja Sifat hidrofilik / daya osmotik menyebabkan
peristalsis usus meningkat secara tidak langsung. Air
ditarik ke dalam lumen usus dan tinja menjadi lembek
setelah 3-6 jam.
6. Efek samping Perut kembung disertai flatulensi, perut merasa tidak
nyaman dan kram, diare, mual, muntah.
7. Sediaan Sirup. Diminum bersama sari buah, atau air dalam
jumlah cukup banyak. Dosis pemeliharaan harian
biasanya 7-10 g dosis tunggal maupun terbagi. Untuk
keadaan hipertensi portal dan ensefalopati hepar dosis
pemeliharaan biasanya 3-4 kali 20-30 g (30-45 mL)
sehari; dosis ini disesuaikan agar defekasi 2-3 kali
sehari dan tinja lunak, serta pH 5,5.
8. Monitoring terapi frekuensi pengeluaran tinja (soft stool 2-3 kali sehari
pH 5-5,5), kesetimbangan elektrolit, status mental.

6. Furosemide IV 2 x 40 mg
No Keterangan Furosemide IV 2 x 40mg
1. Klasifikasi Diuretik kuat golongan sulfonamid
2. Kegunaan pada Tn. Dikombinasi dengan spironolakton, merupakan
HR diuretik kuat untuk mengatasi ascites.
3. Mekanisme kerja Menghambat kotransport Na+, K+, Cl- dan
menghambat reabsorpsi air dan elektrolit.Sehingga
cairan ascites dapat diekskresi.
4. Kontra indikasi Hipersensitif terhadap furosemid, sulfonilurea;

30
anuria; kekurangan elektrolit
5. Efek samping Rasa tidak enak di perut, hipotensi ortostatik,
gangguan saluran cerna, penglihatan kabur, pusing,
sakit kepala
6. Interaksi Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotoksik
seperti aminoglikosida dan antikanker sisplatin akan
meningkatkan risiko nefrotoksisitas.
Probenesid mengurangi sekresi diuretik ke lumen
tubulus sehingga efek diuresisnya berkurang.
Diuretik kuat dapat berinteraksi dengan warfarin dan
klorfibrat melalui penggeseran ikatannya dengan
protein.
7. Aspek Bioavailabilitas furosemid 65%. Terikat pada protein
biofarmasetik & plasma secara ekstensif.
farmakokinetik
8. Sediaan Injeksi 20 mg/amp 2 mL.
Dosis: 20-80 mg iv, 2-3 x sehari (CHF) sampai 250-
2000 mg oral/iv.
Injeksi secara IV harus diberikan secara perlahan,
kecepatan maksimum pemberian adalah 4 mg/menit.
9. Monitoring terapi Berat badan, lingkar perut, kadar kalium/ elektrolit
tubuh.

7. Spironolakton PO 1 x 100 mg
No Keterangan Spironolakton PO 1 x 100mg
1 Klasifikasi Diuretik hemat kalium antagonis aldosteron
2 Kegunaan pada Mengatasi ascites.
Tn. HR
3 Kontra indikasi Isufisiensi ginjal akut, anuria, hiperkalemia,
kehamilan.
4 Mekanisme kerja Secara kompetitif menghambat kerja aldosteron yang
menginduksi reabsorpsi ion natrium dan dan sekresi
ion kalium pada tubuli distal ginjal. Sehingga cairan

31
ascites dapat dikeluarkan.
5 Efek samping Ginekomastia (pembesaran payudara pria), gangguan
pada saluran pencernaan, ngantuk, letargi (keadaan
kesadaran yang menurun seperti tidur lelap, dapat
dibangunkan sebentar, tetapi segera tertidur kembali),
bercak-bercak merah pada kulit, sakit kepala,
kekacauan mental, ataksia (gangguan koordinasi
gerakan), impotensi, menstruasi tidak teratur,
perdarahan sesudah menopause. Jarang :
agranulositosis.
6 Interaksi - resiko hiperkalemia meningkat jika digunakan
bersama dengan ACE inhibitors.
- menghambat klirens Digoksin.
- bisa meningkatkan efek zat antihipertensi lainnya.
- bisa menghilangkan respon pembuluh darah
terhadap noradrenalin.
7 Aspek Mula kerja setelah 2-3 hari dan bertahan sampai
biofarmasetik & beberapa hari setelah pengobatan dihentikan. Resorpsi
farmakokinetik dari usus tidak lengkap dan diperbesar oleh makanan.
Dalam hati dirombak menjadi metabolit aktif
kanrenon yang diekskresikan melalui kenih dan tinja.
t1/2 plasma sampai 2 jam, kanrenon 20 jam.
8 Sediaan Tablet 100 mg x 100 biji.
Hipertensi esensial : 50-100 mg sehari sebagai dosis
tunggal atau dosis terbagi.
Terapi dilanjutkan minimal selama 2 minggu.
• Kelainan diberikan tiap hari sebagai dosis
edematosa : tunggal atau dosis terbagi.
• Gagal jantung kongestif : 100 mg sehari.
• Sirosis : 200-400 mg/hari.
9 Monitoring terapi BB (0,5-1 kg weight loss per day), status mental,
serum K+, urin Na+ dan K+ (Na+ tidak boleh lebih
dari K+ pada dosis terapi)

32
8. Cefotaksim IV 3 x 1 g (5 hari)
No Keterangan Cefotaksim
1 Klasifikasi Sefalosporin generasi ketiga
2 Kegunaan pada Tn. Untuk profilaksis terjadinya SBP.
HR
3 Kontra indikasi Hipersensitifitas, penderita yang terkena kolitis
pseudomembranosa ditandai diare, gagal
ginjal,wanita hamil dan menyusui.
4 Mekanisme kerja Merupakan antibiotik spektrum luas khusus bakteri
gram negatif. Menghambat sintesa dinding sel bakteri
dengan mengganggucross-linking akhir peptidoglikan
dan mengaktifkan enzim otolitik dinding sel.
5 Efek samping Alergi, diare, depresi sumsum tulang, nekrosis ginjal
6 Aspek Sangat aktif terhadap berbagai kuman gram positif
biofarmasetik & maupun gram negatif aerobik, t½ plasma 1 jam
farmakokinetik diberikan setiap 6-12 jam, metabolitnya adalah
desasetilsefotaksim yang kurang aktif.
7 Sediaan Bubuk obat suntik 1, 2 dan 10 gram.
9 Monitoring terapi Jumlah leukosit

9. Sistenol PO 3 x 1 tab prn


No Keterangan Sistenol
1 Kegunaan pada Tn. Mengatasi nyeri pada pasien. Sebagai analgesik.
HR
2 Kontra indikasi  Pasien yang hipersensitif
terhadap paracetamol dan N-acetylcystein.
 Pasien dengan gangguan fungsi hati
3 Efek samping  Reaksi alergi, neutropenia, trombositopenia,
purpura, nausea, muntah, gangguan saluran cerna.
 Dosis besar atau penggunaan dalam jangka waktu
yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati.
4 Interaksi Antikoagulan, kumarin, indanedion

33
5 Sediaan Dewasa dan anak >11 tahun: 1 tablet, 3 kali sehari.
Kotak, 6 blister @ 10 tablet salut selaput: DKL
Kotak, 10 strip @ 6 tablet salut selaput: DKL
6 Monitoring terapi Suhu tubuh

10. Inf Albumin 20 % (hari ke-1 dan ke-3)


No Keterangan Inf Albumin
1. Kegunaan pada Tn. Untuk mengatasi hipoalbuminemia akibat sirosis
HR yang dialami Tn. HR.
2. Mekanisme kerja Sebagai volume expander sehubungan dengan
fungsinya dalam meningkatkan onkotik intravaskuler
sehingga mampu memperbesar volume intravaskuler
dan mengurangi keluarnya / merembesnya cairan dari
pembuluh darah.
3. Efek samping Keluhan: demam, menggigil, naussea, dan urtikaria
Toksisitas aluminium pada gagal ginjal
Hipokalsemia karena albumin mengikat kalsium
Hemolisis, jika diberikan larutan albumin hipotonik
dalam jumlah besar
Hipovolemia dan gagal jantung kongestif.
4. Sediaan Infus albumin 20% 100 mL dan 50 mL

34
Pada hari ke-4 MRS (4 Okt 2012) pasien mengalami berak seperti petis 3-4 kali
sehari dan muntah darah 1 kali. Dokter mendiagnosis hematemesis melena. Data
klinik, laboratorium, dan terapi sebagai berikut:

Data klinik
TD 90/60 mmHg -- rendah Nadi 110 bpm -- tinggi
Temp 37.0 0C -- normal RR 28 bpm
GCS 456 -- sepenuhnya sadar Nyeri perut

Data lab
Hemoglobin 7.1 g/dL -- rendah >> anemia akibat hematemesis melena
Leukosit 12.800/mm3 -- tinggi >>ada infeksi bakteri
Hematokrit 20.8% -- rendah >>indikasi sirosis hati
Trombosit 148.000/L -- rendah >>tombositopeni
Albumin 2.6 g/dL -- rendah >> asites
Natrium 130 mmol/L – rendah Kalium 3.9 mmol/L – normal
PTT 20,1/11,5 (kontrol) aPTT 35,4/28,4 (kontrol)

Terapi
Infus NS : D5 1:1 Asam traneksanat IV 3 x 500mg
Antasida PO 3 x CI Vitamin K IV 4 x 10mg
Laktulosa PO 3 x CII Inf PRC 2 kolf
Cefotaksim IV 3 x 1g (stop pada hari ke-5) Metoklopramid IV 3 x 10mg
Sistenol PO 3 x 1 tab prn Omeprazole IV 1 x 40mg

35
Aspek Obat
Obat Klasifikasi Kegunaan pada Tn. HR dan KI Mekanisme Kerja Efek Samping Aspek Biofar & Farkin Sediaan Monitoring Terapi
Obat
Infus NS : D5 Untuk resusitasi Kegunaan pada Tn. HR Mengganti cairan Hiperglikemia D5 Heart rate hingga
1:1 dan penambah Untuk mengatasikekurangan dan elektrolit yang pada pemberian (mengandung 5 mencapai < 100
nutrisi cairan dan nutrisi parenteral hilang serta cepat dan dosis g/dl dekstrosa, bpm dan tekanan
KI : pasien hiperglikemia, menambah nutrisi tinggi dekstrosa merupakan darah sistolik 90-
diabetes, gangguan jantung secara parenteral. cairan 100 mmHg.
hipotonik, ECF
40% dan ICF
60%)
NS (cairan
isotonik
dengan ECF
100%)
Antasida Obat lokal Kegunaan pada Tn. HR : Peningkatan pH Sindroma susu Sediaan cair
saluran cerna Untuk menetralkan asam yang alkali; batu ginjal, digunakan
lambung, untuk mencegah stress mengakibatkan osteomalasia, dan secara per oral,
ulcer. berkurangnya kerja osteoporosis; dosis 3x15ml
KI: pasien dengan kelainan proteolitis dari neurotoksisitas;
ginjal pepsin. Pada pH 4 saluran cerna;
aktivitas pepsin asupan natrium;
menjadi minimal. interaksi dengan
obat lain

36
Laktulosa Pencahar Kegunaan pada Tn. HR : Menurunkan pH Perut kembung Kurang dari 3% Dosis: pada Monitor elektrolit
osmotik aktif Mengatasi Hepatik Ensefalopati kolon, dan banyak gas, diabsorbsi setelah episodic HE, secara periodik,
KI: galaktosemia, sumbatan menyebabkan terutama selama pemberian oral. dosis 45 mL perubahan status
usus. ammonia terion hari-hari pertama. Laktulosa yang tiap jam hingga mental pasien, dan
menjadi ion Pada overdosis diabsorbsi diekskresi pencucian titrasi hingga
amonium yang terjadi nyeri perut tanpa dirubah di dalam perut dimulai. jumlah feses halus
tidak bisa kembali dan diare. urin. Laktulosa yang Lalu dosis dan asam 2-3 per
ke sirkulasi tidak diabsorbsi diturunkan hari.
sistemik, sehingga dimetabolisme oleh menjadi 15-45
tereliminasi melalui bakteri kolonik mL tiap 8-12
feses. menjadi asam format, jam dan titrasi
laktat dan asetat. untuk
memproduksi
2-3 feses halus
dan asam per
hari.
Bentuk
sediaan: sirup
Rute: per oral
dan rektal
Cara
pemakaian:
diminum
bersama sari

37
buah atau air
dalam jumlah
cukup banyak
Cefotaksim Antibiotik Indikasi : untuk SBP, sebagai Terapi lini pertama, ES : diare, nausea, Sangat aktif terhadap Dosis : Monitor jumlah
golongan profilaksis karena kondisi asites sebagai profilaksis berbagai kuman gram pemberian IV leukosit pasien,
sefalosporin KI :pasien dengan untuk infeksi pada positif maupun gram 1-2g. PTT, aPTT
generasi 3 hipersensitifitas dan alergi perdarahan varises. negatif aerobik. Tersedia dalam
golongan penisilin Pengatasan SBP t½ plasma 1 jam, bubuk obat
diberikan setiap 6-12 suntik 1, 2, dan
jam. 10 g.
Metabolitnya adalah
desasetilsefotaksim
yang kurang aktif.
Sistenol Sebagai Kegunaan pada Tn. HR Dipilih untuk ES : reaksi alergi, Dosis dewasa
analgesik Mengatasi nyeri paerut yang pasien dengan neutropenia, dan anak >11
dialami Tn. HR gangguan hepar . trombositopenia, tahun: 1 tablet,
KI : Pasien yang hipersensitif N-asetil sistein purpura, nausea, 3 kali sehari.
terhadap paracetamol dan N- bertindak sebagai muntah, gangguan Berisi
acetylcystein; pasien dengan hepatoprotektor saluran cerna. parasetamol
gangguan fungsi hati pengguna Dosis besar atau dan N-asetil
parasetamol karena penggunaan dalam sistein
dapat menurunkan jangka waktu yang
oksidasi lama dapat
parasetamol menyebabkan

38
sehingga gangguan fungsi
menurunkan resiko hati.
kerusakan hepar.
Asam Antifibrinolisis Kegunaan pada Tn. HR : Mencegah aktivasi Pruritus, eritema, Cepat diabsorpsi Dosis 0,5-1 g Monitor
traneksamat Menghentikan perdarahan yang plasminogen ruam kulit, dalam saluran cerna, diberikan 2-3 mekanisme
terjadi pada Tn. HR. menjadi plasmin. hipotensi, sampai 40% dosis PO kali sehari hemostatik sebagai
KI : pasien DIC (disseminated Sehingga fibrin clot dispepsia, mual, dan 90% dosis IV secara IV pemantau
intravascular coagulation) tidak dilisis dan diare, hambatan diekskresi melalui urin lambat ±5 trombosis umum
menghentikan ejakulasi, eritema dalam waktu 24 jam. menit.
perdarahan. konjungtiva, dan Dosis PO
hidung tersumbat, 15mg/kgBB
serta trombosis diikuti dengan
umum 30 mg/kgBB
tiap 6 jam.
Vitamin K Mengatasi Kegunaan pada Tn. HR : Merupakan suatu Cardiac arrest, Absorpsi sangat Tablet Monitor interaksi
abnormalitas Mengatasi defisiensi Vitamin K kofaktor enzim respiratory arrest, tergantung pada fitonadion dan dan reaksi yang
faktor koagulasi sehingga faktor pembekuan mikrosom hati yang lesi, kemerahan kelarutan. Bila terjadi menadion, terjadi selama
akibat gangguan darah dapat terbentuk. penting untuk gangguan absorpsi emulsi pemberian, PTT,
fungsi liver KI : pasien obstruksi biliaris dan mengaktivasi akan terjadi fitonadion, aPTT
gangguan usus seperti sariawan, prekursor faktor hipoprotrombinemia larutan
enteritis, enterokolitis, dan pembekuan darah, setelah beberapa menadion
reseksi usus. Pengguna dengan mengubah minggu. dalam minyak,
antikoagulan residu asam Pemakaian antibiotik larutan
glutamat menjadi sangat mengurangi menadion

39
residu - jumlah vitamin K natrium
karboksilglutamil dalam tinja, yang bisulfit, dan
sehingga dapat terutama merupakan larutan
mengikat ion hasil sintesis bakteri menadiol
kalsium yang usus natrium
diperlukan untuk difosfat
rangkaian
pembekuan darah
Inf PRC Mengganti darah Kegunaan pada Tn. HR : Sebagai asupan Sediaan Monitoring
akibat Mengatasi kekurangan darah oksigen dan nutrisi parenteral tekanan darah
perdarahan akibat perdarahan. akibat diberikan (tekanan sistol
berkurangnya secara IV target >100) dan
jumlah hemoglobin heart rate (target
<100).
Metoklopramid Untuk Kegunaan pada Tn. HR : Antagonisreseptor Mengurangi Distribusi luas pada Dewasa : 1- Monitoring
memperpendek Sebagai anti mual. dopamin dengan jumlah absorpsi jaringan tubuh, dapat 2mg/kgBB tekanan darah,
waktu mengganggu CNS obat-obat yang menembus plasenta, secara IV reaksi pyramidal.
pengosongan chemoreceptor sukar larut dalam sebagian kecil >14 tahun : 10 Cek amonia
lambung trigger zone (CTZ), cairan GIT dan dimetabolisme di mg IV
meningkatkan obat-obat yang hepar. Diekskresi 6-14 tahun :
peristaltic usus dan diabsorpsi aktif melalui urin, feses, dan 2,5-5 mg IV
mempercepat waktu hanya di satu ASI <6 tahun : 0,1
pengosongan segmen usus halus mg IV
lambung ke usus

40
sehingga makanan
tidak kembali ke
esofagus.
Omeprazol Proton Pump Kegunaan pada Tn. HR: Menghambat Gangguan Bioavailabilitas 40- Dosis: 20-40 Monitor efek
Inhibitor. Untuk Mencegah stress ulcer. sekresi asam lambung-usus, 65% mg 1 kali hipoklorhidria dan
mencegah stress KI: penderita yang hipersensitif lambung dengan nyeri kepala, nyeri pKa 4 sehari hipergastrinemia
ulcer. terhadap omeprazole. cara berikatan pada otot dan sendi, t1/2 0,5-1,5 jam Bentuk
+ +
pompa H /K vertigo, gatal-gatal t max 1-3,5 jam sediaan: kapsul
ATPase dan dan rasa kantuk Masa kerja 24 jam Rute: per oral
mengaktifkannya atau sukar tidur. Dalam hati dirombak Cara
sehingga terjadi Eliminasi dari zat- seluruhnya menjadi pemakaian: 30
pertukaran ion zat yang juga metabolit inaktif yang menit sebelum
kalium dan ion dirombak oleh diekskresi dengan makan
hidrogen dalam sistem oksidatif kemih 80%. Terurai
lumen sel. sitokrom P-450 dalam suasana asam
dapat dihambat, sehingga perlu enteric
a.l. diazepam dan coated.
fenitoin.

41
Pada hari ke-7 MRS (7 Okt 2012) kondisi pasien membaik. Data klinik,
laboratorium, dan terapi sebagai berikut:
Data klinik
TD 110/70 mmHg -- normal Nadi 76 bpm -- normal
Temp 36.5 0C -- normal RR 24 bpm -- tinggi
GCS 456 -- sepenuhnya sadar

Data lab
Hemoglobin 9.2 g/dL – rendah
Albumin 2.6 g/dL – rendah
Natrium 138 mmol/L -- normal
Kalium 4.2 mmol/L – normal
Leukosit 10.800/mm3 – tinggi
Hematokrit 23.8% -- rendah
Trombosit 150.000/L -- normal

Terapi
Antasida PO 3 x CI Laktulosa PO 3 x CII
Omeprazol PO 1 x 20 mg Furosemid PO 2 x 40 mg
Spirinolakton PO 1 x 100 mg Propanolol PO 3 x 10 mg

42
Aspek Obat
Obat Klasifikasi Kegunaan pada Tn. Mekanisme Kerja Efek Samping Interaksi Obat Aspek Biofar & Sediaan Monitoring Terapi
HR dan KI Farkin Obat
Antasida Obat lokal Kegunaan pada Tn. Peningkatan pH Sindroma susu Antasid yang Bentuk sediaan:
saluran HR : yang mengakibatkan alkali; batu ginjal, mengandung kalsium tablet kunyah
cerna Agar tidak berkurangnya kerja osteomalasia, dan dan magnesium Rute: per oral
memperburuk kondisi proteolitis dari osteoporosis; mengurangi absorbsi Cara pemberian: 1
ulkus yang terbentuk pepsin. Pada pH 4 neurotoksisitas; tetrasiklin dan dan 3 jam setelah
akibat bleeding. aktivitas pepsin saluran cerna; fluoroquinolon. makan dan
KI: pasien dengan menjadi minimal. asupan natrium; menjelang tidur
kelainan ginjal interaksi dengan untuk efek
obat lain maksimal.

Laktulosa Pencahar Kegunaan pada Tn. Mengasamkan Perut kembung Tak boleh digunakan Kurang dari 3% Dosis: pada episodic Monitor elektrolit
osmotik HR : kolon sehingga dan banyak gas, bersama laksatif lain diabsorbsi setelah HE, dosis 45 mL secara periodik,
Mengatasi HE amonia diubah terutama selama pada pengobatan HE pemberian oral. tiap jam hingga perubahan status
KI: galaktosemia, menjadi ion hari-hari pertama. (menyebabkan Laktulosa yang pencucian perut mental pasien
sumbatan usus. ammonium yang Pada overdosis ketidakmampuan diabsorbsi diekskresi dimulai. Lalu dosis
dapat diekskresikan terjadi nyeri perut menentukan dosis tanpa dirubah di diturunkan menjadi
melalui feces. dan diare. laktulosa optimal), dalam urin. 15-45 mL tiap 8-12
antiinfeksi dapat Laktulosa yang tidak jam dan titrasi untuk
menghilangkan diabsorbsi memproduksi 2-3
efektivitasnya pada dimetabolisme oleh feses halus dengan
HE, antasid dapat bakteri kolonik pH asam per hari.

43
menurunkan efek menjadi asam Bentuk sediaan:
laktulosa pada pH format, laktat dan sirup
kolon. asetat. Rute: per oral dan
rektal
Cara pemakaian:
diminum bersama
sari buah atau air
dalam jumlah cukup
banyak
Target: produksi 2-3
feses halus dengan
pH asam per hari.
Omeprazol Proton Kegunaan pada Tn. Menghambat sekresi Gangguan Menurunkan Bioavailabilitas 40- Dosis: 20-40 mg 1 Monitor efek
Pump HR : asam lambung lambung-usus, metabolisme fenitoin, 65% kali sehari hipoklorhidria dan
Inhibitor Agar tidak dengan cara nyeri kepala, nyeri diazepam, dan pKa 4 Bentuk sediaan: hipergastrinemia
memperburuk kondisi berikatan pada otot dan sendi, warfarin; menurunkan t1/2 0,5-1,5 jam kapsul
ulkus yang terbentuk pompa H+/K+ vertigo, gatal- absorbsi ketokonazol. t max 1-3,5 jam Rute: per oral
akibat bleeding. ATPase dan gatal dan rasa Masa kerja 24 jam Cara pemakaian:
KI: penderita yang mengaktifkannya kantuk atau sukar Dalam hati dirombak sebelum makan,
hipersensitif terhadap sehingga terjadi tidur. seluruhnya menjadi lebih baik di pagi
omeprazole. pertukaran ion metabolit inaktif hari. Kapsul harus
kalium dan ion yang diekskresi ditelan utuh.
hidrogen dalam dengan kemih 80%.
lumen sel. Terurai dalam

44
suasana asam
sehingga perlu
enteric coated.
Furosemid Diuretik Kegunaan pada Tn. Menghalangi Pada injeksi IV Hipotensi akan Mula kerja oral 0,5-1 Dosis: mulai 40 mg, Berat badan, status
-
loop, HR : transpor Cl dan terlalu cepat ada bertambah pada jam dan bertahan 4-6 titrasi hingga mental, K+ serum,
diuretik Mengatasi ascites reabsorbsi Na+, serta kalanya tetapi penggunaan bersama jam sedangkan mula penurunan berat lingkar perut, BUN,
kuat KI: anuria, memperbanyak jarang terjadi antihipertensi lain atau kerja IV beberapa badan 1 kg per hari, ginekomasti,
+
kekurangan elektrolit, pengeluaran K dan ketulian nitrat. Hipokalemia menit dan 2,5 jam kadang dosis sangat tekanan darah
gangguan ginjal dan air. (reversibel) dan akan bertambah bila lamanya. Resorpsi tinggi (200-600
hati. hipotensi. Dapat digunakan bersama dari usus hanya mg/hari) diperlukan
terjadi pula diuretik, mezlosilin, 50%. t1/2 30-60 Bentuk sediaan:
hipokalemia. piperasilin, menit. tablet
amfoterisin B dan Ekskresi melalui Rute: per oral dan
glukokortikoid. kemih secara utuh, IV
Hipokalemia dapat pada dosis tinggi Cara pemakaian:
meningkatkan juga lewat empedu. pada pagi hari
toksisitas glikosida setelah makan
jantung. Menurunkan Target: penurunan
ekskresi litium, dapat berat badan 1 kg per
menyebabkan hari
toksisitas.
Meningkatkan resiko
ototoksisitas bila
digunakan bersama

45
aminoglikosida. Dapat
meningkatkan
efektivitas
antikoagulan oral.
Spironolakton Diuretik Kegunaan pada Tn. Antagonis Pada penggunaan Mula kerja setelah 2- Dosis: 200-400 Berat badan, status
distal, HR : aldosteron, lama dan dosis 3 hari dan bertahan mg/hari, kadang mental, K+ serum,
antagonis Untuk mengatasi menyebabkan tinggi efeknya sampai beberapa hari lebih tinggi. Dapat Na+ dan K+ urin
aldosteron, asites. Furosemid ekskresi Na+ antiandrogen setelah pengobatan diberikan sebagai (Na+ tidak boleh
diuretik dikombinasikan (kurang dari 5%) dengan dihentikan. single daily dose. melebihi K+ pada
hemat dengan spironolakton dan retensi K+ ginekomasti, Resorpsi dari usus Bentuk sediaan: dosis terapeutik),
kalium. untuk mengatasi gangguan potensi tidak lengkap dan tablet lingkar perut, BUN,
hiperaldosteron akibat dan libido pada diperbesar oleh Rute: per oral ginekomasti,
aktivasi RAAS. pria, nyeri buah makanan. Dalam hati Cara pemakaian: tekanan darah
KI: insufisiensi ginjal dada dan dirombak menjadi saat makan
akut, kerusakan gangguan haid metabolit aktif Target: penurunan
ginjal, anuria, pada wanita. kanrenon yang berat badan 1 kg per
hiperkalemia diekskresikan hari
melalui kenih dan
tinja.
Plasma t1/2 sampai 2
jam, kanrenon 20
jam.
Propanolol Non- Indikasi: Mencegah Menghambat Bradikardi, gagal Fenitoin, Bioavailabilitas oral Dosis: 40-320 Tanda-tanda
selective rebleeding / sebagai reseptor - jantung, gangguan isoproterenol, NSAID, 25-30% mg/hari dititrasi pendarahan GI,

46
- secondary adrenergic yang konduksi, barbiturat dan santin t1/2 eliminasi 3-5 hingga penurunan perubahan mental,
adrenergic prophylaxis. bekerja sebagai bronkospasme, (kafein, teofilin) jam 25% pada denyut tanda vital: denyut
blocker KI: asma atau riwayat vasodilator sehingga vasokonstriksi mengurangi efek Ikatan protein nadi istirahat bila >60, tekanan darah
penyakit paru cardiac output dan perifer, gangguan propanolol. plasma 90% ditoleransi. >100/70
obstruktif, gagal aliran arteri saluran cerna, Larut lemak dam Bentuk sediaan: Tanda-tanda gagal
jantung yang tak mesenterika fatigue, gangguan mengalami FPE tablet jantung kongestif,
terkendali, bradikardi menurun. Akibatnya tidur, jarang ruam ekstensif di hati Rute: per oral bradikardi
nyata, sindrom tekanan vena portal kulit dan mata sehingga obat utuh Cara pemakaian: Tanda-tanda
penyakit sinus, blok menurun. kering (reversibel yang diekskresi diminum setelah bronkospasme
AV derajat 2 dan 3, bila obat melalui ginjal sangat makan Fungsi renal
syok kardiogenik dihentikan), sedikit (<10%).
eksaserbasi
psoriasis.

47
SKENARIO KONSELING PASIEN

Di Rumah sakit...........................
Pr : Selamat pagi ibu, bagaimana keadaannya hari ini?
Ny. HR : Alhamdulillah sudah baikan sus.
Pr : Alhamdulillah ya sudah boleh pulang hari ini, bisa ketemu cucu di rumah ya
bu...
Ny. HR : Iya...:)
Pr : Ini ada beberapa obat yang masih harus dikonsumsi setelah keluar dari rumah
sakit dan data administrasi Ny. HR (dikasi ke PMO). Ini mohon dibawa
sebentar sebentar lagi bu Apoteker akan kesini untuk menjelaskan. Semoga
cepet sembuh ya bu...jangan kembali kesini lagi ya....
Apoteker datang..............
Apt. : Pagi ibu,,sudah keliatan segar ya...tadi sudah menerima obat dari suster?
PMO : Sudah
Apt. : Boleh saya lihat (PMO kasi obat ke Apt.).
PMO : Ini bu....
Apt. : Baik saya jelaskan tentang masing” obat.
Yang antasida dan omeprazole ini (sambil nunjuk) untuk lambungnya. Yang
antasida diminum 3 kali sehari 1 sendok makan sebelum sarapan, makan
siang dan makan malam. Kemudian yang Omeprazole diminum 1 kali sehari
1 tablet sebelum sarapan.
Yang ini laktulosa untuk obat mengatasi penurunan konsentrasinya. Diminum
3 kali sehari 2 sendok makan sebelum makan.
Yang ini Furosemide untuk mengurangi bengkak di perutnya. Diminum 2 kali
sehari 1 tablet setelah sarapan dan makan malam.
Yang ini Spironolakton, sama untuk mengurangi bengkak di perutnya.
Diminum 1 kali sehari 1 tablet setelah makan malam.
Yang ini Propranolol untuk mencegah terjadinya kembali berak darah.
Diminum 3 kali sehari 1 tablet sebelum makan.
O iya bu, jangan sampai terlewat waktu minum obatnya ya. Untuk PMO nya
tolong diingatkan terus ya Ny. HR untuk ketepatan waktu minum obatnya.

48
Selain itu, selama konsumsi obat tolong dijaga pola makannya, mohon
dikurangi konsumsi daging”an, telur, tempe, tahu, kacang”an, pisang, yang
asin-asin. Makan boleh tapi jangan setiap hari.
Apt. : Ada yang belum jelas? Apa ada yang masih ingin ditanyakan. Kalo tidak ada,
mohon diulangi. Sambil ingat-ingat ya....
@obat : Yang ini untuk apa? Minumnya berapa kali dan berapa banyak,
kapan minumnya.
PMO : bla...bla....sesuai kata ibu apoteker. (improvisasi tergantung inget apa
enggak).

--@@--

Di Apotek.........................
2 orang kerabat Ny. HR datang ke apotek membawa resep. Resep diterima oleh AA.
AA1 : Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?
Krbt : Ini bu, mau menebus resep. (R/ dikasi ke AA)
AA1 : Sebentar. AA1  mencatat nama, usia, alamat (Memanggil AA2, dan
menghitung jumlsh resepnya) Tolong disiapkan ya obatnya.
AA2 : Baik bu....
AA1 : Ini totalnya Rp 500.00. Silahkan bayar di kasir ya bu. Lalu duduk di kursi
sebelah sana. Saya panggilkan apotekernya.
Krbt : Baik
Apoteker datang  dilakukan History taking.
Apt. : Selamat siang ibu....(sambil bawa form)
Yang sakit siapa ini ibu?
Krbt 1 : Yang sakit nggak ikut bu....
Apt. : O baik,,brarti Ny. HR tidak ikut ya.... Kemarin kata dokter sakitnya apa?
Krbt 1 : Kemarin kata dokter dibilang sakitnya sirosis, ascites, dan satunya saya lupa
bu
Apt. : Oooh begitu, sakitnya sudah berapa lama ?
Krbt 1 : Sudah satu tahunan mungkin bu
Apt. : Sebelumnya pernah sakit apa ?

49
Krbt 2 : Saudara saya pernah sakit hepatitis kalau tidak salah tahun 2009
Apt. : Waktu itu dapat obat apa aja ?
Krbt 2 : Saya nggak tahu bu dapat obat apa saja, soalnya yang dari rumah sakit
obatnya banyak. Tapi saya bawa bu surat” administrasi dari rumah sakit. Apa
bisa membantu ? Ini bu.. (ngasih kertas”)
Apt. : Ooh iya bu, itu saja nggak papa. Saya periksa dulu yaaa..
AA2 masuk ke ruang konsultasi
AA2 : Ini bu obat-obatnya sudah saya siapkan (ngasih obat ke apoteker, habis ngasih
)
Apt. : Iya terima kasih
Apt. : Baik bu ini akan saya jelaskan tentang obat yang diterima oleh Ny HR
Yang ini Propranolol untuk mencegah terjadinya kembali berak darah.
Diminum 3 kali sehari 1 tablet sebelum sarapan, makan siang, dan makan
malam.
Yang ini Spironolakton, sama untuk mengurangi bengkak di perutnya.
Diminum 1 kali sehari 1 tablet setelah makan malam.
Yang ini laktulosa untuk obat mengatasi penurunan konsentrasinya. Diminum
3 kali sehari 1 sendok makan sebelum makan.
Yang ini ranitidin untuk lambungnya diminum 2 kali sehari 1 tablet, 1 jam
sebelum sarapan dan makan malam.
O iya bu, jangan sampai terlewat waktu minum obatnya ya. Untuk PMO nya
tolong diingatkan terus ya Ny. HR untuk ketepatan waktu minum obatnya.
Selain itu, selama konsumsi obat tolong dijaga pola makannya, mohon
dikurangi konsumsi daging”an, telur, tempe, tahu, kacang”an, pisang, yang
asin-asin. Makan boleh tapi jangan setiap hari.
Apt. : Ada yang belum jelas? Apa ada yang masih ingin ditanyakan?
Krbt 1 : Nggak ada bu
Apt. : Kalo tidak ada, mohon diulangi. Sambil ingat-ingat ya....
@obat : Yang ini untuk apa? Minumnya berapa kali dan berapa banyak,
kapan minumnya.
Krbt : bla...bla....sesuai kata ibu apoteker. (improvisasi tergantung inget apa
enggak).
Apt. : Kalau begitu terima kasih

50
DAFTAR PUSTAKA

Arroyo, V, et. al., 2000. Complication of cirrhosis. II. Renal and circulatory
dysfunction. Lights and shadows in an important clinical problem. Journal of
Hepatology, 32 (suppl. 1), page 157-170.
Bosch, Jaime, et. al., 2000. Complications of cirrhosis. I. Portal hypertension. Journal
of Hepatology, 32 (suppl. 1), page 141-156.
Butterworth, F. Roger, et. al., 2000. Complications of cirrhosis. III. Hepatic
encephalopathy. Journal of Hepatology, 32 (suppl. 1), page 171-180.
Chernecky, C. C., et al. 2008. Laboratory Tests and Diagnostic Procedures 5th edition.
Saunders-Elsevier.
Deglin, J. Hopfer, et al. 2005. Pedoman Obat untuk Perawat Edisi 4. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Dipiro, T. Joseph, et. al., 2011. Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach 8th
Edition. New York : The McGraw-Hill Company. Section 4 Chapter 44.
Gines, Pere, et. al., June 1997. Ascites and Renal Functional Abnormalities in Cirrhosis,
Pathogenesis and Treatment. Bailliere’s Clinical Gastroenterology Volume 11 No
2, page 365-385.
Gunawan, Sulistia G., et al. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Rahardjo, R., 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi Ed.2. Jakarta: EGC
Schull, Patricia Dwyer. 2009. McGraw-Hill’s I.V. Drug Handbook. USA : McGraw Hill
Companies.
Sweetman, Sean C., 2009. Martindale The Complete Drug Reference. London :
Pharmaceutical Press. Anderson, Philip O. 2002. Handbook of Clinical Drug Data
10th Edition. USA : McGraw Hill Companies.
Tjay, T. Hoan, et al. 2007. Obat-Obat Penting Edisi Keenam. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Wilson, D. D., 2008. Manual Laboratory and Diagnostics Tests. New york : The
McGraw-Hill companies.

51

Anda mungkin juga menyukai