Anda di halaman 1dari 6

BAB 4

PEMBAHASAN

Korupsi, sesuatu yang sepertinya tidak bisa hilang dalam tubuh pemerintahan
Indonesia. Dewasa ini , korupsi yang terjadi di Indonesia terjadi hampir di seluruh
aspek pemerintahan, dari pemerintah pusat hingga pada pemerintahan daerah hingga
korupsi yang terjadi pada tingkat pedesaan. Setelah dibentuknya lembaga komisi
pemberantasan korupsi (KPK) , satu persatu borok-borok pada pemerintahan mulai
terkuak. Satu persatu aparat pemerintahan mulai dari wakil rakyat yang duduk di kursi
DPR, polisi, hakim, menteri, ketua partai politik, dll tersandung kasus korupsi dalam
berbagai bentuk, seperti suap, gratifikasi, kongkalikong persoalan pilkada, dan bentuk-
bentuk korupsi lainnya marak terjadi dalam pemerintahan Indonesia saat ini.

Hingga yang paling terbaru dan paling memalukan, terungkapnya kasus korupsi yang
menimpa ketua suatu lembaga hukum tertinggi di Indonesia , dimana lembaga ini
merupakan lembaga hukum yang disebut-sebut sebagai benteng terakhir hukum
Indonesia ditengah suasana pemerintahan yang bobrok, tapi ketuanya sendiri malah
tertangkap melakukan tindak korupsi , lembaga itu adalah Mahkamah Konstitusi. Semua
elemen pun tersentuh kasus korupsi, Eksekutif korup, Legislatif korup, Yudikatif juga
korup. Trias Coruptia. ketua MK yang baru ini terkena tuah janji dan sumpahnya
sendiri. Janji ini diucapkan pada pidato pengucapan sumpahnya sebagai Ketua
Mahkamah Konstitusi menggantikan Mahfud MD, Jumat (5/4/2013).

Awalnya Ia juga menjanjikan, di bawah kepemimpinannya, MK tidak dapat ditembus


oleh siapa pun dan apa pun.Tapi ternyata tangan KPK bisa menembunya dengan
menangkap basah Akil Mochtar yang menerima suap dari Anggota DPR RI dari fraksi
partai Golkar Chairun Nisa yang uangnya berasal dari Bupati Gunung Mas, Kalimantan
Tengah, Hambit Bintih terkait pilkada di kabupaten Gunung Mas Kalimantan tengah.
Suatu yang wajar jika negeri ini rusak parah. Karena lembaga hukum yang diharapkan
bisa menegakkan hukum ternyata melanggar hukum itu sendiri. Dimana lagi keadilan
bisa dicari kalau hukum bisa dibeli dengan lembaran dollar karena rupiah tak laku lagi.
Tapi tindak lanjut dan efek jera belum diterapkan KPK. Jika para koruptor hanya diadili
secara biasa dan akhirnya dihukum rendah karena adanya lobi-lobi yang tak terdeteksi.
Bisa-bisa koruptor makin lihai bermain dan bergerilya mengimbangi KPK. Sudah saatnya
koruptor dihukum seberat-beratnya.

Sepertinya hukuman mati perlu ditinjau lagi buat koruptor ini. Kalau tidak negeri ini
akan terus begini. Akil Mochtar sebagai petinggi MK yang bisa memutuskan sebuah
aturan sesuai konstitusi atau tidak bisa “bermain api”. Ini sungguh membahayakan dan
merusak konstitusi itu sendiri. Tinggallah Akil diharapkan berkicau dibalik jeruji KPK
agar bisa membongkar sindikat MK ini. Benarkah semua kasus yang masuk ke MK ini
terindikasi adanya suap-menyuap yang notabene adalah korupsi berjamaah. Jika benar,
siap-siap lembaga ini akan digulung oleh KPK. Diharapkan KPK juga jangan sampai
tercemar dengan “penyelewengan” tugasnya yang menangkapi orang-orang
berdasarkan “instruksi” bos atau atasan atau yang juga membayar.

Korupsi sendiri memiliki definisi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere =
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai
negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka. Tindakan korupsi tidak bisa dibenarkan dalam perspektif
norma apapun. Tidak ada sisi positif dari mengambil uang negara untuk kepentingan
pribadi atau kelompok tertentu. Dalam norma yang memiliki sanksi tegas seperti norma
hukum pun memperlakukan para pelaku korupsi dengan tegas, mulai dari denda,
pengembalian uang sepenuhnya, kurungan penjara seumur hidup hingga hukuman
mati. Norma hukum menjadi batas yang mengatur atas tindakan-tindakan yang
melanggar ketentuan hukum seperti kasus ini.
Dalam norma hukum ditentukan sanksi tegas bagi pelanggarnya,dimana sanksi tersebut
tidak ada pada norma-norma lain. Pelaku kasus korupsi seharusnya mendapatkan
hukuman yang berat menilik marak nya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia
sekarang ini, namun tetap pada koridor norma hukum yang berlaku. Norma hukum
merupakan norma yang memiliki sanksi paling tegas dari norma lain. Logikanya jika
suatu tindakan melanggar norma hukum maka sudah jelas tindakan tersebut juga
melanggar norma-norma yang lain. Dalam kasus akil mochtar ini, yang melanggar
norma hukum yang sudah berlaku adalah “ketua” lembaga hukum tertinggi di
Indonesia, sungguh sudah sangat keterlaluan bobroknya sistem hukum yang berlaku di
Indonesia sekarang ini.

Hukum yang mengatur tentang apapun terkesan lembek, tidak tegas , dan banyak
aturan hukum yang telah dibuat yang dapat dilemahkan dengan uang. Melihat
fenomena korupsi yang seolah tiada akhir ini, Indonesia memerlukan figur pemimpin
yang tegas yang dapat mengimplementasikan dan memfungsikan sebagai mana
mestinya norma-norma hukum yang sudah diberlakukan. Sedangkan dalam norma
agama, korupsi jelas merupakan perbuatan yang diharamkan dalam kitab agama
apapun di bumi ini. Tidak ada agama yang menghalalkan umatnya untuk mencuri atau
mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang lain. Dalam kasus ini yang menjadi
tersangka adalah seorang pemimpin dalam suatu lembaga hukum, lembaga hukum
yang seharusnya menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan hukum berlaku namun
oleh seorang akil mochtar malah diselewengkan. Melihat fakta bahwa mayoritas
penduduk Indonesia adalah muslim seharusnya kriteria pemimpin yang benar adalah
pemimpin yang jujur, amanah, dan dapat dipercaya . Dengan alasan tersebut terlihat
jelas norma agama menjadi perhatian setelah hukum. Hal itu diperkuat dengan
kebudayaan masyarakat timur yang mayoritas taat pada ajaran agama atau keyakinan
masing-masing. Sehingga tindakan yang melanggar norma hukum dan agama sekaligus
akan memiliki dampak sanksi yang besar. Sebagai contoh terdakwa kasus korupsi
tersebut juga mengaku disudutkan oleh opini-opini masyarakat yang menganggap
tindakan yang dilakukan seorang ketua lembaga hukum tersebut juga melanggar norma
agama sehingga sanksi terberat yang diterima selain sanksi hukum adalah sanksi moral
dari opini-opini dan gunjingan yang menyudutkan posisi terdakwa.

Dampak kasus suap akil mochtar terhadap penegakan hokum. Kepercayaan Publik
terhadap MK berada di titik terendah Tepat 10 tahun setelah Mahkamah Konstitusi (MK)
didirikan pada tahun 2003, MK mengalami musibah maha dahsyat. kepercayaan
terhadap Mahkamah Konstitusi berada pada titik nadir.

Pasca penangkapan ketuanya, kepercayaan publik terhadap MK merosot dibawah 30


%. Publik yang masih percaya kepada MK hanya 28.0 %. Sedangkan mayoritas publik
yaitu sebesar 66.5 % tidak lagi percaya kepada MK sebagai benteng terakhir
penegakan hukum di Indonesia.

Sebelum malapetaka ini, kepercayaan terhadap MK justru sebaliknya selalu diatas 60


%. LSI pernah menanyakan pertanyaan yang sama tentang kepercayaan publik
terhadap MK pada survei nasional LSI tahun 2010, 2011, 2012, dan terakhir Maret
2013. Pada survei Oktober 2010, kepercayaan terhadap MK sebesar 63. 7 %. Pada
survei September 2011, mereka yang percaya terhadap MK masih sebesar 61.5 %.
Bahkan pada Maret 2013, kurang lebih 7 (tujuh) bulan sebelum Malapetaka ,
kepercayaan terhadap MK masih sebesar 65.5 %. Artinya hanya dalam tempo 7 bulan,
kepercayaan terhadap MK merosot 37 %. Hanya butuh seorang Akil dalam sehari untuk
merobohkan MK. Hal ini dimaklumi karena sakralnya lembaga MK selama ini dan posisi
Akil Mochtar sendiri sebagai ketuanya.

Kasus Penangkapan Akil Mochtar Ketua MK berdampak besar terhadap kredibilitas MK.
Salah satu temuan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengenai trust publik
terhadap MK pasca penangkapan Ketua MK dilakukan dengan quick poll yang telah
digunakan sejak tahun 2011 untuk survei opini publik. Survei ini menggunakan metode
multistage random sampling dengan 1200 responden dan margin of error sebesar +/-
2.9 %. Survei dilaksanakan di 33 propinsi di Indonesia pada tanggal 4-5 Oktober 2013.
Untuk memperkuat data dan analisa, survey ini juga menggunakan data tracking survey
terkait kinerja MK pada survei-survei nasional sebelumnya. survei ini dilakukan dengan
penelitian kualitatif dengan metode analisis media, FGD, dan in depth interview untuk
memperkaya analisa. Mereka yang tidak percaya lagi dengan kredibilitas MK merata di
semua segmen penduduk. Baik mereka yang tinggal di desa maupun mereka yang
tinggal di kota, berjenis laki-laki maupun perempuan, berpendidikan tinggi maupun
rendah, dan berpendapatan tinggi maupun rendah. Rata-rata diatas 60 % pada setiap
segmen penduduk. Namun demikian mereka yang berjenis kelamin laki-laki, tinggal di
desa, dan berpendidikan rendah, paling mencolok tingkat ketidakpercayaan terhadap
kredibilitas MK. Hal ini dimaklumi karena dari berbagai hasil survei yang dilakukan LSI,
laki-laki biasanya lebih aktif dalam mengikuti pemberitaan politik dibanding perempuan.
Masyarakat di desa dan berpendidikan rendah juga lebih tinggi tingkat
ketidakpercayaan terhadap MK karena biasanya mereka menilai sebuah kasus dengan
kacamata kuda, hitam-putih,dan benar salah.

Sehingga ketika muncul kasus Akil, mereka pun menghukum lembaga yang
dipimpinnya. Sedangkan sebagian masyarakat kota masih mampu membedakan antara
persoalan individu Akil, dan lembaganya. Mereka tak secara otomatis menghukum
lembaga yang dipimpinnya. Namun jika persoalan suap Akil Mochtar ini berkembang
dan menyeret hakim konstitusi lainnya, dapat dibayangkan bahwa ketidakpercayaan
terhadap lembaga MK pun akan merebak merata dan mencolok baik di segmen
masyarakat kota maupun desa. Kasus Akil, Kepuasaan terhadap penegakan hukum
terus merosot Ketika kasus suap yang melibatkan Ketua MK Akil Mochtar ini terkuak,
banyak orang terheran-heran. Lembaga semulia MK, yang selama ini dipercaya sebagai
benteng terakhir penegakan hukum akhirnya terperangkap dalam kubangan korupsi.
Mayoritas publik (64.16 %) menyatakan terkejut dan tak menduga sebelumnya bahwa
hakim konstitusi apalagi ketuanya sendiri akan melakukan tindak pidana korupsi.
Namun demikian terdapat 35.40 % publik yang mengaku tidak terkejut dan sudah
menduga bahwa ada kasus-kasus korupsi dalam lembaga semulia MK. Mereka yang
mengaku tidak terkejut lebih banyak berada dan tinggal di Kota. Akses media publik
kota yang lebih intens memungkinkan mereka
Kasus Akil, hakim MK mengalami delegitimasi Merosotnya kepercayaan publik terhadap
MK tentunya sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia. Hukum
sebagai panglima dalam berdemokrasi terancam, karena lembaga pemegang kekuasaan
kehakiman dinilai korup. Putusan-putusan hukum yang dibuat MK akan mengalami
delegitimasi. Seperti yang diakui sendiri oleh salah satu hakim konstitusi MK putusan
sebaik apapun akan dinilai salah. Dengan kewenangan MK yang sangat penting seperti
judicial review, menyelesaikan sengketa lembaga negara, dan menangani perselisihan
pemilu dan pemilukada, maka dapat dibayangkan akan ada ketidakpastiaan hukum
yang menghadang ke depan, jika MK tak cepat dibenahi secara radikal. Kasus Akil,
mayoritas hakim dinilai korup. Kasus Akil juga berdampak pada kepercayaan publik
terhadap hakim-hakim konstitusi MK . Kini publik menilai bahwa hakim-hakim di MK
tidak berbeda dengan hakim-hakim peradilan lainnya yang diopinikan rawan korup dan
minim integritas. Berdasrkan hasil Lingkaran Survey Indonesia Hanya 19.91 % publik
yang menilai bahwa hakim MK lebih bersih dari hakim-hakimdi peradilan lainnya.
Sedangkan 72.69 % menilai hakim-hakim konstitusi di MK berkelakuan sama saja
(rawan korup dan minim integritas) dengan hakim diperadilan lainnya.

Kasus Akil, publik mensejajarkan MK dengan lembaga yang tak dipercaya lainnya (DPR,
Partai, Polisi). Kasus Akil yang menghebohkan dan berdampak pada kepercayaan publik
terhadap MK ini juga memicu kemarahan dari publik. Publik berharap adanya hukuman
yang setimpal kepada Akil Mochtar. Tingginya publik yang setuju terhadap hukuman
seumur hidup maupun hukuman mati menunjukan ekspresi kemarahan publik yang
tanpa ampun. Publik mungkin saja makin muak dengan berbagai kasus korupsi yang
terus menimpa pejabat negara terhormat. Rendahnya kepercayaan publik terhadap MK
kini sama dengan partai politik, DPR, dan polisi yang selama ini selalu rendah tingkat
kepercayaan publiknya. Tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik, DPR, dan
polisi selama ini rata-rata dibawah 40 %. Terhadap MK, kepercayaan publik bahkan
lebih rendah lagi dibawah 30%. Publik inginkan hakim MK yang tidak berasal dari partai
politik

Anda mungkin juga menyukai