l. Parathormon
Hormon ini relatif tidak dipengaruhi oleh kehamilan.
2.1.1.3. Perubahan sistem kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular selama kehamilan memberikan banyak implikasi
terhadap manajemen penyakit jantung pada wanita hamil. Perubahan tersebut
mempengaruhi manajemen persalinan dan perawatan selama dan setelah kehamilan.
Perubahan dasar pada sistem kardiovaskular adalah:
a. Volume darah. Pada kehamilan 32 minggu, volume total darah meningkat 40%,
dengan peningkatan volume total plasma mencapai 50%. Akan tetapi, oleh karena
tidak diikuti peningkatan sel darah merah yang sesuai (hanya meningkat 20%) maka
terjadi pengenceran konsentrasi darah yang bisa berakibat anemia.
b. Cardiac output. Naiknya stroke volume menimbulkan peningkatan cardiac output
sebesar 30-50% pada kehamilan 20-24 minggu. Penurunan cardiac output juga
terjadi bila wanita hamil dalam posisi supinasi karena adanya kompresi vena cava.
c. Penurunan hambatan vaskuler sistemik Selama kehamilan. Puncaknya terjadi selama
trimester kedua dan kemudian menurun kembali seperti masa sebelum kehamilan
pada usia aterm.
d. Redistribusi aliran darah. Selama kehamilan, aliran darah ke ginjal, kulit dan uterus
menjadi meningkat. Aliran darah ke uterus bisa mencapai 5000 mL/menit pada usia
aterm.
e. Perubahan hemodinamik saat persalinan. Tekanan vena meningkat selama persalinan
karena kontraksi uterus menimbulkan peningkatan aliran venosa dari vena uterine.
Akibatnya, cardiac output meninggi, tekanan ventrikuler kanan dan tekanan arterial
rata-rata pun meningkat.
f. Perubahan hemodinamik setelah persalinan. Pada masa postpartum, kompresi vena
cava menurun sehingga menimbulkan peningkatan volume darah. Cardiac output
yang tinggi memungkinkan munculnya reflex bradikardia. Oleh karena banyak darah
hilang, perubahan hemodinamik ini tidak begitu kentara pada pasien operasi sesar.
2.1.1.4. Perubahan sistem respiratorius
a. Perubahan struktur. Mukosa saluran respiratorius atas menjadi edema dan produksi
mucus meningkat yang menyebabkan rasa sumpek dan gejala flu kronik. Sudut
subcosta meningkat selama hamil. Diameter transversal dan lingkaran dada juga
meningkat awal selama kehamilan. Pada akhir kehamilan, diafragma naik, tetapi
gerakan diafragma pada setiap nafas menjadi bertambah.
b. Konsumsi oksigen
1) Meskipun ventilasi menit 30-40% selama hamil, konsumsi oksigen hanya meningkat
15-20%. Akibatnya, tingkat PO2 meningkat hingga 104-108 mmHg. Meningkatnya
konsumsi oksigen terutama dikaitkan dengan kecukupan konsumsi oksigen fetus dan
plasenta, meningkatnya cardiac output maternal, meningkatnya kecepatan filtrasi
glomerulus, dan meningkatnya massa jaringan payudara dan uterus.
2) Meskipun produksi karbondioksida naik selama hamil, kadar PCO2 turun hingga 27-
32 mmHg karena naiknya ventilasi menit. Penurunan ini membantu pertukaran
karbondioksida antara ibu dan janin. Meningkatnya pH arterial hanya sedikit karena
penurunan kadar PCO2 diimbangi dengan penurunan kadar serum bikarbonat hingga
18-31 mEq/L akibat peningkatan kecepatan ekskresi ginjal.
c. Volume tidal meningkat 30-40% selama kehamilan. Progesterone menurunkan
ambang karbondioksida dalam pusat respirasi. Volume cadangan ekspirasi dan
kapasitas residual fungsi menurun selama hamil, tetapi kecepatan respirasi dan
kapasitas vital sama.
d. Resistensi Forced expiratory volume dan peak expiratory flow rate tidak berubah
selama kehamilan.
Perubahan sistem urinaria
1) Perubahan struktur. Selama kehamilan, panjang ginjal bertambah 1 cm, volumenya
bertambah 30% dan ukuran system kolektivus meningkat lebih dari 80%, dengan
dilatasi lebih banyak.
2) Fungsi ginjal. Wanita hamil mengalami akumulasi natrium 500-900 mEq dan 6-8 L
air. Oleh karena bertambahnya volume cairan, aliran plasma ginjal meningkat 60-
80% pada pertengahan trimester dua dan menetap hingga trimester tiga, selanjutnya
50% selama kehamilan. Kecepatan filtrasi glomerulus mulai meningkat pada minggu
ke-6 kehamilan dan mencapai puncak pada akhir trimester pertama.
3) Fungsi tubulus. Resorpsi tubuler menurun selama hamil sehingga menimbulkan
peningkatan ekskresi glukosa, asam amino dan protein. Meningkatnya glukosa urin
membuat wanita hamil lebih rentan terhadap infeksi saluran kencing dan bakteriuri.
4) Penilaian fungsi ginjal. Proteinuria harus diperiksa pada kunjungan antenatal. Nilai
+1 harus diikuti dengan penilaian selanjutnya seperti urin midstream untuk kultur dan
pemeriksaan mikroskopik.
2.1.1.5. Perubahan sistem gastrointestinal
Perasaan tidak enak di ulu hati disebabkan oleh perubahan posisi lambung dan aliran
balik asam lambung ke esophagus bagian bawah. Produksi asam lambung menurun.
Pada trimester I sering terjadi nausea dan muntah karena pengaruh HCG. Penderita
sering meludah dan tidak enak makan. Hemoroid sering terjadi karena pengaruh
estrogen. Selama kehamilan enzim hati tetap normal dan mungkin menurun karena
hemodilusi. Kadar lipid, fibrinogen dan alkali fosfatase meningkat tajam selama
kehamilan dan kadar albumin menurun 20% pada awal trimester satu. Dengan
membesarnya uterus ke abdomen atas, hepar terdesak ke belakang kanan. Perubahan
tempat ini mengurangi ukuran perkiraan waktu pemeriksaan fisik. Hepar yang teraba
selama hamil harus dianggap abnormal dan perlu tindakan lanjut.
2.1.1.6. Perubahan sistem skeletal
Uterus yang membesar akan memperbesar derajat lordosis sehingga sering
menyebabkan sakit pinggang. Bila wanita mengalami defisiensi kalsium, dapat terjadi
demineralisasi tulang dan/gigi. Sendi-sendi panggul menjadi lebih mobile.
e. Mineral
Konsentrasi tembaga pada awal kehamilan meningkat dan kalsium sedikit mengalami
penurunan, mungkin karena zat pembawanya, yaitu protein, mengalami sedikit
penurunan pula.
2.1.1.8. Perubahan asam basa
Wanita hamil mengalami hiperventilasi sehingga timbul alkalosis respirasi, yang
disebabkan oleh penurunan PCO2 darah, yang dapat dikompensasi oleh bikarbonat
plasma.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa preeklampsia adalah suatu keadaan dimana terjadi
kenaikan tekanan darah sistolik 160/110 mmHg dan diastolik > 110 mmHg pada usia
kehamilan 20 minggu, yang disertai dengan proteinuria serta terjadi penimbunan
cairan pada ekstreimtas tubuh.
2.1.4. Etiologi
Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi preeklampsia, yaitu:
2.1.4.1. Abnormalitas invasi trofoblas.
2.1.4.2. Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)- fetal.
2.1.4.3. Maladaptasi kardiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses kehamilan
normal.
2.1.4.4. Fator genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara mekanisme epigenetik.
2.1.4.5. Faktor nutrisi, kurangnya intake antioksidan.
2.1.4.6. Faktor risiko
a. Primigravida, primipaternitas.
b. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus,
hidrops fetalis, bayi besar.
c. Umur yang ekstrim.
d. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia.
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada selama hamil.
f. Obesitas.
2.1.5. Patofisiologi
Berdasarkan perjalanan penyakit teori 2 tahap, preeklampsia dibagi menjadi 2 tahap
penyakit tergantung gejala yang timbul. Tahap pertama bersifat asimtomatik (tanpa
gejala), dengan karakteristik perkembangan abnormal plasenta pada trimester
pertama. Perkembangan abnormal plasenta terutama proses angiogenesis
mengakibatkan insufisiensi plasenta dan terlepasnya material plasenta memasuki
sirkulasi ibu.
Dua fakta klinis tersebut menuntun pada hipotesis kuat bahwa plasenta memegang
peranan penting dalam patogenesis preeklampsia. Terapi paling efektif dari
preeklampsia adalah dengan melahirkan plasenta. Selain itu bila plasenta berkembang
berlebihan (hiperplasentosis), misalnya pada mola hidatidosa atau gemeli, seringkali
berkembang menjadi preeklampsia berat. Hal tersebut didukung oleh pemeriksaan
patologi bahwa pada plasenta dengan preeklampsia terdapat infark luas, sklerosis
yang menyebabkan penyempitan arteri dan arteriol serta terdapat remodeling yang in
adekuat pada arteri spiralis.
Pada tahap asimtomatik meskipun gejala klinik belum terlihat, tetapi pemeriksaan
tertentu dapat mengidentifikasi perubahan yang terjadi. Pemeriksaan USG doppler
arteri uterina dapat menilai adanya perubahan pada aliran darah yang disebabkan
karena peningkatan resistensi vaskular sebelum gejala klinis timbul. Selanjutnya
peningkatan vasokontriksi ateri uterina akan menimbulkan hipertensi, proteinuria,
dan endoteliosis glomerular. Gejala-gejala tersebut yang mendukung untuk
ditegakkannya diagnosis preeklampsia, dan merupakan suatu tahap kedua atau
preeklampsia dengan manifestasi gejala klinik. Sehingga adanya ganguan histologi,
fungsi, dan metabolisme plasenta diduga sangat besar peranannya pada patofisologi
preeklampsia (Pribadi et al, 2015).
Skema 2.1 Pathway Preeklampsia
Sumber (NANDA & NIC NOC, 2013)
2.1.6. Tanda dan gejala
Gejala klinis preeklampsia sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang
mengancam kematian ibu. Efek yang sama terjadi pula pada janin, mulai dari yang
ringan, PJT dengan komplikasi pascasalin sampai kematian intrauterin.
2.1.6.1. Gejala
Kebanyakan ibu hamil pada awal preeklampsia tidak menunjukkan gejala. Sementara
preeklampsia fase lanjut sering menimbulkan gejala yang berhubungan dengan
kurangnya perfusi jaringan, misalnya terjadi sakit ulu hati, mual, muntah, sakit
punggung, dll. Gejala hipoksia terjadi sakit kepala, kurangnya kesadaran, penurunan
penglihatan, skotomata, dll. Parestesia, pegal, dapat terjadi bila saraf terganggu
karena kompresi. Terdapat gejala yang sangat serius ditangani terutama bila
menyangkut organ vital seperti jantung, dan perdarahan antepartum karena
preeklampsia akan meningkatkan risiko untuk solutio plasenta.
2.1.6.2. Tanda
Tanda preeklampsia meliputi :
a. Tanda tersering adalah hipertensi.
b. Proteinuria.
c. Perubahan retinal.
d. Hiperrefleksia.
e. Tanda spesifik kelainan organ seperti dekompensasi jantung menimbulkan edema
tungkai yang masif kadang disertai asites dan hidrotoraks. Pembesaran hepar
menyebabkan nyeri tekan, pecahnya pembuluh darah perifer seperti ptechiae,
purpura, dan bila berat menyebabkan gangguan pembekuan darah sistemik (seperti
disseminated intracorpuscular/DIC).
2.1.7. Pemeriksaan penunjang
2.1.7.1. Maternal
a. Asam urat
Hipertensi yang disertai peningkatan asam urat berhubungan dengan PJT.
Hiperurikemia merupakan tanda dini penyakit karena terjadi penurunan klirens asam
urat sebelum penurunan filtrasi glomerular filtration rate (GFR) ginjal terjadi.
Peningkatan asam urat dalam darah tidak hanya gangguan fungsi ginjal tetapi dapat
pula disebabkan peningkatan stres oksidatif.
b. Kreatinin
Terjadi peningkatan kreatinin pada preeklampsia berat tetapi biasanya belum terjadi
perubahan pada preeklampsia ringan.
c. Tes fungsi hepar
Peningkatan aspartat aminotranferase (AST/SGOT) dan alanine aminotransferase
(ALT/SGPT) merupakan tanda prognosis buruk pada ibu dan janin. Konsentrasi dari
protein ini berhubungan dengan beratnya penyakit preeklampsia dengan komplikasi
berat pada hepar.
d. Faktor pembekuan
Terjadi penurunan dari faktor III, faktor VIII selain trombositopenia. Gangguan ini
menimbulkan risiko terjadi perdarahan pasca persalinan.
e. Analisis urine (proteinuria).
f. Pencocokan ulang : cross matching.
g. Pemeriksaan urine untuk ekskresi protein 24 jam.
2.1.7.2. Fetal
a. Klik chart (rekaman gerakan janin).
b. CTG (kardiografi).
2.1.8. Penatalaksanaan medis
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat
selama perawatan maka perawatan dibagi menjadi:
2.1.8.1. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhri atau diterminasi ditambah pengobatan
medisinal.
2.1.8.2. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan
medisinal.
Perawatan aktif
a. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan
pemeriksaan fetal assaement (NST & USG).
b. Indikasi
1) Ibu
a) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih.
b) Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia.
c) Kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan medikamentosa terjadi
kenaikan tekanan darah atau setelah 24 jam terapi medikamentosa tidak ada
perbaikan.
2) Janin
a) Hasil fetal assesment jelek (NST & USG).
b) Adanya tanda IUGR.
3) Laboratorium
a) Adanya “HELLP syndrome” (hemolisis dan peningkatan fungsi hepar,
trombositopenia).
c. Pengobatan medikamentosa
1) Segera masuk rumah sakit.
2) Tidur baring, miring ke satu sisi (sebaiknya kiri), tanda vital diperiksa setiap 30
menit, refleks patella setiap jam.
3) Infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL (60-125 cc/jam)
500 cc.
4) Antasida.
5) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
6) Pemberian obat anti kejang: diazepam 20 mg IV dilanjutkan dengan 40 mg dalam
Dekstrose 10% selang 4-6 jam atau MgSO4 40% 5 gram IV pelan-pelan dilanjutkan 5
gram dalam RL 500 cc untuk 6 jam.
7) Diuretik tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung
kongestif atau edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg/IV.
8) Antihipertensi diberikan bila: tekanan darah sistolik e”180 mmHg, diastolik e” 110
mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Dapat diberikan catapres ½-1 ampul IM dapat
diulang tiap 4 jam, atau alfametildopa 3 x 250 mg, dan nifidipine sublingual 5-10 mg.
9) Kardiotonika, indikasinya, bila ada tanda-tanda payah jantung, diberikan digitalisasi
cepat dengan cedilanid.
10) Lain-lain:
a) Konsul bagian penyakit dalam/jantung, mata.
b) Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal lebih dari 38,5 derajat celcius dapat
dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylamidon 2 cc IM.
c) Antibiotik diberikan atas indikasi, diberikan ampicilin 1 gr/6 jam/IV/hari.
d) Anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus, dapat
diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam sebelum jalan
lahir.
d. Pengobatan obstetrik
1) Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu
a) Induksi persalinan: tetesan oksitosin dengan syarat nilai bishop 5 atau lebih dan
dengan fetal heart monitoring.
b) Sectio caesarea bila:
(1) Fetal assesment jelek
(2) Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai bishop kurang dari 5) atau adanya
kontraindikasi tetesan oksitosin.
(3) 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif.
(4) Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan sectio caesarea.
2) Cara terminasi kehamilan yang sudah inpartu
Kala I
a) Fase laten : 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan sectio caesarea.
b) Fase aktif : amniotomi saja, bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan
lengkap maka dilakukan sectio caesarea (bila perlu dilakukan tetesan oksitosin).
Kala II
a) Pada persalinan per vaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan.
Amniotomi dan tetesan oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah
pemberian terapi medikamentosa. Pada kehamilan 32 minggu atau kurang; bila
keadaan memungkinkan, terminasi ditunda 2 kali 24 jam untuk memberikan
kortikosteroid.
Perawatan konservatif
a. Indikasi: bila kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda
inpending eklampsia dengan keadaan janin baik.
b. Terapi medikamentosa: sama dengan terapi medikamentosa pada pengelolaan aktif,
hanya laoding dose MgSO4 tidak diberikan intravenous, cukup intramuskular saja
dimana 4 gram pada bokong kiri dan 4 gram pada bokong kanan.
c. Pengobatan obstetri:
1) Selama perawatan konservatif: observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif
hanya disini tidak dilakukan terminasi.
2) MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda preeklampsia ringan,
selambat-lambatnya dalam 24 jam.
3) Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap terapi medikamentosa gagal
dan harus diterminasi.
4) Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih dahulu MgSO4
20% 2 gram intravenous.
d. Penderita dipulangkan bila:
1) Penderita kembali ke gejala-gejala/tanda-tanda preeklampsia ringan dan telah
dirawat selama 3 hari.
2) Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan preeklampsia ringan: penderita dapat
dipulangkan dan dirawat sebagai preeklampsia ringan (diperkirakan lama perawatan
1-2 minggu).
2.1.9. Prognosis
The morbidity and mortality of both the mother and fetus are considered:
Fetal mortality and morbidity. The fetal mortality is 2% in a preeclamptic
pregnancy. Reccurence of preeclampsia, preeclampsia fetus in 25% of subsequent
pregnances for early onset (< 32 weeks), and in 5-8% of subsequent pregnancies for
late onset preeclampsia. Maternal complications of preeclampsia, preeclampsia is a
life-long disease, and has an impact on maternal cardiovascular health. There is a
risk of hypertension in later life and an eight-fold increase in risk of death from
stroke for those with preeclampsia prior to 37 weeks gestation (Cameron et al, 2009).
2.1.10. Komplikasi
Bergantung pada derajat preeklampsia yang dialami. Namun yang termasuk
komplikasi antara lain sebagai berikut:
2.1.10.1. Pada ibu
a. Eklampsia.
b. Solusio plasenta.
c. Perdarahan subskapula hepar.
d. Kelainan pembekuan darah (DIC).
e. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated, liver, enzymes, dan low platelet count).
f. Ablasio retina.
g. Gagal jantung hingga syok dan kematian.
2.1.10.2. Pada janin
a. Terhambatnya pertumbuhan dalam uterus.
b. Prematur.
c. Asfiksia neonatorum.
d. Kematian dalam uterus.
e. Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sectio caesarea adalah sebuah tindakan pembedahan
yang dilakukan guna mengeluarkan janin dan plasenta melalui insisi pada abdomen
dan uterus dengan syarat berat janin tidak kurang dari 500 gram.
2.2.2. Etiologi
Seorang ibu yang akan melahirkan perlu dilakukan tindakan persalinan sectio
caesarea tentu berdasarkan indikasi terlebih dahulu. Indikasi tersebut dapat dilakukan
dengan alasan medis antara lain: karena ibu maupun bayinya berisiko tinggi, bukan
karena alasan pribadi dari ibu sendiri/elektif. Adapaun indikasi dilakukannya sectio
caesarea pada klien karena keadaan berikut:
2.2.2.1. Faktor ibu
a. Distosia
Distosia merupakan suatu keadaan persalinan yang lama karena adanya kesulitan
dalam persalinan yang disebabkan oleh beberapa faktor dalam persalinan, baik faktor
dari ibu sendiri maupun faktor dari bayi dalam proses persalinan, seperti: kelainan
tenaga (his), kelelahan mengedan, kelainan jalan lahir, kelainan letak dan bentuk
janin, kelainan dalam besar/bobot janin, serta psikologis ibu.
b. Chepalopelvic disproportion (CPD)
Chepalopelvic disproportion (CPD) is a condition in which the size, shape, or
position of the fetal head prevents it from passing through the lateral aspect of the
maternal pelvis or when the maternal pelvis is of a size or shape that prevents the
descent of the fetus through the pelvis (Durham & Chapman, 2013).
CPD merupakan keadaan panggul ibu yang tidak sesuai dengan keadaan panggul
normal yang dimiliki kebanyakan wanita. Keadaan panggul yang tidak normal tidak
baik untuk dilakukan tindakan persalinan pervaginam.
c. Preeklampsia berat dan eklampsia
PEB dan eklampsia sangat rawan untuk dilakukan persalinan pervaginam karena ibu
dan bayinya berisiko tinggi terjadinya injuri. Pada umumnya, ibu hamil yang
menderita PEB ataupun eklampsia acap kali berakhir dengan persalinan sectio
caesarea.
d. Gagal proses persalinan
Gagal induksi persalinan merupakan indikasi dilakukannya sectio caesarea untuk
segera menyelamatkan ibu dan bayinya.
e. Sectio ulang
Jika seorang ibu mempunyai riwayat persalinan sectio, maka persalinan berikutnya
harus melalui tindakan persalinan sectio caesarea karena khawatir terjadi robekan
pada rahim.
f. Plasenta previa
Plasenta previa yaitu plasenta yang letaknya abnormal, yaitu plasenta yang terletak
pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir (ostium internum).
g. Solutio plasenta
Solutio plasenta disebut juga dengan nama abrupsio plasenta. Solutio plasenta adalah
terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta sebelum janin lahir.
h. Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
Tumor tersebut seperti mioma uteri, tumor ovarium, dan kanker rahim. Hal ini
bergantung pada jenis dan besarnya tumor tersebut. Hal yang perlu dipertimbangkan,
apakah persalinan dapat dilakukan secara pervaginam atau secara sectio caesarea.
i. Ruptur uteria
Adalah keadaan robekan pada rahim yang telah terjadi hubungan langsung antara
rongga amnion dan rongga peritoneum. Ruptur uteri, baik yang terjadi pada masa
hamil atau proses persalinan merupakan suatu kondisi bahaya yang besar pada wanita
dan janin yang dikandungnya.
j. Takut persalinan pervaginam
Pengalaman buruk yang dialami oleh orang lain saat persalinan pervaginam pun dapat
menjadi pencetus bagi seorang ibu untuk melakukan persalinan dengan sectio
caesarea.
k. Pengalaman buruk melahirkan pervaginam
Pengalaman buruk melahirkan pervaginam yang dialami ibu pada saat persalinan
sebelumnya, seperti adanya nyeri serta kecemasan yang sangat, dan menimbulkan
trauma bagi seorang ibu untuk menjalani persalinan pervaginam untuk melahirkan
berikutnya.
l. Adanya keinginan untuk melahirkan pada hari yang telah ditentukan.
Indikasi ini bukan merupakan indikasi medis, melainkan indikasi elektif akibat
keinginan pribadi seorang ibu atau keluarganya yang memilih persalinan sectio
caesarea.
m. Disfungsi uterus
Disfungsi uterus merupakan kerja uterus yang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan
tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim.
p. Usia ibu lebih dari 35 tahun
Kehamilan di atas usia 35 tahun memiliki resiko tiga kali lebih besar untuk terjadinya
persalinan dengan tindakan sectio caesarea dibandingkan dengan usia di bawah 35
tahun. Usia lebih dari 35 tahun termasuk ke dalam golongan usia berisiko tinggi
dalam kehamilan dan persalinan. Pada usia ini, berbagai masalah sering kali
menyertai kehamilannya, seperti plasenta previa totalis preeklampsia berat, kelelahan
dalam mengedan, dan sebagainya.
q. Herpes Genital Aktif
Herpes genital merupakan penyakit kelamin yang disebabkan oleh virus bernama
Herpes Simpleks Virus (HSV). Virus ini ditularkan melalui kontak langsung kulit atau
membran mukus dengan lesi yang aktif. Lesi herpes yang aktif pada genital ibu hamil
dapat menular ke bayi pada saat proses persalinan pervaginam. Penyebaran virus
herpes dari ibu hamil kepada janinnya dapat terjadi pada saat proses persalinan.
2.2.2.2. Alasan janin
a. Terjadinya gawat janin (distress)
Terjadinya gawat janin antara lain disebabkan: syok, anemia berat, preeklampsia
berat, eklampsia, dan kelainan kongenital. Keadaan gawat janin biasanya dinilai
dengan menghitung Denyut Jantung Janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya
mekonium di dalam cairan amnion. Janin disebut gawat janin apabila ditemukan
denyut jantung janin di atas 160/menit atau di bawah 100/menit, denyut jantung tak
teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal kehamilan.
b. Letak janin
Kelainan dengan letak sungsang, lintang, dan presentasi ganda atau majemuk
merupakan faktor penyulit dalam persalinan.
c. Kehamilan ganda
Kehahamilan ganda (kembar) adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih dalam
satu rahim dengan satu atau dua plasenta. Kehamilan kembar dapat berisiko tinggi,
baik terhadap ibu maupun bayinya.
d. Adanya bobot badan bayi yang ukurannya lebih dari normal
Bobot bayi lahir normalnya antara 2.500-4000 gram. Bobot bayi di atas 4000 gram
atau lebih dinamakan bayi besar (giant baby). Hal ini mengakibatkan bayi sulit keluar
dari jalan lahir ibu.
e. Cacat atau kematian janin sebelumnya
Khususnya pada ibu-ibu yang pernah melahirkan bayi yang cacat atau mati dilakukan
sectio caesarea elektif
f. Prolapsus funiculus umbilicalis
Prolapsus funiculus umbilicalis dengan cervix yang tidak berdilatasi sebaiknya diatasi
dengan sectio caesarea, asalkan bayinya berada dalam keadaan baik.
g. Insufisiensi placenta
Pada kasus retardasi pertumbuhan intrauterin atau kehamilan post matur dengan
pemeriksaan klinis dan berbagai test menunjukkan bahwa bayi dalam keadaan
bahaya, maka kelahiran harus dilaksanakan. Jika induksi tidak mungkin terlaksana
atau mengalami kegagalan, sectio caesarea menjadi indikasi.
h. Inkompabilitias rhesus
Kalau janin mengalami cacat berat akibat antibodi dari ibu Rh-negatif yang menjadi
peka dan kalau induksi serta persalinan per vaginam sukar teralaksana, maka
kehamilan dapat diakhiri dengan sectio caesarea bagi keselamatan janin.
i. Postmortem caesarean
Kadang-kadang bayi masih hidup, bilamana sectio caesarea segera dikerjakan pada
ibu hamil yang baru saja meninggal dunia.
2.2.4. Prognosis
Previous history of classical caesarean section or hysterotomy makes the woman
vulnurable to unpredictable rupture of the uterus. This may occur either late during
pregnancy or during labor and when it does, the maternal mortality is to the extent of
5% and the perinatal mortality to 75%. The risk of lower segment scar-rupture is low
(0.2-1.5%) and even if it does occur, maternal death is much less and the perinatal
mortality is about one in eight (Konar, 2015).
Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa
sekarang, oleh karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi,
penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun.
Angka kematian ibu pada rumah-rumah sakit dengan fasilias operasi yang baik dan
oleh tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000. Nasib janin yang
ditolong secara sectio caesarea sangat tergantung dari keadaan janin sebelum
dilakukan operasi. Menurut data dari negara-negara dengan pengawasan antenatal
yang baik dan fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4-7
%.
2.2.5. Komplikasi
Berbeda dengan persalinan normal, pasca sectio caesarea kemungkinan bisa saja
terjadi infeksi nifas, perdarahan pasca persalinan akibat teratnya pembuluh darah
cabang di rahim. Bisa juga terjadi luka kerat tak disengaja pada kandung kemih yang
letaknya memang di bawah rahim, selain kemungkinan emboli paru-paru, yakni
terhanyutnya butiran bekuan darah, atau apa saja yang terbawa ke dalam aliran darah,
dan tiba di paru-paru, sehingga terjadi sumbatan yang fatal akibatnya.
Komplikasi lainnya, bagaimana pun kuatnya jahitan pada rahim yang sudah pernah
disayat tidak lebih kuat dibanding rahim yang masih utuh. Risiko rahim untuk sobek
lebih besar dibanding rahim yang masih utuh. Selain itu, tentu bagaimana layaknya
tindakan pembedahan, persalinan dengan sectio caesarea memerlukan hari perawatan
yang lebih panjang ketimbang persalinan normal.
DAFTAR RUJUKAN
Burnside, Jhon W & McGlynn, Thomas J. (2008). Diagnosa Fisik. Ed. 17. Jakarta: EGC
Cameron, Peter., Jelinek, George., Kelly, Maree. A., Murray, Lindsay & Brown, Anthony. FT.
(2009). Textbook Of Adult Emergency Medicine. Third Edition. China: Elsevier
Damayanti, Ika Putri., Pitriani, Risa & Ardhiyanti, Yulrina. (2015). Panduan Lengkap
Keterampilan Dasar Kebidanan II. Ed. 1. Yogyakarta: Deepublish
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan selatan. (2013, 2014, 2015). Rekapitulasi Jumlah
Kematian Ibu dan Neonatal di Puskesmas dan Rumah Sakit Propinsi Kalimantan
Selatan.
Djannah Nur, S & Arianti Sukma, I. (2010). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Gambaran
Epidemiologi Kejadian Preeklampsia/Eklampsia di RSKU PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Tahun 2007-2009. Vol. 13 No. 4, Hal. 378.
Durham, Roberta & Chapman, Linda. (2013). Maternal-Newborn Nursing: The Critical
Components of Nursing Care. Philadelpia: F.A. Davis Company
Felicia, Devi., Fredy Chikita, f. & Iskandar Jayadi, W. (2008). Jurnal Mahasiswa Kedokteran
Ilmiah Indonesia. Suplementasi Asam Folat Sebagai Upaya Pencegahan
Preeklampsia Pada Ibu Hamil di Indonesia. Vol. III No. 01, Hal. 31
Hartono, Andry. (2014). Instant Access Ilmu Kebidanan. Tangerang: Binarupa Aksara
Publisher
Hidayat, A.Alimul. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba
Medika
Humas RSHS. (2014). Tahapan Mobilisasi Dini Post Operasi SC. Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung
James, David K & Steer, Philip J. (2011). High Risk Pregnancy Management Options. China:
Elsevier
Kementerian Kesehatan RI. (2014). InfoDATIN Pusat Data dan Informasi. Kementerian
Kesehatan RI.
Konar, Hiralal. (2015). DC Dutta’s Textbook Of Obstetrics. Eight Edition. Elsevier: China
Latin. (2014). Instant Access Ilmu Kebidanan. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher
Leveno, Kenneth J., Cunningham, Gary F., Gant, Norman F., Alexander, James M & Bloom,
Steven L. (2009). Williams Panduan Ringkas. Editor bahasa Indonesia, Egi Komara
Yudha, Nike Budhi Subekti. Ed. 21. Jakarta: EGC
Manuaba, Chandranita Ayu I., Manuaba, Fajar Gde Bagus I & Manuaba, Gde Bagus, I.
(2009). Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC
Marshall, Jayne & Raynor, Maureen. (2014). Myles Textbook For Midwives. Sixteenth Edition.
China: Elsevier
Medical record RSUD Ulin Banjarmasin. (2015, 2016). Buku Sensus Tahunan Ruang Nifas.
RSUD Ulin Banjarmasin.
Mitayani. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika
Nadesul, Hendrawan. (2009). Kiat Sehat Pranikah. Menjadi Calon Ibu, Membesarkan Bayi
dan Membangun Keluarga Muda. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Nanien, Indriani. (2011). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Preeklampsia/Eklamsia Pada Ibu Bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah
Kota Tegal Tahun 2011. Skripsi, Universitas Indonesia.
Norwitz, Errol. R & Schorge, Jhon. O. (2007). At A Glance Obstetri dan Ginekologi. Edisi
kedua. Jakarta: Gelora Aksara Pratama
Nugroho, Taufan. (2012). Obsgyn : Obstetri dan Ginekologi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan
Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda. Jilid 2. Yogyakarta: Media Action
Prawirohardjo, Sarwono. (2008). Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Ed. 4, Cet.
4. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Pribadi, Adhi., Mose, Johannes. C & Anwar, Deborah A. (2015). Kehamilan Resiko Tinggi.
CV. Jakarta: Sagung Seto
Rahmadani, Apri., Noerjasin, Herlambang. & Zamri, Aywar. (2012). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Terjadinya Preeklampsia-Eklampsia. Hal. 3
Setiyaningrum, Erna. (2013). Asuhan Kegawatdaruratan Maternitas (Asuhan Kebidanan
Patologi). Jakarta: In Media
Siswosudarmo, Risanto & Emilia, Ova. (2008). Obstetri Fisiologi. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC
Solehati, Tetti & Kosasih, Eli. C. (2015). Konsep dan Aplikasi Relaksasi Dalam
Keperawatan Maternitas. Jakarta: Refika Aditama
Sumarni, Sri., Hidayat, Syaifurrahman. & Mulyadi, Eko. (2012). Jurnal Kesehatan Wirajaja
Medika. Hubungan Gravida Ibu Dengan Kejadian Preeklampsia. Hal. 3
Tharpe, Nell. L & Farley, Cindy. L. (2012). Kapita Selekta : Praktik Klinik Kebidanan.
Editor Edisi Bahasa Indonesia, Pamilih Eko Karyuni. Ed. 3. Jakarta: EGC
Uliyah, Musrifatul & Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Praktikum Keterampilan Dasar
Praktik Klinik: Aplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika