Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Pantai


Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan dibawah permukaan
darat dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Daerah lautan adalah daerah yang
terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut
terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Pesisir adalah daerah
darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin
laut dan perembesan air laut. Pantai adalah daerah di tepi perairan yang
dipengaruhi oleh pasang tertingggi dan surut terendah. Garis pantai adalah garis
batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya tidak tetap dan
dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi.
Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria
sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan
bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah
daratan (Triatmodjo, 1999). Penjelasan mengenai definisi daerah pantai dapat
dilihat dalam Gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1. Definisi Daerah Pantai


Sumber: Triatmodjo (1999)

Pantai merupakan interaksi dinamis antara air, angin, gelombang serta


material (tanah). Angin dan air bergerak (longshore/offshore sediment) membawa
material tanah yang menyebabkan pengikisan tanah kemudian mengendapkan
kembali di daerah lainnya. Hal itu menyebabkan perubahan garis pantai.

5
2.2 Bangunan Pelindung Pantai
Bangunan pantai digunakan untuk melindungi pantai terhadap kerusakan
karena serangan gelombang dan arus (Triatmodjo,1999). Sesuai dengan
fungsinya, bangunan pantai diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Konstruksi yang dibangun di pantai dan sejajar dengan garis pantai,
misalnya dinding pantai (revertmen) dan tembok laut (seawall).
2. Konstruksi yang dibangun kira-kira tegak lurus pantai dan tersambung ke
pantai, misalnya groin dan jetty.
3. Konstruksi yang dibangun di lepas pantai dan kira-kira sejajar garis pantai,
misalnya pemecah gelombang (breakwater).

2.2.1 Groin
Groin adalah bangunan pelindung pantai yang biasanya dibuat tegak lurus
garis pantai, dan berfungsi untuk menahan transpor sedimen sepanjang pantai,
sehingga bisa mengurangi atau menghentikan erosi yang terjadi, seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.2. (Triatmodjo, 1999).
Struktur groin dibagi menjadi 2 bagian yaitu diffracting dan nondiffracting.
Non-diffracting groyne merupakan kondisi groin yang tidak mengalami diffraksi
dan merupakan jenis bangunan permeable yang memungkinkan sebagian dari
transpor sedimen sepanjang pantai melewati groin sehingga menyebabkan
pengendapan pasir pada kedua sisi groin. Sedangkan diffracting groyne
merupakan kondisi groin yang mengalami diffraksi dan merupakan jenis
bangunan impermeable yang tidak mengijinkan adanya transpor sedimen
sepanjang pantai melewati groin.
Groin non-diffracting biasanya memiliki panjang yang relatif lebih pendek
jika dibandingkan dengan groin diffracting. Groin diffracting memiliki panjang
yang menutupi lebar surfzone dimana ujung groin menyebabkan terjadinya
difraksi gelombang. Sedangkan Groin non-diffracting memiliki panjang groin
yang tidak menutupi surfzone sehingga panjang groinnya lebih pendek jika
dibandingkan dengan groin diffracting.

6
Gambar 2.2. Groin dan Perubahan Garis Pantai yang Ditimbulkannya
Sumber: Triatmodjo (1999)

Perlindungan pantai dengan menggunakan satu buah groin biasanya kurang


efektif. Biasanya perlindungan pantai dilakukan dengan membuat seri bangunan
yang terdiri dari beberapa groin yang ditempatkan dengan jarak tertentu, seperti
pada gambar 2.3. Dengan menggunakan satu sistem groin perubahan garis pantai
yang terjadi tidak terlalu besar.
Mengingat transpor sedimen sepanjang pantai terjadi di surf zone, maka
groin akan lebih efektif menahan sedimen apabila bangunan tersebut menutup
seluruh lebar surf zone, dengan kata lain panjang groin sama dengan lebar surf
zone. Pada umumnya panjang groin adalah 40 sampai 60 persen dari lebar rerata
surf zone, dan jarak antara groin adalah antara satu dan tiga kali panjang groin.
Nilai-nilai tersebut diatas dapat digunakan sebagai pedoman awal dalam
perencanaan (Triatmodjo, 1999).

Gambar 2.3. Seri Groin dan Perubahan Garis Pantai yang Ditimbulkan
Sumber: Triatmodjo (1999)

Groin dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu tipe lurus I, tipe T dan
Tipe L seperti ditunjukan pada gambar 2.4. Menurut konstruksinya groin dapat
berupa tumpukan batu, kaison beton, turap, tiang yang dipancang berjajar, atau
tumpukan buis beton yang didalamnya diisi beton. Elevasi puncak sepanjang

7
groin dapat dibuat horizontal atau menurun ke arah laut, yang tergantung pada
fungsi (pasir dimungkinkan melompati groin atau tidak) dan pertimbangan biaya.

Gambar 2.4. Tipe Groin


Sumber: Triatmodjo (1999)
2.3 Teori Dasar Gelombang
Gelombang di laut terbagi menjadi gelombang angin yang dibangkitkan oleh
tiupan angin di permukaan laut, gelombang pasang surut dibangkitkan oleh gaya
tarik benda-benda langit terutama matahari dan bulan terhadap bumi, gelombang
tsunami terjadi karena letusan gunung berapi atau gempa di laut, gelombang yang
dibangkitkan oleh kapal yang bergerak (Triatmodjo, 1999).
Pada umumnya gelombang terjadi karena hembusan angin di permukaan air
laut. Daerah di mana gelombang itu dibentuk disebut daerah pembangkitan
gelombang (wave generating area). Gelombang yang terjadi di daerah
pembangkitan disebut sea, sedangkan gelombang yang terbentuk di luar daerah
pembangkitan disebut swell. Ketika gelombang menjalar, partikel air di
permukaan bergerak dalam suatu lingkaran besar membentuk puncak gelombang
pada puncak lingkarannya dan lembah pada lintasan terendah. Di bawah
permukaan, air bergerak dalam lingkaran-lingkaran yang makin kecil. Saat
gelombang mendekati pantai, bagian bawah gelombang akan mulai bergesekan
dengan dasar laut yang menyebabkan pecahnya gelombang dan terjadi putaran
pada dasar laut yang dapat membawa material dari dasar pantai serta
menyebabkan perubahan profil pantai.

8
Gambar 2.5 Gerak Partikel Air di Laut Dangkal,Transisi dan Dalam
Sumber: Triatmodjo (1999)
Ada beberapa teori yang menggambarkan bentuk gelombang yang
sederhana dan merupakan pendekatan dari alam. Teori yang sederhana adalah
teori gelombang linier. Menurut teori gelombang linier, gelombang berdasarkan
kedalaman relatifnya dibagi menjadi tiga yaitu deep water (gelombang di laut
dangkal), transitional water (gelombang laut transisi), shallow water (gelombang
di laut dalam) (Nur Yuwono, 1982). Klasifikasi dari gelombang ditunjukkan
sebagai berikut:
Tabel 2.1. Klasifikasi Gelombang Menurut Teori Gelombang Linier.
Klasifikasi d/L 2π d/l Tan h (2π d/L)
Gelombang Laut Dalam > 1/2 >π ≈1
Gelombang Laut Transisi 1/25 s/d 1/2 ¼ s/d π tan h (2π d/l)
Gelombang Laut Dangkal < 1/25 < 1/4 ≈ 2π d/l
Sumber: Nur Yuwono (1982)
2.3.1 Kecepatan Rambat dan Panjang Gelombang
Teori Gelombang Airy (teori amplitudo kecil) diturunkan berdasarkan
persamaan Laplace untuk aliran tak rotasi (irrotational flow) dengan kondisi
batas di dasar laut dan di permukaan air. Terdapat beberapa anggapan yang
digunakan untuk menurunkan persamaan gelombang adalah sebagai berikut
(Triatmodjo, 1999).
1. Zat cair adalah homogen dan tidak termampatkan, sehingga rapat masa
adalah konstan.
2. Tegangan permukaan diabaikan.
3. Gaya coriolis (akibat perputaran bumi di abaikan).
4. Tekanan pada permukaan air adalah seragam dan konstan.

9
5. Zat cair adalah ideal, sehingga berlaku aliran tak rotasi.
6. Dasar laut adalah horizontal, tetap dan impermeable sehingga kecepatan
vertikal di dasar adalah nol.
7. Amplitudo gelombang kecil terhadap panjang gelombang dan kedalaman
air.
8. Gerak gelombang berbentuk silinder yang tegak lurus arah penjalaran
gelombang sehingga gelombang adalah dua dimensi.
Gambar 2.6. menunjukkan suatu gelombang yang berada pada system
koordinat x-y. Gelombang menjalar pada sumbu x. Beberapa notasi yang
digunakan di dalam perhitungan Gelombang Airy adalah :
d : jarak antara muka air rerata dan dasar laut (kedalaman laut)
η(x,t) : fluktuasi muka air terhadap muka air diam = η = a cos (kx – 𝜍t)
a : amplitudo gelombang
H : tinggi gelombang = 2a
L : panjang gelombang, yaitu jarak antara dua puncak gelombang yang
berurutan
T : Periode gelombang, yaitu interval waktu yang diperlukan oleh partikel
air untuk kembali pada kedudukan yang sama dengan kedudukan
sebelumnya
C : Kecepatan rambat gelombang = L/T
k : angka gelombang = 2𝜋/L
𝜍 : frekuensi gelombang = 2𝜋/T
g : gravitasi = 9,81 m/d2

Hubungan cepat rambat gelombang dengan panjang gelombang dan


kedalaman
adalah :
𝑔𝑇 2𝜋𝑑
C = 2𝜋 tanh (2.1)
𝐿

Dan hubungan panjang gelombang sebagai fungsi kedalaman adalan:


𝑔𝑇 2 2𝜋𝑑
L = tanh (2.2)
2𝜋 𝐿

10
Gambar 2.6 Sketsa definisi gelombang
Sumber: Triatmodjo (1999)

2.3.2 Energi Gelombang


Energi gelombang adalah jumlah dari energi kinetik dan energi potensial
gelombang. Energi kinetik adalah energi yang disebabkan oleh kecepatan partikel
air karena adanya gerak gelombang. Energi potensial adalah energi yang
dihasilkan oleh perpindahan muka air karena adanya gelombang.
Untuk teori gelombang Airy, jika energi potensial ditetapkan relatif
terhadap muka air diam, dan semua gelombang menjalar dalam arah yang sama,
maka komponen energi potensial dan kinetik adalah sama (Triatmodjo,1999).
Dapat dirumuskan bahwa besar energi gelombang adalah sebagai berikut:
Et = Ek + Ep (2.3)
dengan:
Et = energi total
Ek = energi kinetik
Ep = energi potensial
Energi kinetik dan energi potensial dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝜌𝑔 𝐻 2 𝐿
Ek = (2.4)
16
𝜌𝑔 𝐻 2 𝐿
Ep = (2.5)
16

Jadi energi kinetik dan potensial adalah sama, dan energi total tiap satuan
lebar adalah:
𝜌𝑔 𝐻 2 𝐿
E = Ek + Ep = (2.6)
8

11
Energi gelombang adalah berubah dari satu titik ke titik yang lain sepanjang
satu panjang gelombang, dan energi rerata satu satuan luas adalah:
𝐸 𝜌𝑔 𝐻 2
E=𝐿= (2.7)
8

Tenaga gelombang adalah energi gelombang tiap satuan waktu yang


menjalar dalam arah penjalaran gelombang. Tenaga dapat dirilis sebagai hasil kali
dari gaya yang bekerja pada bidang vertikal yang tegak harus penjalaran
gelombang dengan kecepatan partikel melintasi bidang tersebut. Tenaga
Gelombang dapat dirumuskan menjadi sebagai berikut:
𝑛𝐸 𝑛 𝐸𝐿
P= = (2.8)
𝑇 𝑇

dengan:
1 2𝑘𝑑
n = 2 (1+sinh 2𝑘𝑑 ) (2.9)

Hubungan antara nilai n dan kedalaman relatif ditunjunkan dalam parameter


fingsi kedalaman relatif Tabel L-1 (Triatmodjo, 1999) di mana nilai n naik dari
0,5 di laut dalam menjadi 1,0 di laut dangkal. Dan bila ditinjau penjalaran dalam
suatu titik, peramaan dapat ditulis:
n0𝐸0 L0 = n 𝐸 L
0,5𝐸0 L0 = n 𝐸 L (2.10)

2.3.3 Hindcasting Gelombang


Hindcasting adalah salah satu cara peramalan gelombang dengan
melakukan pengolahan data angin berdasarkan kondisi/keadaan metereologi di
masa yang telah lewat (Subdit Rawa dan Pantai, 1997 dalam Kadek Oka
Mahendra, 2011). Objek gelombang yang akan diramal merupakan gelombang
laut dalam suatu perairan dan dibangkitkan oleh angin, yang merambat kearah
pantai lalu pecah beriringan dengan semakin dangkalnya perairan menuju ke
pantai. Dari peramalan gelombang akan menghasilkan data tinggi dan periode
gelombang pada setiap data angin. Adapun data yang dibutuhkan dalam
peramalan gelombang berupa data angin rata – rata per jam yang dikonversi
menjadi wind stress factor (Ua), panjang fetch efektif dan lama hembus angin
yang nantinya di plot ke dalam grafik peramalan gelombang.

12
A. Faktor Tekanan Angin
Pada peramalan gelombang, digunakan data angin di permukaan laut pada
lokasi pembangkitan. Data peramalan gelombang diperoleh melalui pengukuran
angin langsung di atas permukaan laut ataupun pengukuran angin di darat di dekat
lokasi peramalan yang dikonversi menjadi data angin laut. Adapun konversi –
konversi kecepatan angin adalah sebagai berikut:
1) Konversi berdasarkan elevasi
Didapati beberapa rumus dan grafik untuk memprediksi gelombang
didasarkan pada kecepatan angin yang diukur pada y = 10m. Apabila angin
tidak diukur pada elevasi y = 10m, maka perlu dikonversi pada kecepatan
tersebut. Maka dari itu digunakan persamaan 2.11.
10 1/7
U(10) = U(y) (2.11)
𝑦

dengan:
U(10) = kecepatan angin pada ketinggian 10m.

2) Konversi berdasarkan Kecepatan Angin


Pada umumnya pengukuran angin dilakukan di daratan, sedangkan di dalam
rumus–rumus pembangkitan gelombang digunakan data angin di atas
permukaan laut. Oleh sebab itu diperlukan konversi dari data angin di daratan
yang dekat dengan lokasi pengamatan dengan data angin di permukaan laut.
Dapat ditunjukan hubungan antara data angin di daratan dan data angin di atas
permukaan laut melalui persamaan 2.12 sebagai berikut:
U = RT. RL.U(10) (2.12)
dengan:
RT = konversi akibat perbedaan temperature udara dan air
RL= konversi akibat pencatatan angin di daratan (Lampiran A.2)
RL= UW/UL.
U(10) = kecepatan angin pada ketinggian 10m.

a) Faktor Tegangan Angin


Pada rumus–rumus dan grafik pembangkit gelombang mengandung
variabel UA yang merupakan faktor tegangan angin (wind stress factor)

13
yang dapat dihitung dari kecepatan angin. Kecepatan angin dikonversikan
pada faktor tegangan angin dengan persamaan 2.13 sebagai berikut:
UA = 0.71 U1,23 (2.13)
dengan:
UA = kecepatan angin dalam m/d.

B. Fetch
Fetch adalah panjang daerah dimana angin dapat berhembus dengan
kecepatan dan arah konstan. Di dalam tinjauan pembangkitan gelombang di laut,
fetch dibatasi oleh daratan yang mengelilingi laut. Di dalam pembentukan
gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan
arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin (Triatmodjo,
1999). Fetch rerata efektif diberikan oleh persamaan berikut:

𝑋𝑖 cos 𝛼
Feff = (2.14)
cos 𝛼

dengan:
Feff : Fetch rerata efektif (m)
Xi : Panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke
ujung akhir fetch (m)
α : Deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan
pertambahan 60 sampai 420 pada kedua sisi dari arah angin.

2.3.4 Deformasi Gelombang


Gelombang merambat dari laut dalam ke laut dangkal. Selama penjalaran
tersebut, gelombang mengalami perubahan-perubahan atau disebut deformasi
gelombang. Deformasi gelombang dapat disebabkan karena variasi kedalaman air
laut dan juga karena terdapatnya rintangan (pantai atau bangunan pantai).
Apabila suatu gelombang bergerak menuju pantai, gelombang tersebut akan
mengalami perubahan bentuk yang disebabkan oleh proses refraksi, pendangkalan
gelombang, difraksi, dan refleksi (Triatmodjo, 1999).

14
A. Refraksi Gelombang
Refraksi terjadi dikarenakan adanya pengaruh perubahan kedalaman laut.
Refraksi dan pendangkalan gelombang (Wave Shoaling) dapat menentukan tinggi
gelombang di suatu tempat berdasarkan karakteristik gelombang datang. Refraksi
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap tinggi dan arah gelombang serta
distribusi energi gelombang di sepanjang pantai. (Triatmodjo, 1999).
a) Tinggi Gelombang
Tinggi gelombang akibat pengaruh refraksi gelombang dan pendangkalan
(wave shoaling), diberikan oleh rumus :
H = Ks x Kr x H0 (2.15)
dengan :
H : Tinggi gelombang akibat pengaruh refraksi
H0 : Tinggi gelombang laut dalam (m)
Ks : Koefisien pendangkalan (Shoaling), berdasarkan Tabel L-1
(Triatmodjo, 1999)
Kr : Koefisien refraksi

b) Koefisien Refraksi
cos 𝛼0
Kr = (2.16)
cos 𝛼
(2.11)
Dimana pada hukum Snell berlaku apabila ditinjau gelombang di laut dalam
dan di suatu titik yang ditinjau, yaitu:

15
Gambar 2.7 Hukum Snell Untuk Refraksi Gelombang
Sumber: Triatmodjo (1999)

𝐶
Sin α = sin α0 ( 2.17)
𝐶𝑜

dengan :
Kr : Koefisien refraksi
α : Sudut antara garis puncak gelombang dan garis kontur
dasar laut di titik yang ditinjau

B. Gelombang Pecah
Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju pantai mengalami
perubahan bentuk karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Perubahan
tersebut ditandai dengan puncak gelombang semakin tajam sampai akhirnya pecah
pada kedalaman tertentu (Triatmodjo, 1999). Kedalaman gelombang pecah (db)
dan tinggi gelombang pecah (Hb) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

𝐻𝑏 1
= 𝐻𝑜′ (2.18)
𝐻0 ′ 3,3 ⅓
𝐿0

Parameter Hb/Ho’ disebut dengan indeks tinggi gelombang pecah. Pada


Lampiran A.3 Grafik penentuan tinggi gelombang pecah (Hb) menunjukkan
hubungan antara Hb/Ho’ dan Ho/Lo’ untuk berbagai kemiringan dasar laut. Pada
Lampiran A.4 Grafik penentuan kedalaman gelombang pecah (db) menunjukkan

16
hubungan antara db/Hb dan Hb/gT2 untuk berbagai kemiringan dasar (Triatmodjo,
1999). Sehingga dapat dituliskan dalam bentuk rumus berikut:
𝑑𝑏 1
= 𝑎𝐻 (2.19)
𝐻𝑏 𝑏−( 𝑔𝑇 2𝑏 )

Dengan a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai m dan diberikan oleh


persamaan berikut:
a = 43.7 (1 - 𝑒 −19𝑚 ) (2.20)
1,56
b = (1+𝑒 −19.5𝑚 ) (2.21)

C. Difraksi Gelombang
Difraksi terjadi apabila tinggi gelombang di suatu titik pada garis puncak
gelombang lebih besar daripada titik didekatnya, yang menyebabkan perpindahan
energi sepanjang puncak gelombang ke arah tinggi gelombang yang lebih kecil.
Difraksi gelombang terjadi apabila gelombang datang terhalang oleh suatu
pemecah gelombang atau pulau, maka gelombang tersebut akan membelok di
sekitar ujung rintangan dan masuk ke daerah terlindung di belakangnya.
Perbandingan antara tinggi gelombang di titik yang terletak di daerah terlindung
dan tinggi gelombang datang disebut koefisien Refraksi K’ (Triatmodjo, 1999),
dapat dijelaskan dalam persamaan sebagai berikut:
HA = K’ HP (2.22)
K’ = f (θ, β, r/L) (2.23)
dengan:
HA = Tinggi gelombang di belakang rintangan
HP = Tinggi gelombang di ujung pemecah gelombang
K’ = Koefisien Refraksi

2.4 Teori Dasar Angkutan Sedimen


Sedimentasi terjadi akibat adanya gelombang yang datang dan membentuk
sudut terhadap garis pantai, sehingga mengakibatkan lepasnya sedimen pada suatu
daerah pantai dan berpindah sejajar arah pantai tersebut ke daerah pantai lain
kemudian mengendap dan terjadilah sedimentasi.

17
Sedimentasi pantai dapat berasal dari erosi garis pantai itu sendiri, dari
daratan yang dibawa oleh sungai, dan dari laut dalam yang terbawa arus ke daerah
pantai. Sifat-sifat sedimen pantai dapat mempengaruhi laju transpor sedimen di
sepanjang pantai. Sifat-sifat tersebut adalah ukuran partikel, rapat massa, berat
jenis, kecepatan endap. Di antara beberapa sifat tersebut, distribusi ukuran butir
adalah yang paling penting.
Transpor sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang
disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya. Transpor sedimen
dibedakan menjadi 2 macam yaitu: transpor menuju dan meninggalkan pantai
(onshore-offshore transport) yang mempunyai arah rata-rata tegak lurus garis
pantai, sedangkan transpor sepanjang pantai (longshore transport) mempunyai
arah rata-rata sejajar pantai. (Triatmodjo, 1999)
Pada komponen tegak lurus, sedimen pada dasar laut terangkut dan
membawa sedimen ke daerah pantai sehingga terjadi sedimentasi/akresi pada garis
pantai. Pada komponen sejajar garis pantai, sedimen akan terangkut oleh arus
sepanjang pantai sampai ke lokasi yang cukup jauh sehingga di lokasi tertentu
terjadi kemunduran garis pantai dan pada lokasi tertentu terjadi sedimentasi,
contohnya di muara sungai, teluk.
Transpor sedimen sepanjang pantai dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Qs = K.Pin (2.24)
𝜌.𝑔
Pi = Hb2. Cb sin αb cos αb (2.25)
8

Keterangan:
Qs = Angkutan sedimen sepanjang pantai (m/hari)
Pi = Komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai pada saat pecah
(Nm/d/m)
ρ = Rapat massa air laut (kg/m)
Hb = Tinggi gelombang pecah (m)
Cb = Cepat rambat gelombang pecah (m/d) = 𝑔𝑑
αb = Sudut datang gelombang pecah
K, n = Konstanta

18
Rumus angkutan sedimen sepanjang pantai menurut CERC (Coastal Engineering
Research Center) memberikan hub berikut :
Qs = 0,014. 𝐻𝑏2 . Cb. 𝐾𝐾𝐵𝑅
2
sin αb cos αb (2.26)
3 3
dengan Qs mempunyai satuan m /detik. Apabila dikehendaki Qs dalam m /tahun
maka persamaan tersebut menjadi :
Qs = 0,44.106. 𝐻𝑏2 . Cb. 𝐾𝐾𝐵𝑅
2
sin αb cos αb (2.27)
CERC memberikan transport sediment total. Distribusi transpor sedimen
pada lebar surf zone, dimana transpor sedimen terjadi, tidak dapat diketahui. Hal
ini menyebabkan terbatasnya pemakaian rumus tersebut pada pantai yang
mempunyai groin pendek. Selain itu rumus CERC tidak memperhitungkan sifat-
sifat sedimen dasar. Rumus tersebut diturunkan untuk pantai yang terdiri dari
pasir agak seragam dengan diameter rerata bervariasi dari 0,175 mm sampai 1mm.
Oleh karena itu rumus tersebut bisa digunakan untuk pantai lain yang memiliki sedimen
dengan sifat serupa (Arrafat, 2011).
Koefisien CERC sendiri masih dalam perdebatan, hal itu dikarenakan belum
adanya persetujuan dari para ahli. Adapun sebagai gambaran nilai koefisien CERC dapat
dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Koefisien CERC


Jenis Koefisien CERC
No. Penemu
Gelombang A’(m3/det) A”(m3/tahun)
Hs 0,014 0,44. 106
1. Original CERC
Hrms 0,028 0,88. 106
2. SPM (1975) Hs 0,025 0,79. 106
3. Komar (1976) Hrms 0,049 1,55. 106
4. Svasek Hrms 0,039 1,23. 106
5. Delft University of Hrms 0,039 1,23. 106
Sumber: Yuwono (1982)

2.5 Teori Dasar Perubahan Garis Pantai


Perubahan profil pantai sangat dipengaruhi oleh angkutan sedimen
sepanjang pantai yang kemudian akan membentuk pantai kembali sebagai akibat
adanya gelombang. Perubahan garis pantai dapat menyebabkan kerusakan yang
menimbulkan dampak negatif seperti hilangnya fasilitas umum dan berkurangnya
keindahan pantai sebagai tempat wisata.

19
Model perubahan garis pantai dengan GENESIS didasarkan pada persamaan
kontinuitas sedimen dengan membagi pantai menjadi sejumlah ruas (sel). Pada
setiap sel ditinjau angkutan sedimen yang masuk dan keluar (Triatmodjo, 1999).
Sesuai dengan hukum kekekalan massa, jumlah laju aliran massa netto di dalam
sel adalah sama dengan laju perubahan massa di dalam (Triatmodjo, 1999). Laju
aliran sedimen netto di dalam sel dapat dirumuskan sebagai berikut :
Mn = ρs (Qm – Qk) = - ρs (Qk - Qm) = - ρs. ΔQ (2.28)
Laju perubahan massa dalam sel tiap satuan waktu adalah
ρs.V
Mt = (2.29)
Δ𝑡
dimana:
ρs = rapat massa sedimen
Qm = debit sedimen masuk sel
Qk = debit sedimen keluar sel

Gambar 2.3 Pembagian pantai menjadi jumlah sel (Triatmodjo, 1999)

Dengan menyamakan persamaan (2.28) dan (2.29) maka:


ρs.V
- ρs. ΔQ = dimana V = d. Δy. Δx
Δ𝑡
d.Δy.Δx
- ΔQ =
Δ𝑡

20
Δy 1 ΔQ
=- (2.30)
Δ𝑡 𝑑 𝛿𝑥
Persamaan (2.30) adalah persamaan kontinuitas sedimen; dan untuk sel (elemen)
yang kecil dapat ditulis menjadi:
𝛿𝑦 1 𝛿Q
=- (2.31)
𝛿𝑥 𝑑 𝛿𝑥
dimana:
y = jarak antara garis pantai dan garis referensi
Q = transport sedimen sepanjang pantai
t = waktu
x = absis searah sepanjang pantai
d = kedalaman air yang tergantung pada profil pantai.

Dalam GENESIS persamaan (2.30) dijabarkan dalam persamaan d = Db + Dc


(CERC, 1991 dalam Deddy Fahamsyah, 2005)
𝛿𝑦 1 𝛿Q
+ =0 (2.32)
𝛿𝑡 (𝐷𝑏 +𝐷𝑐 ) 𝛿𝑥

dimana:
Db = tinggi bahu pantai
Dc = Kedalaman dasar laut, dimana batas profil pergerakan sedimen terjadi,
dari muka air diam
Dalam model perubahan garis pantai dilakukan penyelesaian dengan metoda
yang berbeda sehingga dilakukan penyelesaian dengan membagi pantai menjadi
beberapa pias (diskretisasi) dan waktu dalam sejumlah langkah tertentu.
Diskretisasi bertujuan untuk mengubah bentuk persamaan diferensial parsiil ke
dalam bentuk bentuk diskretpada sejumlah titik hitungan. Bentuk persamaan
diskret tersebut kemudian diselesaikan secara numeris untuk memperoleh garis
pantai.
Persamaan (2.29) diselesaikan dengan menggunakan skema eksplisit
(Triatmodjo, 1992) sebagai berikut:
𝑓(𝑥, 𝑡) = 𝑓𝑖
𝜕𝑓 (𝑥,𝑡) 𝑓𝑖 𝑛 +1 − 𝑓𝑖 𝑛
=
𝜕𝑡 Δ𝑡

21
𝜕𝑓 (𝑥,𝑡) 𝑓𝑖 𝑛 +1 − 𝑓𝑖 𝑛
=
𝜕𝑡 ∆𝑥
Dapat ditulis menjadi bentuk sebagai berikut:
𝑛
𝑦𝑖 𝑛 +1 − 𝑦𝑖 𝑛 1 𝑄𝑖+1 − 𝑄𝑖𝑛
=-
Δ𝑡 𝑑𝑖 ∆𝑥
Δt
𝑦𝑖 𝑛+1 = 𝑦𝑖 𝑛 - 𝑛
(𝑄𝑖+1 − 𝑄𝑖𝑛 ) (2.33)
di .Δx

2.6 Perubahan Garis Pantai dengan program GENESIS


GENESIS (Generalized Model for simulating Shoreline) merupakan system
pemodelan numerik yang didesain untuk melakukan simulasi perubahan garis
pantai, dengan model ini dapat diperkirakan nilai longshore transport rate serta
perubahan garis pantai akibat angkutan sedimen tanpa maupun dengan adanya
struktur pengaman pantai untuk jangka waktu tertentu (Pranoto, 2007).
Program ini dibuat oleh Hans Hanson (Departement of Water Resources
Engineering, Lund Institute of Science and Technology, University of Lund, Box
118, Lund, Sweden) and Nicolas C. Kraus (Coastal; Engineering Research
Center, Departement of The Army, Waterways Experiment Station, Corps of
Engineers, 3909 Halls Ferry Road, Vicksburg,Mississipi, US) Dan dipublikasikan
pada Desember 1989 (Fahamsyah, 2005).
Hasil simulasi ini tidak bersifat kuantitatif, dalam arti lebih cenderung untuk
meramalkan pola perubahan garis pantai yang terjadi berdasarkan kondisi
batimetri dan iklim gelombang pada suatu saat, dalam hal ini garis pantai yang
disimulasikan pada suatu titik terdeposisi atau tererosi. Hal ini karena model
numerik yang digunakan didasarkan pada sejumlah asumsi dan penyederhanaan
untuk mempermudah penyusunan persamaan model matematik yang berpengaruh,
dan mempunyai keterbatasan dalam memodelkan semua parameter atau faktor –
faktor yang kemungkinan berpengaruh dalam proses fisik yang sebenarnya.
Namun demikian secara numerik besarnya transpor sedimen sepanjang pantai dan
besarnya perubahan garis pantai yang terjadi pada suatu titik tetap dapat diperoleh
dari simulasi (Fajra, 2010).
Skala yang digunakan dalam program GENESIS adalah skala UTM
(Universal Transverse Mercator). UTM merupakan metode grid berbasis

22
menentukan lokasi di permukaan bumi yang merupakan aplikasi praktis dari dua
dimensi.
Dalam program GENESIS terdapat kapabilitas serta batasan dalam
memodelkan perubahan garis pantai (Senjaya, 2014).
Kapabilitas yang dimiliki pemodelan GENESIS diantaranya :
1. Mampu memodelkan kecenderungan perubahan jangka panjang dari garis
pantai untuk sebuah kawasan yang cukup luas
2. Dapat dikombinasikan dengan bangunan – bangunan pelindung pantai seperti
groin, jetty dan breakwater, dan juga dapat dikombinasikan dengan struktur
struktur campuran seperti bentuk T dan bentuk Y
3. Tinggi, periode dan arah gelombang laut dapat diubah ubah
4. Pada breakwater terjadi transmisi gelombang
5. Difraksi terjadi pada pemecah gelombang, jetty dan groin.
Selain memiliki kelebihan, pemodelan dengan GENESIS juga memiliki
keterbatasan seperti :
1. Tidak terjadi pantulan
2. Tidak dikembangkan untuk pembentukan tombolo
3. Tidak disiapkan untuk elevasi pasang surut
4. Penyederhanaan perhitungan yang digunakan dalam teori pemodelan
perubahan garis pantai.

2.7 Validasi Model


Validasi model digunakan untuk mengetahui kecocokan model perubahan
garis pantai dengan hasil pengukuran garis pantai di kondisi sebenarnya. Proses
validasi menggunakan Mean Precentage Error (Wicaksana, 2004) yang dihitung
dengan persamaan:
(𝑅𝑝𝑟𝑒𝑑 − 𝑅 𝑝𝑒𝑛𝑔 )𝑥100
MPE = /𝑛
𝑅𝑝𝑒𝑛𝑔
dimana:
𝑅𝑝𝑟𝑒𝑑 : kemunduran garis pantai prediksi
𝑅𝑝𝑒𝑛𝑔 : kemunduran garis pantai pengukuran
n : tahun rencana simulasi

23

Anda mungkin juga menyukai