Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

MANAJEMEN FARMASI RUMAH SAKIT


AKREDITASI RUMAH SAKIT dengan Acuan KARS versi 2012 DAN PMK
No. 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit

Disusun Oleh:
1. Laras Perwita Dewi FA/10023 ( )
2. Meilida Wulandari FA/10025 ( )
3. Muhammad Faishal Mahdi FA/10029 ( )
4. Mutia Ulinur FA/10030 ( )
5. Mandara Lamigi FA/10042 ( )

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA


YOGYAKARTA
2017
PENDAHULUAN
Dewasa ini, masyarakat semakin sadar untuk memilih layanan kesehatan yang baik.
Beberapa contohnya adalah masyarakat saat ini tidak sungkan lagi untuk mempertanyakan
alternatif perawatan yang akan mereka terima sesuai dengan kondisi keuangan mereka saat ini.
Mereka juga tidak sungkan lagi untuk berdiskusi dengan dokter mengenai kegunaan dan efek
samping obat yang diresepkan dokter kepada mereka. Masyarakat juga mulai kritis
mempertanyakan apakah alat kedokteran yang digunakan untuk memeriksa mereka sudah steril
atau belum. Bahkan tidak sedikit orang yang ingin melihat proses sterilisasi tersebut. Bila ada
pelayanan yang dirasa kurang memuaskan, masyarakat saat ini tidak malas lagi menegur staf
medis yang bersangkutan atau mengeluarkan unek-unek mereka melalui kotak saran. Singkatnya
masyarakat mau yang terbaik untuk diri mereka sesuai kondisi mereka saat ini.

Untuk menghadapi dinamika masyarakat sedemikian rupa, pemerintah melalui


Kementerian Kesehatan tidak tinggal diam. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
mewajibkan dilaksanakan akreditasi rumah sakit dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan
rumah sakit di Indonesia. Dasar hokum pelaksanaan akreditasi di rumah sakit adalah UU No. 36
tahun 2009 tentang kesehatan, UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit dan Permenkes
1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang organisasi dan tata kerja kementerian kesehatan. Akreditasi
mengandung arti suatu pengakuan yang diberikan pemerintah kepada rumah sakit karena telah
memenuhi standar yang ditetapkan. Rumah sakit yang telah terakreditasi, mendapat pengakuan
dari pemerintah bahwa semua hal yang ada didalamnya sudah sesuai dengan standar. Sarana dan
prasarana yang dimiliki rumah sakit, sudah sesuai standar. Prosedur yang dilakukan kepada
pasien juga sudah sesuai dengan standar.

Akreditasi rumah sakit adalah pengakuan terhadap rumah sakit yang diberikan oleh
lembaga independen penyelenggara akreditasi yag ditetapkan oleh menteri kesehatan, setelah
dinilai bahwa rumah sakit memenuhi standar pelayanan rumah sakit ang berlaku untuk
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit secara berkesinambungan (Permenkes No. 12 Tahun
2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit)

Berdasarkan standar akreditasi versi 2007, terdapat tiga tahapan dalam pelaksanaan
akreditasi yaitu akreditasi tingkat dasar, akreditasi tingkat lanjut serta akreditasi tingkat lengkap.
Akreditasi tingkat dasar menilai lima kegiatan pelayanan di rumah sakit, yaitu: Administrasi dan
Manajemen, Pelayanan Medis, Pelayanan Keperawatan, Pelayanan Gawat Darurat dan Rekam
Medik. Akreditasi tingkat lanjut menilai 12 kegiatan pelayanan di rumah sakit, yaitu: pelayanan
yang diakreditasi tingkat dasar ditambah Farmasi, Radiologi, Kamar Operasi, Pengendalian
Infeksi, Pelayanan Risiko Tinggi, Laboratorium serta Keselamatan Kerja, Kebakaran dan
Kewaspadaan Bencana (K-3). Akreditasi tingkat lengkap menilai 16 kegiatan pelayanan di
rumah sakit, yaitu: pelayanan yang diakreditasi tingkat lanjut ditambah Pelayanan Intensif,
Pelayanan Transfusi Darah, Pelayanan Rehabilitasi Medik dan Pelayanan Gizi. Rumah sakit
boleh memilih akan melaksanakan akreditasi tingkat dasar (5 pelayanan), tingkat lanjut (12
pelayanan) atau tingkat lengkap (16 pelayanan) tergantung kemampuan, kesiapan dan kebutuhan
rumah sakit baik pada saat penilaian pertama kali atau penilaian ulang setelah terakreditasi.
Berdasarkan standar akreditasi versi 2007 ini, sertifikasi yang diberikan kepada rumah sakit
berupa: tidak terakreditasi artinya hasil penilaian mencapai 65% atau salah satu kegiatan
pelayanan hanya mencapai 60%. Akreditasi bersyarat artinya penilaian mencapai 65%-75% dan
berlaku satu tahun. Akreditasi penuh artinya hasil penilaian mencapai 75% dan berlaku selama 3
tahun. Akreditasi istimewa diberikan apabila dalam tiga tahun berturut-turut rumah sakit
mencapai nilai terakreditasi penuh dan status ini berlaku selama 5 tahun. Rumah sakit wajib
melaksanakan akreditasi minimal 6 bulan setelah SK perpanjangan izin keluar dan 1 tahun
setelah SK izin operasiona.

Manfaat implementasi standar akreditasi versi 2007 ini terutama ditujukan bagi penerima
layanan kesehatan, pasien. Selain bermanfaat bagi pasien, akreditasi juga ermanfaat bagi petugas
kesehatan dirumah sakit, bagi rumah sakit itu sendiri, bagi pemilik rumah sakit dan bagi
perusahaan asuransi. Bagi tenaga kesehatan di rumah sakit, akreditasi berfungsi untuk
menciptakan rasa aman bagi mereka dalam melaksanakan tugasnya. Mereka akan merasa aman
karena sarana dan prasarana yang tersedia di rumah sakit sudah memenuhi standar sehingga
tidak akan membahayakan diri mereka. Selain itu, sarana dan prasarana yang sesuai standar juga
sangat membantu mempermudah proses kerja mereka. Bagi rumah sakit, akreditasi bermanfaat
sebagai alat untuk negosiasi dengan pihak ketiga misalnya asuransi atau perusahaan. Dalam hal
ini, akreditasi bisa dibbilang berfungsi sebagai salah satu alat berpromosi. Bagi pemilik rumah
sakit, akreditasi berfungsi sebagai alat untuk mengukur kinerja pegelola rumah sakit. Sedangkan
bagi perusahaan asuransi, akreditasi bermanfaat sebagai acuan dalam memilih dan mengadakan
kontrak dengan rumah sakit. Perusahaan asuransi enggan mempertaruhkan nama baiknya
dihadapan kliennya dengan memilih rumah sakit berpelayanan buruk.

Dalam penerapannya, standar akreditasi versi 2007 memiliki banyak kekurangan. Seperti
dilansir dalam situs Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS), standar akreditasi versi 2007 lebih
berfokus pada penyedia layanan kesehatan (rumah sakit), kuat pada input dan dokumen namun
lemah dalam implementasi dan dalam proses akreditasi kurang melibatkan petugas. Untuk
menutupi kekurangan ini, KARS mengembangkan standar akreditasi versi 2012. Standar
akreditasi versi 2012 ini memiliki kelebihan yaitu lebih berfokus pada pasien; kuat dalam proses,
output dan outcome; kuat pada implementasi serta melibatkan seluruh petugas dalam proses
akreditasinya. Dengan adanya perbaikan ini diharapkan rumah sakit yang lulus proses akreditasi
versi 2012 ini benar-benar dapat meningkatkan mutu pelayanan dengan lebih berfokus pada
keselamatan pasien.

Standar akreditasi 2012 ini mirip dengan standar akreditasi internasional. Dalam standar
akreditasi baru ini terdapat 4 kelompok standar yang teridiri dari 140 elemen yang akan dinilai.
Keempat kelompok standar akreditasi rumah skait versi 2012 yaitu: kelompok standar pelayanan
berfokus pada pasien, kelompok standar manajemen rumah sakit, sasaran keselamatan pasien
rumah sakit dan sasaran Millenium Development Goals. Dalam kelompok standar pelayanan
berfokus pada pasien, komponen penilaian selain berfokus pada hal-hal yang terkait pelayanan
pasien dan keluarga, mulai dari pemenuhan hak-hak pasien, pendidikan pasien dan keluarga
sampai ke pelayanan yang akan diberikan kepada pasien. Pada kelompok standar manajemen
rumah sakit, komponen yang dinilai misalnya uapaya manajemen untuk memberikan dukungan
agar rumah sakit dapat memberi pelayanan yang baik kepada pasien. Sasaran keselamatan pasien
di rumah sakit dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pelayanan lebih baik dan memperhatikn
keselamatan pasien. Jangan sampai pasien yang datang ke rumah sakit membawa pulang
penyakit lagi. Sasaran Millenium Development Goals merupakan komponen penilaian tambahan
dalam standar akreditasi rumah sakit, khusus di Indonesia. Sasaran-sasarannya berupa penurunan
angka kematian ibu dan bayi, penurunan kasus HIV dan AIDS serta pengendalian tuberculosis.
Tingkat-tingkat kelulusan berdasarkan standar akreditasi versi 2012 adalah dasar, madya, utama
dan paripurna. Tingkat paripurna adalah tingkat kelulusan tertinggi yang dapat diraih oleh rumah
sakit. Dalam pelaksanaan akreditasi rumah sakit menggunakan standar akreditasi versi 2012 ini,
surveyor akan menemui pasien untuk mencari bukti adanya peningkatan mutu pelayanan rumah
sakit yang berfokus pada keselamatan pasien. Bila tidak ditemukan bukti, maka proses penilaian
tidak akan lanjut ke komponen lain. Saat ini seluruh rumah sakit memiliki kewajiban untuk
menjaga mutu pelayanannya dengan melaksanakan akreditasi minimal setiap 3 tahun sekali.

Manfaat langsung dari implementasi standar akreditasi versi 2012 adalah rumah sakit
akan lebih mendengarkan keluhan pasien dan keluarganya. Rumah sakit akan lebih “lapang
dada” menerima kritik dan saran dari pasien dan keluarganya, tidak lagi menjadi pihak yang
selalu benar. Rumah sakit juga akan lebih menghormati hak-hak pasien dan melibatkan pasien
dalam proses perawatan sebagai mitra. Dalam hal ini, pasien dan keluarganya akan diajak
berdiskusi dalam menentukan perawatan terbaik sesuai kondisi pasien saat ini. Implementasi
standar akreditasi versi 2012 juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat
bahwa rumah sakit telah melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan berdasar keselamatan
pasien. Selain itu, implementasi standar akreditasi versi 2012 juga akan menciptakan lingkungan
kerja yang aman dan efisien sehingga berkontribusi terhadap kepuasan karyawan. Rumah sakit
yang telah lulus akreditasi versi 2012 akan memiliki modal negosiasi dengan perusahaan
asuransi kesehatandan sumber pembayar lainnya dengan lengkapnya data tentang mutu
pelayanan rumah sakit. Implementasi standar akreditais versi 2012 akan dapat menciptakan
budaya belajar dengan adanya sistem pelaporan yang tepat dari kejadian yang tidak diharapkan
di rumah sakit. Manfaat lain dari implementasi standar akreditasi versi 2012 adalah
terbangunnya kepemimpinan kolaboratif yang menetapkan kualitas dan keselamatan pasien
sebagai prioritas dalam semua tahap pelayanan.
Melihat kepentingan akreditasi rumah sakit bagi kepentingan publik tersebut, sudah
sepantasnya harus dilakukan dengan konsisten. Sehingga pimpinan rumah sakit sudah sepatutnya
melaksanakan keseluruhan proses akreditasi dengan sungguh-sungguh dengan tujuan untuk
meningkatkan mutu dan keselamatan pengguna jasa pelayanan di rumah sakit. Dengan demikian,
tidak lagi kelulusan akreditasi dianggap sebagai sekedar “sertifikat” semata, akan tetapi sebagai
sebuah proses berkelanjutan tanpa henti dalam meningkatkan tata kelola pelayanan kesehatan
yang bermutu bagi masyarakat demi mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
PEMBAHASAN
AKREDITASI RUMAH SAKIT

Berdasarkan KARS Versi 2012

A. ASPEK YANG DINILAI DALAM AKREDITASI RUMAH SAKIT

BAGIAN 1: KELOMPOK STANDAR PELAYANAN BERFOKUS PADA PASIEN


Terdapat tujuh aspek untuk dinilai terkait dengan pelayanan berfokus pada pasien di
rumah sakit, antara lain: akses ke pelayanan dan kontinuitas pelayanan (APK), hak pasien dan
keluarga (HPK), asesmen pasien (AP), pelayanan pasien (PP), pelayanan anestesi dan bedah
(PAB), manajemen penggunaan obat (MPO) serta pendidikan pasien dan keluarga (PPK)
(Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2012)
Dalam APK, perlu adanya standar operasional prosedur (SOP) untuk penerimaan pasien
rawat inap dan rawat jalan, mencakup (namun tak terbatas pada) prioritas pasien untuk diberikan
asesmen dan pengobatan. Apabila pasien perlu dirawat inap, maka pasien dan keluarga berhak
mendapatkan penjelasan tentang pelayanan yang ditawarkan serta hasil yang diharapkan.
Kontinuitas pelayanan selama pasien berada di rumah sakit serta kebijakan dan prosedur untuk
memulangkan/merujuk pasien juga harus diperhatikan.
Dari segi HPK, rumah sakit harus melayani pasien dengan menghormati nilai pribadi dan
kepercayaan yang dianut oleh pasien, menghormati kebutuhan privasi pasien, melindungi mereka
dari aksi kriminalitas (seperti kekerasan fisik atau pencurian barang pribadi), serta menjamin
perlindungan yang layak bagi kelompok yang berisiko (anak-anak, penyandang disabilitas,
manula, dll.). Segala informasi dan dokumentasi mengenai pasien harus dirahasiakan.
Masih dalam segi HPK, pasien dan keluarganya berhak mendapatkan informasi dari
rumah sakit akan kondisi medis dan diagnosis pasti serta rencana pelayanan dan pengobatan,
dengan cara dan bahasa yang dapat mereka mengerti. Mereka juga berhak berpartisipasi dalam
keputusan pelayanan jika mereka meminta, serta mendapat penjelasan bagaimana seharusnya
mereka bertindak bila memiliki keluhan, konflik dan perbedaan pendapat dengan rumah sakit
akan pelayanan pasien. Informed consent serta donasi organ pasien juga diatur dalam KARS.
Menyoal Asesmen Pasien, isi minimal asesmen diatur sendiri oleh rumah sakit
berdasarkan undang-undang, peraturan dan standar profesi; namun KARS sendiri menyatakan
bahwa asesmen perlu mencakup: evaluasi faktor fisik, psikologis, sosial, ekonomi – termasuk
pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Asesmen ini kemudian dijadikan pertimbangan
kebutuhan pelayanan medis dan keperawatan pasien. Seyogyanya asesmen harus lengkap dalam
waktu paling lambat 24 jam setelah pasien masuk rawat inap. Pasien yang memerlukan asesmen
adalah mereka yang baru masuk admisi, bila akan dipulangkan, dan yang meninggal. Asesmen
untuk tiap pasien berbeda-beda tergantung pada demografi, jenis penyakit dan jenis kelaminnya.
Dalam hal Pelayanan Pasien, rumah sakit harus mengarahkan asuhan yang seragam bagi
semua pasien. Asuhan tersebut direncanakan dalam rekam medis pasien, pun dengan segala
prosedur yang dilaksanakan. Pasien dan keluarganya berhak mengetahui hasil asuhan dan
pengobatan, termasuk kejadian tak diharapkan. Makanan dan nutrisi yang memadai termasuk hal
penting dalam pelayanan pasien, maka pilihan berbagai variasi makanan yang sesuai dengan
status gizi pasien dan konsisten dengan asuhan klinisnya harus tersedia secara regular.
Identifikasi kebutuhan nutrisi pasien dilakukan pada asesmen awal. Pasien juga dibantu
mengelola rasa nyerinya, karena nyeri yang tak teratasi dapat mengakibatkan efek tak diharapkan
secara fisik dan psikologis.
Pelaksanaan PAB dipertanggungjawabkan oleh individu yang kompeten dalam
pengelolaan pelayanan anestesi, termasuk sedasi moderat dan dalam. Pelaksanaan asesmen pra
anestesi dan asesmen pra induksi diselenggarakan oleh petugas yang kompeten. Pelayanan
anestesi yang diberikan juga direncanakan dan didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Perencanaan anestesi perlu melibatkan pasien dan keluarga atau mereka yang membuat
keputusan bagi pasien untuk didiskusikan risiko, manfaat dan alternatifnya. Selama pemberian
anestesi baik umum, spinal maupun regional dan metode pemulihan, dilakukan monitoring
fisiologis secara terus menerus dan dicatat dalam rekam medis pasien. Pemindahan pasien dari
ruang pemulihan dilakukan oleh petugas yang kompeten.
Pelayanan Bedah mencakup asuhan bedah yang direncakanan dan didokumentasikan
berdasarkan hasil asesmen; seperti halnya PAB, risiko, manfaat dan alternatif bedah didiskusikan
dengan pasien dan keluarganya/orang yang berwenang membuat keputusan bagi pasien terlebih
dulu. Laporan/catatan singkat operasi perlu didokumentasikan dalam rekam medis pasien untuk
keperluan layanan berkesinambungan. Bila tindakan bedah dilakukan dengan anestesi lokal,
tanpa anestesi umum/regional/sedasi, maka status fisiologis setiap pasien dimonitor terus
menerus selama dan segera setelah pembedahaan, ini dituliskan dalam status pasien. Tidak hanya
asuhan selama bedah, asuhan pasien setelah bedah pun harus direncanakan dan
didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Mengenai MPO, prinsip pertama adalah penggunaan obat di rumah sakit harus sesuai
dengan undang-undang/peraturan lainnya yang berlaku di Indonesia dan diorganisir untuk
memenuhi kebutuhan pasien. Pelayanan kefarmasian yang berkaitan dengan penggunaan obat
disupervisi oleh seorang ahli farmasi berizin/teknisi/professional lain. Perlu ada metode untuk
mengawasi daftar obat yang tersedia serta penggunaan obat di rumah sakit itu sendiri. Juga perlu
ada prosedur bagaimana rumah sakit memperoleh obat jika tidak ada stok normal tersedia di
rumah sakit/instalasi farmasi tutup. Penyimpanan obat harus baik dan aman – bisa dalam tempat
penyimpanan di instalasi farmasi, di unit asuhan pasien pada unit-unit farmasi atau di nurse
station dalam unit klinis. Obat harus dilabeli secara akurat, disebutkan isi, tanggal kadaluarsa
serta peringatannya. Selain itu, rumah sakit perlu mempunyai sistem penarikan/recall obat.
Masih tentang MPO, peresepan, pemesanan dan pencatatan diarahkan oleh kebijakan dan
prosedur rumah sakit yang dikembangkan oleh para staf medis, perawatan, farmasi dan
administratif. Peresepan dan pemesanan dilaksanakan oleh petugas yang kompeten dan diizinkan
berdasarkan identifikasi rumah sakit. Obat-obatan yang diresepkan dan diberikan dicatat dalam
rekam medis pasien. Penyiapan obat dilakukan dalam lingkungan yang aman dan bersih, dan
resep atau pesanan obat ditelaah ketepatannya. Diperlukan suatu sistem untuk menyalurkan obat
dengan dosis yang tepat, dan kepada pasien yang tepat di saat yang tepat. Pemberian obat juga
dilaksanakan oleh petugas yang kompeten dan diizinkan berdasarkan identifikasi rumah sakit.
Pasien bisa saja membawa obat sendiri (self-administration) atau obat contoh (sample) ke dalam
rumah sakit, maka rumah sakit harus mengatur kebijakan dan prosedur dalam hal ini.
Efek obat terhadap pasien perlu dimonitor untuk mengevaluasi efek pengobatan terhadap
gejala pasien/penykitnya. Apabila terjadi kesalahan obat/medication error, harus dilakukan
pelaporan lewat proses dan kerangka waktu yang telah ditetapkan rumah sakit.
Aspek terakhir, PPK, diasesmen terlebih dahulu kebutuhan pendidikan akan tiap pasien
dan ini juga dicatat di rekam medis. Pendidikan yang dimaksud berfokus pada pengetahuan dan
keterampilan spesifik yang dibutuhkan pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan,
berpartisipasi dalam asuhan dan asuhan berkelanjutan di rumah. Topik yang tercakup dalam PPK
antara lain: (terkait dengan pelayanan pasien) penggunaan obat dan peralatan medis yang aman,
potensi interaksi obat dengan makanan, pedoman nutrisi, manajemen nyeri dan teknik-teknik
rehabilitasi. Metode pendidikan dipilih dengan mempertimbangkan nilai-nilai serta pilihan
pasien dan keluarganya, serta yang memperkenankan interaksi memadai antara pasien, keluarga
dan staf agar terjadi pembelajaran. Untuk PPK ini tenaga kesehatan professional yang memberi
pelayanan pasien perlu berkolaborasi.

BAGIAN 2: Kelompok standar manajemen Rumah Sakit

1. Peningkatan mutu dan keselamatan pasien (PMKP)


 Kepemimpinan dan perencanaan
Sasaran: Pimpinan Rumah Sakit, ketua dan anggota panitia mutu dan keselamatan pasien, dan
kepala unit kerja

Rumah sakit melaksanakan peningkatan mutu dan mengurangi terjadinya resiko


dilakukan dengan program peningkatan mutu dan keselamatan pasien, program ini direncanakan
berdasarkan visi misi Rumah Sakit dan menjadikannya budaya organisasi Rumah Sakit.
Kepemimpinan Rumah Sakit berisi pemilik RS bersama dengan pengelola sehari-hari kegiatan
klinik dan manajemen bertanggung jawab menjamin komitmen, pendekatan ke arah mutu dan
keselamatan pasien, program manajemen serta adanya kealpaan (oversight).

Pimpinan RS berpartisipasi dalam menetapkan keseluruhan proses atau mekanisme


program peningkatan mutu dan keselamatan pasien termasuk menyusun rencana sampai
menerima laporan pelaksanaan program PMKP secara regular. Selanjutnya laporan PMKP
tersebut kemudian dilaporkan ke Pemerintah

Pelaksanaan program PMKP dilakukan dengan pendekatan multidisiplin ke semua bagian


atau departemen unit pelayanan di RS dan dilakukan koordinasi berbagai unit terkait mutu dan
keselamatan karena pasien menerima asuhan dari banyak bagian atau departemen dan pelayanan
dilakukan oleh berbagai staf klinis sehingga perlu pengetahuan dan proses yang sinergi dalam
pelaksanaan PMKP.

Pelaksanaan PMKP ditunjang dengan adanya bantuan teknologi untuk mengolah data dan
informasi. Teknologi yang disediakan sesuai dengan sumber daya yang ada. Teknologi tersebut
digunakan untuk mengolah data dan menjadikannya informasi yang selajutnya digunakan untuk
pelaporan hasil PMKP ke pimpinan RS. Selain itu informasi PMKP juga disampaikan melalui
buletin, papan pengumuman, rapat staf dan melalui kegiatan unit kerja SDM. Informasi tersebut
berupa penyampaian kemajuan dalam target keselamatan pasien

Setiap staf diberi pelatihan rutin berupa pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan
peran dalam program PMKP misalnya pengumpulan data, analisis, dan pelaksanaan peningkatan
mutu dan keselamatan pasien, agar dapat menggunakan teknologi yang diberikan, selain itu
pengetahuan dan ketrampilan tersebut juga agar terjadi keseragaman pengetahuan dan
pelaksanaan PMKP pada setiap staf.

Setiap pelaksanaan PMKP didata oleh staf yang sudah dilatih untuk kemudian dilaporkan
kepada Pimpinanm kemudian pimpinan akan menentukan prioritas kegiatan evaluasi PMKP.

 Rancangan proses klinik dan manajemen

Rumah Sakit membuat racangan baru dan melakukan modifikasi sistem dan proses klinik
berdasarkan prinsip peningkatan mutu. Racangan proses dibuat berdasarkan sumber dari pihak
berwenang seperti Undang-Undang dan peraturan, seperti pedoman pelayanan klinik, standar
nasional norma dan informasi. Untuk menilai rancangan tersebut telah sesuai, dibuat juga
indikator untuk mengevaluasi apakah rancangan proses baru atau modifikasi berjalan dngan baik
dengan pengumpulan data.

 Pemilihan indikator dan pengumpulan data


Indikator ditetapkan oleh pimpinan RS berupa monitor struktur, proses dan hasil
(outcome) dari rencana PMKP. Acuan yang digunakan untuk mengukur yaitu misi RS,
kebutuhan pasien dan jenis pelayanan. Untuk setiap indikator, berisi cakupan, metodologi dan
frekuensi
Data penilaian manajerial dikumpulkan dan digunakan untuk mengealuasi efektivitas dari
rancangan proses klinik dan manajemen
 Validasi dan Analisis dari Indikator Penilaian

Validasi dilakukan oleh orang yang berpengalaman, berpengetahuan dan ketrampilan


cukup untuk mengumpulkan dan menganalisis data secara sistematik. Data yang dianalisis
berguna untuk membuat interpretasi dari penyimpangan dan menentukan bagian mana yang
membutuhkan perbaikan. Frekuensi analisis data tergantung dari kegiatan di area yang dikaji,
dan prioritas yang ditetapkan oleh RS. Sehingga RS mampu menilai stabilitas dari proses dan
prediksi outcome.
Analisis diakukan dengan membandingkan secara internal, membandingkan dengan RS
lain menggunakan database, membandingkan dengan standard dan membandingkan dengan
praktek yang ada. Perbandingan membantu RS memahami sumber dan sifat perubahan yang
tidak dikehendaki dan membantu fokus pada upaya perbaikan.

Hasil analisis di publikasikan oleh Pimpinan RS dengan informasi yang akurat dan dapat
dipercaya. Jaminan diberikan melalui proses validasi data secara internal dan dinilai secara
independen oleh pihak ketiga.

Untuk kejadian yang sentinel, RS menggunakan proses identifikasi dan menentukan


tindakan-tindakan yang sudah direncanakan. Jika terjadi adanya kecendurungan dari KTD
(kejadian tidak diinginkan) maka dilakukan analisis intensif, selain itu analisis data menjadi
dasar perbaikan apa yang perlu direncanakan termasuk prioritasnya atau mengurangi (mencegah
KTD). Sedangkan jika ada kemungkinan terjadi kejadian nyaris cidera (KNC) dilakukan upaya
proaktif.

Prioritas perbaikan mutu dan keselamatan pasien dilakukan diarea perbaikan yang telah
ditetapkan pimpinan. RS menggunakan pendekatan proaktif dalam melaksanakan manajemen
risiko. Proses mengurangi risiko dilakukan paling sedikit satu kali dalam satu tahun dan dibuat
dokumentasinya. Jika perbaikan mutu dan keselamatan pasien tercapai maka dipertahankan.

2. Pecegahan dan pengendalian infeksi (PPI)


 Program kepemimpinan dan koordinasi

Sasaran : Pimpinan RS, Kepala/Ketua unit kerja yang terkait PPI, Anggota komite/panitia PPI,
Kepala unit dan pelaksana unit sanitasi dan petugas kebersihan.
Kegiatan PPI dilakukan di area pasien, staf dan pengunjung RS.

Program PPI dilakukan dengan pengawasan yang dilakukan oleh pengawas kompeten
yang telah diberi pelatihan, pendidikan, pengalaman dan dibuktikan dengan memiliki sertifikat.

Agar program pencegahan dan pengendalian infeksi efektif dibuat kebijakan berupa
prosedur sebagai acuan program PPI. Program berisi sistem untuk mengidentifikasi infeksi dan
menginvestigasi outbreak dari penyakit infeksi. Pembuatan kebijakan dilakukan dengan
pendekatan resiko dalam menentukan fokus program PPI . Identifikasi prosedur dan proses
dimonitor dan direview sesuai kelayakan, menginterpretasikan kebijakan, prosedur, edukasi
untuk menurunkan risiko infeksi.

Kegiatan PPI dilakukan disetiap bagian sehingga membutuhkan koordinasi yang


melibatkan dokter, perawat dan professional pencegah dan pengendali infeksi. PPI dilakukan
dengan acuan keilmuan terkini, berdasarkan pedoman praktik yang akseptable sesuai peraturan
dan perundang-undangan berlaku dan standar sanitasi dan kebersihan. Program PPI didukung
Sumber daya berupa pemberian edukasi kepada semua staf dan penyediaan seperti alcohol hand
rubs untuk hand hygiene.
Selain edukasi staf, pasien dan pengunjung, untuk meminimalkan resiko, maka ada
kebijakan dan prosedur untuk proses sterilisasi alat-alat perbekalan operasi dan peralatan invasif
maupun non-invasif untuk pelayanan pasien, selain itu kebijakan untuk perbekalan kadaluwarsa.
Untuk mengurangi resiko infeksi maka dilakukan sterilisasi pebekalan, renovasi dan
pembangunan fasilitas, membuat sekat atau barrier dan membuat prosedur isolasi yang
melindungi pasien, pengunjung dan staf terhadap penyakit menular. Dan disediakan APD (alat
pelindung diri), sabun dan desinfektan yang bisa digunakan secara benar jika diperlukan

Pembuangan sampah juga perlu diperhatikan. Karena pembuangan sampah (limbah) yang
benar juga berkontribusi terhadap penurunan risiko infeksi di RS. Untuk pembuangan benda
tajam dan jarum diatur dengan langkah dan proses yang sesuai kebijakan yang diterapkan.

Angka kejadian infeksi RS didata untuk dijadikan informasi risiko. Data angka kejadian dan
kecendurungan berguna untuk menyusun atau memodifikasi proses untuk menurunkan risiko
terkait pelayanan kesehatan. Dilakukan monitoring pencegahan dan pengendalian infeksi di RS
secara berkala dan disampaikan kepada pimpinan dan staf. RS melaporkan informasi tentang
infeksi ke pihak luar, kementrian kesehatan atau dinas kesehatan.

Data dan informasi program pencegahan dan pengendalian infeksi dikelola bersama
program manajemen dan peningkatan mutu RS.

3. Tata Kelola, Kepemimpinan dan Pengarahan


 Tata kelola
Sasaran: Pempinan RS

Struktur organisasi pengelola dan tata kelola (SOTK) diuraikan dalam dokumen tertulis,
dan terdapat tanggung jawab memimpin/mengendalikan dan mengelola bagian sesuai jabatan
dalam struktur organisasi tersebut. Dokumen tersebut juga memuat cara penilaian dan evaluasi
kinerja badan pengelola dan pimpinan.

Pengelola RS memberikan persetujuan misi RS, strategi , rencana manajemen, kebijakan


dan prosedur yang dibutuhkan untuk menjalankan RS. Misi RS direview secara berkala dan
diumumkan ke publik. Pengelola juga bertanggung jawab terhadap anggaran baik itu modal
maupun anggaran operasional RS. Sumber daya termasuk modal dikelola pengalokasiannya
untuk mencapai misi RS.

Dalam tata kelola, ditetapkan manajer senior RS yang bertugas untuk melakukan evaluasi
kinerja. Manajer senior atau direktur memimpin operasional rumah sakit agar dapat beroperasi
secara efisien. Manajer senior berkerja dengan para manajer lainnya untuk menentukan misi RS
dan bertanggung jawab untuk melaksanakan semua kebijakan dan menjamin bahwa kebijakan
telah dipatuhi oleh staf RS. Evaluasi kinerja dilakukan minimal satu tahun sekali oleh ,manajer
senior RS.
Untuk menyusun rencana pelayanan, dilakukan pertemuan para pemimpin RS dengan
pemuka masyarakat dan pemimpin organisasi lain untuk mengembangkan dan memperbaiki
strategi dan operasional. Selain itu RS juga berpartisipasi dalam pendidikan masyarakat berupa
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.

 Pengaturan

Setiap departemen/unit pelayanan di RS dipimpin oleh seorang dengan pelatihan,


pendidikan, dan pengalaman dalam pelayanan yang diberikan. Selain itu tanggung jawab tiap
peran ditetapkan secara tertulis.

Pelayanan dikoordinasikan dan diintegrasikan di dalam departemen atau pelayanan,


maupun dengan departemen dan pelayanan lain. Dalam kurun waktu tertentu, dilakukan evaluasi
Kinerja departemen yaitu staf maupun proses pelayanan oleh pimpinan.

 Etika Organisasi

Sebuah RS memiliki tanggung jawab etis dan hukum terhadap pasien dan masyarakat.
Dalam kegiatan bisnis dan klinis rumah sakit, tindakan insertif finansial dilakukan dengan nilai-
nilai etika RS selain itu juga dibuat pedoman kerangka kerja yang berisi norma-norma nasional
dan internasional terkait HAM dan etika profesi. Kerangka tersebut mendukung staf professional
RS apabila dihadapkan pada dilemma etis dalam asuhan pasien.

Tanggung jawab dan akuntabilitas pengelola digambarkan didalam pengaturan internal,


kebijakan dan prosedur, atau dokumen serupa yang menjadi pedoman bagaimana tanggung
jawab dan akuntabilitas dilaksanakan

4. Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK)


 Standar, Maksud dan Tujuan dan Elemen Penilaian

Fasilitas fisik yang ada di RS disesuaikan dengan pengaturan perundang-undangan. Bila


RS sudah dinyatakan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka para pimpinan bertanggung
jawab untuk membuat perencanaan agar dapat memnuhi ketentuan dalam kurun waktu yang
ditentukan.

RS menyusun rencana tertulis berupa rencana induk atau rencana tahunan yang
menggambarkan proses untuk mengelola risiko terhadap pasien, keluarga, pengunjung dan staf.
Rencana tersebut di up to date yang merefleksikan keadaan terkini dalam lingkungan RS da nada
proses untuk mereview dan meng-update.

Program pengawasan dan pengarahan dilakukan oleh seorang atau lebih individu yang
kompeten mengawasi perencanaan dan pelaksanaan program. Program harus dikelola dengan
efektif dan konsisten secara terus menerus. Berdasarkan ukuran dan kompleksitas RS, dapat
dibentuk komite risiko fasilitas yang bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan dan monitoring
seluruh aspek program untuk memberikan data yang dapat digunakan untuk perbaikan dan
mengurangi risiko di RS.

 Keselamatan dan Keamanan

Fasilitas pelayanan pasien dirancang dan diciptakan fasilitas yang aman, efektif dan
efisien. Selain perlu menyusun suatu rencana perbaikan fasilitas untuk melaksanakan peningkaan
dan penggantian rencana jangka panjang. Untuk mengantisipasi risiko, maka disusun rencana
proaktif. Rencana tersebut meliputi keselamatan dan keamanan.

 Bahan Berbahaya

RS mengidentifikasi dan mengendalikan secara aman bahan dan limbah berbahaya sesuai
rencana termasuk penanganan, penggunaan, penyimpanan dan pembuangan.

 Kesiapan Menghadapi Bencana

Kedaruratan komunitas, wabah dan bencana mungkin terjadi di RS, untuk menangani
tersebut maka dibuat rencana program penanganan kedaruratan. Selain itu juga dilakukan
simulasi atau uji coba tahunan.

 Peralatan Medis

RS mengumpulkan data hasil monitoring manajemen peralatan medis. Data tersebut


digunakan untuk menyusun rencana kebutuhan jangka panjang dan untuk peningkatan maupun
penggantian peralatan.

 Sistem Utiliti ( Sistem Pendukung)

Sistem pendukung seperti air minum dan listrik tersedia tanpa putus untuk memenuhi
kebutuhan asuhan pasien. Pengoperasian sistem pendukung dan sistem kunci lainnya di RS
dilakukan secara aman, efektif dan efisien merupakan suatu hal yang essensial bagi keselamatan
pasien, keluarga, staf dan pengunjung. Pemantauan sistem dilakukan untuk mencegah terjadinya
masalah dan menyediakan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan dalam
perbaikan sistem. Data hasil monitoring didokumentasikan

 Pendidikan Staf

Staf RS diberikan pendidikan dan pelatihan agar dapat melakukan perannya dalam
melakukan mengurangi resiko, melindungi orang lain dan dirinya sendiri.

5. Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS)


 Perencanaan

RS mematuhi peraturan perundangan yang berlaku mengenai tingkat pendidikan,


ketrampilan atau persyaratan lainnya bagi staf atau dalam menetapkan jumlah staf.
RS menyediakan proses untuk penerimaan, penilaian dan penetapan staf yang seragam di
seluruh RS.

 Orientasi dan Pendidikan

Seluruh staf diberikan orientasi tentang RS, departemen/unit kerja dan tentang tugas
tanggung jawab staf. Setiap staf memperoleh pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan,
untuk menjaga atau meningkatkan ketrampilan dan pengetahuannya.

6. Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI)


 Komunikasi dengan Masyarakat

RS menetapkan komunitas dan populasi pasien serta merencanakan komunikasi


berkelanjutan dengan kelompok tersebut.

 Komunikasi dengan Pasien dan Keluarga

Informasi yang diberikan kepada pasien brupa asuhan dan pelayanan, dan bagaimana cara
untuk mendapatkan pelayanan tersebut. Penyampaian informasi kepada pasien maupun keluarga
pasien dilakukan dalam format dan bahasa yang dapat dimengerti.

 Komunikasi antar Pemberi Pelayanan di Dalam dan ke Luar Rumah Sakit

Komunikasi efektif yang dilakukan diseluruh RS selain itu perlu adanya koordinasi antar
individu dan departemen dalam memberikan pelayanan klinik. Selain itu media komunikasi pada
praktisi kesehatan juga bisa digunakan rekam medis untuk memfasilitasi komunikasi tentang
informasi yang penting.

 Kepemimpinan dan Perencanaan

Rumah Sakit merencanakan proses manajemen informasi untuk menuhi kebutuhan


informasi internal maupun eksternal. RS menjaga privasi dan kerahasiaan data serta informasi
yang sensitif. Keseimbangan sharing data dan kerahasiaan data perlu diatur.

Rekam medis yang merupakan data pasien dan merupakan alat komunikasi praktisi
kesehatan disimpan dalam jangka waktu yang telah ditentukan peraturan. Jika periode retensi
telah dipenuhi maka berkas akan dimusnahkan dengan semestinya.

BAGIAN 3: SASARAN KESELAMATAN PASIEN


Terdapat 6 sasaran keselamatan pasien: ketepatan identifikasi pasien, peningkatan
komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai/high-alert
medications, kepastian tepat-lokasi, prosedur dan pasien operasi, pengurangan risiko infeksi
terkait pelayanan kesehatan serta penguranan risiko pasien jatuh.
Untuk mencapai keenam sasaran terrsebut, rumah sakit perlu mengembangkan
pendekatan untuk memperbaiki/meningkatkan ketelitian identifikasi pasien, untuk meningkatkan
efektivitas komunikasi antar pemberi layanan kesehatan, untuk memperbaiki/meningkatkan
keamanan obat-obat high-alert (salah satunya dengan memisahkan obat yang LASA/look alike
sound alike), untuk memastikan bahwa pasien operasi serta lokasi dan prosedurnya tepat, untuk
mengurangi risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan (terutama dengan mencuci tangan),
dan terakhir untuk mengurangi risiko pasien dari cedera karena jatuh.

BAGIAN 4: Sasaran Milenium Development Goals (MDGs)


Sasaran: pimpinan RS, ketua dari anggota tim, kepala unit kerja dan pelaksana (tenaga
medis, keperawatan, farmasi, gizi dsb)

 Program PONEK ( Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Komprehensif) untuk


menurunkan angka kematian bayi dan meningkatkan kesehatan ibu

Salah satu bagian dari MDGs adalah menurunkan angka kematian bayi dan
meningkatkan kesehatan ibu hamil, RS diharapkan dapat menjadi salah satu sarana
pelaksanaannya yaitu dengan program PONEK tersebut. Kebijakan rumah sakit dalam
manajemen pelayanan PONEK salah satunya dengan membentuk tim PONEK RS. Untuk
meningkatkan kemampuan teknis tim, maka dilakukan pelatihan agara kinerja tim PONEK
sesuai standar. Selain itu RS juga berfungsi sebagai rujukan PONEK.

 Program penanggulangan HIV/AIDS dengan pedoman rujukan ODHA

Dilakukan penyusunan rencana pelayanan penanggulangan HIV/AIDs, kemudan


menetapkan proses atau mekanisme pelayanan termasuk pelaporan dan kebijakan dukungan
penuh manajemen dalam pelayanan penanggulangan HIV/AIDS dilakukan dengan membentuk
tim HIV/AIDS, dilaksanakan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan teknis tim, fungsi
rujukan berjalan dan pelayanan VCT, ART, PMTCT,IO ODHA dengan factor resiko IDU,
penunjang sesuai kebijakan.

 Program penanggulangan TB sesuai dengan pedoman strategi DOTS

Dilakukan penyusunan rencana pelayanan DOTS TB, kemudan menetapkan proses atau
mekanisme pelayanan termasuk pelaporan dan kebijakan dukungan penuh manajemen dalam
pelayanan DOTS TB dilakukan dengan membentuk tim DOTS TB, dilaksanakan pelatihan untuk
meningkatkan kemampuan teknis tim, fungsi rujukan berjalan.

B. PROSEDUR PELAKSANAAN AKREDITASI


Ketentuan Penilaian dan Kelulusan Akreditasi Rumah Sakit
Penilaian akreditasi dilakukan dengan evaluasi penerapan standar akreditasi RS (KARS)
yang terdiri dari standar pelayanan berfokus pada pasien, standar manajemen RS, sasaran
keselamatan pasien dan sasaran Milenium Development Goals (MDGs).
Penilaian suatu standar dilakukan melalui penilaian pencapaian standar atau terpenuhinya
elemen penilaian (EP) yang menghasilkan nilai presentase dari standar tersebut. Penilaian EP
dinyatakan dengan TP (tercapai penuh dengan skor 10), TS (Tercapai sebagian diberi skor 5), TT
(tidak tercapai diberi skor 0) dan TTD (tidak dapat diterapkan tidak masuk dalam proses
penilaian dan perhitungan).

Proses akreditasi terdiri dari survei oleh tim surevior dan proses pengambilan keputusan
kelulusan akreditasi oleh ketua KARS, melalui tim penilai pelaporan survei akreditasi RS. Hasil
survey yaitu lulus akreditasi, diberikan kesempatan perbaikan/ re-survei/ remedial dan tidak
lulus. Kelulusan akreditasi dibagi menjadi 4 tingkat yaitu tingkat dasar, madya, utama dan
tingkat paripurna. Tingkat kelulusan akreditas dikategorikan berdasarkan nilai 15 bab yang
disurvei. Setelah RS dinilai maka akan mendapatkan status akreditasi yang dibuktikan dengan
sertifikat akreditasi.

Rumah sakit mengajukan berkas Permohonan Survei Akreditasi Rumah Sakit yang dapat
diunduh dari situs kars.or.id. Untuk membantu rumah sakit mempersiapkan diri, KARS
memfasilitasi beberapa jenis kegiatan: seminar, lokakarya, bimbingan dan simulasi survei
akreditasi. Apabila survei akreditasi dilaksanakan untuk pertama kali, harus ada track record
bukti dari 4 bulan terakhir bahwa RS sudah mematuhi standar. Untuk RS yang menjalani survei
ulang, track record yang ditunjukkan harus dari 12 bulan ke belakang.
Langkah-langkah survey adalah sebagai berikut (Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2013):
1. Pembukaan pertemuan
2. Peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta MDGs
3. Perencanaan survei
4. Telaah dokumen
5. Verifikasi dan masukan
6. Telaah rekam medis pasien secara tertutup (pasien sudah pulang)
7. Kunjungan ke area pelayanan pasien yang dipandu oleh kegiatan telusur
8. Kegiatan survei yang terarah (terfokus/di luar rencana; karena ada temuan)
9. Telaah dari lingkungan, bangunan serta sarana dan prasarana
10. Wawanara dengan pimpinan (beberapa jenjang)
11. Persiapan surveyor membuat laporan
12. Pertemuan penutup survey dengan pimpinan (exit conference)
Dalam setiap langkah pelaksanaan survey tersebut, diharapkan diikuti pula oleh Dinas
Kesehatan Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
Surveyor terdiri dari 3 kategori, yakni:
1. Surveyor manajemen/MJ, yaitu surveyor dengan pendidikan dokter dengan tambahan
pendidikan manajemen/manajemen rumah sakit, bertugas menetapkan skor, menilai dan
melaporkan aspek MPO, PMKP, TKP, MFK, KPS dan MKI 9.17,18,20, 20.1,20.2.
2. Surveyor medis/MD, yaitu surveyor dengan pendidikan dokter spesialis, tugasnya menilai
aspek APK, AP, PP, PAB, MKI, KPS 9,9.1,10,,11, TKP 3.2,5.3,5.5.
3. Surveyor keperawatan/PW, yaitu surveyor dengan pendidikan S1/S2 keperawatan,
bertugas menilai aspek HPK, PPK, PPI, SKP, sasaran program MDGs, KPS 12,13,14,
MKI 3,6,20,20.1,20.2, TKP 3.2,5.3,5.5.
Laporan wajib dikirimkan oleh surveyor paling lambat 1 minggu setelah survey
dilakukan. Laporan ini akan ditelaah oleh tim penilai yang dibentuk oleh ketua KARS, yang akan
mengusulkan status survei akreditasi kepada ketua KARS dan akan diterbitkan sertifikat
kelulusan akreditasi oleh ketua KARS berdasarkan usulan dari Tim Penilai.

Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) No 34 Tahun 2017


Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) no 34 tahun 2017 pasal 1
disebutkan bahwa akreditasi rumah sakit adalah pengakuan terhadap mutu pelayanan rumah
sakit, setelah dilakukan penilaian bahwa rumah sakit telah memenuhi standar akreditasi.
Sedangkan standar akreditasi yang dimaksud adalah pedoman yang berisi tingkat pencapaian
yang harus dipenuhi oleh rumah sakit dalam meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan
pasien.

Menurut PERMENKES ini, dijelaskan bahwa rumah sakit harus menyediakan rawat
inap, rawat jalan, dan unit gawat darurat. Terlepas dari komponen tersebut, rumah sakit juga
harus memenuhi persyaratan pelayanan kesehatan lainnya. Pendirian rumah sakit harus dilandasi
pada PERMENKES 147/MENKES/PER/I/2010 tentang PERIZINAN RUMAH SAKIT. Dalam
peraturan tersebut disebutkan dalam pasal dua bahwa rumah sakit harus memiliki izin yang
terdiri dari izin mendirikan rumah sakit dan izin operasional sakit. Sedangkan untuk izin
operasional sendiri terdiri atas operasional sementara dan izin operasional tetap. Selain itu pada
pasal empat disebutkan bahwa persyaratan izin mendirikan rumah sakit terdiri atas sebelas point
yaitu:

1. Studi kelayakan
2. Master plan
3. Status kepemilikan
4. Rekomendasi izin mendirikan
5. Izin undang-undang ganngguan (HO)
6. Persyaratan pengolahan limbah
7. Luas tanah dan sertifikatnya
8. Penamaan
9. Izin mendirikan bangunan (IMB)
10. Izin penggunaan bangungan (IPB)
11. Surat izin tempat usaha (SITU)

Sedangkan untuk PERMENKES no 34 tahun 2017 pada pasal kedua menyebutkan


pengaturan akreditasi bertujuan atas empat hal yaitu meningkatkan mutu pelayanan RS dan
melindungi keselamatan pasien RS; meningkatkan perlindungan bagi masyarakat, sumber daya
manusia di RS dan RS sebagai institusi; mendukung program pemerintah di bidang kesehatan;
dan meningkatkan profesionalisme RS Indonesia dimata Indonesia.

Untuk penyelenggaraan akreditasi sendiri dibahas mendetail tentang pelanggaran


akreditasi. Akreditasi diwajibkan dimiliki oleh setiap rumah sakit paling sedikit diselenggarakan
paling sedikit setiap tiga tahun dan dimiliki maksimal dua tahun dari adanya izin operasional
rumah sakit tersebut. Akreditasi ini dilakukan oleh lembaga akreditasi yaitu menteri ataupun
lembaga tersebut telah terakreditasi oleh lembaga International Society for Quality in Health
Care (ISQua). Akreditasi ini bersifat tidak abadi sehingga harus diperpanjang sebelum masa
berlaku status akreditasinya berakhir. Penyelenggaraan akreditasi meliputi kegiatan persiapan
akreditasi, pelaksanaan akreditasi, dan pasca akreditasi. Secara mendetail untuk setiap kegiatan
tersebut dijelaskan pada pasal tujuh hingga pasal dua belas.

Pada bab tiga di usung tentang kewajiban pemerintah terhadap rumah sakit. Pada pasal
tiga belas ini dijelaskan bahwa baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah wajib
mendukung, memotivasi, mendorong, dan memperlancar proses pelaksanaan akreditasi untuk
semua rumah sakit. Dukungan tersebut dapat berupa bantuan yang bersumber dari
anggaranpendapatan dan belanja Negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, ataupun
sumber lainnya. Sedangkan untuk rumah sakit yang belum terakreditasi harus menyesuaikan
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat dua tahun sejak diundangkan.

Peraturan Menteri No. 34 tahun 2017 ini berlaku semenjak Peraturan Menteri Kesehatan
No. 12 tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 34 tahun 2017, semua rumah
sakit wajib terakreditasi, dimana proses akreditasi diselenggarakan secara berkala paling tidak
setiap 3 tahun. Begitu juga dengan RS baru. Untuk RS baru, akreditasi paling lama dilakukan
setelah beroperasi selama 2 tahun sejak memperoleh izin operasional pertama kali. Dan apabila
terdapat rumah sakit, atau sesorang yang termasuk dalam badan hukum yang dengan sengaja
mencantumkan status akreditasi palsu, maka dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan yang
berlaku.

Segala proses pembinaan dan penyelenggaraan akreditasi dilakukan oleh Menteri yang
dilaksanakan oleh Direktur Jenderal (Dirjen), Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan
tugas dan kewenangannya masing-masing. Dirjen dapat mengambil tindakan administratif
kepada rumah sakit berupa teguran lisan atau tertulis. Tindakan administratif yang dilakukan
oleh Dirjen juga dapat mengikutsertakan lembaga independen penyelenggara akreditasi penilai,
untuk mengevaluasi kembali apakah status akreditasi rumah sakit yang bersangkutan masih
sesuai atau tidak dengan kondisi kenyataan rumah sakit tersebut. Dan apabila dari evaluasi
tersebut dinyatakan bahwa status akreditasi rumah sakit sudah tidak sesuai dengan praktik
dilapangan, maka status akreditasi dapat dicabut oleh lembaga penyelenggara akreditasi penilai.
Untuk proses akreditasinya sendiri, dapat dilakukan oleh lembaga independen baik yang
berasal dari luar negeri atau dalam negeri, tetapi yang telah ditetapkan oleh Menteri. Selain itu,
lembaga independen yang menyelenggarakan akreditasi juga harus telah terakreditasi oleh
lembaga International Society for Quality in Health Care (ISQua).

Proses penyelenggaraan akreditasi terdiri dari kegiatan persiapan, pelaksanaan, dan pasca
akreditasi. Berikut penjabaran mengenai proses akreditasi tersebut.
1. Persiapan Akreditasi
Persiapan akreditasi merupakan tahapan yang dilalui oleh rumah sakit untuk menilai
apakah rumah sakit tersebut telah siap untuk melalui proses akreditasi. Pada proses akreditasi
terdapat tiga kegiatan, yaitu
a. penilaian mandiri (sel assessment),
b. workshop, dan
c. bimbingan akreditasi.
Penilaian mandiri adalah kegiatan untuk menilai apakah rumah sakit telah memenuhi
standar yang ditentukan oleh lembaga penyelenggara akreditasi atau belum. Pada proses
penilaian mandiri ini, dilakukan oleh rumah sakit itu sendiri dengan menggunakan parameter-
parameter penilaian yang digunakan oleh lembaga penyelenggara akreditasi.
Workshop adalah kegiatan yang diselenggarakan untuk menunjang pemenuhan standar
akreditasi rumah sakit. Pada kegiatan workshop ini, dilakukan pelatihan kepada pegawai rumah
sakit agar dapat melakukan persiapan akreditasi dengan baik dan meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit yang bersangkutan juga. Sedang untuk kegiatan bimbingan akreditasi, adalah suatu
upaya untuk memberikan pembinaan dan pendampingan kepada rumah sakit yang akan
diakreditasi agar kinerja rumah sakit tersebut dalam mempersiapkan survey akreditasi
meningkat. Pembinaan dan pendampingan ini dilakukan oleh tenaga pembimbing yang berasal
dari Kementerian Kesehatan dan/atau rumah sakit yang telah lulus akreditasi. Selain itu,
pembimbing juga dapat berasal dari lembaga independen penyelenggara akreditasi.

2. Pelaksanaan Akreditasi
Pelaksanaan akreditasi adalah kegiatan yang meliputi survey akreditasi, yang kemudian
berlanjut pada penentuan status akreditasi rumah sakit yang bersangkutan. Survei akreditasi
adalah proses penilaian untuk mengukur pencapaian dan cara penerapan Standar Akreditasi.
Sehingga, pada proses survey akreditasi ini dilihat apakah rumah sakit telah memenuhi standar
yang ditetapkan oleh lembaga penyelenggara akreditasi.
Dari hasil survey yang dilakukan oleh surveior, dihasilkan suatu rekomendasi kepada
lembaga independen penyelenggara akreditasi terhadap rumah sakit yang dinilai. Rekomendasi
dapat berupa rekomendasi akreditasi dan/atau rekomendasi perbaikan yang harus dilakukan oleh
rumah sakit untuk pemenuhan standar akreditasi.
Apabila suatu rumah sakit mendapatkan rekomendasi perbaikan dari surveior, rumah
sakit tersebut harus membuat perencanaan perbaikan yang strategis untuk memenuhi standar
akreditasi yang belum tercapai. Dan rumah sakit tersebut juga akan disurvei kembali oleh
surveior, untuk melihat apakah terdapat perbaikan atau tidak.
Untuk penetapan status akreditasi, didasarkan pada hasil survei yang dilakukan oleh
surveior, dalam bentuk rekomendasi akreditasi. Dan penetapan status akreditasi tetap dilakukan
oleh lembaga indepen penyelenggara akreditasi, yang mana hasil penetapan status akreditasi
harus dilaporkan kepada Menteri.

3. Pasca akreditasi.
Setelah dilakasanakannya proses akreditasi, dan ditetapkannya status akreditasi rumah
sakit yang diakreditasi, kemudian dilakukan survei verifikasi. Survei verifikasi ini adalah survei
yang dilakukan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang menetapkan status
akreditasi rumah sakit. Dilakukannya survey verifikasi ini bertujuan untuk melihat apakah rumah
sakit tersebut mampu mempertahankan dan/atau meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit
sesuai dengan hasil rekomendasi surveior. Dan apabila dalam survei verifikasi tersebut rumah
sakit tidak dapat mempertanggung jawabkan status akreditasi yang diperoleh rumah sakit
tersebut yang dibuktikan dengan adanya temuan bahwa rumah sakit tersebut tidak dapat
mempertahankan dan/atau meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan rekomendasi surveior,
maka dapat dilakukan pencabutan status akreditasi yang telah ditetapkan.
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Akreditasi Rumah Sakit sangat penting guna meningkatkan mutu/kualitas pelayanan
kepada pasien
2. Rumah sakit yang telah terakreditasi mencerminkan bahwa rumah sakit tersebut
memenuhi standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit

B. SARAN
Untuk Komite Akreditasi Rumah Sakit, ditambahkan surveyor dari ranah farmasi untuk
menilai aspek MPO.
DAFTAR PUSTAKA

Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2012, Instrumen Akreditasi Rumah Sakit: Standar Akreditasi
Versi 2012, edisi 1, Jakarta.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2013, Pedoman Tata Laksana Survei Akreditasi Rumah Sakit,
edisi 2, Jakarta.
Kemenkes RI, 2010, PMK: 147/MENKES/PER/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit, Depkes
RI, Jakarta.
Kemenkes RI, 2016, PMK No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit, Depkes RI, Jakarta.
Kemenkes RI, 2017, PMK No 34 tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit, Depkes RI,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai