Anda di halaman 1dari 47

Pembesaran Prostat Jinak / Benign

Prostatic Hyperplasia (BPH)


Pendahuluan

 Jika anda laki-laki, umur di atas 40 tahun dan pernah mengalami


gejala: kesulitan berkemih, harus mengedan dulu untuk berkemih,
merasa tidak tuntas setelah berkemih atau tersendat waktu
berkemih maka kemungkinan anda menderita Pembesaran
Prostat Jinak/ Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).

Apa itu Prostat?

 Prostat adalah bagian dari sistem reproduksi pria, berfungsi


memproduksi cairan semen, yang berguna sebagai transport
sperma
 Normalnya prostat berukuran kira-kira sebesar kuning telur ayam
atau sebesar buah kenari, terletak dibawah kandung kemih,
ditengahnya terdapat urethra, saluran yang mengalirkan urin dari
kandung kemih keluar melalui penis.

 Dan bila prostat mengalami pembesaran yang bersifat jinak, maka


akan menimbulkan keluhan yang disebut sebagai LUTS (Lower
Urinary Tract Symptoms) atau Gejala Gangguan Berkemih.

Apa itu Pembesaran Prostat Jinak/ Benign Prostatic Hyperplasia


(BPH)?

 Pembesaran prostat jinak/ Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


adalah terjadinya pembesaran pada organ prostat yang sifatnya
jinak, bukan suatu keganasan (kanker) atau kelanjutan dari kanker.
Untuk membedakan keduanya maka diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut, seperti pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen) serum,
yang merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium spesifik
untuk mendeteksi kanker prostat. Bila nilai PSA diatas normal maka
perlu dilakukan biopsi prostat.
 Penyebab pembesaran prostat ini berhubungan dengan peningkatan
usia dan adanya testosteron yang diproduksi oleh sel Leydig di
testis yang merupakan penghasil androgen yang utama.

 Pembesaran prostat jinak merupakan penyakit tersering kedua di


klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih , sehingga
1

kasus pembesaran prostat jinak sering dijumpai di poli urologi.


Gejala Pembesaran Prostat Jinak/ Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH)?

 Kesulitan untuk berkemih


 Seringkali berkemih terutama malam hari

 Merasa tidak tuntas setelah berkemih

 Dorongan untuk berkemih yang kuat dan tiba-tiba

 Aliran berkemih yang lemah atau lambat

 Aliran berkemih yang tersendat-sendat

 Mengedan pada waktu berkemih

Bagaimana Mendiagnosa Pembesaran Prostat Jinak/ Benign


Prostatic Hyperplasia (BPH)?

Pemeriksaan yang dilakukan adalah bervariasi untuk setiap pasien,


berikut ini adalah pemeriksaan yang umumnya dilakukan oleh Dokter :

 Anamnesis / Riwayat Penyakit (kuesioner / IPSS)


 DRE (Digital Rectal Examination)/ pemeriksaan colok dubur

 Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)

 Ultrasonografi Transrektal (USG melalui dubur)

 Urine Flow Study (Uroflowmetry)

 Intranenous Pyelogram (IVP)

 Cystoscopy

Pengobatan Pembesaran Prostat Jinak/ Benign Prostatic


Hyperplasia (BPH)

 Pada penderita pembesaran prostat jinak, jika gejalanya masih


ringan maka biasanya cukup diobservasi saja. Penderita
dinasehatkan untuk mengurangi minum pada malam hari, hal ini
untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obatan dekongestan
(parasimpatolitik), mengurangi kopi dan tidak minum-minuman
beralkohol agar tidak telalu sering kencing.
 Pada tahap ini yang biasanya disebut watchful waiting dilakukan
pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS ≤ 7). Penderita
dianjurkan untuk mengontrol keluhan yang diderita setiap tiga bulan
dan apabila keluhan bertambah maka mulai dilakukan pengobatan
atau operasi.

 Ada beberapa macam kelas obat yang diindikasikan untuk


menanggani pembesaran prostat jinak yang anda derita, salah
satunya adalah kelas alpha blocker, obat ini bekerja dengan
menghambat reseptor alpha yang banyak ditemukan diotot polos di
trogonum, leher kandung kemih, prostat, dan kapsul prostate.
Penghambatan ini akan menyebabkan relaksasi pada daerah prostat
sehingga tekanan akan berkurang dan meringankan obstruksi,
sehingga gejala gangguan berkemih akan teratasi.

 Alpha blocker merupakan pilihan pertama untuk mengatasi gejala


gangguan berkemih yang disebabkan oleh BPH. Pilihan obat-obatan
lainnya adalah kelas 5-alpha reduktase inhibitor dan fitoterapi yang
merupakan pilihan kedua untuk mengatasi gejala gangguan
berkemih.
 Bila gejala ini terus berlanjut tanpa ada perbaikan atau ada
komplikasi berat lainnya, maka Dokter Anda akan menganjurkan
untuk melakukan operasi. Operasi ini bertujuan untuk membuang
jaringan prostat yang membesar sehingga aliran berkemih akan
kembali lancar.

 Konsultasikan segera gejala yang Anda derita kepada Dokter Anda


dan pilihan pengobatan akan dipilih oleh Dokter Anda berdasarkan
derajat pembesaran prostat jinak yang Anda alami.

PENGERTIAN
1. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi
berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang
sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi
yang dominan adalah hyperplasia (Long, 2006).
2. Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat
nonkanker (Basuki, 2000).
3. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan
oleh penuaan (Soeparman, 2000).
4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
(secara umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai
derajat obstruksi uretra (Hardjowidjoto, 2000).
5. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandungkemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra. (Schwartz, 2000).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra.
Prostatektomy adalah merupakan tindakan pembedahan bagian prostat
(sebagian / seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki
aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
ANATOMI FISIOLOGI
Pada pria, beberapa organ berfungsi sebagai bagian dari traktrus urinarius
maupun sistem reproduksi. Kelainan pada organ-organ reproduksi pria
dapat menganggu salah satu atau kedua sistem. Akibatnya, penyakit
sistem reproduksi pria biasanya ditangani oleh ahli urologi. Struktur dari
sistem reproduksi pria adalah testis, vas deferen (duktus deferen), vesika
seminalis, penis, dan kelenjar asesori tertentu, seperti kelenjar prostat dan
kelenjar cowper (kelenjar bulbo-uretral). Organ genetalia pria terdiri dari 6
komponen yaitu :
a. Testis dan epididimis
b. Duktus deferen
c. Vesikula seminalis
d. Duktus ejakulatorius dan penis
e. Prostat
f. Kelenjar bulbo-uretra

Gambar Prostat
Prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di sebelah interior buli-
buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti
buah kemiri dengan ukuran 3 x 4 x 2,5 cm dan beratnya 20 gram.
Sebagian prostat mengandung kelenjar grandular dan sebagian lagi otot
involuter dan menghasilkan suatu cairan yang di sebut semen, yang basa
dan mendukung nutrisi sperma. Cairan prostat merupakan kurang lebih
25% dari seluruh volume ejakulat. Jika kelenjar ini mengalami hiperlasia
jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membantu uretra posterior
dan mengakibatkan obstruksi saluran kemih.
ETIOLOGI
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa
pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit
dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan
testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai
mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat
ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini
jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk
kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor
komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya
anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon
androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa
jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara
retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian
tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme,
bagian inilah yang mengalami hiperplasia (Hardjowidjoto,2000).
Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnyahiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel
yang mati
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori yaitu :
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu
sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor
pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengancepat, sehingga
terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan
kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga
jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa
dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron
dan terjadinya konversi testoteron menjadi estrogen. (Sjamsuhidayat,
2005).
PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Basuki (2000),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Basuki, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi
estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan
dirubahmenjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secaralangsung memacu m-RNA
di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga
terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnyadisebabkan
oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher
vesika dan kekuatankontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan
prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya
pembesaran prostat akan terjadiresistensi yang bertambah pada leher
vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi
keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli
balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan
mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut
divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot
dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Pada hiperplasi prostat
digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih,
sehingga sering berkontraksiwalaupun belum penuh atau dikatakan
sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,
miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter
dan dilatasi. ureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal
ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu
endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinariamenjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,
yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluksmenyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,
kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan
(straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitasotot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering
miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),
perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria) (Mansjoer,2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium:
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flowin kontinen).
Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,
dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume
urine yangturun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar,
dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
1. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
– Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
– Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
– Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
– Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
– Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
– Normal : Tidak ada sisa
– Grade I : sisa 0-50 cc
– Grade II : sisa 50-150 cc
– Grade III : sisa > 150 cc
– Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing
KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin
tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran
kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan herniadan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu
endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinisa.
1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa, seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian lama.
2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksiendoskopi melalui uretra (trans uretra).
3. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.Pembedahan
terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka. Pada penderita
yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan
dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada
BPH dapat dilakukan dengan:
1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol,tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
2. Medikamentosa
A. Penghambat alfa (alpha blocker)
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1, dan
prostat memperlihatkanrespon mengecil terhadap agonis. Komponen yang
berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli- buli secara primer
diperantarai oleh reseptor alpha blocker. Penghambatan terhadap alfa
telah memperlihatkanhasil berupa perbaikan subjektif dan objektif terhadap
gejala dan tanda BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat
diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya
B. Penghambat α5-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)
Finasteride adalah penghambat 5α-Reduktase yang menghambat
perubahan testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi
komponen epitel prostat, yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar
dan memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan,
guna melihat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan
perbaikan gejala-gejala
C. Terapi KombinasiTerapi kombinasi antara penghambat alfa dan
penghambat 5α-Reduktase memperlihatkan bahwa penurunan
symptom score dan peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada
pasien yang mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi
kombinasi tambahan sedang berlangsung.
D. Fitoterapi
Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-
tumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah
popular di Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme kerjafitoterapi tidak
diketahui, efektifitas dan keamanan fitoterapi belum banyak diuji.
3. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi salurankemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
1. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra
2. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
3. Prostatektomi Retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian
bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
4. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara
skrotum dan rektum.
5. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis
dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian
bawah, uretra dianastomosiskan keleher kandung kemih pada kanker
prostat.
4. Terapi Invasif Minimal
1. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostatmelalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
2. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced
Prostatectomy (TULIP)
3. Trans Uretral Ballon Dilatation(TUBD)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan
pada pasien dengan BPH adalah :a. Laboratorium
1. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
2. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang
diujikan. b. Pencitraan1). Foto polos abdomenMencari kemungkinan
adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan
tanda dari retensi urin.
3. IVP ( Intra Vena Pielografi) Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal
atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,memperkirakan
besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
4. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal )
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
5. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum
PERAWATAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMBEDAHAN
Persiapan Pre-Operatif
A. Tanda persetujuan secara tertulis, penderita dan keluarga
harus menyatakan persetujuan pembedahan (informed konsen).
B. Persiapan kulit
Daerah yang akan dicukur ditentukan, lebih baik kalau pencukuran
langsung dilaksanakan sebelum pembedahan. Penderita harus dimandikan
dan bersih malam sebelum pembedahan.
C. Diet
Penderia tidak boleh makan makanan padat selama 12 jam pasien
dipuasakan minum cairan selama 8 jam sebelum pembedahan.
D. Cairan IV
Pemberian cairan intravena tidak diperlukan pada berbagai kasus tetapi
pada penderita yang lansia atau lemah perlu diberi cairan penguat pada
malam sebelum pembedahan.
E. Pengurangan isi perut
Pencahar dan enema kebanyakan dilaksanakan pada pembedahan perut,
pengosongan sebagian dari usus dilaksanakan pemberian 2-3 tablet
dulcolax.
F. Pemberian obat-obatan
Premedikasi anastetik biasanya ditangani oleh dokter ahli anastesi
G. Tes laboratorium
Penentuan BUN, kreatinin serum dan kalium serum, lab darah dan
lain-lain.
I. Transfusi darah
Harus disiapkan bilamana perlu
J. Kandung kencing
Kateter folley digunakan pada pembedahan yang lama lebih baik
memasang kateter sesudah di bedah daripada sebelumnya.

Persiapan Pre-Operatif
A. Jenis pembedahan
Sehingga perawat dan dokter yang jaga mengetahui persoalan yang
dihadapi
B. Tanda-tanda vital
Tekanan darah, denyut nadi, respirasi, harus dicatat tiap 15 menit sesudah
operasi, tiap jam selam beberapa jam kemudian 4 jam hingga penderita
sembuh
C. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit setiap hari
D. Aktivitas dan posisi
Posisi mula-mula telentang tetapi penderita harus dimiringkan ke kiri atau
ke kanan setiap 30 menit sementara ia tidak sadarkan diri. Anjurkan
menggerakan kaki secara aktif atau pasif setiap jam.
G. Makanan
H. Cairan intra vena (catat jenis cairan dan kecepatan tetesan
pemberiannya)
I. Pantau drain pada luka pembedahan bila ada catat outputnya
J. Monitor kateter dan pengeluaran urinenya
K. Perawatan luka bersih pada daerah luka pasca bedah
L. Pemberian antibiotic untuk menimimalkan infeksi pasca
operasi
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI,
Katalog Dalam Terbitan (KTD): Jakarta.
Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University
Press: Surabaya
Long, Barbara C. (2006). Perawatan Medikal Bedah. Volume 1. (terjemahan).
Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran: Bandung.
Schwartz, dkk, (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom
Shires dkk, EGC: Jakarta.
Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
Soeparman. (2000). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. FKUI: Jakarta
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.

Prostat adalah kelenjar pada pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, di depan rectum dan
membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan
beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang oleh
McNeal dibagi menjadi beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona preprostatic sfingter, dan zona anterior. Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri
atas komponen kelenjar dan stroma. Kelenjar stroma terdiri dari otot polos, fibroblast, pembuluh
darah, saraf, dan jaringan penyangga yang lain. Prostat menghasilkan cairan yang merupakan salah
satu komponen dari cairan ejakulat. Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan
parasimpatik dari pleksus prostatikus.1,2,3

BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki
yang biasanya pada usia pertengahan atau lanjut. Pada usia 40an, seorang pria mempunyai
kemungkinan terkena BPH sebesar 25%. Menginjak usia 60-70 tahun, kemungkinannya menjadi
50%. Dan pada usia diatas 70 tahun, akan menjadi 90%. 1,2,3,4,5

Sampai saat ini etiologi dan patogenesis dari BPH belum diketahui secara pasti, tetapi secara
umum telah diketahui bahwa BPH hanya dapat timbul pada pria yang berusia tua dan mempunyai
testis yang berfungsi normal dimana hormon androgen diduga mempunyai peran yang sangat
penting.1,4 Namun demikian sampai saat ini terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan
mengenai etiologi dan patogenesis dari BPH, yaitu: 1,2,3,4
Ø Teori Dihidrotestosteron (DHT).

DHT merupakan metabolit yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk
dari testosteron dalam sel prostat oleh enzim 5ά-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT
yang terbentuk akan berikatan dengan reseptor androgen membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel
dan selanjutnya terjadi transkripsi DNA sehingga terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Berdasarkan penelitian kadar DHT pada BPH dan
prostat normal tidak jauh berbeda hanya saja aktivitas dari enzim 5ά-reduktase dan jumlah reseptor
androgen pada BPH lebih banyak dibanding prostat normal.
Ø Teori ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron.

Estrogen (dalam bentuk estradiol) dapat ditemukan pada konsentrasi rendah pada darah pria.
Hormon ini dibentuk dari aromatisasi testosteron dengan bantuan enzim aromatase dalam jaringan
perifer yaitu jaringan lemak. Pada usia lanjut, testosteron bebas pada sirkulasi semakin menurun,
sedangkan kadar estradiol bebas relatif tidak berubah. Estrogen dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel kelenjar
prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel kelenjar prostat.
Ø Teori interaksi stroma-epitel.
Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic fibroblast growth factor (b-FGF) dapat
menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien
dengan BPH. b-FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi , ejakulasi atau infeksi.
Ø Teori berkurangnya kematian sel.

Secara fisiologis program kematian sel (apoptosis) dan proliferasi sel pada pertumbuhan prostat
sampai pada prostat dewasa terjadi secara seimbang. Berkurangnya jumlah kematian sel dibanding
dengan proliferasi sel menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat. Hal inilah yang terjadi pada BPH, namun
sampai saat ini belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang menghambat apoptosis.
Diduga hormon androgen dan estrogen berperan dalam menghambat proses apoptosis ini, karena
setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.
Ø Teori stem sel.

Untuk mengganti sel-sel yang mengalami apoptosis, selalu akan dibentuk sel baru. Dalam kelenjar
prostat dikenal suatu stem sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Sel-sel
ini berubah menjadi amplifying cell kemudian menjadi transit cell, dimana kehidupan sel ini sangat
bergantung dari keberadaan hormon androgen.

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat
aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan
urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus
ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-
gejala prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.
Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin
dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. 1,2,4,6,7,8

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen
mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran
kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine
(obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik berhubungan dengan tonus otot polos yang
ada pada stroma dan kapsul prostat serta pada leher buli-buli. Otot polos ini dipersarafi oleh serabut
simpatis yang berasal dari serabut pudendus. Pada BPH terjadi peningkatan rasio komponen stroma
terhadap epitel sehingga terjadi peningkatan tonus otot polos prostat yang mengakibatkan terjadinya
obstruksi prostat.1,2,8

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih dan diluar saluran kemih. Keluhan
pada saluran kemih dapat terjadi pada bagian bawah maupun pada bagian atas. Keluhan pada
saluran kemih bawah atau disebut juga LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) terdiri atas gejala
obstruktif maupun gejala iritatif. Gejala iritatif yaitu sering miksi (frequency), terbangun untuk miksi
pada malam hari (nocturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgency), dan nyeri pada
saat miksi (dysuria). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak lampias
sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengedan (straining),
kencing terputus-putus (Intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio
urin dan inkontinen karena overflow. Bila keadaan ini berlanjut terus dapat menyebabkan keluhan
pada saluran kemih atas berupa nyeri pinggang, benjolan di pinggang yang merupakan tanda dari
hidronefrosis atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis. Selain itu dapat
menimbulkan hemoroid maupun hernia ingunalis akibat dari sering mengejan pada saat miksi. 1-8

Untuk mendiagnosis suatu BPH dapat dilakukan melalui berbagai tahap yaitu: dimulai dengan
anamnesis kemudian pemeriksaan fisik dan dapat dilanjutkan dengan berbagai pemeriksaan
penunjang.2,3,5,9

Anamnesis atau wawancara perlu dilakukan dengan cermat guna untuk mendapatkan data
tentang riwayat penyakit penderita secara lengkap sehingga dapat menunjang dalam mendiagnosis.
Untuk menentukan berat ringannya suatu BPH berdasarkan gejala yang diperoleh dari anamnesis,
terdapat dua sistem skoring yaitu skoring menurut Madsen-Iversen dan skoring menurut International
Prostate Scoring System (IPSS).1,2,4

Pemeriksaan fisik yang penting yang dapat dilakukan pada pasien dengan BPH yaitu colok
dubur atau digital rectal examinationdisamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk
mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli dan regio costovertebra (CVA) untuk mencari
kemungkinan adanya komplikasi ke ginjal akibat BPH. Pada pemeriksaan colok dubur ini dapat
diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan
salah satu tanda dari keganasan prostat serta nyeri tekan yang biasanya terdapat pada
prostatitis.1,2,3,9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu: pemeriksaan laboratorium darah (Hb,
leukosit, trombosit) ,urinalisis, pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin), pemeriksaan PSA
(Prostate Specific Antigen), uroflometri, pemeriksaan IVP, USG danpemeriksaan ultrasonografi
transrektal (TRUS).1,2,3,4,9

Terapi pada pasien BPH mempunyai tujuan untuk mengembalikan kualitas hidup pasien.
Terapi yang ditawarkan tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi objektif
kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari: 1-7
1. Observasi (watchfull waiting). Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan (skor
IPSS < 7 atau skor Madsen Iversen ≤9) yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Nasehat yang diberikan ialah jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol
setelah makan malam, kurangi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-
buli, batasi penggunaan obat-obat dekongestan seperti fenilpropanolamin dan jangan
menahan kencing terlalu lama. Kemudian setiap 3 bulan pasien diminta untuk datang kontrol
dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan.
2. Terapi medikamentosa. Tujuannya adalah untuk mengurangi resistensi otot polos prostat atau
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang digunakan yaitu: (1)
antagonis reseptor adrenergik-ά seperti fenoksibenzamin, prazosin dan doksazosin, (2)
inhibitor 5-ά reduktase seperti finasteride dan dutasteride, (3) fitofarmaka yang berupa
ekstrak tumbuh-tumbuhan yang dapat memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, seperti
eviprostat.
3. Terapi intervensi yang terdiri dari 2 golongan, yaitu (1) teknik ablasi jaringan prostat atau
pembedahan, seperti open prostatektomi, (Transurethral Resection of the Prostate) TURP,
(Transurethral Incision of the Prostate) TUIP dan elektrovaporisasi. (2) teknik instrumentasi
alternatif (invasif minimal) yaitu interstitial laser coagulation (ILC), (Transurethral Needle
Ablation of the Prostate) TUNA, dilatasi balon,termoterapi, (High Intensity Focused
Ultrasound) HIFU, danstent uretra.

Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia.
Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah urologi.

Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan berperan
dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia
antara 50 dan 79 tahun mengalami hiperplasia prostat.

Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar negeri diperkirakan
semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang
jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya
pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian
bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala
klinik.7

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30 – 40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia
50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut
diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.1
Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini
dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non
operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi.

II.1 Definisi

Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat
mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.1,2

II.2 Anatomi

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler,yang terletak
disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada
disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang
lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.12

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :

1. lobus medius

2. lobus lateralis (2 lobus)

3. lobus anterior

4.
lobus posterior 8,12

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi satu dan disebut lobus
medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain
tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar
prostat.8

Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral,
zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat
pada zona transisional yang letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di
zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan
pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.7,11

Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari verumontanum dibagian posterior dari
uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum
triangulare inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.

Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis,
sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan
rektum.

Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus
prostatovesikal.8
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :

1. Kapsul anatomi

2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler

3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian,

a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.

b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatous zone

c.
Disekitar uretra disebut periurethral gland 12

Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :

1. kapsul anatomis

2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya (outer zone) sehingga
terbentuk kapsul

3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone) dan bagian luar (outer
zone) dari kelenjar prostat.12

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi
tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan
bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang
mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.8,12

II.3 Epidemiologi

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat
normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada
peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat
bisa mengalami perubahan hiperplasi.4

Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar negeri diperkirakan
semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang
jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya
pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian
bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala
klinik.7

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30 – 40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia
50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut
diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.1
II.4 Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses aging (menjadi tua).11

Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:

1. Teori Hormonal

Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi
BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron
dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen
pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk
inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma.
Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan
potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.

Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal
hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol
pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler
(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini
mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat
dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap
estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.

2.Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)

Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Terdapat empat peptic
growth factor yaitu; basic transforming growth factor, transforming growth factor b1, transforming growth factor
b2, dan epidermal growth factor.

3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel yang Mati

4.Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan
keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya
kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat
berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih
cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan
sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.

5. Teori Dihydro Testosteron (DHT)


Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk
dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG).
Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target
cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron
direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor
sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami
transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada
chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan
terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.

6. Teori Reawakening

Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada kelenjar periuretral (zone
transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya
alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada
embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali
seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat
dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic induction
potential of prostatic stroma during adult hood.

Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab terjadinya BPH seperti;
teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang
berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut
masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya.3,7,8,12

II.5 Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran
urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli
harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.

Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah
atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini
jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal.2,11

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan
komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang
akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan
komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor.
Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan
tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya
obstruksi oleh komponen mekanik.8

II.6 Gambaran Klinis

II.6.1 Gejala

Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif.

Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang
membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi
terputus-putus. Gejalanya ialah :

1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)

2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)

3. Miksi terputus (Intermittency)

4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)

5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).2,3

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu :

1.Volume kelenjar periuretral

2.Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3.Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar
periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi
apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum
dirasakan.7

Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :

a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini dapat dihitung dengan
pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu
membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat
melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk
melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi.
b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung jumlah urin dibagi
dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik
pancaran urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di
dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12 ml/detik
dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average
flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow rate
tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.

Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis,
menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun
menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur.1,3,11

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau
disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan
pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :

1.Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)

2.Nokturia

3.Miksi sulit ditahan (Urgency)

4.Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat berat gejala
prostatismus itu dibagi menjadi :

Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml

Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml

Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin > 150 ml 7

Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang
ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah
bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari
disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya
tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume
besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih
ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena
produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga
tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter
akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk
vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang
diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat
dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan
lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam
vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi
sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.3

Keluhan-keluhan diatas biasanya disusun dalam bentuk skor simtom. Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang
dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit, diantaranya adalah skor
internasional gejala-gajala prostat WHO (International Prostate Symptom Score, IPSS) dan skor Madsen
Iversen.

Tabel 1. Skor Madsen Iversen dalam bahasa Indonesia

Pertanyaan 1 2 3 4 5
Pancaran Normal Berubah-ubah Lemah Menetes

Mengedan pada Tidak Ya


saat berkemih
Harus menunggu Tidak Ya
pada saat akan
kencing
Buang air kecil Tidak Ya
terputus-putus
Kencing tidak Tidak tahu Berubah-ubah Tidak 1 kali retensi >1 kali
lampias lampias retensi
Inkontinensia Ya
Kencing sulit Tidak ada Ringan Sedang Berat
ditunda
Kencing malam 0-1 2 3-4 >4
hari
Kencing siang hari >3 jam sekali Setiap 2-3 jamSetiap 1-2<1 jam sekali
sekali jam sekali

Tabel 2. Skor internasional gejala-gejala prostat WHO (International Prostate Symptom Score, IPSS)

Pertanyaan
Keluhan pada Tidak <1 >5 sampai15 kali > 15 kali Hampir selalu
bulan terakhir sama sampai 515 kali
sekali kali
Adakah anda 0
merasa buli-buli
tidak kosong
setelah buang air
kecil
Berapa kali anda 0 1 2 3 4 5
hendak buang air
kecil lagi dalam
waktu 2 jam
setelah buang air
kecil
Berapa kali terjadi 0 1 2 3 4 5
air kencing
berhenti sewaktu
buang air kecil
Berapa kali anda 0 1 2 3 4 5
tidak dapat
menahan
keinginan buang
air kecil
Berapa kali arus 0 1 2 3 4 5
air seni lemah
sekali sewaktu
buangkecil
Berapa kali terjadi 0 1 2 3 4 5
anda mengalami
kesulitan memulai
buang air kecil
(harus mengejan)
Berapa kali anda 0 1 2 3 4 5
bangun untuk
buang air kacil di
waktu malam
Andaikata hal Sangat Cukup Biasa saja Agak Tidak Sangat tidak
yang anda alami senang senag tidak menyenangkan menyenangkan
sekarang akan senang
tetap berlangsung
seumur hidup,
bagaimana
perasaan anda

Jumlah nilai :

0 = baik sekali

1 = baik

2 = kurang baik

3 = kurang

4 = buruk

5 = buruk sekali
II.6.2 Tanda

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat
memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya
kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus
diperhatikan :

a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)

b. Adakah asimetris

c. Adakah nodul pada prostate

d. Apakah batas atas dapat diraba

e. Sulcus medianus prostate

f. Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung,
lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat
keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba
krepitasi.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat
teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang.
Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk
mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab
yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis
daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.

Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah
supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.

2. Pemeriksaan laboratorium

a. Darah : - Ureum dan Kreatinin

- Elektrolit

- Blood urea nitrogen

- Prostate Specific Antigen (PSA)

- Gula darah
b. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test

- Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik

- Sedimen

3. Pemeriksaan pencitraan

a. Foto polos abdomen (BNO)

Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau
divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.

b. Pielografi Intravena (IVP)

- pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling defect/indentasi prostat) pada dasar
kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).

- mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit
yang terjadi pada buli – buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli.

- foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

c. Sistogram retrograd

Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd dapat pula
memberi gambaran indentasi.

d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)

- deteksi pembesaran prostat

- mengukur volume residu urin

e. MRI atau CT jarang dilakukan

Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam potongan.

4. Pemeriksaan lain

1. Uroflowmetri

Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh :

- daya kontraksi otot detrusor

- tekanan intravesica
- resistensi uretra

Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik.
Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.

1. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)

Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah
penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal
tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan
cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.

1. Pemeriksaan Volume Residu Urin

Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan memasang
kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa
(meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.1,2,3,7,8

II.7 Diagnosis

Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :

1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif

2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai prostat yang membesar,
konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia
prostat batas atas semakin sulit untuk diraba.

3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.

4. Pemeriksaan pencitraan :

Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih atau ujung distal
ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Dengan trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat
terlihat prostat yang membesar.

5.Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.

6.
Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu urin yang meningkat sesuai
dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi).2

II.8 Diagnosis Banding

1. Kelemahan detrusor kandung kemih

a. kelainan medula spinalis


b. neuropatia diabetes mellitus

c. pasca bedah radikal di pelvis

d. farmakologik

2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :

a. kelainan neurologik

b. neuropati perifer

c. diabetes mellitus

d. alkoholisme

e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

3.Obstruksi fungsional :

a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor dengan relaksasi sfingter

b. ketidakstabilan detrusor

4.Kekakuan leher kandung kemih :

a. fibrosis

5.Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :

a. hiperplasia prostat jinak atau ganas

b. kelainan yang menyumbatkan uretra

c. uretralitiasis

d. uretritis akut atau kronik

e. striktur uretra

6.
Prostatitis akut atau kronis 1,2

II.9 Kriteria Pembesaran Prostat

Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah :

1.Rektal grading
Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :

- derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum

- derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum

- derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum

- derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

2.Berdasarkan jumlah residual urine

- derajat 1 : < 50 ml

- derajat 2 : 50-100 ml

- derajat 3 : >100 ml

- derajat 4 : retensi urin total

3.Intra vesikal grading

- derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet

- derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter

- derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter

- derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter

4.Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :

- derajat 1 : kissing 1 cm

- derajat 2 : kissing 2 cm

- derajat 3 : kissing 3 cm

- derajat 4 : kissing >3 cm 8

II.10 Komplikasi

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai
berikut :

1.Inkontinensia Paradoks

2.Batu Kandung Kemih


3.Hematuria

4.Sistitis

5.Pielonefritis

6.Retensi Urin Akut Atau Kronik

7.Refluks Vesiko-Ureter

8.Hidroureter

9.Hidronefrosis

10. Gagal Ginjal 2

II.11 Penatalaksanaan

Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan penderita datang kepada
dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan
sisa volume urin. Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan
prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan
gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih
dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi
dan sisa urin lebih dari 100 ml, sedangkan derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi
kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO
PSS (WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan
mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan
kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul
obstruksi.1,2

Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara
penanganan. Pada penderita dengan derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan
dapat diberikan pengobatan secara konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada
indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih
ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi,
dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih
dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada
derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga
reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada hiperplasia prostat
derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin
total, dengan jalan memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau operasi terbuka.1,2

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan menghindari
komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk
hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula
beberapa terapi non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah.
Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral,
menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik
ditujukan untuk :

1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat


2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 2,7

Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia prostat benigna yang dapat
dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :

1. Observasi (Watchful waiting)


2. Medikamentosa

a. Penghambat adrenergik a

b. Fitoterapi

c. Hormonal

1. Operatif

a. Prostatektomi terbuka

- Retropubic infravesika (Terence millin)

- Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)

- Transperineal

b. Endourologi

- Trans urethral resection (TUR)

- Trans urethral incision of prostate (TUIP)

- Pembedahan dengan laser (Laser Prostatectomy)

§ Trans urethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)

§ Trans urethral evaporation of prostate (TUEP)

§ Teknik koagulasi

1. Invasif minimal
- Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT)

- Trans urethral ballon dilatation (TUBD)

- Trans urethral needle ablation (TUNA)

- Stent urethra dengan prostacath 11

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli. Hal ini dapat
dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif. Mengenai
penatalaksanaan konservatif non operatif akan dibahas pada bab tersendiri, pada bab ini hanya akan dibahas
tentang penatalaksanaan secara operatif saja yang terbagi dalam prostatektomi terbuka dan prostatektomi
endourologi.

1. Prostatektomi terbuka

a. Retropubic infravesica (Terence Millin)

Keuntungan :

- Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal

- Mortaliti rate rendah

- Langsung melihat fossa prostat

- Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli

- Perdarahan lebih mudah dirawat

- Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila membuka vesika

Kerugian :

- Dapat memotong pleksus santorini

- Mudah berdarah

- Dapat terjadi osteitis pubis

- Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal

- Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam vesika

Komplikasi :

- Perdarahan
- Infeksi

- Osteitis pubis

- Trombosis

b. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)

Keuntungan :

- Baik untuk kelenjar besar

- Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat

- Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :

1. Batu buli

2. Batu ureter distal

3. Divertikel

4. Uretrokel

5. Adanya sistsostomi

6. Retropubik sulit karena kelainan os pubis

- Kerusakan spingter eksterna minimal

Kerugian :

- Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica sembuh

- Sulit pada orang gemuk

- Sulit untuk kontrol perdarahan

- Merusak mukosa kulit

- Mortality rate 1 -5 %

Komplikasi :

- Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neck stenosis 4%)

- Inkontinensia (<1%)
- Perdarahan

- Epididimo orchitis

- Recurent (10 – 20%)

- Carcinoma

- Ejakulasi retrograde

- Impotensi

- Fimosis

- Deep venous trombosis

c. Transperineal

Keuntungan :

- Dapat langssung pada fossa prostat

- Pembuluh darah tampak lebih jelas

- Mudah untuk pinggul sempit

- Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :

- Impotensi

- Inkontinensia

- Bisa terkena rektum

- Perdarahan hebat

- Merusak diagframa urogenital

2 Prostatektomi Endourologi

a. Trans urethral resection (TUR)

Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar
sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna,
bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh
pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat
berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif
dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TUR
meningkat dari 72% menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada penilaian pra-bedah dari
152 pasien. Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%.

Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar
prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan
direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik,
yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya
cukup murah adalah H2O steril (aquades).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi
sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan
terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma ini
ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat
bradikardi.

Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan
meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya
sindroma TUR P dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain
adalah cairan glisin , membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi
suprapubik untuk mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.

Keuntungan :

- Luka incisi tidak ada

- Lama perawatan lebih pendek

- Morbiditas dan mortalitas rendah

- Prostat fibrous mudah diangkat

- Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol

Kerugian :

- Tehnik sulit

- Resiko merusak uretra

- Intoksikasi cairan

- Trauma spingter eksterna dan trigonum

- Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar


- Alat mahal

- Ketrampilan khusus

b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)

Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya mendekati normal.
Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya
dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini
juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi
memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat
ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat. Kelebihan dari metode ini adalah lebih
cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR.

c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)

Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat prostat yang membesar merupakan
operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang
sebaik dengan operasi maka dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.

Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh Sander (1984). Untuk mengobati ca prostat
yang masih lokal dengan memakai Nd YAG (Neodymium, Yttrium Aluminium Garnet) Solid state Nd YAG ini
pertamakali diperkenalkan tahun 1964 tapi baru tahun 1975 baru dicoba dibidang urologi untuk mengablasi
tumor buli superficial (Hoffstetter). Pc Phee menulis mengenai penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi
segmental pada mukosa buli.

YAG laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan prostat oleh karena mempunyai
daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula laser untuk prostat ini hanya dipakai untuk pengobatan tambahan
setelah TUR P pada ca prostat, yang biasanya diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg 1985, Mc Nicholas
1990).

Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk melaser prostat pada penderita yang tidak dapat
mentoleransi perdarahan apabila dilakukan TUR. Roth dan Aretz (1991) menjadi pelopor penggunaan laser
Transuretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP), yang dibimbing dengan pemakaian USG
untuk dapat menembak prostat yang disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok (deflektor) sinar laser
dengan sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar prostat yang membesar.

Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini tidak banyak diserap oleh air seperti
laser CO2 dan mempunyai sifat divergensi tetapi masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila
laser Nd YAG ini mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang dapat
menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan mempunyai efek laser maksimal pada
kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek termal dapat mencapai 100°C sehingga pada kekuatan 40 – 60 watts
akan menyebabkan koagulasi pada kedalaman 3mm sehingga akan terjadi letusan kecil yang disebut “pop corn
effect”. Nd YAG ini aman untuk pengobatan prostat oleh karena pembuluh darah yang agak besar dan pembuluh
darah pada kapsul prostat akan menjadi penahan panas (heat sink) sehingga tidak akan terjadi penjalaran panas
keluar dari prostat.
Tahun 1989 Johnson menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser tersebut dapat dibelokkan 90°
dengan menggunakan pembelok dari emas yang ditempelkan diujung serat laser, sehingga sinar laser dapat
diarahkan ke jaringan prostat dari dalam uretra. Dengan alat pembelok ini 92% dari energi laser masih dapat
mencapai jaringan preostat. Costello (1992) mempelopori penggunaan laser ini utnuk ablasi pembesaran prostat
jinak menggunakan laser yang dibelokkan 90° melalui sistoskopi.

Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-masing lobus prostat
(lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop corn effect sehingga tampak
melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan
menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang kan menyebabkan “laser nekrosis”
lebih dalam setelah 4-24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai
rongga yang terjadi sehabis TUR.

Keuntungan bedah laser ialah :

1. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi akibat bekuan
darah dan tidak memerlukan transfusi
2. Teknik lebih sederhana

3. Waktu operasi lebih cepat

4. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat

5. Tidak memerlukan terapi antikoagulan

6. Resiko impotensi tidak ada

7. Resiko ejakulasi retrograd minimal

Kerugian :

Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional) 1,2,3,7,8,11

TERAPI KONSERVATIF NON OPERATIF

Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi. Didorong oleh faktor biaya dan
morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus dicari pendekatan yang lebih aman, nyaman dan bahkan
lebih ekonomis. Di dalam penatalaksanaan terapi hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang
merupakan terapi non operatif. Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan operasi dapat diusahakan pengobatan konservatif.3,9

Terapi konservatif ini masih terbagi lagi ke dalam berbagai kelompok, yaitu :

1. Observasi (Watchful waiting)

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh
pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) ringan dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa
mendapatkan terapi apapun. Tetapi diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa
atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.11

1. Medikamentosa

a. Penghambat adrenergik a

Seperti kita ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat terutama oleh
serabut-serabut saraf simpatis, terutama mengandung reseptor alpha, jadi dengan pemberian obat golongan
alpha adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik bloker maka tonus leher vesika, otot polos prostat dan
kapsul prostat akan berkurang, sehingga sehingga menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan
memperbaiki gejala miksi. Bila serangan prostatismus memuncak menjurus kepada retensio urin ini adalah
pertanda bahwa tonus otot polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga pemberian obat ini adalah sangat
rasional. Episode serangan biasanya cepat teratasi.

Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2x10 mg/hari. Sekarang telah tersedia obat
yang lebih selektif untuk alpha 1 adrenergik bloker yaitu Prazosine, dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain
itu adalah Terazosin dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan Doxazosin. Pengobatan dengan penghambat alpha ini
pertama kali dilakukan oleh Caine dan kawan-kawan yang dilaporkan pada tahun 1976. Dengan pengobatan
secara ini ditemukan perbaikan sekitar 30-70% pada symptom skore dan kira-kira 50% pada flow rate. Tetapi
kelompok obat ini tidak dapat digunakan berkepanjangan karena efek samping obat ini berupa hipotensi
ortostatik, palpitasi, astenia vertigo dan lain-lain yang sangat mengganggu kualitas hidup kecuali bagi penderita
hipertensi.

Penelitian terakhir di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Doxazosin terbukti efektif dalam pengobatan
hiperplasia prostat jangka panjang pada pasien hipertensi dan normotensi. Prazosine diketahui lebih selektif
sebagai alpha 1 adrenergik bloker, sedang phenoxy benzanmine meskipun lebih kuat tetapi tidak selektif untuk
reseptor alpha 1 dan alpha 2, dan sekarang ditakutkan phenoxy benzanmine bersifat karsinogenik. Jadi
kelompok obat penghambat adrenoreseptor alpha ini hanya dapat digunakan untuk jangka pendek dan akan
lebih fungsional pada terapi tahap awal, obat ini mempunyai efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Bila respon dari pengobatan ini baik maka ini merupakan
indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan “Watch and wait”.2,3,5,6,7,8,9

b. Fitoterapi

Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi farmakokinetik dan farmakodinamik terstandar
secara konvensional dan universal. Kelompok obat ini juga disebut dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit
dapat diobati secara tuntas dengan kemoterapi ini. Banyak penyakit kronis, degeneratif, gangguan metabolisme,
dan penuaan yang belum ada obatnya seperti: kanker, hepatitis, HIV, demensia, dll. Banyak pula yang belum
bisa dituntaskan pengobatannya. Termasuk ini adalah: BPH, DM, hipertensi, rematik, dll. Sehingga diperlukan
terapi komplementer atau alternatif. Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi. Disebut demikian karena berasal dari
tumbuhan. Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan penelitian yang panjang.

Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui. Diantara sekian banyak fitoterapi yang
sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah Serenoa repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin
seeds yang digunakan untuk pengobatan BPH. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin diterima
pemakaiannya dalam upaya pengendalian prosatisme BPH dalam kontek “watchfull waiting strategy”. Di Jerman
90% kasus BPH di terapi dengan Serenoa repens tunggal atau kombinasi, dan di negara-negara Eropa dan
Amerika pemakaiannya terus meningkat dengan cepat.

a. Saw Palmetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu obat tradisional Indian. Catatan
empiriknya tentang manfaat tumbuhan ini untuk gangguan urologis sudah ada sejak tahun 1900. Isu back to
nature memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.

Bukti-bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak mencatat efektifitas dan keamanannya.
Dalam Current Medical Diagnosis and Treatment (2001) dinyatakan bahwa Saw Palmetto Berry (SPB) ini
didalam 18 RCT (Randomized Clinical Trial) dengan 2939 subyek adalah superior terhadap placebo dan
efektifitasnya sama dengan finasteride. Efek samping obat berupa disfungsi ereksi = 1,1% sedangkan finasteride
= 4,9%. Dalam Life Extension Update dimuat, dari sebanyak 32 publikasi studi terdapat catatan bahwa extract
dari SPB ini secara signifikan menunjukan perbaikan klinis dalam hal :

a) Frekuensi nokturia ® berkurang

b) Aliran kencing ® bertambah lancar

c) Volume residu dikandung kencing ® berkurang

d) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir ® berkurang

Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia :

a) Menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor androgen

b) Bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitas enzim cycloxygenase dan 5
lipoxygenase.

b. Pumpkin seeds (Cucurbitae peponis semen)

Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan Austria sejak abad 16 untuk gangguan
“urinoir” dan belakangan ini ekstraknya dipakai untuk mengatasi gejala yang berhubungan dengan BPH didalam
konteks farmakoterapi maupun uji klinis kombinasi dengan ekstraks serenoa repens.

Penelitian di Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung komponen utama beta-sitosterol
dengan sedikit campuran campesterot dan stigmasterol untuk mengobati hiperplasia prostat. Hasilnya, terjadi
perbaikan seperti halnya terapi menggunakan penghambat reseptor alpha dan 5-alpha reduktase, tetapi dengan
efek samping yang lebih minimal. Walaupun mekanisme kerja dari preparat campuran fitosterol ini belum dapat
dibuktikan, penelitian terus dikembangkan untuk keperluan di masa depan.9,10

c. Hormonal

Pada tingkat supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu obat yang menjadi kompetitor LH-RH
mempunyai afinitas yang lebih besar dengan reseptor bagi LH-RH, sehingga obat ini akan “menghabiskan”
reseptor dengan membentuk LH-RH super agonist reseptor kompleks. Sehingga mula-mula oleh karena
banyaknya LH-RH super agonist yang menangkap reseptor, pada permulaan justru akan terjadi kenaikan
produksi LH oleh hypofisis. Tetapi setelah reseptor “habis”maka LH-RH tidak dapat lagi mencari reseptor , maka
LH akan menurun. Contoh obat adalah Buserelin, dengan dosis minggu I 3dd 500 mg s.c. (7 hari) dan minggu II
intra nasal spray 200 mg, 3 kali sehari.

Pemberian obat-obat anti androgen yang dapat mulai pada tingkat hipofisis misalnya dengan pemberian Gn-RH
analogue sehingga menekan produksi LH, yang menyebabkan produksi testosteron oleh sel leydig berkurang.
Cara ini tentu saja menyebabkan penurunan libido oleh karena penurunan kadar testosteron darah.

Pada tingkat infra hipofisis pemberian estrogen dapat memberikan umpan balik dengan menekan produksi FSH
dan LH, sehingga produksi testosteron juga menurun. Contoh preparatnya ialah Diaethyl Stilbestrol (DES) dosis
satu kali 1-5 mg sehari.

Pada tingkat testikular, orchiectomi untuk pengobatan pembesaran prostat jinak hanya dikenal pada sejarah,
sekarang cara pengobatan ini untuk hiperplasia prostat telah ditinggalkan. Untuk karsinoma prostat tentu saja
orchiectomi masih dikerjakan oleh karena pertimbangan kemungkinan penyebaran ca prostat dan juga biasanya
penderita telah tua.

Pada tingkat yang lebih rendah dapat pula diberikan obat anti androgen yang mekanisme kerjanya mencegah
hidrolise testosteron menjadi DHT dengan cara menghambat 5 alpha reduktase, suatu enzim yang diperlukan
untuk mengubah testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen yang mempengaruhi
pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT berkurang tetapi jumlah testosteron tidak berkurang,
sehingga libido juga tidak menurun. Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini menyebabkan mengecilnya
ukuran prostat. Contoh obat tersebut ialah Finesteride, Proscar dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka waktu lebih
dari 3 bulan, Finasteride mengurangi volume prostat sampai 30%. Penelitian lain di Kanada menyatakan bahwa
Finasteride mengurangi volume prostat pada 613 pria dengan angka rata-rata 21%, mengurangi gejala dan
memperbaiki laju pancaran urin sampai 12%. Obat ini mempunyai toleransi baik dan tidak mempunyai efek
samping yang bermakna.

Obat anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang mempunyai mekanisme kerja
sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT sehingga DHT tidak dapat membentuk kompleks DHT-
Reseptor. Contoh obatnya ialah : Cyproterone acetate 100 mg 2 kali/hari, Flutamide, medrogestone 15 mg2
kali/hari dan Anandron. Obat ini juga tidak menurunkan kadar testosteron pada darah, sehingga libido tidak
menurun. Golongan gestagen dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai khasiat : mengurangi enzim
dehidrogenase dan isomerase yang berguna untuk metabolisme steroid, menekan LH dan FSH, menjadi saingan
testosteron untuk 5 alpha reduktase sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh obatnya adalah Megestrol acetat 160
mg empat kali sehari dan MPA 300-500 mg/hari. Kesulitan pengobatan konservatif ini adalah menentukan berapa
lama obat harus diberikan dan efek samping dari obat.2,3,7,8

3. Invasif Minimal

a. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)

Cara memanaskan prostat sampai 44,5°C – 47°C ini mulai diperkenalkan dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan
dengan memanaskan kelenjar periuretral yang membesar ini dengan gelombang mikro (microwave) yaitu
dengan gelombang ultarasonik atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis jaringan
prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra menurun
sehingga obstruksi berkurang. Prinsip cara ini ialah memasang kateter semacam Foley dimana proximal dari
balon dipasang antene pemanas yang baru dipanaskan dengan gelombang mikro melalui kabel kecil yang
berada didalam kateter. Pemanasan dilakukan antara 1-3 jam. Dengan cara pengobatan ini dengan
mempergunakan alat THERMEX II diperoleh hasil perbaikan kira-kira 70-80% pada symptom obyektif dan kira-
kira 50-60% perbaikan pada flow rate maksimal. Mekanisme yang pasti mengenai efek pemanasan prostat ini
belum semuanya jelas, salah satu teori yang masih harus dibuktikan ialah bahwa dengan pemanasan akan
terjadi perusakan pada reseptor alpha yang berada pada leher vesika dan prostat.

Di Jakarta telah tersedia dua macam alat yaitu Prostatron yang menggunakan gelombang mikro dan dipanaskan
selama satu jam. Cara ini disebut dengan Trans Urethral Microwave Treatment (TUMT). Sedangkan alat yang
lain menggunakan radio capacitive frequency yang dapat memanaskan prostat sampai 44,5°C - 47°C selama 3
jam (TURF). Pengobatan di RS. Pondok Indah pada 112 kasus yang diobati dengan cara ini didapatkan hasil :
perbaikan “symptom score” pada 79 penderita (75%) dan perbaikan pada sisa kencing pada 62 penderita (60%)
tetapi perbaikan pada maximal flow rate hanya ditemukan pada 55 penderita (50%).

Cara pengobatan hypertermia ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai cara kerja dasar klinikal,
efektifitasnya serta side efek yang mungkin timbul.

Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter dapat memancarkan microwave kedalam jaringan
prostat. Oleh karena temperatur pada antene akan tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar
tidak merusak mucosa ureter. Dengan proses pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi penetrasi juga
berkurang.

Cara TURF (trans Uretral Radio Capacitive Frequency) memancarkan gelombang “radio frequency” yang
panjang gelombangnya lebih besar daripada tebalnya prostat juga arah dari gelombang radio frequency dapat
diarahkan oleh elektrode yang ditempel diluar (pada pangkal paha) sehingga efek panasnya dapat menetrasi
sampai lapisan yang dalam. Keuntungan lain oleh karena kateter yang ada alat pemanasnya mempunyai lumen
sehingga pemanasan bisa lebih lama, dan selama pemanasan urine tetap dapat mengalir keluar.2,7,8

b. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)

Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan dengan jalan melakukan commisurotomi
prostat pada jam 12.00 dengan jalan melalui operasi terbuka (transvesikal). Pertama kali dikerjakan oleh
Hollingworth 1910 dan Franck 1930. Kemudian Deisting 1956 melakukan dengan dilator transuretral. Tetapi
sebenarnya pelopor penggunaan balon adalah H.Joachus Burhenne yang mula-mula mencoba pada anjing dan
cadaver, akhirnya dicoba di klinik.

Castaneda bersama-sama Reddy dan Hulbert kemudian menyempurnakan tehnik Burhenne tersebut. Konsep
dilatasi dengan balon ini ialah mengusahakan agar uretra pars prostatika menjadi lebar melalui mekanisme:

1. Prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar

2. Kapsul prostat diregangkan

3. Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut

4. Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak
Prosedur ini meskipun bisa dilakukan dengan anestesi topikal, sebaiknya dilakukan dengan narkose. Balon
mempunyai diameter 30 mm kemudian dengan alat dikembangkan sampai 4 atm yang sama dengan 58,8 psi
atau 3040 mmHg dan kaliber uretra menjadi 30 mm atau 90 F. Kemudian setelah balon dikempeskan kembali
kateter dilepaskan dengan menggunakan guide wire dan kateter dilepas memutar kebalikan dari arah jarum jam
sementara dapat dipasang cystostomi dengan trocard. TUBD ini biasanya memberikan perbaikan yang bersifat
sementara.2,7,8

c. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)

Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk menghasilkan ablasi termal pada prostat.
Cara ini mempunyai prospek yang baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan
minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan.2,7,8

d. Stent Urethra

Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja kateter tersebut dipasang pada
uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang spiral dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang diujung
kateter (Prostacath). Stents ini digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan
bantuan endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang uretra pars prostatika diukur
dengan USG dan kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter
pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas dari kateter
pendorong. Pemasangan stent ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif,
yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi
yang lebih invasif. Akhir-akhir ini dikembangkan juga stent yang dapat dipertahankan lebih lama, misalnya
Porges Urospiral (Parker dkk.) atau Wallstent (Nording, A.L. Paulsen).

Bentuk lain ialah adanya mesh dari logam yang juga dipasang di uretra pars prostatika dengan kateter
pendorong dan kemudian didilatasi dengan balon sampai mesh logam tersebut melekat pada dinding uretra.2,7,8,11

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.

Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah Kedokteran Indonesia volume: 48,
Jakarta : IDI, 1998.

Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama, Jakarta : Binarupa Aksara,
1995.

Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC, 1994.

Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.

Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek – Efek Sampingnya edisi V,
Jakarta : Gramedia, 2002.
Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan, Jakarta : Kuliah Staf
Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993.

Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.

Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Semarang : Bagian
Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.

Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD Dr. Soetomo-FK
Universitas Airlangga, 2002.

Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.

Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997.

Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada University Press, 1992.

Mansjuoer Akan, Suprohaita, Wardhani W.I, Setiowulan W., Kapita Selekta Kedokteran, 3rd edition,Jakarta :
Media Aesculapius FK-UI, 2000

The prostate gland is part of your reproductive system. The


walnut-shaped gland’s main job is to add fluid to semen. This
gland is underneath your bladder and near your urethra. The
urethra is the duct or tube that carries urine from your bladder to
the opening at the end of your penis.

Prostatitis refers to pathological inflammation or infection of the


prostate. It can be caused by an injury to the prostate or by
bacteria that got into the prostate from your urine or during sex.
Prostatitis can be acute or chronic. Acute prostatitis tends to start
quickly. Chronic prostatitis comes and goes over time.
BPH occurs when you have an enlarged prostate. It becomes
more common as men age. As the prostate enlarges, it squeezes
and blocks your urethra, making it hard to empty your bladder
completely.
Prostatitis is more likely to affect men ages 50 or younger. BPH
usually occurs in men over age 50.

Part 3 of 8: Prostatitis Symptoms


Symptoms of Prostatitis
Have you had your annual checkup?

If you have an inflamed prostate without any symptoms, it’s called asymptomatic
inflammatory prostatitis. This condition is often discovered when diagnosing
something else.

 fever
 chills
 pus-like discharge from the penis
 burning or pain during urination
 a frequent need to urinate
 pain in the groin or pelvic area
 painful orgasms
Chronic bacterial prostatitis typically causes these three
symptoms:

 difficulty urinating
 pain in your bladder, testicles, or penis
 painful orgasms
Part 4 of 8: BPH Symptoms
Symptoms of BPH
Your symptoms don’t always relate to the size of your prostate. A
slightly enlarged prostate can sometimes cause more severe
symptoms than a very enlarged gland.

The symptoms of BPH may include:

 the need to urinate many times during the day and night
 an urgent need to urinate
 trouble starting a urine stream (hesitancy)
 a weak or dribbling urine stream
 unintentional loss of urine, also known as incontinence
 an inability to urinate
 pain during urination
Part 5 of 8: When to See a Doctor
When to See a Doctor
See your primary care provider if you’re having pain, burning, or
trouble urinating. They may refer you to a urologist, a doctor who
treats men’s health disorders including prostate problems.

During the exam, the doctor may insert a gloved, lubricated finger
into your rectum. This test is called a digital rectal exam (DRE). It
helps your doctor see if your prostate is swollen or enlarged.
During the DRE, your doctor may remove a small sample of fluid
from the prostate to check for infection. Your doctor may also test
your blood, semen, and urine.

Your doctor may do an ultrasound, which is a scan that uses


sound waves to create a picture of your prostate. Urodynamic
tests are used to find urinary problems by seeing how well you
empty your bladder.

Digital Rectal Exam


Part 6 of 8: Prostatitis Treatments
Treatment Options for
Prostatitis
The treatment you get for prostatitis depends on the cause.
Antibiotics are often used to treat bacterial prostatitis. You may
get antibiotics through your vein if you have a more severe
infection. You may have to take antibiotics for two weeks or longer
until the infection clears up.

Other treatments you and your doctor may consider include:


 alpha-blockers, which are medicines that relax muscles
around the prostate and help you urinate more easily
 anti-inflammatory medicines and pain relievers to make you
more comfortable
 prostate massage
You can also soak in a warm bath or sit on a cushion to ease
pressure on your prostate.
Part 7 of 8: BPH Treatments
Treatment Options for
BPH
BPH is treated with medications that shrink the prostate and
reduce urinary symptoms.
Drugs called 5-alpha reductase inhibitors block a substance that
contributes to prostate growth called dihydrotestosterone (DHT).
These drugs include dutasteride (Avodart) and finasteride
(Proscar). Drugs called alpha-blockers can help relax the prostate
and bladder neck, and improve urine flow. These drugs include
doxazosin (Cardura), tamsulosin (Flomax), and terazosin (Hytrin).

Your doctor may prescribe one of these drugs or a combination of


certain ones.

If medications don’t help or your symptoms are severe, your


urologist may recommend a noninvasive procedure using one of
the following to destroy the extra prostate tissue and widen the
urethra:

 heat
 microwave energy
 ultrasound
 electric current
Surgery is a longer-term solution. During BPH surgery, the doctor
uses an electric loop or laser to cut away the excess prostate
tissue.

6 Natural Remedies for Enlarged Prostate (BPH)


Part 8 of 8: Outlook
Outlook for Prostatitis and
BPH
You can usually use antibiotics to treat acute prostatitis. You
should start to feel better within a couple of weeks. Chronic
prostatitis can be more difficult to treat. Even after treatment,
your symptoms can return over and over again.

You may need to try more than one treatment to relieve the
symptoms of BPH. Your doctor may recommend that you keep
taking medicine in the long term to keep your symptoms under
control. Some of the treatments used to shrink the prostate and
relieve urinary symptoms can cause side effects such as
incontinence and erectile dysfunction. Discuss the possible
benefits and risks of the treatment you choose with your doctor
so you’ll know what to expect.

Anda mungkin juga menyukai