Anda di halaman 1dari 28

TUGAS KELOMPOK

MENGATASI PROBLEM DALAM RUMAH TANGGA

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Muamalah

Disusun Oleh

Eneng Tatu Fatwamanik (2016353621)

Wenny Nila Sari (2016353630)

JURUSAN AKUNTANSI

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI

AHMAD DAHLAN JAKARTA

2018
DAFTAR ISI

PEMBAHASAN

A. Tahkim dan Hakam ................................................................................... 1

B. Fasakh, Thalaq dan Khulu’........................................................................ 3

C. Iddah (Masa Menungu) dan Rujuk ........................................................... 12

D. Seputar Monogami dan Poligami Serta Hubungannya Dengan Cita-Cita

Keluarga Sakinah ...................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

i
PEMBAHASAN

A. Tahkim dan Hakam (Juru Damai)


a. Tahkim
1
Dalam KBBI pengertian tahkim adalah perihal menjadikan hakim.
Tahkim berasal dari kata hakkama. Secara umum, tahkim memiliki
pengertian yang sama dengan Arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni
pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang
berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara
damai. Orang yang menyelesaikannya disebut hakam.2

Dasar Hukum Tahkim


Dasar hukum tahkim terdapat dalam A1-Qur’an, hadis, dan ijmak
ulama. Al-Qur’an yang melandasi tahkim ialah: Surah an-Nisa’ (4) ayat 35.
Dalam ayat tersebut Allah SWT memberikan petunjuk cara dan langkah
penyelesaian perselisihan antara suami istri. Ayat-ayat lain yang ada
kaitannya dengan tahkim ialah surah an-Nisa’ (4) ayat 114 dan 128 dan
surah al-Hujurat (49) ayat 9.3
Dengan kata lain, tahkim merupakan lembaga yang diakui oleh syara’.
Bahkan menurut lbnu Qayyim al-Jauziah, seorang ulama terkemuka dalam
Mazhab Hambali bahwa salah satu atsar Umar bin al-Khattab
menyebutkan: “Selesaikanlah pertikaian sehingga mereka berdamai,
sesungguhnya penyelesaian melalui pengadilan akan menyebabkan
timbulnya rasa benci di antara mereka.” Dalam riwayat lain disebutkan,
Umar berkata: “Selesaikanlah perselisihan apabila di antara pihak-

11
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [online] diakses dari
https://kbbi.web.id/tahkim pada Minggu, 8 Juli 2018 pukul 14:01
2
Iman Jauhari, Penetapan Teori Tahkim dalam Penyelesaian Sengketa Hak Anak (hadlanah) di
Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 45 No 11, Juli-
Desember 2011, hal 1395.
3
Ibid, 1397.

1
pihaknya mempunyai hubungan kerabat. Sesungguhnya penyelesaian
melalui peradilan akan melahirkan kemarahan antara mereka.”4
b. Hakam

‫َوإ ْن ِخ ْف م ُْت ِشقَ َاق بَيِْنِ ِ َما فَابْ َعثموإ َح ََكًا ِم ْن َأه ِ ِِْل َو َح ََكًا ِم ْن َأ ْه ِلهَا إن يم ِريدَ إ إ ْص ََل ًحا يم َو ِف ِق‬
ِ ِ ِ
53:4 - ‫ِريإ‬ ً ‫إَّلل ََك َن عَ ِلميًا َخب‬ َ ‫إَّلل بَيِْنَ م َما ۗ إ هن ه‬
‫هم‬
ِ
“ dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru
damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai) itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri
itu. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti” (QS. An-Nisa: 35)

Ayat ini menjelaskan bahwa peran dan fungsi ḥakam dalam peradilan
Islam artinya juru damai, yakni juru damai yang dikirim oleh dua belah
pihak suami dan istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa
diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara kedua
suami istri tersebut.5

Pengangkatan ḥakam dalam penyelesaian sengketa perkawinan


khususnya shiqāq juga telah diintegrasikan dalam proses beracara di
Pengadilan Agama. Hal itu dibuktikan dengan diaturnya masalah
pengangkatan ḥakamayn dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 76 Ayat (2).
Namun, pada kenyataannya jarang sekali atau hampir tidak ada hakim
mengangkat ḥakamayn sebagaimana maksud pasal tersebut di atas. Secara
yuridis formal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 76 telah menetapkan
keberadaan ḥakam dalam perkara perceraian yang eksistensinya sama
dengan mediator. Demikian halnya secara normatif, mediator atau ḥakam
sudah dikenal sejak awal pembentukan hukum Islam, baik dalam perkara

4
Ibid,.
5
Yayah Yarotul Salamah, Urgensi Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama,
Ahkam: Vol. XIII, No.1, Januari 2013, hal 82.

2
perceraian secara khusus maupun perkara perdata atau bentuk perkara
lainnya.6

Perbedaan antara hakim dan hakam ialah: 7

1) Hakim harus memeriksa dan meneliti secara seksama perkara yang


diajukan kepadanya dan dilengkapi dengan bukti, sedangkan hakam
tidak harus demikian.
2) Wilayah dan wewenang hakim ditentukan oleh akad pengangkatannya
dan tidak tergantung kepada kerelaan dan persetujuan pihak-pihak
yang diadilinya, sedangkan hakam mempunyai wewenang yang
terbatas pada kerelaan dan persetujuan pihak-pihak yang mengangkat
dirinya sebagai hakam.
3) Tergugat harus dihadirkan di hadapan hakim, sedangkan dalam tahkim
masing-masing pihak tidak dapat memaksa lawan perkaranya untuk
hadir di majelis tahkim, kedatangan masing masing pihak tersebut
berdasarkan kemauan masing-masing.
4) Putusan hakim mengikat dan dapat dipaksakan kepada kedua belah
pihak yang berperkara, sedangkan putusan hakam akan dilaksanakan
berdasarkan kerelaan masing-masing pihak yang berperkara.
5) Di dalam tahkim ada beberapa masalah yang tidak boleh diselesaikan,
yaitu kasus hudud dan qisas, sedangkan di dalam peradilan
(resmi/negara) semua persoalan dapat diperiksa dan diselesaikan
(diputus).

B. Fasakh, Thalaq, dan Khulu’


a. Fasakh

Fasakh adalah pembatalan ikatan pernikahan oleh pengadilan agama


berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri atau suami yang dapat dibenarkan

6
Ibid.
7
Iman Jauhari, Op. Cit, hal 1398.

3
oleh pengadilan agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur
menyalahi hukum pernikahan8

Fasakh merupakan salah satu bentuk pemutusan hubungan perkawinan


yang dapat digunakan oleh suami maupun isteri untuk melakukan
perceraian. Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa fasakh dalam arti
bahasa adalah batal atau rusak, sedangkan menurut istilah ilmu fiqh
diartikan sebagai pembatalan/pemutusan nikah dengan keputusan
hakim/muhakkam.9

Dasar Hukum Fasakh

Dasar hukum pembatalan perkawinan (fasakh) di Indonesia


telah diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yaitu “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”10

Dalam islam, dasar hukum tentang fasakh salah satunya terdapat dalam
HR. Ahmad:

‫عن مجيل بن زيد بن كعب أن رسول هللا صىل هللا عليه وسمل تزوج إمرأة من بين‬
‫غفار فلام دخل علهيا فوضع ثوبه وقعد عىل إلفرإش أبرص بكشجها بياضا فنحاز عن‬
}‫ {روإه أمحد‬.‫إلفرإش مث قال خذى عليك ثيابك ومل يأخذ مما أاتها شيئا‬
“Dari jamil bin Zaid bin Ka’ab r.a bahwasannya Rosulullah SAW pernah
menikahi seorang perempuan bani gafar, maka tatkala ia akan bersetubuh
dan perempuan itu telah yang meletakkan kainnya, dan ia duduk di atas
pelaminan, kelihatannya putih (balak) dilambungnya lalu ia berpaling
(pergi dari pelaminan itu) seraya berkata, “ambillah kain engkau,

8
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [online] diakses dari
https://kbbi.web.id/fasakh pada Kamis 5 Juli 2018 pukul 21:54
9
Jamaluddin dan Nanda Amalia, Buku Ajar Hukum Perkawinan, (Sulawesi: Unimal Press, 2016),
hal 92.
10
Pasal 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

4
tutupilah badan engkau, dan beliau telah mengambil kembali barang yang
telah diberikan kepada perempuan itu”. (HR.Ahmad)

Sebab-sebab Fasakh’

Secara garis besar ada dua sebab yang dapat menimbulkan fasakh-nya
nikah: 11

1) Sebab adanya cacat dalam aqad, seperti: Setelah berlangsungnya aqad


nikah, kemudian diketahui bahwa mempelai perempuan adalah saudara
sesusuan dari mempelai lelaki sendiri.
2) Sebab yang timbul kemudian, seperti: Setelah berlangsungnya
pernikahan, kemudian salah seorang dari suami-isteri itu menjadi
murtad (keluar dari agama Islam): Atau ketika suami masuk Islam,
ternyata isteri tidak mengikuti jejak sang suami, yakni tetap dalam
agamanya yang lama.

Jika terjadi kasus-kasus seperti di atas itu, maka sebenarnya


perkawinan tersebut telah menjadi batal atau rusak menurut hukum, sejak
sa'at diketahui sebab-sebabnya atau pada sa'at timbulnya sebab itu tanpa
melalui putusan/penetapan Pengadilan.12

Selain itu, fasakh juga dimungkinkan terjadi karena alasan-alasan berikut:

1) Tidak adanya nafkah bagi istri.


2) Terjadinya cacat atau penyakit yang mengganggu hubungan suami
istri.
3) Penderitaan yang dialami istri, baik lahir maupun batin, karena tingkah
laku suaminya.

11
A.R. Idham Kholid, Di Persimpangan Jalan Antara Melanjutkan Perceraian atau Memilih Rujuk
pada Masa Iddah, Ejournal INSKLUSIF Edisi 1 Vol.1, 2016, hal 10.
12
Ibid., hal 11.

5
Pisahnya suami istri karena fasakh berbeda dengan karena talak.
Fasakh mengakibatkan tali perkawinan menjadi putus seketika itu juga.
Tidak ada istilah rujuk dalam fasakh ini. Sebagaimana khulu', jika suami
ingin kembali kepada istrinya maka harus dengan akad nikah baru. Dengan
demikian, terjadinya fasakh antara suami istri tidaklah berarti mengurangi
bilangan talak. Dalam rangka membedakan pengertian antara perceraian
karena talak dan fasakh, ulama Hanafiah membuat sebuah rumusan umum
yang mengatakan bahwa perceraian karena suami tanpa adanya pengaruh
istri disebut talak, sedangkan perceraian bukan karena suami atau karena
suami tetapi dengan pengaruh istri disebut fasakh.13

b. Thalaq

Takrif thalaq menurut Bahasa Arab adalah melepaskan ikatan. Yang


dimaksud disini ialah melepaskan ikatan perkawinan.14

Telah terang dan jelas dari uraian-uraian yang lalu bahwa tujuan
perkawinan itu:

1. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempuna.


2. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.
3. Sebagai satu tali yang amat teguh guna meperkokoh tali persaudaraan
antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat
perempuan (istri) sehingga pertalian itu akan menjadi satu jalan yang
membawa pada bertolong-tolongan antara satu kaum (golongan)
dengan yang lain.

Sekiranya dalam pergaulan antara suami-istri tidak dapat mencapai


tujuan-tujuan tersebut, maka pergaulan keduanya menjadikan sebab
perpisahan antara satu keluarga dengan yang lain. Disebabkan ketiada
sepakatan antara suami-istri, maka dengan keadilan Allah SWT.

13
Ibid.
14
Sulaiman Rasjid, “Fiqh Islam”, (Bandung: CV. Sinar Baru Bandung, 1986), hal. 271.

6
Dibukakannya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu
perceraian. Mudah-mudahan dengan adanya jalan itu terjadilah ketertiban
dan ketentraman antara kedua belah pihak; dan supaya masing-masing
dapat mencari susunan atau pasangan yang cocok, yang dapat mencapai
yang dicita-citakan.

Teristimewa pula sekiranya perselisihan antara suami-istri itu


menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya atau
terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan
ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi, maka thalaq
(perceraian) itulah jalan satu-satunya yang jadi pemisah antara mereka.
Sebab menurut asalnya hukum thalaq itu makhruh adanya, berdasarkan
hadis Nabi Muhammad saw.

Sabda Rasullah saw.:

ِ ‫ َع ِن إلنه ِ ِب صىل هللا عليه وسمل قَا َل " َأبْغ مَض إلْ َح ََللِ إ ََل ه‬،‫َع ِن إ ْب ِن م َُع َر‬
‫إَّلل تَ َع َاَل‬
ِ
. " ‫إلط ََل مق‬ ‫ه‬
Dari Ibnu ‘Umar, katanya, telah bersabda Rasulullah saw.: “Sesuatu
yang halal yang amat dibenci Allah ialah thalaq. (Riwayat Abu Dawud
dan Ibnu Majah)

Sesudah itu, dengan menilik kemaslahatan atau kemudaratannya, maka


hukum thalaq ada empat perkara:15

1. Wajib, apabila terjadi perselisihan antara suami-istri sedangkan dua


hakim yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu
supaya keduanya bercerai.
2. Sunat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya
(nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga kehormatan
dirinya.
“Seorang laki-laki telah datang kepada Nabi saw., dia berkata “Istri-
ku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya.” Jawab

15
Sulaiman Rasjid, Op. Cit, hal 372.

7
Rasulullah saw.: “Hendaklah engkau ceraikan saja perempuan itu.”
(Dari Muhadzdzab Juz II hlm. 78)
3. Haram (Bid’ah), dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan thalaq
sewaktu si istri dalam haidh. Kedua, menjatuhkan thalaq sewaktu suci
yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu,
4. Makhruh, yaitu hukum ada dari thalaq yang tersebut di atas.

Lafaz Thalaq

Kalimat yang dipakai untuk perceraian ada dua macam:16

1. Sharih (terang), yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang
dimaksud adalah memutuskan ikatan perkawinan, seperti kata si suami:
“engkau terthalaq,” atau “saya ceraikan engkau.” Kalimat yang sharih
(terang) ini tidak perlu dengan niat, berarti apabila dikatakan oleh
suami, berniat atau tidak berniat, keduanya terus bercerai, asal
perkataannya itu bukan berupa hikayat.
2. Kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang masih ragu-ragu, boleh
diartikan untuk perceraian nikah atau yang lain, seperti kata suami:
“pulanglah engkau kerumah keluargamu”, atau “pergilah dari sini”,
dan sebagainya. Kalimat sindiran ini tergantung pada niat, artinya kalau
tidak diniatkan untuk perceraian nikah, tidaklah jatuh thalaq. Kalau
diniatkan untuk menjatuhkan thalaq barulah menjadi thalaq.

Bilangan Thalaq

Tiap-tiap orang yang merdeka berhak menthalaq istrinya dari thalaq


satu sampai tiga. Thalaq satu atau dua masih boleh rujuk (kembali)
sebelum habis iddahnya, dan boleh kawin kembali sesudah iddah.

:3::2 - ۗ ‫ْسحيٌ ِِب ْح َس ٍان‬ ٍ ‫إلط ََل مق َم هراتَ ِن ۖ فَا ْم َساكٌ ِب َم ْع مر‬
ِ ْ َ ‫وف َأ ْو ت‬ ‫ه‬
ِ ِ
“Thalaq itu dua kali, sesudah itu suami dibei kelonggaran untuk rujuk
(kembali) dengan baik atau (kalau tidak ingin kembali) hendaklah
dilepaskan dengan baik.” (QS. Al-Baqarah:229) (QS. Al-Baqarah: 229)

16
Sulaiman Rasjid, Op.Cit, hal 373.

8
Adapun thalaq tiga tidak boleh rujuk atau kawin kembali, kecuali
apabila si perempuan telah bernikah dengan orang lian dan setelah dithalaq
pula oleh suaminya yang kedua itu.17

Firman Allah swt.:

‫فَان َطلهقَهَا فَ ََل َ َِت ُّل َ مَل ِمن ب َ ْعدم َح ه َّٰت تَن ِك َح َز ْو ًجا غَ ْ َري مه ۗ فَان َطلهقَهَا فَ ََل مجنَ َاح عَلَهيْ ِ َما َأن‬
ِ ْ ِ ِ
‫ون‬ ‫م‬ َ ‫ل‬‫ع‬‫ي‬ ‫م‬ ‫و‬ َ
َ ‫ه مَِ َ ْ ٍ َْ م‬‫ق‬‫ل‬ِ ‫ا‬ ‫ِنم‬ ‫ي‬ ‫ب‬‫ي‬ ِ
‫إَّلل‬ ‫د‬
‫م‬ ‫و‬ ‫دم‬ ‫ح‬ َ
‫ْل‬ ِ
‫ت‬ ‫و‬
‫َ م َ ه َ م‬ ۗ ِ
‫إَّلل‬ ‫د‬‫و‬ ‫دم‬ ‫ح‬ ‫ا‬ ‫مي‬‫ق‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫ن‬‫أ‬َ ‫ا‬‫ه‬ ‫ن‬ َ
‫ظ‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ‫ا‬ ‫ع‬ َ
َ َ َ َ‫ي‬
‫ج‬ ‫إ‬
‫َت‬
ِ
“Maka jika diceraikannya (oleh suami kedua), tidaklah beralangan bagi
suami pertama kembali kepada bekas istrinya itu jika keduanya ada
sangkaan baik untuk menjalankan aturan Allah.” (QS. Al-Baqarah: 230)

Sungguh perempuan itu boleh kawin kembali dengan suaminya yang


pertama jika perempuan itu sudah nikah dengan laki-laki lain, serta sudah
dicampur dan sudah pula diceraikan oleh suaminya yang kedua itu, dan
sudah habis pula iddahnya dari perceraian yang kedua itu dengan sebenar-
benarnya menurut kemauan laki-laki yang kedua, dan dengan kesukaan
perempuan yang sebenarnya, bukan karena kehendak suami yang pertama.
Tegasnya bukan dengan maksud supaya ia dapat kawin kembali dengan
laki-laki yang pertama, memang betul-betul dengan niat akan kekal, tetapi
untung dan nasib tidak mengizinkan perkawinan yang kedua ini
berkekalan. Adapun kalau disengaja supaya dia dapat kembali kepada
suami yang pertama, perbuatan dan sengaja yang seperti ini tidak diizinkan
oleh agama Islam, malahan dimurkainya.

“Telah mengutuk Rasulullah saw. Akan orang yang membuat muhlil (cinta
buta), begitu juga kepada orang yang menyuruh membuat cinta buta itu
(laki-laki yang pertama).” (Riwayat Ahmad, Nasai, dam Tirmidzi)

17
Ibid, hal 374.

9
Istisna

Istisna artinya mengurangkan maksud perkataan yang telah terdahulu


dengan perkataan yang kemudian. Istisna dalam kalimat thalaq hukumnya
sah, dengan syarat berhubungan pekataan yang pertama dengan yang
kedua, dan kalimat yang kedua tidak menghabisi maksud kallimat yang
pertama. Umpamanya, si suami berkata kepada si istri: “Engkau terthalaq
tiga melainkan dua,” jatuhlah thalaq satu. Atau; “Engkau terthalaq tiga
terkecuali satu,” jatuhlah talaq dua. Tetapi kalau dikatakannya, “Engkau
dithalaq tiga terkecuali tiga,” jatuh jadi tiga juga karena kalimat yang
kedua menghabisi maksud kalimat yang pertama.18

Orang yang tidak sah menjatuhkan thalaq ada empat macam: (1) anak
kecil, (2) orang gila, (3) orang yang tidur, (4) orang yang dipaksa.

Sabda Rasulullah saw.:

“Perbuatan tiga orang dipandang tidak sah: (1) orang yang idur sampai
dia bangun, (2) anak kecil sehingga balig, (3) orang yang gila sehingga
dia sembuh.” (Riwayat Abu Dawud dan Trimidzi)

Adapun mengenai orang yang dipaksa dengan sebenarnya beralasan


sabda Nabi Muhammad saw.:

“tidak sah thalaq dan memerdekakan bagi orang yang dipaksa,” (Riwayat
Abu Dawud dan Ibnu Majah)

c. Khulu’ (thalaq tebus)

Thalaq tebus artiya thalaq yang diucapkan oleh suami dengan


pembayaran dari pihak istri kepada suami.

Perceraian secara ini diperbolehkan dalam agama kita dengan disertai


beberapa hukum perbedaan dengan thalaq biasa. Firman Allah swt.

18
Ibid, hal 377.

10
ِ ‫َو ََل َ َِي ُّل لَ م ُْك َأن تَأْخ ممذوإ ِم هما أتَيْ مت مموه همن َشيْئًا إ هَل َأن َ ََيافَا َأ هَل يم ِقميَا محدم و َد ه‬
‫إَّلل ۖ فَا ْن ِخ ْف م ُْت‬
ِ َ ِ ِ
ِ
‫ْل محدم و مد هإَّلل فََل تَ ْعتَدم و َها َو َمن‬ ْ ِ ِ ‫َأ هَل يم ِقميَا محدم و َد ه‬
َ ‫إَّلل فَ ََل مجنَ َاح عَلَهيْ ِ َما فميَا إفْتَدَ ْت ِبه ۗ ت‬
ِ
‫إَّلل فَأُولَ َٰ ِئ َك م مُه ه‬
َ ‫إلظا ِل مم‬
‫ون‬ ِ ‫يَتَ َع هد محدم و َد ه‬
“Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan
kepada istri-istri kamu (baik yang berupa mahar atau nafkah dan lain-
lain) kecuali jika keduanya suami istri khawatir akan tidak menjalankan
perintah Allah (yang bersangkutan dengan kewajiban dan hak masing-
masing), maka jika kamu keduanya takut tidak menjalankan perintah
Allah, tidak ada halangan atas kedua nya untuk mengorbankan harta
benda guna penebus perceraian itu”. (Al-Baqarah: 229)

Thalaq tebus ini boleh dilakukan, baik sewaktu suci maupun sewaktu
haid, karena biasanya thalaq tebus itu terjadi dari kehendak dan kemauan
si istri. Adanya kemauan ini menunjukan bahwa dia rela walaupun iddah
nya menjadi panjang. Apalagi biasanya thalaaq tebus itu tidak terjadi
selain karena perasaan perempuan yang tidak dapat dipertahankannya lagi.
Perceraian yang dilakukan secara thalaq tebus ini berakibat, bekas suami
tidak dapat ruju’ lagi, dan tidak boleh menambah thalaq sewaktu iddah
hanya dibolehkan kawin kembali dengan akad baru.

Sebagian ulama membolehkan thalaq tebus baik terjadinya keinginan


itu dari pihak istri atau dari pihak suami karena tersebut dalam ayat di atas:
“tidak ada halangan atas keduanya”.

Sebagian ulama berpendapat tidak boleh thalaq tebus kecuali apabila


keinginan bercerai itu datang dari pihak istri karena dia benci kepada
suaminya, dan bukan disebabkan kesalahan suami. Sebab, kalau thalaq
tebus itu dari kehendak suami atau karena tekanan dari suami berarti
paksaan kepada istri untuk mengorbankan hartanya guna keuntungan
suami dan kalau suami yang ingin bercerai atau suami benci pada istrinya,
ia dapat bertindak dengan perceraian yang biasa sebab hak thalaq itu ada
di dalam kekuasaannya. Pendapat ini berdasarkan firman Allah swt.

11
‫دُّت ْإس ِت ْبدَ إ َل َز ْو ٍج هم ََك َن َز ْو ٍج َوأتَ ْي م ُْت إ ْحدَ إه همن ِق َنط ًارإ فَ ََل تَأْخ ممذوإ ِم ْن مه َشيْئًا‬
‫َوإ ْن َأ َر ُّ م‬
ِ ِ
‫َض ب َ ْعضم م ُْك إ َ َٰل ب َ ْع ٍض َو َأخ َْذ َن ِم منُك‬
ٰ َ ْ‫ َو َك ْي َف تَأْخ ممذون َ مه َوقَدْ أَف‬-.‫َأتَأْخ ممذون َ مه ُبم ْتَاًنً َوإثْ ًما ُّمبِينًا‬
ِ ِ ً ‫ِمي ً غَ ِل‬
‫ثَاقا يظا‬
“Jika kamu hendak mengganti istri yang lama dengan yang baru, dan telah
memberi kepada salah seorang diantara mereka harta yang banyak maka
janganlah kamu mengambil kembali harta yang telah kamu berikan itu
walau sedikit sekalipun. Adakah patut kamu ambil kembali harta itu
dengan jalan aniaya dan dosa yang nyata? Bagaimanakah kamu akan
mengambil kembali harta itu sedang kamu telah bergaul selapik-
seketiduran, dan mereka telah menaruh kepercayaan penuh kepadamu
dengan perkawinanmu itu? (QS. An-Nisa:20-21)

Mamaksakan Thalaq Tebus

Ketika menafsirkan ayat di atas, pengarang diktat “ayat al-ahkam”


yang ditetapkan difakultas syariah al-Azhar berkata: “semua fuqaha
berpendapat bahwa suami tidak boleh dipaksa menerima permintaan
thalaq tebus itu.” 19

C. Iddah (Masa Menunggu) dan Rujuk


a. Rujuk

Yang dimaksud rujuk ialah mengembalikan istri yang telah di talak


pada perkawinanyang asal sebelum diceraikan.20

Perceraian ada tiga :

1. Thalaq tiga ini dinamakan “bain kubra” , laki laki tidak boleh rujuk
lagi, tidak sah pula kawin lagi dengan bekas istrinya itu. Kecuali

19
Ibid, hal 380.
20
Ibid, hal 387.

12
apabila perempuan itu sudah menikah dengan orang lain serta sudah
campur, sudah diceraikan, dan sudah habis pula masa idahnya, barulah
suami yang pertama boleh menikahinya kembali.
2. Thalaq tebus dinamakan “bain sughra” suami tidak sah rujuk lagi,
tetapi boleh kawin kembali, baik dalam iddah ataupun sesedah habis
iddahnya.
3. Thalaq satu atau thalaq dua dinamakan “thalaq raj’i” artinya si suami
boleh rujuk kembali kepada istrinya selama si istri masih dalam iddah.

Hukum Rujuk

1. Wajib terhadap suami yang menceraikan salah seorang istrinya,


sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang di
thalaq.
2. Haram apabila terjadi dari sebab rujuknya itu menyakiti si istri.
3. Makruh kalau terusnya perceraian lebih baik dan berfaedah bagi
keduanya ( suami istri)
4. Jaiz (boleh) ini adalah hukum rujuk yang asli.
5. Sunat jika yang dimaksud oleh suami untuk memperbaiki keadaan
istrinya, atau karena rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya (suami
istri).

Rukun rujuk :

1. Istri: disyaratkan keadaan istri beberapa syarat:


a. Sudah dicampuri, karena istri yang belum dicampuri apabila di
thalaq, terus putus pertalian antara keduanya, si istri tidak
mempunyai iddah sebagaimana yang telah di jelaskan.
b. Keadaan istri yang di rujuk itu tertentu. Kalau suami menthalaq
beberapa istrinya, kemudian ia rujuk kepada seseorang dari mereka
dengan tidak ditentukan siapa yang dirujukkan, masa rujuknya itu
tidak sah.
c. Keadaan thalaq nya thalaq raj’i. Jika ia dithalaq dengan thalaq
tebus atau thalaq tiga, maka ia tidak dapat dirujuk lagi.
d. Terjadinya rujuk itu sewaktu istri masih dalam iddah.
Firman Allah swt :

ٌ ‫َوبم معولَُتم م هن َأ َح ُّق ِب َر ِد ِه هن ِِف َذَٰ ِ َِل‬

13
“Suami mereka berhak mengembalikan mereka pada perkawinan
dalam waktu iddah” (QS. Al-Baqarah : 228).

2. Suami: disyaratkan keadaan suami dengan kehendaknya sendiri,


artinya bukan dipaksa.
3. Saksi: Telah berselisih paham ulama, apakah saksi itu wajib, yang lain
mengatakan tidak wajib, hanya sunat.
Firman Allah swt:

ْ ‫وف َو َأ ْشهِدم وإ َذ َو ْي عَدْ لٍ ِم م‬


‫نُك‬ ٍ ‫فَا َذإ بَلَغ َْن َأ َجلَه همن فَأَ ْم ِس مكوه همن ِب َم ْع مر‬
ٍ ‫وف َأ ْو فَ ِارقموه همن ِب َم ْع مر‬
ْ ْ ِ ِ ِ ِ
ِ ِ ِ َ ْ ‫م‬ ِ َ ِ
‫إلشهَا َد َة هَّلل ذَٰ لُك يمو َعظم ِبه َمن َك َن يم ْؤم من ِِب هَّلل َوإل َي ْو ِم إلخ ِر َو َمن يَته ِق إ ه ََّلل‬ ‫َوأ ميموإ ه‬ ‫ق‬ َ
‫َ َْي َعل ه مَل َمخْ َر ًجا‬

“Apabila iddah mereka telah habis maka hendaklah kamu rujuk


dengan baik, atau teruskan perceraian secara baik pula, dan yang
demikian hendaklah kamu persaksikan kepada orang yang adil diantara
kamu, dan orang yang menjadi saksi itu hendaklah dilakukan
kesaksiannya itu karena Allah.” (QS. Al-Thalaq:2)

4. Sighat (lafaz): sighat ada dua:


a. Terang-teramgan, seperti dikatakan “saya kembali kepada istri
saya” atau “saya rujuk kepadamu”
b. Perkataan sindiran, seperti dikatakan: “Saya pegang engkau” atau
“Saya kawin engkau” atau sebagainya, tiap-tiap kalimat yang boleh
dipakai untuk rujuk atau untuk lainnya.

Disyaratkan sighat itu dikatakan tunai, berarti tidak digantungkan


dengan sesuatu. Umpamanya dikatakan: “saya kembali kepadamu jika
engkau suka,” atau “kembali kepadamu jika si anu datang,” rujuk yang
digantungkan dengan kalimat seperti seperti tersebut tidak sah.

Rujuk dengan perbuatan campur

Telah berlain lain pula pendapat ulama atas hukum rujuk dengan
perbuatan. Syafi’i berpendapat tidak sah, karena dalam ayat yang diatas,
Allah menyuruh agar rujuk itu dipersaksikan, sedangkan yang dapat

14
dipersaksikan hanya dengan sighat (perkataan). Perbuatan yang seperti itu
sudah pasti tidak dapat dipersaksikan oleh orang laik. Pendapat para ulama,
rujuk dengan perbuatan itu sah (boleh), mereka beralasan :

Firman Allah swt :


):3::2( ‫ِب َر ِد ِه هن‬ ‫َوبم معول َُتم م هن َأ َح ُّق‬
“Suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka” (Al-
Baqqarah:228).

Dalam ayat diatas tidak dikatakan rujuk itu dengan perkataan atau
perbuatan. Hukum mempersaksikan dalam ayat diatas hanya sunat, bukan
wajib, karenanya sepakat para ulama (ijma’) bahwa mempersaksikan
thalaq, ketika menthalq, tidak wajib,demikian pula hendaknya ketika
rujuk, apalagi rujuk itu berarti meneruskan perkawinan yang sama,
sehingga tidak perlu wali dan tidak perlu ridhanya yang dirujuki.
Mencampuri istri yang dalam iddah raji’yah itu halal bagi suami yang
menceraikannya. Menurut pendapat Abu Hanifah. Dasarnya karena dalam
ayat tersebut ia masih disebut suami.21

Peringatan

Rujuk itu sah meski tidak dalam ridhanya si perempuan dan tidak
sepengetahuannya, karena rujuk itu berarti mengekalkan perkawinan yang
telah lalu, buah dari iti. Kalau seorang perempuan di rujuk oleh suaminya,
sedangkan dia tidak tahu, kemudian setelah lepas iddahnya perempuan itu
menikah dengan laki laki lain karena dia tidak mengetahui bahwa
suaminya telah merujuknya, nikah yang kedua ini tidak sah dan batal
sendirinya. Perempuan tersebut harus dikembalikan kepada suaminya yang
pertama.

Sabda Rasulullah saw :

21
Ibid, hal 389.

15
“Barangsiapa di antara perempuan yang bersuami dua, maka dia adalah
untuk suaminya yang mula-mula di antara keduanya”.(Riwayat Ahmad)

Sungguh sah rujuk menurut pendapat yang diatas tersebut , tetapi


kalau hal itu menimbulkan kesulitan atau menyakiti si perempuan maka
sudah pasti si suami akan mendapat hukuman yang setimpal dengan niat
dan perbuatnnya. Ayat-ayat dan hadis di atas amat banyak yang
menerangkan bahwa suami wajib melakukan keadilan seadil-adilnya,
terlarang sangat melakukan sesuatu yang menyakiti si istri.

b. Iddah

Iddah berasal dari kata "addad”, menurut bahasa artinya menghitung.


Sedangkan menurut istilah syara' ialah masa menunggu seorang istri
selama waktu tertentu setelah terjadi talaq atau ditinggal mati oleh suami.
Seorang istri mendapatkan talaq atau perceraian dengan suaminya tidak
bloeh dengan segera menikah dengan laki-laki lain, ia harus menunggu
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan syariat Islam. Tujuannya iddah
ini adalah untuk mengetahui secara lebih nyata tentang nasab dari
kandungan perempuan yang ditalaq apabila perempuan tersebut sedang
hamil. Masa suci atau menunggu sampai anak dalam kandungannya
dilahirkan.22

Hukum Iddah

Bagi seorang istri yang mengalami talaq atau cerai, baik hidup atau pun
mati maka wajib menjalani masa iddah. Sebagaimana telah dijelaskan
dalam Al-qur'an :

22
Ust. Kholid Syamhudi, Masa Iddah Dalam Islam, Media Islam Salafiyyah Ahlusunnah wal
Jama’ah, diakses dari https://almanhaj.or.id/3668-masa-iddah-dalam-islam.html pada Rabu, 4
Juli 2018 pukul 22:20

16
‫ات ي َ َ ََتب ه ْص َن ِبأَن مف ِسه هِن ثَ ََلثَ َة مق مرو ٍء َو ََل َ َِي ُّل لَه همن َأن يَ ْك مت ْم َن َما َخلَ َق ه م‬
‫إَّلل ِِف‬ ‫َوإلْ مم َطل ه َق م‬
‫َأ ْر َحا ِمه هِن إن مك هن ي م ْؤ ِم هن ِِب ه َِّلل َوإلْ َي ْو ِم ْإل ِخ ِر َوبم معولَُتم م هن َأ َح ُّق ِب َر ِد ِه هن ِِف َذَٰ ِ َِل إ ْن َأ َرإ مدوإ‬
ِ ِ
ِ
- ‫إَّلل َع ِز ٌيز َحك ٌي‬ ٌ ْ‫هي‬َ ِ‫ال‬ ِ ِ ْ ِ ْ‫هي‬َ ِ ‫ه‬
‫إ ْص ََل ًحا َوله همن مثْل إَّلي عَل ِ هن ِبل َم ْع مروف َول ِلر َج عَل ِ هن د ََر َجة ۗ َو ه م‬ ‫م‬ ِ َ
ِ
"Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru' tidak boleh menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Dan suami-suami berhak merujuknya dalam masa menanti
itu , jika mereka para suami nenghendaki ishlah. Dan para mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan
tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (Q.S.Al-baqarah ayat
228)

Macam-macam Iddah

Istri yang telah bercerai dengan suaminya tetapi belum sempat


berhubungan suami istri, maka tidak akan dikenai iddah. Akan tetapi bila
pernah bergaul sebagaimana layaknya suami istri, maka wajib melakukan
iddah dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Bagi perempuan yang masih haid, maka iddahnya adalah tiga kali suci,
sebagaimana yang dijelaskan pada firman Allah tersebut diatas
b. Bagi perempuan yang sudah tidak haid lagi karena usia maupun
penyakit, maka iddahnya adalah selama tiga bulan. Sebagaimana
firman Allah :

‫َو هإلَل ِِئ ي َ ِئ ْس َن ِم َن إلْ َم ِح ِيض ِمن ِن َسائِ م ُْك إ ِن ْإرتَبْ م ُْت فَ ِعدهُتم م هن ثَ ََلثَ مة َأ ْشهم ٍر َو هإلَل ِِئ لَ ْم‬
ِ
َ ‫َ َِيضْ َن َو ُأ َوَل مت ْ َإل ْمحَالِ َأ َجلمه همن َأن يَضَ ْع َ ه َ َ َ ه ِ ه‬
‫إَّلل َ َْي َعل ه مَل ِم ْن َأ ْم ِر ِه‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫م‬‫و‬ ‫من‬ ‫ه‬ َ ‫ل‬ ْ
‫مح‬ َ ‫ن‬
ً ْ‫ي‬
‫مْسإ‬
" Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi, baik karena usia
maupun penyakit, maka iddahnya tiga bulan. Demikian pula

17
perempuan-perempuan yang belum mengalami haid".(Q.S.at-Talaq
ayat 4).

Adapun perempuan-perempuan yang tidak haid itu misalnya :

1. Masih kecil (belum baligh)


2. Sudah sampai umur tetepi belum haid
3. Sudah berusia lanjut sehingga tidak bisa haid lagi

c. Bagi wanita yang sedang mengandung, maka iddahnya sampai


melahirkan. Firman Allah :

‫َو ُأ َوَل مت ْ َإل ْمحَالِ َأ َجلمه همن َأن يَضَ ْع َن َ ْمحلَه همن‬
"Perempuan-perempuan yang sedang mengandung iddahnya sampai
melahirkan anaknya (Q.S.at-Talaq ayat 4)

d. Bagi wanita yang ditinggalkan mati suaminya dalam kenadaan tidak


mengandung, maka iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana
firman Allah :

ً ْ ‫ون َأ ْز َوإ ًجا ي َ َ ََتب ه ْص َن ِبأَن مف ِسه هِن َأ ْرب َ َع َة َأ ْشهم ٍر َوع‬
‫َْشإ ۖ فَا َذإ‬ ْ ‫و ََ ه ِإَّل َين يمتَ َوف ه ْو َن ِم م‬
َ ‫نُك َوي َ َذ مر‬
ِ
‫ون‬َ ‫إَّلل ِب َما تَ ْع َملم‬ ِ ‫بَلَغ َْن َأ َجلَه همن فَ ََل مجنَ َاح عَلَ ْي م ُْك ِفميَا فَ َعلْ َن ِِف َأن مف ِسه هِن ِِبلْ َم ْع مر‬
‫وف ۗ َو ه م‬
- ٌ‫َخبِري‬
"Orang yang meninggal diantara kamu, sedang mereka meninggalkan
istri, iddahnya empat bulan sepuluh hari".(Q.S.Al-Baqarah ayat
234)

e. Wanita yang terkena darah Istihadhah


Istihadhah adalah darah yang berasal dari urat yang pecah / putus
dan keluarnya bukan pada waktu haid/nifas tetapi terkadang juga keluar
pada masa haid dan saat nifas, karena dia adalah darah berupa penyakit,
maka tidak akan berhenti mengalir sampai wanita itu sembuh darinya.

Berbeda dengan darah haidh, darah istihadhah mempunyai ciri


warnanya merah, baunya seperti bau darah biasa dan ketika keluar
darah tersebut mengental. Wanita yang terkena istihadhah tersebut dia
memiliki masa iddah sama dengan wanita haid. Apabila telah berlalu
selama tiga kali haid maka selesailah iddahnya.

f. Wanita yang ditalak tiga (talak baa'in).

18
Wanita yang telah ditalak tiga maka dia hanya menunggu masa
iddah sekali haid saja untuk memastikan bahwasanya dia tidak hamil.
Olenya itu Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa wanita yang dicerai
atau ditalak tiga maka masa iddahnya sekali haid. Dengan sekali haid
maka sudah membuktikan bahwasanya rahimnya kosong dari janin dan
setelah itu dia boleh menikah kembali dengan laki-laki lain.

g. Wanita yang Melakukan Gugat Cerai (Khulu’).


Wanita yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya
sekali haidh, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits dibawah
ini:

Dari Ibnu Abbâs ra. bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai
dari suaminya pada zaman Nabi saw. memerintahkannya untuk
menunggu sekali haidh. (HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi).

Juga hadits lain yang artinya :

“Dari ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa beliau


mengajukan gugat cerai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya
untuk menunggu iddahnya satu kali haidh.” (HR at-Tirmidzi )

Larangan-larangan masa Iddah

Ada beberapa yang harus dihindari seorang dalam masa iddah bahkan
dilarang dilaksanakan diantaranya :

a. Dilarang khitbah (melamar) dan menikah pada wanita cerai hidup.


Sebagaimana Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 235 : "Dan
janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) sebelum habis iddah".
b. Larangan khitbah secara terang-terangan (tasrih) namun boleh dengan
sendirian untuk wanita yang dicerai mati. Hal ini dijelaskan dari
lanjutan ayat 235 dalam surah Al-Baqarah "Dan tidak ada dosa kamu
meminang wanita-wanita itu (yang ditinggal mati suaminya dalam
masa iddahnya) dengan sendirian".
c. Larangan untuk keluar rumah saat masih dalam masa iddah belum
habis, dengan bukan tanpa sebab. Hal tersebut untuk menjaga dan
melindungi wanita yang tengah rapuh dari gangguan-gangguan fitnah
ketika keluar tanpa dengan suami. Namun ulama Makkiyah
berpendapat bahwa mereka boleh keluar ketika benar-benar dalam

19
keadaan darurat atau ada kepentingan, termasuk apabila perempuan
tersebut yang menjadi tulang punggung untuk menafkahi keluarganya,
seperti seorang, guru, pegawai atau yang lainnya.
d. Larangan bagi wanita yang dalam masa iddah, pakai wangi-wangian
atau yang berbau wangi dengan segala jenis. Hal tersebut di jelaskan
dalam hadit Nabi :"Janganlah perempuan itu menyentuh wangi-
wangian".(H.R Muslim). Termasuk mewarnai rambut, menggunakan
celak dan lainnya, kecuali perawatan tersebut diperlukan untuk
pengobatan. termasuk memakai baju cantik yang warna warni dengan
maksud mempercantik diri.
e. Tidak boleh menggunakan perhiasan atau sejenisnya, baik berupa emas
maupun yang lainnya, termasuk cincin, kalung, dan gelang.

Hikmah Masa Iddah

a. Untuk mengetahui apakah wanita tersebut yang telah diceraikan sedang


mengandung atau tidak dengan bekas suaminya
b. Untuk menjaga kemuliaan keturunan. Dalam hal ini terutama bagi
wanita yang telah diketahui mengandung setelah perceraiannya.
c. Untuk memberikan kesempatan kedua belah pihak, jika dikehendaki
untuk berdamai dan berkumpul kembali tanpa mengulangi akaq nikah,
bagi wanita yang mengalami talaq raj'i.

D. Seputar Monogami dan Poligami Serta Hubungannya Dengan Cita-cita


Keluarga Sakinah
a. Monogami
Dalam KBBI pengertian monogami adalah sistem yang hanya
memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka
waktu tertentu. 23
Monogami (Yunani: monos yang berarti satu atau sendiri,
dan gamos yang berarti pernikahan) adalah kondisi hanya memiliki satu
pasangan pada pernikahan.24

Asas Monogami

23
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [online] diakses dari
https://kbbi.web.id/monogami pada Minggu, 8 Juli 2018 pukul 12:16
24
https://id.wikipedia.org/wiki/Monogami diakses pada Minggu, 8 Juli 2018 pukul 12:41

20
Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Hal ini dapat
dilihat dari penafsiran Al- Qur’an Surat An-Nisa, ayat 3 (Q.IV :3), yang
menyatakan bahwa “…kalau kamu tidak adil diantara isteri-isteri kamu
itu, seyogyanya hanyalah kamu kawini seorang perempuan saja,….kawin
dengan seorang perempuan itulah yang paling dekat bagi kamu untuk
kamu tidak berbuat aniaya”25
Dari uraian tersebut diatas, nampak bahwa pada prinsipnya asas
perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Hal ini dapat dilihat
pada kata “seyogyanya hanyalah kamu kawini seorang perempuan saja”.
Namun, dari kata tersebut, nampak bahwa asas monogami itu hanya
merupakan anjuran. Dalam hal ini, hukum Islam tidak melarang poligami,
namun ditetapkan syarat bahwa dalam poligami tersebut harus adil.26

b. Poligami
Dalam KBBI pengertian poligami sistem perkawinan yang salah satu
pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu
yang bersamaan27

Poligami dalam Hukum Islam

Walaupun hukum perkawinan Islam berasaskan monogami, poligami


bukanlah hal yang sama sekali dilarang. Dalam beberapa keadaan, dapat
diadakan penyimpangan terhadap asas monogami. Namun, penyimpangan
terhadap asas monogami tersebut, harus memenuhi beberapa ketentuan,
diantaranya adalah:28
1. Bertujuan untuk mengurus anak yatim
Dalam membahas Q. IV :3, hendaknya tidak dibahas secara berdiri
sendiri, tetapi perlu dihubungkan dengan ketentuan lain dalam Al-

25
Nur Hayati, Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang
Perkawinan, Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005, hal 40.
26
Ibid.,
27
KBBI. Kamus Besaar Bahasa Indonesia (KBBI). [online] https://kbbi.web.id/poligami diakses
pada Minggu, 8 Juli 2018 pukul 12:45
28
Nur Hayati, Op. Cit, hal. 41.

21
Qur’an, mengingat Al-Qur’an itu isinya merupakan satu kesatuan yang
tak terpisahkan. Dalam membahas Q.IV :3 ini, perlu dihubungkan
dengan Q.IV: 127 yang berbunyi: “Mereka bertanya kepadamu hai
Muhammad, mengenbai perempuan yang tertentu(yang boleh dikawini
disamping istri yang telah ada sebagaimana dimaksud Q.IV: 3).
Katakanlah, hai Muhammad, perempuan tertentu itu ialah perempuan
yang ada hubungannya dengan anak yatim itu tadi”
Berdasarkan uraian diatas, maka tidak semua wanita dapat dijadikan
istri kedua (dan seterusnya) dari seorang lelaki. Dalam hal ini, apabila
seorang laki-laki akan berpoligami, maka wanita yang akan dinikahinya
itu haruslah ibu dari anak yatim, dimana pernikahan tersebut pada
dasarnya untuk melindungi si anak yatim. Jadi dalam konsep hukum
Islam, dalam berpoligami, seorang pria tidak boleh menikahi wanita
lajang. Ia dalam berpoligami hanya dapat menikahi ibu dari anak yatim
saja. 29
2. Pembatasan Jumlah Istri.
Dalam berpoligami, hukum Islam membatasi jumlah istri yang boleh
dinikahi. Disebutkan bahwa seoarang pria dapat menikahi 2, 3 sampai 4
orang wanita pada waktu yang bersamaan. Dalam hal ini, jumlah wanita
yang dapat dinikahi dalam waktu bersamaan paling banyak 4 orang.
3. Akan Sanggup Adil diantara isteri-isterinya itu.
Dalam berpoligami, seorang pria harus dapat berbuat adil kepada
ister-isterinya. Syarat ini menjadi sangat penting, karena terpenuhinya
syarat ini merupakan unsure utama dalam poligami berdasarkan hukum
Islam
4. Jangan Ada Hubungan Saudara antara isterinya dengan calon istri
yang akan dinikahinya.
Berdasarkan Surat Annisa ayat 23, dikatakan bahwa wanita yang
hendak dijadikan isteri-isteri janganlah wanita yang bersaudara.. dalam

29
Ibid.,

22
arti saudara ini, bukan hanya saudara seayah dan seibu, tetapi juga
saudara seayah saja atau saudara seibu saja. Bahkan, penafsirannya
diperluas sampai saudara sesusuan.
5. Dengan Wanita mana poligami boleh dilakukan.
Mengenai wanita yang boleh dikawini, terdapat dua pendapat yaitu:
a. Ibu dari anak yatim. Pendapat yang mengatakan bahwa wanita yang
boleh dinikahi oleh seorang pria yang akan berpoligami adalah ibu
dari anak yatim ini, berdasarkan pada Q.IV : 3 yang dihubungkan
dengan Q.IV :127. prof. Hazairin menganut bendapat ini dengan
mengatkan bahwa berpoligami itu oleh seorang laki-laki hanya
dapat dilakukan antara isterinya yang telah ada dengan ibu anak
yatim yang dipeliharaoleh lakilaki itu
b. Wanita yang dinikahi tersebutlah yang anak yatim Pendapat ini
mengatakan bahwa wanita yang akan dikawini berikutnya oleh
seorang pria yang akan berpoligami boleh dengan wanita mana saja,
tidak harus ibu dari anak yatim. Dalam kaitannya Q. IV:3 dengan
Q.IV: 127, maka anak yatim yang dimaksud adalah wanita yang
dinikahi tersebut

Berdasarkan uraian diatas meskipun poligami dimungkinkan, namun


terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, syarat
untuk berpoligami bukanlah syarat yang ringan. Dengan demikian,
berdasarkan hukum Islam, poligami sebaiknya dihindari karena perbuatan
poligami lebih dekat dengan perbuatan aniaya dan perbuatan aniaya adalah
dosa.30

30
Ibid, hal 42.

23
Akibat Poligami
Poligami adalah ancaman kehidupan perempuan dan Rumah Tangga.
Sebab adanya Poligami akan mengakibatkan : 31
1. Kesengsaraan perempuan:
o Perempuan akan sengsara hidupnya, apakah itu pihak istri pertama
yang merasa diambil suaminya, disakiti hatinya, disaingi
keberadaannya dalam rumah tangganya sendiri.
o Akan menyengsarakan istri kedua yang juga merupakan perempuan
karena bagaimanapun juga jadi istri kedua umumnya ditanggapi
negatif oleh masyarakat dan kehidupan rumah tangganya belum tentu
akan bahagia seperti yang dijanjikan oleh suaminya sebelum
diperistri, bisa saja keadaan menjadi terbalik.
2. Menyengsarakan keluarga:
Hidup ini tidak hanya untuk istri, suami, dan istri-istri tetapi juga
diantaranya ada anak-anak yang masih kecil atau dewasa yang melihat
ketidakbijaksanaan orang tuanya terutama ayah yang ingin kawin lagi
(hidup berpoligami) merupakan pengalaman hidup yang pahit bagi anak
itu sendiri, mereka akan berpendapat mengapa seorang ayah yang begitu
dihormati selaku kepala keluarga mempunyai pikiran yang merendahkan
martabat seorang ibu yang dipujanya, mereka akan berpikir mengapa ayah
tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya untuk hidup bersama lagi
dengan perempuan lain yang lebih muda, bahkan ada istri kedua yang
lebih kecil umurnya dari anaknya.

31
I.A. Sadnyini, Poligami dan Kesengsaraan Perempuan, (Jurnal Studi Jender Srikandi, 2010), hal
13.

24
DAFTAR PUSTAKA

Hayati, Nur. 2005. Poligami dalam Perspektif Hukum Islam dalam kaitannya dengan
undang-undang perkawinan.Lex Jurnalica. Vol 3, No 1. [online] diakses dari
http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/view/233 pada Minggu, 8 Juli
2018 pukul 13.58

Jamaluddin dan Nanda Amalia. 2016. Buku Ajar Hukum Perkawinan. Sulawesi:
Unimal Press.

Jauhari, Iman. 2011. Penetapan Teori Tahkim dalam Penyelesaian Sengketa Hak Anak
(hadlanah) di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam. Binjai: Jurnal Ilmu Syariah
dan Hukum. Vol. 45, No 11. [online] diakses dari http://asy-syirah.uin-
suka.com/index.php/AS/article/viewFile/20/20 pada Minggu, 8 Juli 2018 pukul
13.57

Kholid, A.R. Idham. 2016. Di Persimpangan Jalan Antara Melanjutkan Perceraian


atau Memilih Rujuk pada Masa Iddah. Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Ejournal INSKLUSIF Edisi 1 vol. 1 [online] diakses dari
http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/tamaddun/article/view/934 pada
Kamis, 5 Juli 2018 pukul 13.12

KBBI. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tahkim [online] diakses dari
https://kbbi.web.id/tahkim pada Minggu, 8 Juli 2018 pukul 14:01

KBBI. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Fasakh [online] diakses dari
https://kbbi.web.id/fasakh pada Kamis 5 Juli 2018 pukul 21:54

KBBI. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Monogami [online] diakses dari
https://kbbi.web.id/monogami pada Minggu, 8 Juli 2018 pukul 12:16

KBBI. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Poligami [online] diakses dari
https://kbbi.web.id/poligami diakses pada Minggu, 8 Juli 2018 pukul 12:45

Rasjid Sulaiman. 1986. Fiqh Islam. Bandung: CV. Sinar Baru Bandung.

Salamah, Yayah Yarotul. 2013. Urgensi Mediasi dalam Perkara Perceraian di


Pengadilan Agama. Jakarta: Jurnal Ilmu Syariah. Vol. XIII, No 1. [online]

25
diakses dari http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ahkam/article/view/953 pada
Kamis, 5 Juli 2018 pukul 13.03

Sadnyini, IA. 2010. Poligami dan Kesengsaraan Perempuan. Jurnal Studi Jender
SRIKANDI. [online] diakses dari
https://ojs.unud.ac.id/index.php/srikandi/article/view/2877 pada Minggu, 8 Juli
2018 pukul 15.43

Syamhudi, Kholid. 2013. Masa Iddah dalam Islam. Media Islam Salafiyyah,
Ahlusunnah wal Jama’ah. diakses dari https://almanhaj.or.id/3668-masa-iddah-
dalam-islam.html pada Rabu, 4 Juli 2018 pukul

Undang-Undang Republik Indonesia No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Wikipedia Bahasa Indonesia.2018. Monogami, [online],


https://id.wikipedia.org/wiki/Monogami, diakses pada minggu, 8 Juli 2018 pukul
12.41.

26

Anda mungkin juga menyukai