Anda di halaman 1dari 38

Tinjauan Teori Preeklampsia Berat

2.1.1. Fisiologi kehamilan


Kehamilan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan baik anatomis maupun
fisiologis pada ibu. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan perubahan dalam nilai-
nilai normal berbagai hasil pemeriksaan laboratorium.
2.1.1.1. Perubahan pada alat genital dan payudara
a. Uterus
Besar uterus sampai aterm dapat mencapai 1000 kali besarnya sebelum hamil,
beratnya mencapai 30 kali, dan kapasitas isinya kurang lebih adalah 5 liter. Uterus
yang membesar ini memberikan penekanan-penekanan terhadap alat-alat sekitarnya
sehingga memberikan pula keluhan-keluhan gastrointestinal, respirasi, kardiovaskuler
dan sistem urinaria. Aliran darah ke uterus naik 60 kali, menjadi kira-kira 600
ml/menit (kira-kira 10% cardiac output).
b. Vagina dan serviks
Banyak wanita mengeluh keputihan selama kehamilan. Bila tidak disertai rasa
gatal/panas, biasanya ini hanya disebabkan oleh sekresi serviks yang meningkat
sebagai akibat stimulasi estrogen. Pengobatan pada umumnya tidak perlu.
c. Ovarium
Korpus luteum mengalami regresi pada minggu ke-8. Selanjutnya, ovarium menjadi
inaktif karena hormon-
hormon pituitaria ditekan oleh estrogen dan progesteron plasenta.
d. Payudara
Payudara tumbuh membesar karena proliferasi asini maupun duktus laktiferus.
Pertumbuhan mammae dipacu oleh estrogen dan prolaktin. Pada kulit timbul striae
dan beberapa vena tampak membesar, muncul di permukaan. Areola dan pappila
lebih hiperpigmentasi. Pada beberapa bulan kehamilan, dari papilla dapat keluar
kolostrum bila dilakukan masase ringan. Laktasi sendiri baru terjadi beberapa hari
setelah persalinan.
2.1.1.2. Perubahan sistem endokrin
Perubahan-perubahan hormonal selama kehamilan terutama akibat produksi estrogen
dan progesteron plasenta dan juga hormon-hormon yang dikeluarkan oleh janin.
a. Estrogen
Produksi estrogen plasenta terus naik selama kehamilan dan pada akhir kehamilan
kadarnya kira-kira 100 kali sebelum hamil.
b. Progesteron
Produksi progesteron bahkan lebih banyak dibanding estrogen. Kira-kira Pada akhir
kehamilan produksinya 250 mg/hari. Progesteron menyebabkan tonus otot polos
menurun dan juga diuresis.
c. Human Chorionic Gonadotropin (HCG)
Hormon ini dapat terdeteksi beberapa hari setelah pembuahan dan merupakan dasar
tes kehamilan. Puncak sekresinya terjadi kurang lebih 60 hari setelah konsepsi.
Fungsi utamanya adalah mempertahankan korpus luteum.

d. Human Placental Lactogen (HPL)


Produksi hormon ini terus naik dan pada saat aterm mencapai 2 gram/hari. Efeknya
mirip dengan hormon pertumbuhan dan ia juga bersifat diabetogenik sehingga
kebutuhan insulin wanita hamil meningkat.
e. Pituitary Gonadotropin
FSH dan LH berada dalam keadaan sangat rendah selama kehamilan karena ditekan
oleh estrogen dan progesteron plasenta.
f. Prolaktin
Produksinya terus meningkat sampai aterm, sebagai akibat kenaikan sekresi estrogen.
Sekresi air susu sendiri dihambat oleh estrogen di tingkat target organ.
g. Growth Hormon (STH)
Produksinya sangat rendah karena mungkin ditekan HPL.
h. TSH, ACTH dan MSH
Hormon-hormon ini tidak banyak dipengaruhi oleh kehamilan.
i. Tiroksin
Kelenjar tiroid mengalami hipertrofi dan produksi T4 meningkat. Namun, T4 bebas
relatif tetap karena thyroid binding globulin meninggi, yang merupakan akibat
tingginya estrogen.
j. Aldosteron, renin dan angiotensin
Hormon ini naik, yang menyebabkan naiknya volume intravaskular.
k. Insulin
Produksi insulin meningkat sebagai akibat estrogen, progesteron dan HPL.

l. Parathormon
Hormon ini relatif tidak dipengaruhi oleh kehamilan.
2.1.1.3. Perubahan sistem kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular selama kehamilan memberikan banyak implikasi
terhadap manajemen penyakit jantung pada wanita hamil. Perubahan tersebut
mempengaruhi manajemen persalinan dan perawatan selama dan setelah kehamilan.
Perubahan dasar pada sistem kardiovaskular adalah:
a. Volume darah. Pada kehamilan 32 minggu, volume total darah meningkat 40%,
dengan peningkatan volume total plasma mencapai 50%. Akan tetapi, oleh karena
tidak diikuti peningkatan sel darah merah yang sesuai (hanya meningkat 20%) maka
terjadi pengenceran konsentrasi darah yang bisa berakibat anemia.
b. Cardiac output. Naiknya stroke volume menimbulkan peningkatan cardiac output
sebesar 30-50% pada kehamilan 20-24 minggu. Penurunan cardiac output juga
terjadi bila wanita hamil dalam posisi supinasi karena adanya kompresi vena cava.
c. Penurunan hambatan vaskuler sistemik Selama kehamilan. Puncaknya terjadi selama
trimester kedua dan kemudian menurun kembali seperti masa sebelum kehamilan
pada usia aterm.
d. Redistribusi aliran darah. Selama kehamilan, aliran darah ke ginjal, kulit dan uterus
menjadi meningkat. Aliran darah ke uterus bisa mencapai 5000 mL/menit pada usia
aterm.
e. Perubahan hemodinamik saat persalinan. Tekanan vena meningkat selama persalinan
karena kontraksi uterus menimbulkan peningkatan aliran venosa dari vena uterine.
Akibatnya, cardiac output meninggi, tekanan ventrikuler kanan dan tekanan arterial
rata-rata pun meningkat.
f. Perubahan hemodinamik setelah persalinan. Pada masa postpartum, kompresi vena
cava menurun sehingga menimbulkan peningkatan volume darah. Cardiac output
yang tinggi memungkinkan munculnya reflex bradikardia. Oleh karena banyak darah
hilang, perubahan hemodinamik ini tidak begitu kentara pada pasien operasi sesar.
2.1.1.4. Perubahan sistem respiratorius
a. Perubahan struktur. Mukosa saluran respiratorius atas menjadi edema dan produksi
mucus meningkat yang menyebabkan rasa sumpek dan gejala flu kronik. Sudut
subcosta meningkat selama hamil. Diameter transversal dan lingkaran dada juga
meningkat awal selama kehamilan. Pada akhir kehamilan, diafragma naik, tetapi
gerakan diafragma pada setiap nafas menjadi bertambah.
b. Konsumsi oksigen
1) Meskipun ventilasi menit 30-40% selama hamil, konsumsi oksigen hanya meningkat
15-20%. Akibatnya, tingkat PO2 meningkat hingga 104-108 mmHg. Meningkatnya
konsumsi oksigen terutama dikaitkan dengan kecukupan konsumsi oksigen fetus dan
plasenta, meningkatnya cardiac output maternal, meningkatnya kecepatan filtrasi
glomerulus, dan meningkatnya massa jaringan payudara dan uterus.
2) Meskipun produksi karbondioksida naik selama hamil, kadar PCO2 turun hingga 27-
32 mmHg karena naiknya ventilasi menit. Penurunan ini membantu pertukaran
karbondioksida antara ibu dan janin. Meningkatnya pH arterial hanya sedikit karena
penurunan kadar PCO2 diimbangi dengan penurunan kadar serum bikarbonat hingga
18-31 mEq/L akibat peningkatan kecepatan ekskresi ginjal.
c. Volume tidal meningkat 30-40% selama kehamilan. Progesterone menurunkan
ambang karbondioksida dalam pusat respirasi. Volume cadangan ekspirasi dan
kapasitas residual fungsi menurun selama hamil, tetapi kecepatan respirasi dan
kapasitas vital sama.
d. Resistensi Forced expiratory volume dan peak expiratory flow rate tidak berubah
selama kehamilan.
Perubahan sistem urinaria
1) Perubahan struktur. Selama kehamilan, panjang ginjal bertambah 1 cm, volumenya
bertambah 30% dan ukuran system kolektivus meningkat lebih dari 80%, dengan
dilatasi lebih banyak.
2) Fungsi ginjal. Wanita hamil mengalami akumulasi natrium 500-900 mEq dan 6-8 L
air. Oleh karena bertambahnya volume cairan, aliran plasma ginjal meningkat 60-
80% pada pertengahan trimester dua dan menetap hingga trimester tiga, selanjutnya
50% selama kehamilan. Kecepatan filtrasi glomerulus mulai meningkat pada minggu
ke-6 kehamilan dan mencapai puncak pada akhir trimester pertama.
3) Fungsi tubulus. Resorpsi tubuler menurun selama hamil sehingga menimbulkan
peningkatan ekskresi glukosa, asam amino dan protein. Meningkatnya glukosa urin
membuat wanita hamil lebih rentan terhadap infeksi saluran kencing dan bakteriuri.
4) Penilaian fungsi ginjal. Proteinuria harus diperiksa pada kunjungan antenatal. Nilai
+1 harus diikuti dengan penilaian selanjutnya seperti urin midstream untuk kultur dan
pemeriksaan mikroskopik.
2.1.1.5. Perubahan sistem gastrointestinal
Perasaan tidak enak di ulu hati disebabkan oleh perubahan posisi lambung dan aliran
balik asam lambung ke esophagus bagian bawah. Produksi asam lambung menurun.
Pada trimester I sering terjadi nausea dan muntah karena pengaruh HCG. Penderita
sering meludah dan tidak enak makan. Hemoroid sering terjadi karena pengaruh
estrogen. Selama kehamilan enzim hati tetap normal dan mungkin menurun karena
hemodilusi. Kadar lipid, fibrinogen dan alkali fosfatase meningkat tajam selama
kehamilan dan kadar albumin menurun 20% pada awal trimester satu. Dengan
membesarnya uterus ke abdomen atas, hepar terdesak ke belakang kanan. Perubahan
tempat ini mengurangi ukuran perkiraan waktu pemeriksaan fisik. Hepar yang teraba
selama hamil harus dianggap abnormal dan perlu tindakan lanjut.
2.1.1.6. Perubahan sistem skeletal
Uterus yang membesar akan memperbesar derajat lordosis sehingga sering
menyebabkan sakit pinggang. Bila wanita mengalami defisiensi kalsium, dapat terjadi
demineralisasi tulang dan/gigi. Sendi-sendi panggul menjadi lebih mobile.

2.1.1.7. Perubahan-perubahan metabolisme


a. Air
Menjelang aterm, akumulasi air dalam darah, uterus dan payudara yang membesar
kira-kira 3 liter banyaknya. Janin, plasenta dan air ketuban mengandung kira-kira 3,5
liter sehingga kelebihan air rata-rata adalah 6,5 liter. Oleh karena itu tekanan venosa
yang meningkat di bagian bawah (di bawah uterus), dapat dijumpai pitting edema di
kaki/tungkai bawah.
b. Protein
Penambahan protein sebanyak kira-kira 500 gram dideposisikan di uterus sebagai
miometrium, ke kelanjar susu dan di dalam darah sebagai hemoglobin dan protein
plasma.
c. Karbohidrat
Pada wanita sehat gula darah puasa sedikit turun. Estrogen, progesteron dan kortisol
diduga juga mempunyai efek diabetik. Dalam plasenta didapatkan juga insulinase,
tetapi ternyata kecepatan degradasi insulin invio pada wanita hamil tidak berbeda
dengan wanita yang tidak hamil. Pada wanita sehat dalam kehamilan sering dijumpai
glukosuria karena naiknya kecepatan filtrasi glomerulus dan menurunnya reabsorbsi
oleh tubulus.
d. Lemak
Semua fraksi lemak mengalami kenaikan, yaitu lipid total, kolesterol, fosfolipid,
lemak netral lipoprotein dan asam lemak bebas.

e. Mineral
Konsentrasi tembaga pada awal kehamilan meningkat dan kalsium sedikit mengalami
penurunan, mungkin karena zat pembawanya, yaitu protein, mengalami sedikit
penurunan pula.
2.1.1.8. Perubahan asam basa
Wanita hamil mengalami hiperventilasi sehingga timbul alkalosis respirasi, yang
disebabkan oleh penurunan PCO2 darah, yang dapat dikompensasi oleh bikarbonat
plasma.

2.1.2. Perubahan pada sistem dan organ pada preeklampsia


2.1.2.1. Volume plasma
Pada hamil normal volume plasma meningkat dengan bermakna (disebut
hipervolemia), guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Peningkatan tertinggi
volume plasma pada hamil normal terjadi pada umur kehamilan 32-34 minggu.
Sebaliknya, oleh sebab yang tidak jelas pada preeklampsia terjadi penurunan volume
plasma antara 30% - 40% dibanding hamil normal, disebut hipovolemia.
Hipovolemia diimbangi dengan vasokontriksi, sehingga terjadi hipertensi. Volume
plasma yang menurun memberi dampak yang luas pada organ-organ penting.
2.1.2.2. Hipertensi
Merupakan tanda terpenting guna menegakkan diagnosis hipertensi dalam kehamilan.
Tekanan diastolik menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan sistolik
menggambarkan besaran curah jantung. Pada preeklampsia peningkatan reaktivitas
vaskular dimulai umur kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi dideteksi umumnya
pada trimester II. Tekanan darah yang tinggi pada preeklampsia bersifat labil dan
mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah menjadi normal beberapa hari
pasca persalinan, kecuali beberapa kasus preeklampsia berat kembalinya tekanan
darah normal dapat terjadi 2-4 minggu pasca persalinan. Tekanan darah bergantung
terutama pada curah jantung, volume plasma, resistensi perifer, dan viskositas darah.
Timbulnya hipertensi adalah akibat vasospasme menyeluruh dengan ukuran tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg selang 6 jam. Tekanan diastolik ditentukan pada hilangnya
suara korotkoff’s phase V. dipilihnya tekanan diastolik 90 mmHg sebagai batas
hipertensi, karena batas tekanan diastolik 90 mmHg yang disertai proteinuria,
mempunyai korelasi dengan kematian perinatal tinggi. Meningkat proteinuria
berkorelasi dengan nilai absolut tekanan darah diastolik, maka kenaikan (perbedaan)
tekanan darah tidak dipakai sebagai kriteria diagnosis hipertensi, hanya sebagai tanda
waspada.
2.1.2.3. Fungsi ginjal
a. Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal berikut:
1) Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga terjadi oliguria,
bahkan anuria
2) Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran
basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Proteinuria terjadi
jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria,
karena janin lebih dulu lahir.
3) Terjadi Glomerular Capillary Endotheliosis akibat sel endotel glomerular
membengkak disertai deposit fibril.
4) Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila sebagian besar kedua
korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi “nekrosis korteks ginjal” yang
bersifat irreversibel.
5) Dapat terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal akibat vasospasme pembuluh darah.
b. Proteinuria
Adalah suatu kondisi dimana terdapat terlalu banyak protein dalam urin yang
disebabkan oleh kerusakan ginjal.
1) Bila proteinuria timbul
a) Sebelum hipertensi, umumnya merupakan gejala penyakit ginjal.
b) Tanpa hipertensi, maka dapat dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan
c) Tanpa kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, umumya ditemukan pada
infeksi saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan proteinuria pada tekanan
diastolik < 90 mmHg.
c. Proteinuria merupakan syarat diagnosis preeklampsia, tetapi proteinuria umumnya
timbul jauh pada akhir kehamilan, sehingga dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria,
karena janin sudah lahir lebih dulu.
d. Pengukuruan proteinuria, dapat dilakukan dengan (1) urin dipstik: 100 mg/l atau +1,
sekurang-kurangnya dieriksa 2 kali urin acak selang 6 jam dan (2) pengumpulan
proteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis bila besaran proteinuria ≥ 300 mg/24
jam.
e. Asam urat serum (urid acid serum): umumnya meningkat ≥ 5 mg/cc.
Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, yang menimbulkan menurunnya aliran darah
ginjal dan mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga menurunnya
sekresi asam urat. Peningkatan asam urat dapat terjadi juga akibat iskemia jaringan.
f. Kreatinin
Sama halnya dengan kadar asam urat serum, kadar kreatinin plasma pada
preeklampsia juga meningkat. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, maka aliran
darah ginjal menurun, mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga
menurunnya sekresi kreatinin, disertai peningkatan kreatinin plasma. Dapat mencapai
kadar kreatinin plasma ≥ 1 mg/cc, dan biasanya terjadi pada preeklampsia berat
dengan penyulit pada ginjal.
g. Oliguria dan anuria
Oliguria dan anuria terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal
menurun yang mengakibatkan produksi urin menurun (oliguria), bahkan dapat terjadi
anuria. Berat ringannya oliguria menggambarkan berat ringannya hipovolemia. Hal
ini berarti menggambarkan pula berat ringannya preeklampsia.
2.1.2.4. Elektrolit
Kadar elektrolit total menurun pada waktu hamil normal. Pada preeklampsia, kadar
elektrolit total sama seperti hamil normal, kecuali bila diberi diuretikum banyak,
restriksi konsumsi garam atau pemberian cairan oksitosin yang bersifat antidiuretik.
Preeklampsia berat mengalami hipoksia dapat menimbulkan gangguan keseimbangan
asam basa. Kadar natrium dan kalium pada preeklampsia sama dengan kadar hamil
normal, yaitu sesuai dengan proporsi jumlah air dalam tubuh. Karena kadar natrium
dan kalium tidak berubah pada preeklampsia, maka tidak terjadi retensi natrium yang
berlebihan.
2.1.2.5. Tekanan osmotik koloid plasma/tekanan onkotik
Osmolaritas serum dan tekanan onkotik menurun pada umur kehamilan 8 minggu.
Pada preeklampsia tekanan onkotik makin menurun karena kebocoran protein dan
peningkatan permeabilitas vaskular.
2.1.2.6. Koagulasi dan fibrinolisis
Gangguan koagulasi pada preeklampsia, misalnya trombositopenia, jarang yang berat,
tetapi sering dijumpai. Pada preeklampsia terjadi peningkatan FDP, penurunan anti
trombin II, dan peningkatan fibronektin.
2.1.2.7. Viskositas darah
Viskositas darah ditentukan oleh volume plasma, molekul makro: fibrinogen dan
hematokrit. Pada preeklampsia viskositas darah meningkat, mengakibatkan
meningkatnya resistensi perifer dan menurnnya aliran darah ke organ.
2.1.2.8. Hematokrit
Pada hamil normal hematokrit menurun karena hipovolemia, kemudian meningkat
lagi pada trimester III akibat peningkatan produksi urin. Pada preeklampsia
hematokrit meningkat karena hipovolemia yang menggambarkan beratnya
preeklampsia.
2.1.2.9. Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema yang terjadi pada kehamilan
mempunyai banyak interpretasi, misalnya 40% edema dijumpai pada hamil normal,
60% edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi, dan 80% edema dijumpai
pada kehamilan dengan hipertensi dan proteinuria. Edema terjadi karena
hipoalbuminea atau kerusakan sel endotel kapilar. Edema yang patologik adalah
edema yang nondependen pada muka dan tangan, atau edema generalisata, dan
biasanya disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat.
2.1.2.10. Hematologik
Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat vasospasme,
hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopatik akibat spasme arteriole dan hemolisis
akibat kerusakan endotel arteriole. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan
hematokrit akibat hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan
gejala hemolisis mikroangiopatik.
2.1.2.11. Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan perdarahan. bila terjadi
perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel hepar dan
peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah kapsula
hepar dan disebut subkapsular hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa
nyeri di daerah epigastrium dan dapat menimbulkan rupture hepar, sehingga perlu
pembedahan.
2.1.2.12. Neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa:
a. Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik edema.
b. Akibat spasme arteria retina dan edema retina dapat terjadi gangguan visus.
Gangguan visus dapat berupa: pandangan kabur, skomatoma, amaurosis yaitu
kebutaan tanpa jelas adanya kelainan dan ablasio retina (retinal detachment).
c. Hiperrefleksi sering dijumpai pada preeklampsia berat, tetapi bukan faktor prediksi
terjadinya eklampsia.
d. Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik belum diketahui jelas.
Faktor-faktor yang menimbulkan kejang eklamptik ialah edema serebri, vasospasme
serebri dan iskemia serebri.
e. Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada preeklampsia berat dan
eklampsia.
2.1.2.13. Kardiovaskular
Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat
hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat hipovolemia.
2.1.2.14. Paru
Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar terjadinya edema paru. Ede-ma
paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh
darah kapiler paru, dan menurunnya diuresis.
2.1.2.15. Janin
Preeklampsia dan eklampsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin yang
disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan
kerusakan sel endotel pembuluh darah plasma.
Dampak preeklampsia dan eklampsia pada janin adalah:
a. Intrauterin growth restriction (IUGR) dan oligohidramnion.
b. Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung akibat intrauterine
growth restriction, prematuritas, oligohidramnion, dan solusio plasenta.
2.1.3. Definisi
Preeklampsia adalah gangguan multisistem yang bersifat spesifik terhadap kehamilan
dan masa nifas, lebih tepatnya penyakit ini merupakan penyakit plasenta karena juga
terjadi pada kehamilan di mana terdapat trofoblas tetapi tidak ada jaringan janin
(kehamilan mola komplet) (Norwitz & Schorge, 2008).

Preeclampsia is a pregnancy-specific syndrome characterized by variable degrees of


placental dysfunction and a maternal response featuring systemic inflamation. Most
consider hypertension and proteinuria to be the hallmarks of preeclampsia, but the
clinical manifestations of this syndrome are very heterogenous (James et al, 2011).

Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan


timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema
pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Nugroho, 2012).

Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:


2.1.3.1. Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring telentang,
atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih; atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau
lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak
periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
b. Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka atau kenaikan berat 1 kg atau lebih per
minggu.
c. Proteinuria kwantitatif 0,3 gr atau lebih per liter, kwalitatif 1 + atau 2 + pada kateter
atau midstream.
d. Preeklampsia berat
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2) Proteinuia 5 gr atau lebih per liter.
3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam.
4) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri pada epigastrium.
5) Terdapatnya edema paru dan sianosa.
6) Sindrom HELLP.
7) Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat
8) Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurnan trombosit dengan cepat.
9) Kenaikan kadar kreatinin plasma.
10) Edema paru dan sianosis.
11) Hemolisis mikroangiopatik.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa preeklampsia adalah suatu keadaan dimana terjadi
kenaikan tekanan darah sistolik 160/110 mmHg dan diastolik > 110 mmHg pada usia
kehamilan 20 minggu, yang disertai dengan proteinuria serta terjadi penimbunan
cairan pada ekstreimtas tubuh.

2.1.4. Etiologi
Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi preeklampsia, yaitu:
2.1.4.1. Abnormalitas invasi trofoblas.
2.1.4.2. Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)- fetal.
2.1.4.3. Maladaptasi kardiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses kehamilan
normal.
2.1.4.4. Fator genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara mekanisme epigenetik.
2.1.4.5. Faktor nutrisi, kurangnya intake antioksidan.
2.1.4.6. Faktor risiko
a. Primigravida, primipaternitas.
b. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus,
hidrops fetalis, bayi besar.
c. Umur yang ekstrim.
d. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia.
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada selama hamil.
f. Obesitas.

2.1.5. Patofisiologi
Berdasarkan perjalanan penyakit teori 2 tahap, preeklampsia dibagi menjadi 2 tahap
penyakit tergantung gejala yang timbul. Tahap pertama bersifat asimtomatik (tanpa
gejala), dengan karakteristik perkembangan abnormal plasenta pada trimester
pertama. Perkembangan abnormal plasenta terutama proses angiogenesis
mengakibatkan insufisiensi plasenta dan terlepasnya material plasenta memasuki
sirkulasi ibu.

Terlepasnya material plasenta memicu gambaran klinis tahap 2, yaitu tahap


simtomatik (timbul gejala). Pada tahap ini berkembang gejala hipertensi, gangguan
renal, dan proteinuria, serta potensi terjadinya sindrom HELLP, eklamsia dan
kerusakan end organ lainnya.

Dua fakta klinis tersebut menuntun pada hipotesis kuat bahwa plasenta memegang
peranan penting dalam patogenesis preeklampsia. Terapi paling efektif dari
preeklampsia adalah dengan melahirkan plasenta. Selain itu bila plasenta berkembang
berlebihan (hiperplasentosis), misalnya pada mola hidatidosa atau gemeli, seringkali
berkembang menjadi preeklampsia berat. Hal tersebut didukung oleh pemeriksaan
patologi bahwa pada plasenta dengan preeklampsia terdapat infark luas, sklerosis
yang menyebabkan penyempitan arteri dan arteriol serta terdapat remodeling yang in
adekuat pada arteri spiralis.

Pada tahap asimtomatik meskipun gejala klinik belum terlihat, tetapi pemeriksaan
tertentu dapat mengidentifikasi perubahan yang terjadi. Pemeriksaan USG doppler
arteri uterina dapat menilai adanya perubahan pada aliran darah yang disebabkan
karena peningkatan resistensi vaskular sebelum gejala klinis timbul. Selanjutnya
peningkatan vasokontriksi ateri uterina akan menimbulkan hipertensi, proteinuria,
dan endoteliosis glomerular. Gejala-gejala tersebut yang mendukung untuk
ditegakkannya diagnosis preeklampsia, dan merupakan suatu tahap kedua atau
preeklampsia dengan manifestasi gejala klinik. Sehingga adanya ganguan histologi,
fungsi, dan metabolisme plasenta diduga sangat besar peranannya pada patofisologi
preeklampsia (Pribadi et al, 2015).
Skema 2.1 Pathway Preeklampsia
Sumber (NANDA & NIC NOC, 2013)
2.1.6. Tanda dan gejala
Gejala klinis preeklampsia sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang
mengancam kematian ibu. Efek yang sama terjadi pula pada janin, mulai dari yang
ringan, PJT dengan komplikasi pascasalin sampai kematian intrauterin.
2.1.6.1. Gejala
Kebanyakan ibu hamil pada awal preeklampsia tidak menunjukkan gejala. Sementara
preeklampsia fase lanjut sering menimbulkan gejala yang berhubungan dengan
kurangnya perfusi jaringan, misalnya terjadi sakit ulu hati, mual, muntah, sakit
punggung, dll. Gejala hipoksia terjadi sakit kepala, kurangnya kesadaran, penurunan
penglihatan, skotomata, dll. Parestesia, pegal, dapat terjadi bila saraf terganggu
karena kompresi. Terdapat gejala yang sangat serius ditangani terutama bila
menyangkut organ vital seperti jantung, dan perdarahan antepartum karena
preeklampsia akan meningkatkan risiko untuk solutio plasenta.
2.1.6.2. Tanda
Tanda preeklampsia meliputi :
a. Tanda tersering adalah hipertensi.
b. Proteinuria.
c. Perubahan retinal.
d. Hiperrefleksia.
e. Tanda spesifik kelainan organ seperti dekompensasi jantung menimbulkan edema
tungkai yang masif kadang disertai asites dan hidrotoraks. Pembesaran hepar
menyebabkan nyeri tekan, pecahnya pembuluh darah perifer seperti ptechiae,
purpura, dan bila berat menyebabkan gangguan pembekuan darah sistemik (seperti
disseminated intracorpuscular/DIC).
2.1.7. Pemeriksaan penunjang
2.1.7.1. Maternal
a. Asam urat
Hipertensi yang disertai peningkatan asam urat berhubungan dengan PJT.
Hiperurikemia merupakan tanda dini penyakit karena terjadi penurunan klirens asam
urat sebelum penurunan filtrasi glomerular filtration rate (GFR) ginjal terjadi.
Peningkatan asam urat dalam darah tidak hanya gangguan fungsi ginjal tetapi dapat
pula disebabkan peningkatan stres oksidatif.
b. Kreatinin
Terjadi peningkatan kreatinin pada preeklampsia berat tetapi biasanya belum terjadi
perubahan pada preeklampsia ringan.
c. Tes fungsi hepar
Peningkatan aspartat aminotranferase (AST/SGOT) dan alanine aminotransferase
(ALT/SGPT) merupakan tanda prognosis buruk pada ibu dan janin. Konsentrasi dari
protein ini berhubungan dengan beratnya penyakit preeklampsia dengan komplikasi
berat pada hepar.
d. Faktor pembekuan
Terjadi penurunan dari faktor III, faktor VIII selain trombositopenia. Gangguan ini
menimbulkan risiko terjadi perdarahan pasca persalinan.
e. Analisis urine (proteinuria).
f. Pencocokan ulang : cross matching.
g. Pemeriksaan urine untuk ekskresi protein 24 jam.
2.1.7.2. Fetal
a. Klik chart (rekaman gerakan janin).
b. CTG (kardiografi).
2.1.8. Penatalaksanaan medis
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat
selama perawatan maka perawatan dibagi menjadi:
2.1.8.1. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhri atau diterminasi ditambah pengobatan
medisinal.
2.1.8.2. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan
medisinal.

Perawatan aktif
a. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan
pemeriksaan fetal assaement (NST & USG).
b. Indikasi
1) Ibu
a) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih.
b) Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia.
c) Kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan medikamentosa terjadi
kenaikan tekanan darah atau setelah 24 jam terapi medikamentosa tidak ada
perbaikan.
2) Janin
a) Hasil fetal assesment jelek (NST & USG).
b) Adanya tanda IUGR.
3) Laboratorium
a) Adanya “HELLP syndrome” (hemolisis dan peningkatan fungsi hepar,
trombositopenia).
c. Pengobatan medikamentosa
1) Segera masuk rumah sakit.
2) Tidur baring, miring ke satu sisi (sebaiknya kiri), tanda vital diperiksa setiap 30
menit, refleks patella setiap jam.
3) Infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL (60-125 cc/jam)
500 cc.
4) Antasida.
5) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
6) Pemberian obat anti kejang: diazepam 20 mg IV dilanjutkan dengan 40 mg dalam
Dekstrose 10% selang 4-6 jam atau MgSO4 40% 5 gram IV pelan-pelan dilanjutkan 5
gram dalam RL 500 cc untuk 6 jam.
7) Diuretik tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung
kongestif atau edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg/IV.
8) Antihipertensi diberikan bila: tekanan darah sistolik e”180 mmHg, diastolik e” 110
mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Dapat diberikan catapres ½-1 ampul IM dapat
diulang tiap 4 jam, atau alfametildopa 3 x 250 mg, dan nifidipine sublingual 5-10 mg.
9) Kardiotonika, indikasinya, bila ada tanda-tanda payah jantung, diberikan digitalisasi
cepat dengan cedilanid.
10) Lain-lain:
a) Konsul bagian penyakit dalam/jantung, mata.
b) Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal lebih dari 38,5 derajat celcius dapat
dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylamidon 2 cc IM.
c) Antibiotik diberikan atas indikasi, diberikan ampicilin 1 gr/6 jam/IV/hari.
d) Anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus, dapat
diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam sebelum jalan
lahir.
d. Pengobatan obstetrik
1) Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu
a) Induksi persalinan: tetesan oksitosin dengan syarat nilai bishop 5 atau lebih dan
dengan fetal heart monitoring.
b) Sectio caesarea bila:
(1) Fetal assesment jelek
(2) Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai bishop kurang dari 5) atau adanya
kontraindikasi tetesan oksitosin.
(3) 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif.
(4) Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan sectio caesarea.
2) Cara terminasi kehamilan yang sudah inpartu
Kala I
a) Fase laten : 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan sectio caesarea.
b) Fase aktif : amniotomi saja, bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan
lengkap maka dilakukan sectio caesarea (bila perlu dilakukan tetesan oksitosin).
Kala II
a) Pada persalinan per vaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan.
Amniotomi dan tetesan oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah
pemberian terapi medikamentosa. Pada kehamilan 32 minggu atau kurang; bila
keadaan memungkinkan, terminasi ditunda 2 kali 24 jam untuk memberikan
kortikosteroid.

Perawatan konservatif
a. Indikasi: bila kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda
inpending eklampsia dengan keadaan janin baik.
b. Terapi medikamentosa: sama dengan terapi medikamentosa pada pengelolaan aktif,
hanya laoding dose MgSO4 tidak diberikan intravenous, cukup intramuskular saja
dimana 4 gram pada bokong kiri dan 4 gram pada bokong kanan.
c. Pengobatan obstetri:
1) Selama perawatan konservatif: observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif
hanya disini tidak dilakukan terminasi.
2) MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda preeklampsia ringan,
selambat-lambatnya dalam 24 jam.
3) Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap terapi medikamentosa gagal
dan harus diterminasi.
4) Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih dahulu MgSO4
20% 2 gram intravenous.
d. Penderita dipulangkan bila:
1) Penderita kembali ke gejala-gejala/tanda-tanda preeklampsia ringan dan telah
dirawat selama 3 hari.
2) Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan preeklampsia ringan: penderita dapat
dipulangkan dan dirawat sebagai preeklampsia ringan (diperkirakan lama perawatan
1-2 minggu).

2.1.9. Prognosis
The morbidity and mortality of both the mother and fetus are considered:
Fetal mortality and morbidity. The fetal mortality is 2% in a preeclamptic
pregnancy. Reccurence of preeclampsia, preeclampsia fetus in 25% of subsequent
pregnances for early onset (< 32 weeks), and in 5-8% of subsequent pregnancies for
late onset preeclampsia. Maternal complications of preeclampsia, preeclampsia is a
life-long disease, and has an impact on maternal cardiovascular health. There is a
risk of hypertension in later life and an eight-fold increase in risk of death from
stroke for those with preeclampsia prior to 37 weeks gestation (Cameron et al, 2009).

Penderita preeklampsia/eklampsia yang terlambat penanganannya akan dapat


berdampak pada ibu dan janin yang dikandungnya. Pada ibu dapat terjadi perdarahan
otak, dekompensasi kordis dengan edema paru, payah ginjal dan masuknya isi
lambung ke dalam pernafasan saat kejang. Pada janin dapat terjadi kematian karena
hipoksia intrauterin dan kelahiran prematur (Indriani, 2012).

2.1.10. Komplikasi
Bergantung pada derajat preeklampsia yang dialami. Namun yang termasuk
komplikasi antara lain sebagai berikut:
2.1.10.1. Pada ibu
a. Eklampsia.
b. Solusio plasenta.
c. Perdarahan subskapula hepar.
d. Kelainan pembekuan darah (DIC).
e. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated, liver, enzymes, dan low platelet count).
f. Ablasio retina.
g. Gagal jantung hingga syok dan kematian.
2.1.10.2. Pada janin
a. Terhambatnya pertumbuhan dalam uterus.
b. Prematur.
c. Asfiksia neonatorum.
d. Kematian dalam uterus.
e. Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal.

2.1.11. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.1.11.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Suatu proses kolaborasi
melibatkan perawat, ibu, dan tim kesehatan lainnya. Pengkajian dilakukan melalui
wawancara dan pemeriksaan fisik. Dalam pengkajian dibutuhkan kecermatan dan
ketelitian agar data yang terkumpul lebih akurat, sehingga dapat dikelompokkan dan
dianalisis untu mengetahui masalah dan kebutuhan ibu terhadap preeklampsia.
Pengkajian yang dilakukan terhadap ibu preeklampsia antara lain sebagai berikut:
a. Identitas umum ibu.
b. Data riwayat kesehatan.
1) Riwayat kesehatan dahulu.
a) Kemungkinan ibu menderita penyakit hipertensi sebelum hamil.
b) Kemungkinan ibu mempunyai riwayat preeklampsia pada kehamilan terdahulu.
c) Biasanya mudah terjadi pada ibu dengan obesitas.
d) Ibu mungkin pernah menderita penyakit ginjal kronis.
2) Riwayat kesehatan sekarang.
a) Ibu merasa sakit kepala di daerah frontal.
b) Terasa sakit di ulu hati/nyeri epigastrium.
c) Gangguan visus: penglihatan kabur, skotoma, dan diplopia.
d) Mual muntah, tidak ada nafsu makan.
e) Gangguan serebral lainnya: terhuyung-huyung, refleks tinggi, dan tidak tenang.
f) Edema pada ekstremitas.
g) Tengkuk terasa berat.
h) Kenaikan berat badan mencapai 1 kg seminggu.
3) Riwayat kesehatan keluarga.
Kemungkinan mempunyai riwayat preeklampsia dan eklampsia dalam keluarga.
4) Riwayat perkawinan.
Biasanya terjadi pada wanita yang menikah di bawah usia 20 tahun atau di atas 35
tahun.
c. Pemeriksaan fisik biologis.
1) Keadaan umum : lemah.
2) Kepala : sakit kepala, wajah edema.
3) Mata : konjungtiva
sedikit anemis, edema
pada retina.
4) Pencernaan abdomen : nyeri daerah epigastrium,
anoreksia, mual, dan muntah.
5) Ekstremitas : edema pada kaki dan tangan juga pada
jari-jari
6) Sistem persarafan : hiper refleks, klonus pada kaki.
7) Genitourinaria : oliguria, proteinuria.
8) Pemeriksaan janin : bunyi jantung janin tidak teratur, gerakan
janin melemah.
2.1.11.2. Diagnosa keperawatan
Setelah data terkumpul dan kemudian dianalisis, sehingga diagnosis yang mungkin
ditemukan pada ibu preeklampsia berat adalah sebagai berikut:
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah jantung.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
c. Resiko infeksi.
d. Kecemasan orang tua berhubungan dengan situasi krisi, kurang pengetahuan.
e. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan payudara bengkak.
f. Kurang pengetahuan tentang perawatan bayi berhubungan dengan kurangnya sumber
informasi.
2.1.11.3. Perencanaan
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan curah jantung.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan O2 terpenuhi.
kriteria hasil: CRT < 2 detik, tidak terjadi sianosis
intervensi:
1) Catat frekuensi dan kedalaman pernapasan, penggunaan otot bantu.
Rasional: mengetahui kelemahan otot pernapasan.
2) Awasi tanda-tanda vital
Rasional: mengetahui tingkat kegawatan klien.
3) Pantau BGA (Blood Gas Analysis)
Rasional: asidosis yang terjadi dapat menghambat masuknya oksigen pada tingkat
sel.
4) Kolaborasi pemberian IV larutan elektrolit
Rasional: meminimalkan fluktuasi dalam aliran vaskuler.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang
Kriteria hasil: TTV dalam batas normal, melaporkan nyeri hilang
Intervensi:
1) Kaji tingkat, skala dan intensitas nyeri.
Rasional: Nyeri tidak selalu ada tetapi bila ada harus dibandingkan dengan gejala
nyeri pasien sebelumnya.
2) Kaji tanda-tanda vital pasien
Rasional: Supaya perawat bisa mengetahui perkembangan yang dialami oleh pasien
dan menentukan tindakan selanjutnya.
3) Atur posisi yang nyaman yang menyenangkan.
Rasional: Mungkin akan mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi.
4) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
Rasional: Dapat Membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan istirahat yang
adekuat.
5) Ajarkan tekhnik relaksasi.
Rasional: Mengurangi rasa nyeri yang dialami oleh pasien.
6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Analgetik.
Rasional: Kenyamanan dan kerjasama pasien dalam pengobatan prosedur dipermudah
oleh pemberian analgetik.
c. Resiko infeksi
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil: tidak ada tanda-tanda infeksI
Intervensi:
1) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
Rasional: mengetahui tanda infeksi lebih dini.
2) Batasi pengunjung
Rasional: menghindari kontaminasi dari pengunjung
3) Pertahankan teknik cairan asepsis pada klien yang beresiko
Rasional: mencegah penyebab infeksi
4) Inspeksi kondisi luka/insisi bedah
Rasional: mengetahui kebersihan luka dan tanda infeksi.
5) Ajarkan keluarga klien tentang tanda dan gejala infeksi.
Rasional: Gejala infeksi dapat dideteksi lebih dini
6) Laporkan kecurigaan infeksi
Rasional: Gejala infeksi dapat segera ditangani.
d. Kecemasan orang tua berhubungan dengan situasi krisis, kurang pengetahuan.
Tujuan: cemas berkurang
Kriteria hasil: Orang tua tampak tenang. Orang tua tidak bertanya-tanya lagi. Orang
tua berpartisipasi dalam proses perawatan.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan orang tua.
Rasional: Mengetahui kebutuhan keluarga akan pengetahuan sehingga dapat
mengurangi kecemasan.
2) Beri penjelasan tentang keadaan bayinya.
Rasional: Membantu menganalisa masalah secara sederhana dengan mandiri.
3) Libatkan keluarga dalam perawatan bayinya.
Rasional: Orang tua akan terlatih dalam merawat bayi
4) Berikan support dan reinforcement atas apa yang dapat dicapai oleh orang tua.
Rasional: Sebagai motivasi orag tua
5) Latih orang tua tentang cara-cara perawatan bayi dirumah sebelum bayi pulang.
Rasional: Perawatan mandiri harus sudah dapat dilakukan ketika bayi sudah pulang.
e. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan payudara bengkak.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan ibu mampu memenuhi kebutuhan
ASI untuk bayinya
Kriteria hasil: ASI keluar dengan lancar, kebutuhan ASI terpenuhi untuk bayinya.
Intervensi:
1) Lakukan pendekatan terapeutik.
Rasional: ibu lebih kooperatif dan terjalin kerjasama antara klien dan petugas
kesehatan.
2) Jelaskan tentang pemenuhan gizi seimbang
Rasional: dengan pemenuhan gizi seimbang ASI bisa lancer
3) KIE ASI eksklusif
Rasional: ASI eksklusif minimal 6 bulan dapat memberikan kekebalan imun pada
bayi.
4) Ajarkan perawatan payudara post partum
Rasional: perawatan payudara yang rutin akan membantu mengurangi pembengkakan
dan memperlancar ASI
5) Jelaskan teknik menyusui yang benar
Rasional: agar bayi bisa menghisap dengan penuh dan nyaman.
f. Kurang pengetahuan tentang perawatan bayi berhubungan dengan kurangnya sumber
informasi.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan wawasan ibu bertambah.
kriteria hasil: mampu menjelaskan tentang perawatan bayi.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan klien.
Rasional: tingkat pengetahuan menentukan persepsi klien terhadap penyakit.
2) Jelaskan tentang cara perawatan bayi dengan bahasa sederhana.
Rasional: menambah pengetahuan klien tentang perawatan bayi.
3) Diskusikan tentang perubahan gaya hidup pada klien yang mungkin dibutuhkan.
Rasional: meningkatkan pengetahuan ibu tentang perubahan yang akan terjadi setelah
kelahiran.
4) Klarifikasi informasi yang diberikan oleh tim kesehatan lain sebelum informasi kita
diberikan.
Rasional: mencegah terjadinya kesalahan informasi yang akan diberikan.

2.2. Tinjauan Teori Sectio Caesarea


2.2.1. Definisi
Sectio caesarea adalah suatu proses persalinan buatan yang dilakukan melalui
pembedahan dengan cara melakukan insisi pada dinding perut dan dinding rahim ibu,
dengan syarat rahim harus dalam keadaan utuh, serta janin memiliki bobot badan di
atas 500 gram. Jika bobot janin di bawah 500 gram, maka tidak perlu dilakukan
tindakan persalinan section caesarea (Solehati & Kosasih, 2015).

Pelahiran dengan caesar didefinisikan sebagai kelahiran janin melalui insisi di


dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi) (Leveno., et al,
2009).
Caesarean section is an operative procedure, which is carried out under anaesthesia
(regional or general), whereby the fetus, placenta and membranes are delivered
through an incision made in the abdominal wall and uterus (Marshall & Raynor,
2014).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sectio caesarea adalah sebuah tindakan pembedahan
yang dilakukan guna mengeluarkan janin dan plasenta melalui insisi pada abdomen
dan uterus dengan syarat berat janin tidak kurang dari 500 gram.

2.2.2. Etiologi
Seorang ibu yang akan melahirkan perlu dilakukan tindakan persalinan sectio
caesarea tentu berdasarkan indikasi terlebih dahulu. Indikasi tersebut dapat dilakukan
dengan alasan medis antara lain: karena ibu maupun bayinya berisiko tinggi, bukan
karena alasan pribadi dari ibu sendiri/elektif. Adapaun indikasi dilakukannya sectio
caesarea pada klien karena keadaan berikut:
2.2.2.1. Faktor ibu
a. Distosia
Distosia merupakan suatu keadaan persalinan yang lama karena adanya kesulitan
dalam persalinan yang disebabkan oleh beberapa faktor dalam persalinan, baik faktor
dari ibu sendiri maupun faktor dari bayi dalam proses persalinan, seperti: kelainan
tenaga (his), kelelahan mengedan, kelainan jalan lahir, kelainan letak dan bentuk
janin, kelainan dalam besar/bobot janin, serta psikologis ibu.
b. Chepalopelvic disproportion (CPD)
Chepalopelvic disproportion (CPD) is a condition in which the size, shape, or
position of the fetal head prevents it from passing through the lateral aspect of the
maternal pelvis or when the maternal pelvis is of a size or shape that prevents the
descent of the fetus through the pelvis (Durham & Chapman, 2013).
CPD merupakan keadaan panggul ibu yang tidak sesuai dengan keadaan panggul
normal yang dimiliki kebanyakan wanita. Keadaan panggul yang tidak normal tidak
baik untuk dilakukan tindakan persalinan pervaginam.
c. Preeklampsia berat dan eklampsia
PEB dan eklampsia sangat rawan untuk dilakukan persalinan pervaginam karena ibu
dan bayinya berisiko tinggi terjadinya injuri. Pada umumnya, ibu hamil yang
menderita PEB ataupun eklampsia acap kali berakhir dengan persalinan sectio
caesarea.
d. Gagal proses persalinan
Gagal induksi persalinan merupakan indikasi dilakukannya sectio caesarea untuk
segera menyelamatkan ibu dan bayinya.
e. Sectio ulang
Jika seorang ibu mempunyai riwayat persalinan sectio, maka persalinan berikutnya
harus melalui tindakan persalinan sectio caesarea karena khawatir terjadi robekan
pada rahim.
f. Plasenta previa
Plasenta previa yaitu plasenta yang letaknya abnormal, yaitu plasenta yang terletak
pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir (ostium internum).
g. Solutio plasenta
Solutio plasenta disebut juga dengan nama abrupsio plasenta. Solutio plasenta adalah
terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta sebelum janin lahir.
h. Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
Tumor tersebut seperti mioma uteri, tumor ovarium, dan kanker rahim. Hal ini
bergantung pada jenis dan besarnya tumor tersebut. Hal yang perlu dipertimbangkan,
apakah persalinan dapat dilakukan secara pervaginam atau secara sectio caesarea.
i. Ruptur uteria
Adalah keadaan robekan pada rahim yang telah terjadi hubungan langsung antara
rongga amnion dan rongga peritoneum. Ruptur uteri, baik yang terjadi pada masa
hamil atau proses persalinan merupakan suatu kondisi bahaya yang besar pada wanita
dan janin yang dikandungnya.
j. Takut persalinan pervaginam
Pengalaman buruk yang dialami oleh orang lain saat persalinan pervaginam pun dapat
menjadi pencetus bagi seorang ibu untuk melakukan persalinan dengan sectio
caesarea.
k. Pengalaman buruk melahirkan pervaginam
Pengalaman buruk melahirkan pervaginam yang dialami ibu pada saat persalinan
sebelumnya, seperti adanya nyeri serta kecemasan yang sangat, dan menimbulkan
trauma bagi seorang ibu untuk menjalani persalinan pervaginam untuk melahirkan
berikutnya.
l. Adanya keinginan untuk melahirkan pada hari yang telah ditentukan.
Indikasi ini bukan merupakan indikasi medis, melainkan indikasi elektif akibat
keinginan pribadi seorang ibu atau keluarganya yang memilih persalinan sectio
caesarea.
m. Disfungsi uterus
Disfungsi uterus merupakan kerja uterus yang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan
tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim.
p. Usia ibu lebih dari 35 tahun
Kehamilan di atas usia 35 tahun memiliki resiko tiga kali lebih besar untuk terjadinya
persalinan dengan tindakan sectio caesarea dibandingkan dengan usia di bawah 35
tahun. Usia lebih dari 35 tahun termasuk ke dalam golongan usia berisiko tinggi
dalam kehamilan dan persalinan. Pada usia ini, berbagai masalah sering kali
menyertai kehamilannya, seperti plasenta previa totalis preeklampsia berat, kelelahan
dalam mengedan, dan sebagainya.
q. Herpes Genital Aktif
Herpes genital merupakan penyakit kelamin yang disebabkan oleh virus bernama
Herpes Simpleks Virus (HSV). Virus ini ditularkan melalui kontak langsung kulit atau
membran mukus dengan lesi yang aktif. Lesi herpes yang aktif pada genital ibu hamil
dapat menular ke bayi pada saat proses persalinan pervaginam. Penyebaran virus
herpes dari ibu hamil kepada janinnya dapat terjadi pada saat proses persalinan.
2.2.2.2. Alasan janin
a. Terjadinya gawat janin (distress)
Terjadinya gawat janin antara lain disebabkan: syok, anemia berat, preeklampsia
berat, eklampsia, dan kelainan kongenital. Keadaan gawat janin biasanya dinilai
dengan menghitung Denyut Jantung Janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya
mekonium di dalam cairan amnion. Janin disebut gawat janin apabila ditemukan
denyut jantung janin di atas 160/menit atau di bawah 100/menit, denyut jantung tak
teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal kehamilan.
b. Letak janin
Kelainan dengan letak sungsang, lintang, dan presentasi ganda atau majemuk
merupakan faktor penyulit dalam persalinan.
c. Kehamilan ganda
Kehahamilan ganda (kembar) adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih dalam
satu rahim dengan satu atau dua plasenta. Kehamilan kembar dapat berisiko tinggi,
baik terhadap ibu maupun bayinya.
d. Adanya bobot badan bayi yang ukurannya lebih dari normal
Bobot bayi lahir normalnya antara 2.500-4000 gram. Bobot bayi di atas 4000 gram
atau lebih dinamakan bayi besar (giant baby). Hal ini mengakibatkan bayi sulit keluar
dari jalan lahir ibu.
e. Cacat atau kematian janin sebelumnya
Khususnya pada ibu-ibu yang pernah melahirkan bayi yang cacat atau mati dilakukan
sectio caesarea elektif
f. Prolapsus funiculus umbilicalis
Prolapsus funiculus umbilicalis dengan cervix yang tidak berdilatasi sebaiknya diatasi
dengan sectio caesarea, asalkan bayinya berada dalam keadaan baik.
g. Insufisiensi placenta
Pada kasus retardasi pertumbuhan intrauterin atau kehamilan post matur dengan
pemeriksaan klinis dan berbagai test menunjukkan bahwa bayi dalam keadaan
bahaya, maka kelahiran harus dilaksanakan. Jika induksi tidak mungkin terlaksana
atau mengalami kegagalan, sectio caesarea menjadi indikasi.
h. Inkompabilitias rhesus
Kalau janin mengalami cacat berat akibat antibodi dari ibu Rh-negatif yang menjadi
peka dan kalau induksi serta persalinan per vaginam sukar teralaksana, maka
kehamilan dapat diakhiri dengan sectio caesarea bagi keselamatan janin.
i. Postmortem caesarean
Kadang-kadang bayi masih hidup, bilamana sectio caesarea segera dikerjakan pada
ibu hamil yang baru saja meninggal dunia.

2.2.3. Pemeriksaan penunjang


2.2.3.1. Pemeriksaan laboratorium praoperasi
a. Urinalisis.
b. HDL dengan diferensial.
c. Golongan darah dan skrinning atau golongan darah dan cross.
2.2.3.2. Pemeriksaan laboratorium lainnya yang diperlukan jika diindikasikan oleh status
ibu/janin
a. Pengkajian maturitas paru janin.
b. Panel laboratorium preeklampsia.
c. Pemeriksaan pembekuan darah.
d. Identifikasi antibodi.

2.2.4. Prognosis
Previous history of classical caesarean section or hysterotomy makes the woman
vulnurable to unpredictable rupture of the uterus. This may occur either late during
pregnancy or during labor and when it does, the maternal mortality is to the extent of
5% and the perinatal mortality to 75%. The risk of lower segment scar-rupture is low
(0.2-1.5%) and even if it does occur, maternal death is much less and the perinatal
mortality is about one in eight (Konar, 2015).

Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa
sekarang, oleh karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi,
penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun.
Angka kematian ibu pada rumah-rumah sakit dengan fasilias operasi yang baik dan
oleh tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000. Nasib janin yang
ditolong secara sectio caesarea sangat tergantung dari keadaan janin sebelum
dilakukan operasi. Menurut data dari negara-negara dengan pengawasan antenatal
yang baik dan fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4-7
%.

2.2.5. Komplikasi
Berbeda dengan persalinan normal, pasca sectio caesarea kemungkinan bisa saja
terjadi infeksi nifas, perdarahan pasca persalinan akibat teratnya pembuluh darah
cabang di rahim. Bisa juga terjadi luka kerat tak disengaja pada kandung kemih yang
letaknya memang di bawah rahim, selain kemungkinan emboli paru-paru, yakni
terhanyutnya butiran bekuan darah, atau apa saja yang terbawa ke dalam aliran darah,
dan tiba di paru-paru, sehingga terjadi sumbatan yang fatal akibatnya.

Komplikasi lainnya, bagaimana pun kuatnya jahitan pada rahim yang sudah pernah
disayat tidak lebih kuat dibanding rahim yang masih utuh. Risiko rahim untuk sobek
lebih besar dibanding rahim yang masih utuh. Selain itu, tentu bagaimana layaknya
tindakan pembedahan, persalinan dengan sectio caesarea memerlukan hari perawatan
yang lebih panjang ketimbang persalinan normal.
DAFTAR RUJUKAN

Burnside, Jhon W & McGlynn, Thomas J. (2008). Diagnosa Fisik. Ed. 17. Jakarta: EGC
Cameron, Peter., Jelinek, George., Kelly, Maree. A., Murray, Lindsay & Brown, Anthony. FT.
(2009). Textbook Of Adult Emergency Medicine. Third Edition. China: Elsevier
Damayanti, Ika Putri., Pitriani, Risa & Ardhiyanti, Yulrina. (2015). Panduan Lengkap
Keterampilan Dasar Kebidanan II. Ed. 1. Yogyakarta: Deepublish
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan selatan. (2013, 2014, 2015). Rekapitulasi Jumlah
Kematian Ibu dan Neonatal di Puskesmas dan Rumah Sakit Propinsi Kalimantan
Selatan.
Djannah Nur, S & Arianti Sukma, I. (2010). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Gambaran
Epidemiologi Kejadian Preeklampsia/Eklampsia di RSKU PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Tahun 2007-2009. Vol. 13 No. 4, Hal. 378.
Durham, Roberta & Chapman, Linda. (2013). Maternal-Newborn Nursing: The Critical
Components of Nursing Care. Philadelpia: F.A. Davis Company
Felicia, Devi., Fredy Chikita, f. & Iskandar Jayadi, W. (2008). Jurnal Mahasiswa Kedokteran
Ilmiah Indonesia. Suplementasi Asam Folat Sebagai Upaya Pencegahan
Preeklampsia Pada Ibu Hamil di Indonesia. Vol. III No. 01, Hal. 31
Hartono, Andry. (2014). Instant Access Ilmu Kebidanan. Tangerang: Binarupa Aksara
Publisher
Hidayat, A.Alimul. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba
Medika
Humas RSHS. (2014). Tahapan Mobilisasi Dini Post Operasi SC. Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung
James, David K & Steer, Philip J. (2011). High Risk Pregnancy Management Options. China:
Elsevier
Kementerian Kesehatan RI. (2014). InfoDATIN Pusat Data dan Informasi. Kementerian
Kesehatan RI.
Konar, Hiralal. (2015). DC Dutta’s Textbook Of Obstetrics. Eight Edition. Elsevier: China
Latin. (2014). Instant Access Ilmu Kebidanan. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher
Leveno, Kenneth J., Cunningham, Gary F., Gant, Norman F., Alexander, James M & Bloom,
Steven L. (2009). Williams Panduan Ringkas. Editor bahasa Indonesia, Egi Komara
Yudha, Nike Budhi Subekti. Ed. 21. Jakarta: EGC
Manuaba, Chandranita Ayu I., Manuaba, Fajar Gde Bagus I & Manuaba, Gde Bagus, I.
(2009). Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC
Marshall, Jayne & Raynor, Maureen. (2014). Myles Textbook For Midwives. Sixteenth Edition.
China: Elsevier
Medical record RSUD Ulin Banjarmasin. (2015, 2016). Buku Sensus Tahunan Ruang Nifas.
RSUD Ulin Banjarmasin.
Mitayani. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika
Nadesul, Hendrawan. (2009). Kiat Sehat Pranikah. Menjadi Calon Ibu, Membesarkan Bayi
dan Membangun Keluarga Muda. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Nanien, Indriani. (2011). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Preeklampsia/Eklamsia Pada Ibu Bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah
Kota Tegal Tahun 2011. Skripsi, Universitas Indonesia.
Norwitz, Errol. R & Schorge, Jhon. O. (2007). At A Glance Obstetri dan Ginekologi. Edisi
kedua. Jakarta: Gelora Aksara Pratama
Nugroho, Taufan. (2012). Obsgyn : Obstetri dan Ginekologi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan
Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda. Jilid 2. Yogyakarta: Media Action
Prawirohardjo, Sarwono. (2008). Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Ed. 4, Cet.
4. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Pribadi, Adhi., Mose, Johannes. C & Anwar, Deborah A. (2015). Kehamilan Resiko Tinggi.
CV. Jakarta: Sagung Seto
Rahmadani, Apri., Noerjasin, Herlambang. & Zamri, Aywar. (2012). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Terjadinya Preeklampsia-Eklampsia. Hal. 3
Setiyaningrum, Erna. (2013). Asuhan Kegawatdaruratan Maternitas (Asuhan Kebidanan
Patologi). Jakarta: In Media
Siswosudarmo, Risanto & Emilia, Ova. (2008). Obstetri Fisiologi. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC
Solehati, Tetti & Kosasih, Eli. C. (2015). Konsep dan Aplikasi Relaksasi Dalam
Keperawatan Maternitas. Jakarta: Refika Aditama
Sumarni, Sri., Hidayat, Syaifurrahman. & Mulyadi, Eko. (2012). Jurnal Kesehatan Wirajaja
Medika. Hubungan Gravida Ibu Dengan Kejadian Preeklampsia. Hal. 3
Tharpe, Nell. L & Farley, Cindy. L. (2012). Kapita Selekta : Praktik Klinik Kebidanan.
Editor Edisi Bahasa Indonesia, Pamilih Eko Karyuni. Ed. 3. Jakarta: EGC
Uliyah, Musrifatul & Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Praktikum Keterampilan Dasar
Praktik Klinik: Aplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika

Anda mungkin juga menyukai