Anda di halaman 1dari 2

Jamuresi. “Kampung tua yang terlupakan”.

Saya beri nama sedemikian rupa dengan dugaan awal bahwa


kampong ini memiliki sejarah yang panjang dan penting bagi pengembangan dan penyebaran Islam di
Ciamis utara. Acuan sementara yang saya pakai adalah cerita turun temurun yang terjadi di keluarga saya
sendiri dan di beberapa warga kampung Jamuresi. Tulisan ini akan saya mulai dengan mecari dan
membuka asal usul nama kampung Jamuresi. Kenapa kampung ini bernama dan diberi nama Jamuresi.

Ada empat versi berbeda tentang pemberian nama pada kampung Jamuresi. Pertama, nama kampung
Jamuresi ini diambil dari hasil pemendekan kata “Jambu réa di sisi” [ banyak Jambu di pinggiran
kampung ] menjadi “Jambu-re-si” yang sekarang lebih populer dan resmi di pemerintahan dengan nama
“Jamuresi” [ Peralihan dari kata Jamburesi menjadi Jamuresi akan dibahas secara terpisah menurut
kacamata bahasa ]. Konon jaman dahulu menurut cerita nenek moyang, di kampung ini, di pinggir-
pinggirnya banyak sekali pohon jambu. Dari situlah kampung ini diberi nama Jamuresi. Bukti yang sampai
sekarang masih ada adalah batas kampong sebagian selatan yang merupakan lereng bernama “Hulu
Cijambu” dan beberapa nama ke-RT-an yang menggunakan nama buah-buahan seperti, Cikadu [kadu =
durian], Cipeuteuy [peuteuy = petay] dan lain-lain.

Kedua, pemberian nama kepada kampung ini diambil dari peristiswa longsor besar yang terjadi kira-kira
tahun 1800-an yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan bedol desa. Sebahagian warga kampung
mengungsi ke beberapa tempat seperti ke Cipelah Desa Kawunglarang Kecamatan Rancah, dan membuat
pemukiman baru di sana. Pada saat longsor ini terjadi, dari lereng bukit yang sekarang bernama Hulu
Cijambu, menggelinding batu yang besar-besar. Salah satu yang batu yang paling besar dihentikan oleh
seorang resi di tengah-tengah kampung, karena kalau terus dibiarkan menggelinding ke sungai dianggap
akan menutup jalanya aliran air dan menimbulkan banjir yang sangat besar. Batu yang paling besar itu
bentuknya mirip dengan buah jambu air. Dari sanalah kemungkinan warga menyebut kampung ini
dengan kampung yang ada “Jambu-resinya”, yang kemudian beralih menjadi Jamburesi saja. Kemudian,
karena batu yang berada di tengah-tengah kampung ini ukurannya sangat besar, kira-kira berdiameter 10
meter, diberilah nama “Batu Karut”. Kata [Karut] diambil dari bahasa arab “ ّ‫[ ”الكررة‬al-kurratun – segala
benda yang berbentuk bulat], atau dari kata “ ّ‫[ ” القارة‬al- qāratun – anak bukit]. Sedikit berbau mitos
memang, namun begitulah adanya.

Ketiga, pengambilan nama kampung ini diambil dari bahasa arab, “ ‫[ ” جاء المراثي‬jā’a al-marāśiy – tertimpa
kesedihan] atau “ ‫[ ” جاءالمرشوش‬jā’a al-marsyūsyun – tertimpa tanah longsor]. Dua dugaan pengambilan
nama dari “ ‫ ” جاء المراثي‬dan “ ‫ ” جاء المرشوش‬menandakan bahwa pemberian nama kepada kampung ini
diduga setelah terjadinya longsor yang besar. Dua opsi ini memperkuat versi kedua, nama Jamuresi ada
setelah longsor, juga mengindikasikan islam sudah masuk di kampung ini dengan adannya nama Batu
Karut.
Keempat, dugaan penaamaan yang juga memiliki alasan yang cukup kuat. Nama kampung Jamuresi
diambil dari ungkapan bahasa arab “ ‫[ ” جاء إلى المراس‬jā’a ilā al-marāsin - tiba di tempat persinggahan],
diduga diberikan oleh seorang pengembara [ Di kampung saya dikenal dengan nama “Ketib Soleh”. Ketib
soleh dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jamuresi. Menurut cerita, ia terdapar di Sungai Cijolang
Jamuresi. Sampai sekarang nama asli dan dari mana ia berasal masih belum jelas. Nama Ketib soleh
sendiri adalah sebutan dari warga, karena pada saat itu ia pernah menjadi petugas pencatat pernikahan
dan dikenal sebagi orang yang shalih ] yang kemudian diduga sebagai penyebar agama Islam di wilayah
Ciamis Utara.

Dari keempat versi diatas, ternyata ada hal-hal terkait yang kemudian akan bisa ditarik kesimpulan
sementara. Versi kedua terkait dengan versi pertama perihal kemiripan nama yang dipakai saja, yaitu
Jamburesi. Namun cara pengambilan yang berbeda. Tapi nama Jamburesi sendiri pernah digunakan oleh
warga. Versi ketiga terkait dengan versi kedua. Keduanya diduga bahwa pengambilan nama Jamuresi
diambil setelah longsor dan nyaris saling menguatkan. Versi keempat terkait dengan versi pertama.
Meskipun kaitannya sangat jauh, tetapi memberi idikasi pemberian nama kampung Jamuresi diduga
sebelum longsor terjadi. Sekalipun dengan cara pengambilan yang berbeda namun ada kaitan waktu.
Versi keempat juga terkait pada versi ketiga, yaitu, pengambilan nama kampung Jamuresi sama-sama
diambil dari bahasa arab. Keterkaitan versi keempat dengan ketiga memberikan petujuk lain, bahwa
Islam sudah ada di Jamuresi ketika longsor terjadi. Juga diperkuat dengan adanya nama salah satu blok
RT “Salem” yang juga diambil dari bahasa arab “ ‫[ ” سلماا‬salāman – selamat] karena blok ini selamat dari
longsor.

Sementara, sebagai sebuah kesimpulan awal, nama kampung Jamuresi diambil dari kata “Jambu réa di
sisi”. Penguatnya adalah nama-nama blok RT yang juga banyak menggunakan nama buah-buahan dan
tumbuhan. Cikadu [kadu = durian], Cipeuteuy-Pasir Peuteuy [peuteuy = petai], Cikembang-Pasir
Kembang [kembang = bunga], Cikupa [kupa = buah gowok], Peundeuy [peundeuy = sejenis petai],
Cikonéng [konéng = kunyit]. Juga diperkuat dengan adanya kehidupan di kampung ini yang jauh lebih tua
sebelum kedangan Ketib Soleh meskipun belum diketahui dahulu bernama apa, sebab keterangan
tertulis mengenai kampung ini masih dalam pencarian. Ada beberapa tulisan Ketib Soleh yang bisa
dijadikan acuan, namun keberadaannya masih dalam pencarian sebab diselamatkan oleh para muridnya
saat longsor dan beberapa peninggalan yang masih sedang dibaca. Juga dengan keberadaannya batu
tulis yang berada di kampung Citapen Landeuh.

Anda mungkin juga menyukai