Anda di halaman 1dari 22

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada BAB IV ini peneliti memaparkan fokus dari penelitian ini yaitu

upaya keluarga merawat lansia dengan rheumathoid artritis di wilayah kerja

UPTD Puskesmas Sananwetan. Dimana penelitian ini menggunakan metode

kualitatif. Metode kualitatif menurut Sugiyono (2013: 14) sering disebut metode

penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah

(natural setting). Pada penelitian kualitatif, peneliti dituntut dapat menggali data

berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan dan dilakukan oleh sumber data

(partisipan). Pada penelitian kualitatif peneliti bukan sebagaimana seharusnya apa

yang dipikirkan oleh peneliti tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi

di lapangan, yang dialami, dirasakan dan dipikirkan oleh sumber data (partisipan).

Partisipan Studi Kasus yaitu Ny.D selaku anak dari Tn.N dan Tn.B selaku suami

dari Ny.S. Partisipan studi kasus bersedia menandatangani lembar informed

consent. Peneliti mengadakan kontrak waktu selama 3 pertemuan dalam 2 minggu

dengan partisipan.

Pada BAB IV ini dibagi menjadi lima bagian agar lebih sistematis dan

terarah yaitu sebagai berikut:

1. Deskripsi tempat penelitian

2. Deskripsi partisipan penelitian

3. Deskripsi hasil penelitian

4. Pembahasan

5. Keterbatasan Penelitian
4.1 Deskripsi Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 21 Mei sampai 20 Juni 2018 di

UPTD Puskesmas Kecamatan Sananwetan Kota Blitar. UPTD Puskesmas

Sananwetan terletak di Jl. jalan Jawa No. 7 Kota Blitar dan merupakan jenis

puskesmas rawat inap. Kecamatan Sananwetan merupakan salah satu kecamatan

di Kota Blitar dengan luas wilayah 12,15 Km2 yang terbagi ke dalam 7 kelurahan,

yaitu Kelurahan Bendogerit, Kelurahan Plosokerep, Kelurahan Rembang,

Kelurahan Klampok, Kelurahan Gedog, Kelurahan Karangtengah dan Kelurahan

Sananwetan. Selain itu terdapat 6 puskesmas pembantu yaitu Pustu Bendogerit,

Pustu Bendil, Pustu Gedog, Pustu Klampok, Pustu Plosokerep Dan Pustu

Rembang.

UPTD Puskesmas Sananwetan Kota Blitar ini dibagi menjadi dua bangunan

yaitu bangunan unit pelayanan kantor,unit pelayanan poli rawat jalan, unit

pelayanan gawat darurat (UGD), unit rawat inap dan PONED. Unit pelayanan

rawat jalan terdapat 9 pelayanan, yaitu poli umum, poli KIA, poli MTBS, poli gizi,

poli jiwa, poli TB, poli gigi, unit pelayanan laboratorium, dan farmasi. Ada

beberapa program pengelolaan kesehatan yang ada di puskesmas ini antara lain

promosi kesehatan, posyandu, posyandu lansia, posbindu, prolanis, dan lain

sebagainya.

Poli Umum merupakan salah satu jenis pelayanan yang ada di Puskesma

Sananwetan yang memberikan pelayanan berupa pemeriksaan fisik, pelaksanan

tindakan keperawatan, Diagnosa penyakit, pengobatan dan penyuluhan kepada

klien atau masayarakat yang berobat. Dalam menjalankan tugasnya poli umum

terintegrasi dengan seluruh unit pelayanan lainya seperti poli KIA, poli MTBS,
poli gizi, poli jiwa, poli TB, poli gigi, unit pelayanan laboratorium, dan farmasi.

Petugas di poli umum Puskesmas Sananwetan terdiri dari 1 dokter dan 3 perawat.

Di poli umum Puskesmas Sananwetan ditemukan penemuan dan penanganan

lansia dengan diagnosis rheumathoid artritis sebanyak 21.

Penelitian studi kasus ini dilakukan dengan mengunjungi partisipan di

rumahnya masing-masing yang berada di wilayah kerja UPTD Puskesmas

Sananwetan Kota Blitar tepatnya berada di Kelurahan Gedog terdapat satu

partisipan, Kelurahan Karangtengah terdapat satu partisipan.

Tempat tinggal partisipan pertama terletak di rumah Ny.D yang berlokasi di

Jl. Brigjen Katamso, Gang I, RT 01 RW 02 Kelurahan Gedog. Lokasinya sedikit

masuk ke dalam gang dari jalan utama. Lokasi tempat tinggal partisipan cukup

luas dan terdapat toko disamping rumah. Tempat tinggalnya merupakan hunian

permanen dan cukup rapi dengan lantai keramik dan dinding tembok di bagian

depan dan dinding di bagian dalam dengan ventilasi yang cukup, bahan bakar

yang digunakan untuk memasak sudah menggunakan kompor gas dengan dapur

yang cukup bersih. Terdapat 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga, 4 buah kamar tidur

yang setiap kamar memiliki cendela, mushola, dapur, ruang makan, 1 kamar

mandi beserta toilet. Partisipan tinggal satu rumah bersama suami, ayah, dan

kedua anaknya. Jarak tempat tinggal menuju tempat pelayanan kesehatan 4-5 kilo

meter. Di bagian samping rumah partisipan terdapat area persawahan, di bagian

belakang rumah terdapat juga tempat untuk menjemur pakaian dan juga di bagian

depan rumah terdapat sungai kecil. Lingkungan sekitar rumah partisipan

merupakan lingkungan perkotaan. Berbagai kegiatan sosial kerap dilakukan

seperti, perkumpulan ibu- ibu PKK.


Tempat tinggal partisipan kedua Tn.B yang berlokasi di Jl.Batam, Gang I, RT

04 RW 03, Dusun Karangtengah, Kota Blitar. Lokasi tempat tinggal partisipan

berada di perumahan. Model rumah partisipan termasuk rumah minimalis dengan

sedikit ventilasi. Tempat tinggal partisipan merupakan hunian permanen. Tempat

tinggal ini terdiri dari ruang tamu, 3 buah kamar tidur dengan model ventilasi

minimalis, 1 ruang keluarga, kamar mandi, dapur, tempat ibadah, dan belakang

untuk menjemur pakaian. Ventilasi dan pencahayaan dalam rumah partisipan

kurang baik. Tatanan di depan rumah cukup padat namun rapi. Lingkungan rumah

partisipan kedua merupakan daerah perumahan dalam perkotaan dengan

penduduk yang cukup padat. Jalan masuk ke lingkungan partisipan sekitar kurang

lebih ±600 meter dari jalan raya, jarak satu rumah dengan yang lain berdempetan.

Beberapa kegiatan di lingkungan tempat tinggal kerap dilakukan seperti pengajian

rutin, senam, rekreasi lansia, arisan. Partisipan tinggal satu rumah dengan istrinya,

kedua anaknya tidak tinggal di rumah, anak pertama sudah bekerja dan anak

kedua masih kuliah di luar kota. Jarak temppat tinggal menuju tempat pelayanan

kesehatan ±700 meter.

4.2 Deskripsi Partisipan Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menjamin kerahasiaan identitas dari partisipan

karena menyangkut privasi dari partisipan tersebut, sehingga peneliti hanya

akan menjelaskan bagaimana latar belakang dari partisipan tanpa

menyebutkan identitas. Peneliti melakukan wawancara mendalam dan observasi

kepada partisipan sesuai dengan pedoman wawancara dan observasi yang telah

disusun. Adapun partisipan penelitian ini adalah sebagai berikut :


a. Karakteristik Partisipan 1

Partisipan pertama adalah seorang wanita dengan nama Ny.D merupakan

anak dari Tn.N, yang merawat langsung Tn.N yang terdiagnosis rheumathoid

artritis di Poli Umum Puskesmas Sananwetan setelah melakukan tes laboratorium.

Ny.D lahir pada tanggal 21 Juli 1978, bekerja di toko milik sendiri sekaligus ibu

rumah tangga (IRT). Latar belakang pendidikan partisipan Ny.D adalah Sekolah

Menengah Atas. Ny.D beragama Islam, suku bangsa jawa. Ny.D memiliki dua

anak, anak pertama masih berusia 9 tahun dan masih duduk di bangku Sekolah

Dasar, anak kedua masih berumur 2 tahun. Keluarga Ny.D mendapat penghasilan

dari pekerjaan suami yang bekerja sebagai tukang bangunan dan bertani di sawah

keluarga yang dimiliki terkadang di bantu oleh ayah Ny.D ketika kondisi

tubuhnya baik, selain itu Ny.D juga mendapat penghasilan dari hasil penjualan

barang yang ada di toko. Keluarga Ny.D mendapat jaminan kesehatan berupa

Kartu indonesia Sehat (KIS). Kegiatan sehari-hari partisipan pertama di rumah

yaitu membersihkan rumah, mengurus anak, menjaga toko, dan merawat Tn.N.

Partisipan pertama tinggal bersama kedua anaknya, suami, dan ayahnya.

Adapun anggota keluarga Ny.D (berdasarkan kartu keluarga), dapat dilihat pada

tabel sebagai berikut:

Tabel 4.1 Dafar anggota keluarga partisipan 1

No. Nama (Inisial) Umur JK Hubungan Pendidikan Pekerjaan


1. Tn. K 42 th L KK SMA Wiraswasta

2. Ny. D 40 th P Istri SMA Wiraswasta

3. An. S 9 th P Anak SD Pelajar

4. An. M 2 th P Anak - -
Keterangan:

: Partisipan

Partisipan pertama adalah anak perempuan dari Tn.N (penderita

rheumathoid artritis). Ny.D sudah merawat ayahnya sejak 6 tahun yang lalu.

Keluarga partisipan yang pertama tidak mengetahui penyakit yang diderita oleh

ayahnya sebelum mendapat penjelasan dari dokter. Pada awalnya ayah partisipan

pertama mempunyai keluhan keju linu, nyeri dan bengkak pada setiap sendi kaki,

tangan dan sering dirasakan setiap waktu, sering tersa sangat nyeri pada pagi hari,

saat beraktifitas maupun istirahat, selain keju linu dan nyeri partisipan pertama

juga merasakan kesemutan pada setiap sendi. Ny.D memutuskan untuk membawa

Tn.N ke Puskesmas Sananwetan untuk mendapatkan pengobatan, setelah

mendapatkan hasil Lab Tn.D terdiagnosa rheumathoid artritis.

Setelah beberapa kali berobat di Puskesmas tidak ada perubahan pada

Tn.N, akhirnya Ny.D memutuskan untuk membawa Tn.N berobat di RS

Ngudiwaloyo. Di RS Ngudiwaloyo Tn.N mendapat pengobatan dari dokter

spesialis tulang, Tn.N juga sering mendapatkan suntikan pada persendian yang

sakit dan juga sudah menjalani operasi. Keadaan T.N sekarang sudah membaik,

bahkan sekarang sering melakukan aktivitas seperti mencangkul di sawah, dan

olah raga. Terkadang Tn.N memeriksakan kesehatannya di Puskesmas

Sananwetan ketika tidak sempat periksa di RS Ngudiwaluyo.

b. Karakteristik Partisipan 2

Partisipan kedua adalah seorang laki-laki dengan nama inisial Tn.B

merupakan suami dari Ny.S, yang merawat langsung Ny.S yang terdiagnosis

rheumathoid artritis di Poli Umum Puskesmas Sananwetan setelah melakukan tes


laboratorium. Tn.B berusia 54 tahun dan bekerja sebagi guru Sekolah Menengah

Atas. Latar belakang pendidikan terakhir Tn.B adalah sarjana. Tn.B memiliki dua

anak, anak yang pertama berusia 25 tahun dan sudah bekerja, anak yang kedua

berusia 21 tahun dan sekarang masih menyelesaikan pendidikan di salah satu

universitas di Kota Malang.

Pendapatan Tn.B didapat dari hasil mengajar di salah satu Sekolah Menengah

Atas di Kota Blitar, dan juga pendapatan sang istri sebagai guru di salah satu

Sekolah Dasar yang ada di Kota Blitar. Keluarga Tn.B memiliki jaminan

kesehatan berupa BPJS. kegiatan sehari- hari, membersihkan rumah, mengantar

istri kerja, merawat istri, menjadi guru di SMAN 1 Blitar. Partisipan tinggal satu

rumah dengan istri nya, kedua anaknya tidak tinggal di rumah, anak pertama

sudah bekerja dan anak kedua masih kuliah di luar kota. Adapun anggota keluarga

Tn.B (berdasarkan kartu keluarga), dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.2 Dafar anggota keluarga partisipan 2

No. Nama (Inisial) Umur JK Hubungan Pendidikan Pekerjaan

1. Tn.B 54 th L KK Sarjana Guru

2. Ny.S 54 th P Istri Sarjana Guru

3. Sdr. A 25 th L Anak Sarjana Kerja di pabrik

4. Sdr. F 21 th L Anak SMA Mahasiswa

Keterangan:

: Partisipan

Tn.B merawat Ny.S kurang lebih 15 tahun yang lalu, pada awalnya Ny.S

merasakan sakit dan linu di seluruh bagian sendi sejak kelahiran anak keduanya.
Beberapa bulan setelah kelahiran anak keduanya Ny.S mulai merasakan nyeri

disemua bagian persendian, awalnya Ny.S masih mampu untuk menahan rasa

nyeri yang diraskan tetapi semakin lama nyeri yang dialaminya semakin parah,

bahkan terdapaat pembengkakan di semua bagian sendi. Kemudian Tn.B

memutuskan untuk membawa Ny.S berobat di Puskesmas Sananwetan, setelah

hasil Lab keluar Ny.S terdiagnosa rheumathoid artritis, tetapi karena keadaan

sudah parah, Tn.B meminta surat rujukan dari Puskesmas Sananwetan dan berobat

di RS Mardiwaloyo. Ny.S juga mendapatkan pengobatan berupa suntikan

didaerah persendin dan juga sudah mealkuakan operasi di RS Bayangkara.

Keadaan Ny.S sekarang masih merasakan nyeri di bagian sendi-sendi dan juag

kakinya sulit untuk di tekuk setelah dilakukan operasi tersebut. Seabgian kegiatan

dan aktivitas Ny.S memerlukan bantuan orang lain (Tn.B).

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian

Tema-tema yang teridentifikasi dalam penelitian ini berdasarkan

deskripsi pengalaman partisipan dari hasil wawancara dan observasi dengan

menggunakan metode Colaizzi (1978 dalam Streubert & Carpenter, 2003). Tema-

tema yang telah teridentifikasi dalam penelitian ini yaitu: 1) Patuh Terhadap

Pengobatan. 2) Menyiapkan Makanan dan Minuman. 3) Belajar dari Pengalaman.

4) Istirahat Sesui Kemauan. 5) Melakukan Kegiatan Senam dan Aktifitas Sehari-

hari. 6) Makan dalam Jumlah Cukup Berikut ini dijelaskan hasil penelitian

didapatkan tema-tema sebagai berikut:

4.3.1 Patuh Terhadap Pengobatan.

Pemberian obat merupakan salah satu tindak lanjut yang dilakukan

keluarga di rumah sebagai tatalaksana pada Lansia yang terdiagnosis rheumatoid


artritis. Hasil wawancara menunjukkan sebagian besar partisipan telah mendapat

konseling pemberian obat oleh petugas. Berikut kutipan wawancara dari kedua

partisipan :

“...iya, diajari mas, obat e berupa obat pil, ada 3 macam, biasane le
obat koyok leflunomide i di wehne 3x1 le kadaan e parah tapi le wes
mendingan yo di kurangi, le obat liane cuma 2x1 le ngewehne mas”
(Partisipan A)
“iya, diajari mas, obatnya berupa pil, ada 3 macam, biasanya seperti
obat leflunomide diberikan 3x1 kalau keadaannya parah tapi kalau
sudah mendingan di kurangi, kalau obat lainnya diberikan 2x1”
(Partisipan A)

... “diwarai mas, le jumlah obat e onok 4 macem mas,


Le ngewehne onok seng 3x1, 2x1”...(partisipan B)
“diajari mas, kalau jumlah obatnya ada 4 macam mas,
Kalau memberikan ada yang 3x1, 2x1” (partisipan B)

Dalam pemberian obat kepada keluarga yang terdiagnosis rheumathoid

artritis, kedua partisipan telah menyesuaikan dengan dosis yang dianjurkan oleh

petugas. Sesuai kutipan berikut ini:

...“uwes tak sesuaikan mas koyok anjuran dokter, onok seng diwehne
3x1,kambek 2x1...” (partisipan A)
“sudah saya sesuaikan mas seperti anjuran dokter, ada yang diberikan 3x1,
dan 2x1” (partisipan A)

... “yo le masalah dosis aku gak paham mas, Cuma e le ngongkon dokter yo
ngono kae mau...” (partisipan B)
“kalau masalah dosis saya tidak tau mas, Cuma kalau dokter menyarankan
seperti yang saya ucapkan tadi” (partisipan B)

Dari hasil observasi pemberian obat, seluruh partisipan telah memberikan

obat dengan mematuhi anjuran yang ada yaitu memberikan obat dengan

memperhatikan petunjuk yang ada di kemasan obat. Jika pada etiket atau

petunjuk obat tertera 3 kali 1 dalam sehari partisipan memberikan 3 kali sehari

masing-masing sebanyak 1 butir pil tanpa mengurangi atau melebihkan.


Dalam pemberian obat harus memperhatikan prinsip benar pemberian obat

di rumah yaitu benar jenis obat yang diberikan, benar dosis obat yang diberikan,

benar cara pemberian obat dan benar waktu pemberian obat. Dari hasil wawancara

didapatkan bahwa bentuk sediaan obat yang diberikan oleh petugas kepada

keluarga yang terdiagnosis rheumathoid artritis ada 1 macam yakni berupa pil.

Berikut kutipan wawancaranya:

“...bentuk obatnya pil mas...” (Partisipan A)


“bentuk obatnya pil mas” (Partisipan A)

“...bentuknya pi ltapi terkadang pas diperiksa di Rumah Sakit juga di kasih


suntikan pada persendian oleh dokter...” (Partisipan B)
“bentuknya pil tapi terkadang waktu periksa di Rumah sakit juga diberi
suntikan pada persendian oleh dokter”

4.3.2 Menyiapkan Makanan dan Minuman

Dari hasil observasi kerdua partisipan memberikan obat kepada keluarga

yang terdiagnosis rheumathoid artritis dengan cara yang berbeda, yaitu dengan

memberikan makanan dan minuman karena Tn.N meminum obat dengan cara

ditelan dengan makanan, dan Ny.S meminum obat dengan cara ditelan

bersamaan dengan air. Hasil observasi ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh

partisipan:

“...le bapak i ngombe obat i kudu di barengi kambek panganan mas, soal e
lek nggak ngono nggak iso ngulu, hahahah...”(Partisipan A)
“kalau ayah mengkonsumsi obat harus dibarengi dengan makanan mas,
Karena kalau tidak begitu obatnya tidak bisa tertelan, hahaha” (Partisipan
A)
“... biasa mas, ya kambek air putih...”(Partisipan B)
“biasa mas, ya dengan air putih” (Partisipan B)

Dari hasil observasi kedua partisipan memberikan obat dalam sehari

deangan frekuensi waktu yang berbeda- beda, ada obat yang di berikan 3 kali

dalam sehari dan ada obat yang di berikan 2 kali sehari, tetapi untuk waktu
pemberiannya tidak tetap hanya berpedoman pada waktu makan yaitu pagi, siang

dan malam, karena obat dikonsumsi keluarga yang terdiagnosis rheumthoid

artritis diberikan sesudah makan.

4.3.3.Belajar dari Pengalaman

Dalam pemberian obat pada keluarga yang terdiagnosis rheumthoid artritis

kedua partisipan mengungkapkan belum tau pasti efek samping obat yang tidak

diharapkan atau dampak yang membahayakan tubuh jika diminum terus- menerus.

Tetapi partisipan mengungkapkan dari hasil pemberian obat yang dirasakan

terdapat manfaat atau hasil positif yang dapat mendukung kesembuhan keluarga

yang terdiagnosis rheumthoid artritis seperti yang dipaparkan oleh kedua

partisipan:

“...saya tidak tau tentang efek sampingnya, tetapi semenjak rutin


ngombe obat nyerine yo berkurang kambek bengkak e mulai
hilang...”(Partisipan A)
“saya tidak tahu tentang efek sampingnya, tetapi semenjak rutin
minum obat nyeri yang dirasakan iberkurang dan bengkak mulai
hilang” (Partisipan A).

“...gak ngerti mas, tapi yo biasane le obat-obat ngono kui yo le terus


menerus praiyo iso ngrusak ginjel, tapi untuk selama ini yo alhamdulillah
aman- aman ae mas...”(Partisipan B)
“tidak tau mas, tapi ya biasanya kalau obat-obat seperti itu kalau terus
menerus juga dapat merusak ginjal, tapi untuk selama ini ya Alhamdulillah
aman-aman saja mas” (Partisipan B)

4.3.4 Istirahat Sesuai Kemauan

Istirahat cukup sudah diterapkan salah satu partisipan yaitu Ny.D kepada

ayahnya, tetapi terkadang ayahnya sering melanggar dengan pergi kesawah untuk

mencangkul dan melakukan olah raga seperti pimpong bersama temannya. Tn.B

belum menerapkan pola istirahat cukup kepada istrinya dengan alasan kesibukan
dalam bekerja, sehingga jarang mengontrol pola istirahat istrinya. Hasil observasi

ini disesuikan dengan apa yang disampaikan oleh kedua partisipan sebagai

berikut:

“... Le masalah istirahat cukup i jane wes tak atur lo mas, tak gaekne
jadwal waktu tidur malahan, masalae kambek dokter e yo kon ngatur pola
istirahat e bene cukup, tapi yo bapak e kui le kadang due karep gak kenek
di pengeng, kadang yo ndek sawah, kadang yo olahraga pimpong kambek
kanca-kancane...”(Partisipan A)
“ kalau masalah istirahat cukup sebenarnya sudah saya atur mas, malah
saya buatkan jadwal waktu tidur, karena dengan dokter disarankan
mengatur pola istirahat yang cukup, tetapi apabila bapak tidak mau
istirahat sudah tidak bisa di cegah, kadang di sawah, kadang juga olahraga
pimpong dengan teman-temannya”(Partisipan A)

“...jujur le masalah istirahat e ibuk e aku gak eruh mas, masalah e aku yo
sibuk ngajar, muleh-muleh yowes sore, gek ibuk e dewe yo ngajar, tapi le
ibuk e ngono kae jane jam 2, tapi lek aku yo biasane jam 3, set 4 ngono
kae mas...”(Partisipan B)
“jujur kalau masalah istirahat istri saya, saya tidak tau mas, karena saya
sibuk mengajar, sampai rumah pulang sudah sore hari, dan istri saya
sendiri juga mengajar tapi kalau istri saya jam 2 siang sudah pulang,
berbeda dengan saya yang pulang kerja jam 3 sore, atau setengah 4 sore
mas”

4.3.5 Melakukan Kegiatan Senam dan Aktifitas Sehari-hari

Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan latihan fisik yang

dilakukan oleh penderita rheumthoid artritis dalam kategori sedang yang

dilakukan sehari - hari, penderita rheumthoid artritis melakukan olah raga

minimal 10-20 menit selama sehari. Denag latihan fisik berupa senam

rheumathoid dan melakukan aktifitas sehari- hari seperti mencangkul dan olah

raga pimpong. Berdasarkan pernyataan kedua partisipan yang mengatakan:

“...bapak le awak e sehat kambek ora ngrasakne nyeri nemen yo kui mas,
mesti macol-macol ndek sawah, kambek olahraga karo kancane, tapi le
lali waktu yo nyerine kumat eneh...”(Partisipan A)
“bapak kalau badannya sehat dan tidak merasakan nyeri ya gitu mas,
mencangkul di sawah, dan olahraga dengan temannya, tapi kalau lupa
waktu nyerinya kambuh lagi”(Partisiapan A)

“...bojoko le isuk mas, sak durunge kerjo mesti nglakoni senam rheumatik
lek wektune 10-20 menit. Soal e ndek puskesmas diajari ngono senam
rheumatik kui dan kon nerap ne setiap hari...”(Partisipan B)
“istri saya kalau pagi mas, sebelum kerja selalu melakukan senam
rheumatic kalau waktunya 10-20 menit. Karena di puskesmas diajari
seperti itu agar diterapkan setiap hari di rumah..”(Partisipan B)

4.3.6 Makan dalam jumlah yang cukup dengan mengurangi makanan yang

tidak baik

Mempertahankan berat badan ideal dinyatakan oleh partisipan

berdasarkan kebiasaan sehari – hari dalam mengontrol berat badan keluarga yang

terdiagnosis rheumathoid artritis, teridentifikasi dari berapa berat badan beserta

tinggi badan, dan pengaturan pola makan. Hal tersebut dinyatakan oleh partisipan

karena penderita rheumathoid artritis yang tergolong obesitas, mengurangi berat

badan dapat menurunkan tingkat nyeri yang dialami oleh penderita rheumathoid

artritis. Hal ini dinyatakan kedua partisipan yang mengatakan:

“...bien i bapak lemu banget mas, masalah e le mangan ngono kae gak
diatur, tapi semenjak diomongi dokter yo maleh aku seng ngatur pola
makan e, pokok makanan e cukup gek gak berlebihan, dan sesuai menu
seimbang kambek ngurangi panganan koyo seng bersantan, jeroan,
alhamdulillah e berat badan e iso meduk sampek 6 kg...”(Partisipan A)
“ dahulu bapak gemuk sekali mas, masalahnya kalau makan tidak diatur,
tetapi semenjak disarankan dokter jadi saya yang mengatur pola makannya,
pokoknya makanannya cukup, tidak berlebihan, dan sesuai menu seimbang
serta mengurangi makanan yang bersantan, jeroan, Alhamdulillah berat
badannya biasa turun sampai 6 kg”(Partisipan A)

“...le masalah ngontrol mangan ben berat badan e gak nambah bahkan
turun bojoku wes sadar dewe mas, wes due kesadaran, masalah e de e
miker le berat badan e munggah de e mesti ngrasakne nyeri...”(Partisipan
B)
“kalau masalah mengontrol makan biar berat badannya tidak bertambah
bahkan turun istri saya sudah sadar sendiri mas, sudah punya kesadaran
karena istri saya berfikir kalau berat badannya naik dia selalu merasa nyeri”
4.4 Pembahasan

4.4.1 Patuh Terhadap Pengobatan.

Pemberian obat pada keluarga yang terdiagnosis rheumathoid artritis

sekaligus kunci dalam pemberian obat pada keluarga yang terdiagnosis

rheumathoid artritis adalah konseling atau pembelajaran kepada keluarga tentang

cara memberikan obat di rumah. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kedua

partisipan tidak mendapat konseling secara menyeluruh tetapi petugas telah

memberi petunjuk penggunaan obat kepada keluarga baik itu secara lisan

maupun tulisan.

Konseling pemberian obat akan menekankan cara yang benar dalam

penggunaan obat seperti benar jenis obat, benar dosis obat, benar cara pemberian

obat dan benar waktu pemberian obat, Menurut Aryani, et al. (2009, hlm 393)

perawat dalam memberikan obat harus memperhatikan prinsip enam “ benar”

yang sudah menjadi prosedur wajib sebelum memberikan obat, yaitu : benar

pasien, benar obat, benar dosis, benar cara, benar waktu, dan benar dokumentasi.

Hal ini sesuai dengan Penerapan prinsip enam “benar” yang sangat di

perlukan oleh perawat sebagai pertanggung jawaban secara legal terhadap

tindakan yang dilakukan sudah sesui dengan prosedur yang sudah ditetapkan.

Mengingat peran yang memberikan langsung kepada pasien dan meberikan

arahan kepada keluarga pasien dan jika sudah sesui dengan standar prosedur yang

sudah di tetapkan maka akan dapat meminimalkan terjadinya efek samping atau

kesalahan dalam memberikan obat (Lestari, 2009 : 4).

Menurut peneliti konseling pemberian obat sangat efektif untuk mencegah

kesalahan dalam pemberian obat pada anggota keluarga yang terdiagnosis


rheumathoid artritis di rumah. Dengan konseling partisipan atau keluarga akan

mengerti bagaimana cara memberikan obat di rumah. Selain itu dengan konseling

partisipan atau bahkan masyarakat lebih faham tentang manfaat dan efek

samping obat itu sendiri karena dimasyarakat masih ditemukan penggunaan obat

yang tidak sesuai atau bahkan penyalahgunaan obat.

Pemberian obat kepada keluarga yang terdiagnosi rheumathoid artritis

harus sesuai dengan dosis yang disarakan oleh petugas kesehatan. Dari hasil

penelitian partisipan memberikan obat sesuai dengan anjuran yang diberikan

petugas.

Dalam hal ini Penerapan prinsip enam “benar” sangat di perlukan oleh

perawat sebagai pertanggung jawaban secara legal terhadap tindakan yang

dilakukan sudah sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Mengingat

peran yang memberikan langsung kepada pasien serta memberikan arahan kepada

keluarga pasien tentang cara pemberian obat dan jika sudah sesuai dengan standar

prosedur yang sudah di tetapkan maka akan dapat meminimalkan terjadinya efek

samping atau kesalahan dalam memberikan obat (Lestari, 2009 : 4). Menurut

Aryani, et al. (2009, hlm 393) perawat dalam memberikan obat harus

memperhatikan prinsip enam “ benar” yang sudah menjadi prosedur wajib

sebelum memberikan obat, yaitu : benar pasien, benar obat, benar dosis, benar

cara, benar waktu, dan benar dokumentasi.

Menurut peneliti, dalam pemberian obat harus memperhatikan prinsip

enam benar dalam pemberian obat di rumah salah satunya benar dosis obat yang

diberikan agar tidak terjadi overdosis obat yang dapat mengakibatkan masalah

baru yang akan merugikan partisipan bahkan keluarga yang terdiagnosis


rheumathoid artritis.

4.4.2 Menyiapkan Makanan dan Minuman

Kedua partisipan memberikan obat kepada keluarga yang terdiagnosis

rheumathoid artritis dengan cara yang berbeda, menyiapkan makanan dan

minuman merupakan suatu cara tersendiri yang dilakukan partisipan agar

keluarga yang terdiagnosis rheumathoid artritis mampu dan mau meminum obat.

Dalam penelitian partisipan mengatakan Tn.N meminum obat dengan cara

ditelan dengan makanan, dan Ny.S meminum obat dengan cara ditelan

bersamaan dengan air.

Tindakan yang dilakukan keluarga sesuai dengan salah satu tugas keluarga

di bidang kesehatan yaitu merawat keluarga yang mengalami ganguan kesehatan

(Suprajitno, 2004). Katzung (2001, hlm 5) mendefinisikan obat merupakan bahan

yang dapat menyebabkan perubahan dalam fungsi biologis tubuh, melalui proses

kimia. Hal yang penting dalam proses penyembuhan , pemulihan dan pencegahan

dari suatu penyakit salah satu bagian paling terpenting yaitu pemberian obat

(Setiawati, Suyatna & Gun, 2008, hlm 1)

Menurut peneliti cara yang dilakukan oleh partisipan dalam memberikan

obat kepada keluarga yang terdiagnosis rheumathoid artritis merupakan cara

yang baik dan efisisien sehingga keluarga yang terdiagnosis rheumathoid

artritis mampu dan mau untuk meminum obat, karena pemulihan dan

pencegahan suatu penyakit salah satunya yaitu dengan meminum obat.

4.4.3.Belajar dari Pengalaman

Dalam pemberian obat pada keluarga yang terdiagnosis rheumathoid

artritis kedua partisipan mengungkapkan belum tau pasti efek samping dari obat
yang tidak diharapkan atau dampak yang membahayakan tubuh jika obat diminum

terus- menerus. Tetapi partisipan mengungkapkan dari hasil pemberian obat yang

dirasakan terdapat manfaat atau hasil positif yang dapat mendukung kesembuhan

keluarga yang terdiagnosis rheumthoid artritis seperti nyeri berkurang dan

bengkak pada sendi mulai hilang, tatapi salah satu partisipan juga

mengungkapkan jika terus meminum obat akan merusak ginjal.

Menurut Suprajitno (2004), sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan,

keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan

dilakukan salah satunya adalah mengenal masalah kesehatan keluarga. Kesehatan

merupakan kebutuhan yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala

sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah seluruh kekuatan sumberdaya

dan dana keluarga habis. Keluarga perlu mengenal keadaan kesehatan dan

perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun

yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian keluarga.

Apabila menyadari adanya perubahan keluarga, perlu dicatat kapan terjadinya,

perubahan apa yang terjadi, dan seberapa besar perubahannya.

Hal ini belum sesuai dengan Penerapan prinsip enam “benar” yang sangat

di perlukan oleh perawat sebagai pertanggung jawaban secara legal terhadap

tindakan yang dilakukan sudah sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan.

Mengingat peran yang memberikan langsung kepada pasien dan memberikan

arahan kepada keluarga pasien dan jika sudah sesuai dengan standar prosedur

yang sudah di tetapkan maka akan dapat meminimalkan terjadinya efek samping

atau kesalahan dalam memberikan obat (Lestari, 2009 : 4).


Menurut peneliti partisipan kurang memahami dan mengerti tentang efek

samping yang ditimbulkan oleh obat yang di berikan kepada keluarga yang

terdiagnosis rhumathoid artritis, kedua partisipan hanya tau semenjak meminum

obat keadaan keluarga yang terdiagnosis rheumathoid artritis menjadi membaik

dengan berkurangnya nyeri dan hilangnya bengkak pada sendi, dan partisipan lain

mengatakan kemungkinan dapat merusak ginjal, padahal setiap obat memiliki

efek samping yang berbeda- beda tergantung efek tubuh dalam merespon obat

tersebut.

4.4.4 Istirahat Sesuai Kemauan

Istirahat cukup sudah diterapkan salah satu partisipan yaitu Ny.D kepada

ayahnya, tetapi terkadang ayahnya sering melanggar dengan pergi kesawah untuk

mencangkul dan melakukan olah raga seperti pimpong bersama temannya. Tn.B

belum menerapkan pola istirahat cukup kepada istrinya dengan alasan kesibukan

dalam bekerja, sehingga jarang mengontrol pola istirahat istrinya.

Pendapat ini belum sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Ismiadi (2004), bahawa dalam mencegah kekambuhan penyakit rhumathoid

artritis yaitu dengan pendidikan serta penerapan istirahat cukup kepada pasien

dan keluarga.

Menurut peneliti belum semua partisipan mengerti dan peduli terhadap

kesehatan keluarga yang terdiagnosis rheumathoid artritis yang berhubungan

dengan istirahat cukup padahal, istirahat cukup sangat diperlukan oleh tubuh.

Selain itu kedua keluarga yang terdiagnosis rheumathoid artritis tidak terlalu

peduli dengan kebutuhan istirahat cukup, tetapi mereka memilih untuk

melakukan aktifitas, dan kedua terdiagnosis rheumathoid artritis hanya menjalani


pola istirahat sesuai kemauan mereka masing- masing.

4.4.5 Melakukan Kegiatan Senam dan Aktifitas Sehari-hari

Latihan fisik yang dilakukan oleh penderita rheumthoid artritis dalam

kategori sedang yang dilakukan sehari – hari dan dengan melakukan kegiatan

seperti senam dan olahraga membuat berkurangnya kekakuan pada sendi,

penderita rheumathoid artritis melakukan olah raga minimal 10-20 menit selama

sehari. Dengan latihan fisik berupa senam rheumathoid dan melakukan aktifitas

sehari- hari seperti mencangkul dan olah raga pimpong. Dari hasil penelitian

salah satu partisipan mengatkan jika keluarga yang terdiagnosis rheumthoid

artritis melakukan kegiatan secara berlebihan akan menimbulkan nyeri pada

persendian.

Menurut teori Sarwono (2001) dalam jurnal Barowadi, Rottiedan Malara

mengemukakan bahwa rematik lebih sering terjadi pada orang mempunyai

aktivitas yang berlebih dalam menggunakan lutut seperti pedagang keliling, dan

pekerja yang banyak jongkok karena terjadi penekanan yang berlebih pada lutut,

umumnya semakin berataktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam kegiatan

sehari-hari. Senam rheumatoid merupakan salah satu terapi non farmakologi yang

bertujuan untuk mempertahankan lingkup gerak sendi secara maksimal,

mempertahankan pergerakan sendi dan kekuatan otot-otot sekitar lutut,

mengurangi resiko cidera dan menecegah timbulnya nyeri pada persendian

(Soeroso, 2006).

Menurut peneliti latihan fisik yang dilakukan dan diterapkan oleh keluarga

yang terdiagnosis rheumathoid artritis sudah baik, tetapi ada salah satu latihan

fisik yang harus di kurangi seperti mencangkul, karena jika melakukan kegiatan
yang berat akan membuat kerja tubuh seperti otot dan persendian akan semakin

berat sehingga menimbulkan nyeri.

4.4.6 Makan dalam jumlah yang cukup dengan mengurangi makanan yang

tidak baik

Mempertahankan berat badan ideal dinyatakan oleh partisipan

berdasarkan kebiasaan sehari – hari dalam mengontrol berat badan keluarga yang

terdiagnosis rheumathoid artritis, deangan cara mengatur pola makan dengan

memberikan porsi makan yang cukup, dengan gizi seimbang dan menguri jenis

makanan yang bersantan serta jeroan. Hal tersebut dinyatakan oleh partisipan

karena penderita rheumathoid artritis yang tergolong obesitas, mengurangi berat

badan dapat menurunkan tingkat nyeri yang dialami oleh penderita rheumathoid

artritis. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti kedua partisipan

sudah dapat mengontrol berat badan ideal. Pendapat ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Ismiadi (2004), bahawa dalam mencegah kekambuhannya

dengan pendidikan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit Rheumathoid

arthritis mempertahankan berat badan idial.

Menurut Putri (2012) Pola makan yang salah menjadi salah satu pencetus

terjadinya kekambuhan. Di mana pola makan yang sehat sebaiknya dimulai

dengan mengadakan perubahan-perubahan kecil pada makanan yang kita pilih

juga mengurangi makanan yang dapat mempengaruhi kekambuhan rheumatik

seperti produk kacang-kacangan, seperti susu kacang, kacang buncis, organ dalam

hewan seperti; usus, hati, limpa, paru,otak, dan jantung, makanan kaleng seperti

sarden, komet, sapi, makanan yang dimasak menggunakan santan kelapa,

beberapa jenis buah-buahan seperti durian, air kelapa muda dan produk olahan
melinjo, minuman seperti alcohol dan sayur seperti kangkung dan bayam.

Menurut peneliti terdapat kolerasi antara fakta dan teori yang terjadi dalam

partisipan, bahwa pengaturan makan, pemilihan jenis makanan, dan

mempertahankan berat badan ideal menjadi penting guna mencegah serangan

rheumatoid arthtritis yang berulang.

Menurut peneliti, upaya keluarga dari masing-masing partisipan dalam

mempertahankan berat badan ideal pasien sudah sangat mendukung dan perlu

dipertahankan terbukti dengan turunnya berat badan pasien mendekati ideal dan

apabila terjadi kesalahan dalam diit pasien akan merasa nyeri pada bagian

persendiannya.

4.5 Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian upaya keluarga merawat lansia dengan

rheumathoid artritis di rumah, peneliti menemukan kesulitan atau hambatan

sehingga menjadi keterbatasan dalam studi kasus ini antara lain:

1. Keterbatasan dari proses wawancara kemampuan peneliti dalam proses

tersebut masih belum optimal. Pada pertama kali melakukan wawancara

peneliti kurang mengembangkan pertanyaan, jadi peneliti terlalu fokus pada

pertanyaan yang sudah dibuat tersebut sehingga menjadi monoton dan

pembahasan kurang berkembang.

2. Waktu penelitian yang relatif pendek dan singkat juga menjadi keterbatasan

dalam penelitian. Hal ini menyebabkan hasil dari penelitian kurang

mendalam dan deskripsi narasi menjadi terbatas.

3. Peneliti tidak mengobservasi penatalaksanaan pemberian obat, pola aktivitas,

pola istirahat yang dilakukan partisipan kepada kelarga yang terdiagnosa


rheumatoid artritis selama 24 jam melainkan hanya sekali waktu saat

dilakukan pemberian tindakan saja. Sehingga hasil observasi

penatalaksanaan partisipan terhadap kelarga yang terdiagnosa rheumatoid

artritis kurang detail atau menyeluruh.

Anda mungkin juga menyukai