Anda di halaman 1dari 28

PANDUAN KEWASPADAAN UNIVERSAL

UPT PUSKESMAS DTP BEBER

DEFINISI

Universal Precaution saat ini dikenal dengan kewaspadaan standar,

kewaspadaan standar tersebut dirancang untuk mengurangi risiko infeksi penyakit

menular pada petugas kesehatan baik dari sumber infeksi yang diketahui maupun

yang tidak diketahui (Depkes, 2008).

Kewaspadaan Universal atau Kewaspadaan Umum (KU) atau Universal

Precaution (UP) adalah suatu cara untuk mencegah penularan penyakit dari cairan

tubuh, baik dari pasien ke petugas kesehatan dan sebaliknya dari pasien ke pasien

lainnya.

Universal Precaution adalah tindakan pengendalian infeksi sederhana yang

digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien, setiap saat pada

semua tempat, pelayanan dalam rangka pengurangi risiko penyebaran infeksi

(Nursalam, 2007).

Kewaspadaan Universal adalah suatu cara penanganan baru untuk

meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa

memperdulikan status infeksi. Kewaspadaan Universal hendaknya dipatuhi oleh

tenaga kesehatan karena ia merupakan panduan mengenai pengendalian infeksi yang

dikembangkan untuk melindungi para pekerja di bidang kesehatan dan para


pasiennya sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit yang disebarkan melalui

darah dan cairan tubuh tertentu. Penerapan Kewaspadaan umum diharapkan dapat

menurunkan risiko penularan patogen melalui darah dan cairan tubuh lain dari

sumber yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Penerapan ini merupakan

pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus rutin dilaksanakan terhadap semua

pasien dan di semua fasilitas pelayanan kesehatan (Tietjen, dkk, 2004).

Kewaspadaan umum tersebut ditujukan untuk melindungi setiap orang

(pasien, klien, dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak.

Kewaspadaan baku berlaku untuk darah, tubuh/semua cairan tubuh, sekresi dan

ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit, dan selaput lendir, kulit dan membran

mukosa yang tidak utuh. Penerapan ini adalah untuk mengurangi risiko penularan

mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau yang tidak

diketahui (misalnya si pasien, benda yang terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai,

dan spuit) di dalam sistem pelayanan kesehatan (Tietjen, dkk, 2004).

Menurut Claire (1987) yang dikutip Tietjen (2004), indikasi penggunaan

praktik isolasi tertentu seperti sarung tangan tertentu lebih efektif dari pada baju

pelindung dalam pencegahan kontaminasi silang telah dapat diatasi melalui

penelitian. Namun ketidakmampuan petugas administrasi dan klinik di negara miskin

untuk menyediakan perlengkapan pelindung, khususnya ketersedian sarung tangan

baru, masih menjadi kendala. Sebagai tambahan, tantangan menyediakan air bersih

dan untuk mencapai standar yang dapat diterima seperti proses penggunaan instrumen

medis dan pembuangan sampah masih menjadi persoalan di banyak negara.


TATA LAKSANA

Penerapan Kewaspadaan Universal merupakan bagian dari upaya

pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan yang tidak terlepas dari peran

masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya yaitu pimpinan termasuk staf

administrasi, staf pelaksana pelayanan termasuk staf penunjangnya dan juga

pengguna yaitu pasien dan pengunjung sarana kesehatan tersebut. Penerapan

Kewaspadaan Umum didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh

sangat potensial menularkan penyakit baik yang berasal dari pasien maupun petugas

kesehatan (Nursalam, 2007).

Penerapan Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) didasarkan pada

keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit, baik

yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Prosedur Kewaspadaan

Universal ini juga dapat dianggap sebagai pendukung progran K3 bagi petugas

kesehatan (Nursalam, 2007) .


1. Komponen Utama Kewaspadaan Umum/ Kewaspadaan Baku

Menurut Tietjen (2004) penggunaan pembatas fisik, mekanik, atau kimiawi

antara mikroorganisme dan individu, misalnya ketika pemeriksaan kehamilan, pasien

rawat inap merupakan alat yang sangat efektif untuk mencegah penularan infeksi.

Adapun prinsip utama prosedur Kewaspadaan Universal dalam pelayanan kesehatan

adalah menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan sterilisasi

peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi beberapa kegiatan pokok

seperti:

a. Cuci Tangan

Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan yang paling penting yang dapat

dilakukan oleh semua orang untuk mencegah penyebaran kuman. Mencuci tangan

adalah tindakan aktif, singkat dengan menggosok bersamaan semua permukaan

tangan dengan memakai sabun, yang kemudian diikuti dengan membasuhnya

dibawah air hangat yang mengalir. Tujuannya adalah untuk membuang kotoran dan

organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada

saat itu (Umar, 2005).

Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah

melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung

lain untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada ditangan

sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi.

Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak

dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan. Aspek terpenting dari mencuci
tangan adalah pergesekan yang ditimbulkan dengan menggosok tangan bersamaan

mencuci tangan dengan sabun, dengan air mengalir dan pergesekan yang dilakukan

secara rutin (Nursalam, 2007).

Menurut Syawir (2011) ada beberapa sarana cuci tangan yaitu sebagai berikut:

a.1. Air Mengalir

Sarana utama untuk cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran

pembuangan atau bak penampung yang memadai. Dengan guyuran air mengalir

tersebut maka mikroorganisme yang terlepas karena gesekan mekanis atau

kimiawi saat cuci tangan akan bersih dan tidak menempel lagi di permukaan

kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa kran atau dengan cara mengguyur

dengan gayung. Namun cara mengguyur dengan gayung memiliki risiko cukup

besar untuk terjadinya pencemaran, baik melalui gagang gayung ataupun

percikan air bekas cucian kembali ke bak penampungan air bersih. Air kran

bukan berarti harus dari PAM, namun dapat diupayakan secara sederhana degan

tangki berkran di ruang pelayanan atau perawatan kesehatan agar mudah

dijangkau oleh para petugas kesehatan yang memerlukannya.

a.2. Sabun dan Deterjen

Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat dan mengurangi

jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga

mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah terhalau oleh air.

Jumlah mikroorganisme semakin berkurang dengan meningkatnya frekuensi

cuci tangan. Namun dilain pihak, dengan seringnya menggunakan sabun atau
deterjen maka lapisan lemak akan hilang dan membuat kulit menjadi kering dan

pecah-pecah. Hilangnya lapisan lemak akan memberi peluang untuk tumbuhnya

kembali mikroorganisme.

a.3. Larutan Antiseptik

Larutan antiseptik atau disebut juga antimikroba topikal yang dipakai pada kulit

atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas atau membunuh

mikroorganisme pada kulit. Antiseptik memiliki bahan kimia yang

memungkinkan untuk digunakan pada kulit dan selaput mukosa. Antiseptik

memiliki keragaman dalam hal efektivitas, aktivitas, akibat dan rasa pada kulit

setelah dipakai sesuai dengan keragaman jenis antiseptik tersebut dan reaksi

kulit masing-masing individu. Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan

yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara

maksimal terutama kuman transien.

Menurut Syawir (2011) prosedur cuci tangan adalah sebagai berikut:

a. Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir.

b. Taruh sabun di bagian telapak tangan yang telah basah. Buat busa secukupnya

tanpa percikan.

c. Gerakan cuci tangan terdiri dari gosokan kedua telapak tangan, gosokan telapak

tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan sebaliknya, gosok kedua telapak

tangan dengan jari saling mengait, gosok kedua ibu jari dengan cara

menggenggam dan memutar, gosok telapak tangan. Proses berlangsung selama

10-15 detik.
d. Bilas kembali dengan air sampai bersih.

e. Keringkan tangan dengan handuk atau kertas yang bersih atau tisu atau handuk

katun kain sekali pakai.

f. Matikan kran dengan kertas atau tisu.

g. Pada cuci tangan aseptik/ bedah diikuti larangan menyentuh permukaan yang

tidak steril.

b. APD (Alat Pelindung Diri)

Alat Pelindung Diri (APD) adalah alat yang digunakan untuk melindungi diri

dari sumber bahaya tertentu baik yang berasal dari pekerjaan maupun dari lingkungan

kerja dan berguna dalam usaha untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan cidera

atau cacat, dan terdiri dari berbagai jenis APD di rumah sakit yaitu sarung tangan,

masker, penutup kepala, gaun pelindung dan sepatu pelindung (Syukri, 1982 dalam

Jumata, 2010).

b.1. Sarung Tangan

Sarung tangan atau istilahnya handscoon merupakan salah satu kunci dalam

meminimalisasi penularan penyakit, merupakan alat yang mutlak harus

dipergunakan oleh petugas kesehatan termasuk perawat. Pemakaian sarung

tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua

jenis cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda

yang terkontaminasi (Jumata, 2010).

Menurut Tietjen, dkk, 2004 sampai sekitar 15 tahun lalu, petugas kesehatan

menggunakan sarung tangan untuk tiga alasan untuk mengurangi risiko petugas
terkena infeksi bakterial dari pasien, mencegah penularan flora kulit petugas kepada

pasien dan mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan

mikroorganisme yang dapat berpindah dari satu pasien ke pasien lain.

Menurut Tenosis (2001) yang dikutip Tietjen (2004), walaupun sarung tangan

telah berulang kali terbukti sangat efektif mencegah kontaminasi pada tangan petugas

kesehatan, sarung tangan tidak dapat menggantikan perlunya cuci tangan. Sarung

tangan lateks kualitas terbaik pun mungkin mempunyai kerusakan kecil yang tidak

tampak. Selain itu sarung tangan juga dapat robek sehingga tangan dapat

terkontaminasi sewaktu melepaskan sarung tangan. Tergantung situasi, sarung tangan

pemeriksaan atau sarung tangan rumah tangga harus dipakai bila akan terjadi kontak

tangan pemeriksa dengan darah atau tubuh lainnya, selaput lendir, atau kulit yang

terluka, akan melakukan tindakan medik invasif (misalnya pemasangan alat-alat

vaskular seperti intravena perifer) dan akan membersihkan sampah terkontaminasi

atau memegang permukaan yang terkontaminasi (Tietjen, dkk, 2004).

b.2. Masker

Masker berguna untuk melindungi alat pernapasan terhadap udara yang

terkontaminasi di tempat kerja atau di rumah sakit yang bertujuan untuk

melindungi dan mengurangi risiko tertular penyakit melalui udara (Ramdayana,

2009).

c. Keselamatan Menggunakan Jarum Suntik

Keselamatan menggunakan jarum suntik sebaiknya menggunakan tiap-tiap

jarum dan spuit hanya sekali pakai, tidak melepas jarum dari spuit setelah digunakan,
tidak menyumbat, membengkokkan, atau mematahkan jarum sebelum dibuang dan

membuang jarum dan spuit di wadah anti bocor.

Menurut Tietjen (2004) apabila jarum dan spuit sekali pakai tidak tersedia dan

perlu memasang kembali penutup jarum, maka gunakan metode penutupan “satu

tangan” dengan cara:

c.1. Tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh, kemudian angkat

tangan anda.

c.2. Kemudian dengan satu tangan memegang spuit, gunakan jarum untuk menyekop

tutup tersebut dengan penutup di ujung jarum, putar spuit tegak lurus sehingga

jarum dan spuit mengarah ke atas.

c.3. Akhirnya, dengan sumbat yang sekarang ini menutup ujung jarum sepenuhnya,

peganglah spuit ke arah atas dengan pangkal dekat pusat (dimana jarum itu

bersatu dengan spuit dengan satu tangan, dan gunakan tangan lainnya untuk

menyegel tutup itu dengan baik).

d. Sterilisasi Alat

Menurut Nystrom (1981) yang dikutip Tietjen (2004), dekontaminasi adalah

langkah pertama dalam mensterilkan instrumen bedah/tindakan, sarung tangan dan

peralatan lainnya yang kotor (terkontaminasi), terutama jika akan dibersihkan dengan

tangan misalnya, merendam barang-barang yang terkontaminasi dalam larutan klorin

0,5 % atau disinfektan lainnya yang tersedia dengan cepat dapat membunuh HBV dan

HIV. Dengan demikian, menjadikan instrumen lebih aman ditangani sewaktu

pembersihan. Setelah instrumen dan barang-barang lain didekontaminasi, kemudian


perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat disterilisasi atau didisinfeksi tingkat tinggi.

Proses yang dipilih untuk pemrosesan akhir bergantung pada apakah instrumen ini

akan bersinggungan dengan selaput lendir yang utuh atau kulit yang terkelupas atau

jaringan di bawah kulit yang biasanya steril.

2. Kewaspadaan Berdasarkan Penularan

Kewaspadaan ini dimaksudkan hanya untuk pasien yang diketahui atau sangat

dicurigai telah terinfeksi oleh patogen yang ditularkan lewat kontak langsung

khususnya penyakit Hepatitis B, dan patogen enterik, herpes simplex, infeksi kulit

atau mata. Dalam hal ini jika ada proses infeksi pada pasien tanpa diketahui

diagnosisnya, pelaksanaan kewaspadaan berdasarkan penularan, secara empirik harus

dipertimbangkan sampai diagnosis definitif dibuat (Nursalam, 2007).

a. Hepatitis B

1). Definisi

Hepatitis B adalah jenis yang lain dari hepatitis dan banyak orang yakin

bahwa keadaannya serupa dengan hepatitis A, tetapi sifatnya lebih bertahan lama

yang disebabkan oleh virus yang sering disebut dengan virus hepatitis B (HBV)

(Hadi, 2000).

Hepatitis B merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis

B (HBV). Keadaan ini mengakibatkan peradangan dan pembengkakan hati, dan

kadang-kadang kerusakan hati yang nyata. Sering terjadi bahwa penderita sama sekali

tidak merasakan dan menyadari bahwa dirinya sedang terinfeksi oleh virus, karena
keluhan yang khas yaitu keluhan seperti flu tidak bahkan bisa tidak muncul gejala

sama sekali. Seseorang bisa terkena infeksi jika ia tidak imun terhadap virus dan

terpapar dengan darah atau cairan tubuh dari penderita HBV (Naga, 2012).

Komponen (HBV) merupakan virus DNA yang tersusun dari partikel antigen

seperti HBcAg-antigen anti hepatitis B, HBsAg antigen permukaan (surface)

Hepatitis A (material antigen pada permukaan HBV), HBeAg-protein yang beredar

dalam darah dan HBxAg produk genetik dari gen X pada HBV/DNA. Setiap antigen

menimbulkan antibodi secara spesifiknya adalah anti-HBc-antibodi terhadap antigen

inti atau HBV, anti HBc akan bertahan selama fase akut dan dapat menunjukkan virus

hepatitis B yang berlanjut dalam hati (Brunner & Suddarth, 2001).

Hepatitis B merupakan bentuk hepatitis yang lebih serius dibandingkan

dengan jenis Hepatitis lainnya. Namun hepatitis virus yang akut dapat sembuh

dengan sendirinya, namun sebagian besar penderita Hepatitis B akan menjadi kronis.

Semakin besar usia terinfeksi virus hepatitis B maka semakin besar kemungkinan

menjadi kronis. Hepatitis kronis akan meningkatkan risiko terjadinya sirosis dan

hepatoma (kanker hati) di kemudian hari. Akan tetapi hanya sedikit saja yang

terinfeksi Hepatitis B (HBV) akut yang menunjukkan gejala klinis, kurang dari 10%

pada anak-anak dan 30% - 50% pada orang dewasa dengan infeksi virus HBV akut

dapat berkembang menjadi penyakit dengan ikterus. Pada penderita yang

menunjukkan gejala klinis, timbulnya gejala biasanya insidious, dengorexia,

gangguan abdominal, mual dan muntah, dan sering berkembang menjadi jaundice

(Chin , 2006).
2). Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dari penyakit Hepatitis B ini sangat bervariasi terkadang

mirip dengan Hepatitis A dan mirip flu. Namun pada stadium prodromal sering

ditemukan kemerahan kulit dan nyeri sendi, hilangnya nafsu makan, mual kadang

disertai dengan muntah, lemah, pusing, sakit perut terutama disekeliling atau disekitar

hati, urine berwarna gelap, kulit dan mata berwarna kuning (jaundice) nyeri sendi dan

disertai dengan demam dan akan sembuh dalam 2 minggu namun dari hasil penelitian

yang dilakukan oleh para dokter ternyata hanya sedikit penderita penyakit Hepatitis B

yang menjadi ikterik (Naga, 2012).

3). Sumber dan Cara Penularan Virus Hepatitis B

Menurut Yulastri (2008) penyakit HBV dapat mudah ditularkan kepada

semua orang dan semua kelompok umur secara menyusup. Dengan percikan sedikit

darah yang mengandung virus hepatitis B sudah dapat menularkan penyakit. Pada

umumnya penularan dari HBV adalah parenteral. Semula penularan HBV

diasosiasikan dengan tranfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi

setelah ditemukan bentuk dari HBV makin banyak laporan yang ditemukan cara

penularan lainnya. Hal ini disebabkan karena HBV dapat ditemukan dalam setiap

cairan yang dikeluarkan dari tubuh penderita, misalnya melalui : darah, air liur

(saliva), keringat, air susu ibu (ASI), cairan vagina, air mata, feces, urine, termasuk

sisir, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran yang terkontaminasi virus

Hepatitis B. Selain itu dicurigai penularan melalui nyamuk atau serangga penghisap
darah. Oleh karena itu dikenal cara penularan perkutan dan non perkutan yaitu

sebagai berikut:

a. Penularan Horizontal

Cara penularan horizontal yang dikenal ialah: tranfusi darah yang

terkontaminasi oleh HBV, mereka yang sering mendapat hemodialisa. Selain itu

HBV dapat masuk kedalam tubuh kita melalui luka atau lecet pada kulit dan selaput

lendir misalnya tertusuk jarum (penularan parenteral) atau luka benda tajam,

menindik telinga, pembuatan tato, pengobatan tusuk jarum (akupuntur), penggunaan

alat cukur bersama, kebiasaan menyuntik diri sendiri, menggunakan jarum suntikyang

kotor/kurang steril. Penggunaan alat-alat kedokteran dan perawatan gigi yang

sterilisasinya kurang sempurna / kurang memenuhi syarat akan dapat menularkan

HBV.

Di daerah endemis berat diduga nyamuk, kutu busuk, parasit, dan lain-lain dapat

juga menularkan HBV, walaupun belum ada laporan. Cara penularan tersebut

disebut penularan perkutan. Sedangkan cara penularan non-kutan diantaranya

ialah melalui semen, cairan vagina, yaitu kontak seksual (baik homoseks maupun

heteroseks) dengan pengidap/penderita HVB, atau melalui saliva yang bercium-

ciuman dengan penderita/pengidap, dapat juga dengan jalan tukar pakai sikat gigi,

dan lainnya. Hal ini dimungkinkan disebabkan karena selaput lendir tubuh yang

melapisinya terjadi diskontinuitas, sehingga virus hepatitis B mudah

menembusnya.
b. Penularan Vertikal

Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagai penularan infeksi dari seorang

ibu pengidap/penderita HBV kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat

persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Apabila seorang ibu menderita

HBV akut pada perinatal yaitu pada trisemester ketiga kehamilan, maka bayi yang

baru dilahirkan akan tertulari (Budi, 2011).

Virus Hepatitis B juga dapat terjangkit melalui sentuhan dengan darah atau

cairan tubuh yang tercemar. Hal ini akan menyebabkan 100 kali lebih mudah

terjangkit dari pada HIV. Penyakit ini akan terdeteksi melalui pemeriksaan fungsi

hati. Menurut Chin (2006) bagian tubuh yang memungkinkan terjadinya penularan

HBV antara lain adalalah darah, air ludah atau saliva , cairan cerebrospinal,

peritoneal, cairan pericardial, cairan amniotik, semen, cairan vagina dan lain-lain.

Penularan infeksi virus hepatitis B juga dapat melalui berbagai cara sepaerti

parenteral yaitu terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk jarum

atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B dan pembuatan tatto dan non

parenteral yaitu persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus hepatitis B.

Sebagai antisipasi, biasanya terhadap darah-darah yang diterima dari

pendonor akan di tes terlebih dulu apakah darah yang diterima reaktif terhadap

Hepatitis, Sipilis dan HIV namun tidak semua yang positif Hepatitis B perlu ditakuti.

Dari hasil pemeriksaan darah dapat terungkap apakah ada riwayat pernah kena dan

sekarang sudah kebal, atau bahkan virusnya sudah tidak ada. Bagi pasangan yang

hendak menikah, tidak ada salahnya untuk memeriksakan pasangannya untuk


penularan penyakit ini. Hepatitis C dapat tertular melalui darah dan plasma yang

syringe. Hepatitis D dapat tertular melalui darah dan cairan beku yang

terkontaminasi, jarum suntik dan hubungan seks. Hepatitis E dapat tertular melalui air

yang terkontaminasi, dari orang ke orang dengan fecal oral (Chin, 2006).

4). Masa Inkubasi

Masa inkubasi biasanya berlangsung selama 45-180 hari, dengan batas rata-

rata 60-90 hari, paling sedikit diperlukan waktu selama 2 minggu untuk bisa

menentukan HbsAg dalam darah, dan jarang sekali sampai selama 6 – 9 bulan,

perbedaan masa inkubasi tersebut dikaitkan dengan berbagai faktor antara lain jumlah

virus, cara-cara penularan dan faktor penjamu (Yatim, 2007).

Perubahan infeksi akut akan menjadi kronis sesuai dengan umur penderita.

Semakin tua umur, maka semakin besar kemungkinan menjadi kronis dan kemudian

berlanjut menjadi pengkerutan dan pengerasan jaringan hati (sirosis). Bila umur

masih berlanjut maka akan berubah menjadi keganasan hati atau kanker hati

(carinoma Hepatitis primer). Diperkirakan 15%-25% penderita hepatitis B kronis

akan meninggal prematur (meninggal sebelum waktu perkiraan) (Yatim, 2007).

5). Prevalensi Infeksi Virus Hepatitis B

a. Di Amerika Serikat diperkirakan 0,5% orang dewasa sudah terinfeksi virus

Hepatitis B atau dari 200 orang, 1 orang diantaranya sudah terinfeksi virus

Hepatitis B.

b. Di negara dengan tingkat prevalensi tinggi (HbsAg > 8%), penularan banyak

terjadi pada bayi baru lahir dan pada anak yang masih berada pada usia muda.
c. Di negara dengan tingkat prevalensi sedang (HbsAg 2%-7%) penularan bisa

terjadi pada semua golongan umur.

d. Di negara dengan tingkat prevalensi rendah (HbsAg < 2%) infeksi sering terjadi

pada kelompok umur dewasa.

Pemeriksaan hepatitis B salah satunya dengan pemeriksaan serologi (sel),

yaitu pemeriksaan HbsAg, HbeAg, anti Hbe dan HBV DNA (Dewi, 2008).

HbsAg, HbeAg keduanya adalah antigen. Fungsi pemeriksaan HbsAg adalah

untuk mengetahui apakah seseorang merupakan penderita hepatitis B, yang ditandai

dengan HbsAg positif, sedangkan fungsi pemeriksaan HbeAg adalah untuk

mengetahui apakah adanya reflika virus dalam hepatosit (sel hati). HbeAg berkaitan

erat dengan HBV DNA, yaitu DNA virus hepatitis B. Pada beberapa kasus ada yang

nilai HbeAg-nya negatif namun bukan pertanda mutlak bahwa yang bersangkutan

tidak memiliki virus hepatitis B.

6). Perawatan dan Pengobatan

Hepatitis yang disebabkan oleh infeksi virus menyebabkan sel-sel hati

mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Pada

umumnya, sel-sel hati dapat tumbuh kembali dengan sisa sedikit kerusakan, tetapi

penyembuhannya memerlukan waktu berbulan-bulan dengan diet dan istirahat yang

baik. Hepatitis akut umumnya sembuh, hanya 10% menjadi Hepatitis kronik

(menahun) dan dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Saat ini ada

beberapa perawatan yang dapat dilakukan untuk Hepatitis B kronis yang dapat
meningkatkan kesempatan bagi seorang penderita penyakit ini. Perawatannya tersedia

dalam bentuk antiviral seperti Lamivudine, Adefovir dan Modulator (Hadi, 2000).

Hepatitis yang disebabkan oleh alkohol, narkoba, obat-obatan atau racun yang

mengakibatkan gejala yang sama seperti virus Hepatitis, pengobatan yang paling baik

adalah menghentikan penggunaan alkohol, narkoba, atau obat-obatan yang dapat

menggangu hati. Selain itu ada juga pengobatan tradisional yang dapat dilakukan.

Tumbuhan obat atau herbal yang dapat digunakan untuk mencegah dan membantu

pengobatan Hepatitis diantaranya mempunyai efek sebagai hepatoprotektor, yaitu

melindungi hati dari pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel hati, juga bersifat

anti radang, kolagogum dan khloretik, yaitu meningkatkan produksi empedu oleh

hati. Beberapa jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan

Hepatitis, antara lain yaitu temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma

longa), sambiloto (Andrographis paniculata), meniran (Phyllanthus urinaria), daun

serut/mirten, jamur kayu/lingzhi (Ganoderma lucidum), akar alang-alang (Imperata

cyllindrica), rumput mutiara (Hedyotis corymbosa), pegagan (Centella asiatica),

buah kacapiring (Gardenia augusta), buah mengkudu (Morinda citrifolia), jombang

(Taraxacum officinale) (Hadi, 2000).

Orang dengan sejarah penggunaan jarum suntik, penggunaan narkoba, tato

atau sirkulasi darah yang telah terpapar melalui seks tidak aman dapat meningkatkan

risiko terjadinya penyakit hepatitis B (Sulaiman, 2010).


7). Pencegahan

Pengendalian penyakit ini lebih dimungkinkan melalui pencegahan

dibandingkan pengobatan yang masih dalam penelitian. Pencegahan dilakukan

meliputi pencegahan penularan penyakit dengan kegiatan Health Promotion dan

Spesifik Protection, maupun pencegahan penyakit dengan imunisasi aktif dan pasif

(Hadi, 2000).

Ada 3 (tiga) kegiatan utama yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan

penyakit Hepatitis, yakni melalui pencegahan primer, sekunder dan tersier.

Pencegahan primer yakni dengan cara promosi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

(PHBS), imunisasi pada bayi, imunisasi pada remaja dan dewasa (catch up

immunization). Pencegahan sekunder melalui, deteksi dini dengan skrining

(penapisan), penegakan diagnosa dan pengobatan. Sedangkan pencegahan tersier

lebih kepada untuk mencegah keparahan dan rehabilitasi, monitoring pengobatan

untuk mengetahui efektifitas dan resistensi terhadap obat pilihan (Depkes RI, 2009).

Menurut Dirjen PPM-PL (2001) usaha pencegahan penyakit hati/liver antara

lain dengan diet seimbang dan pada saat tertentu diperlukan rendah protein, banyak

makan sayur dan buah-buahan, menjalankan pola hidup yang teratur, pola hidup di

lingkungan sehat, kurangi minuman beralkohol, jaga kebersihan diri dan lingkungan,

menghindari penularan melalui makanan dan minuman, menghindari kontak dengan

penderita Hepatitis B dan bila terjadi kontak melakukan desinfektan akan bisa

menghindari penularan penyakit Hepatitis. Senantiasa menjaga kebersihan diri dan


lingkungan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, suntikan, tatto,

tusukan jarum yang terkontaminasi, kegiatan seksual dan lain-lain.

Timbulnya Hepatitis B dalam barak-barak atau panti perawatan sering

merupakan petunjuk sanitasi dan higiene perorangan yang buruk. Pengendaliannya

langsung ditunjukkan pada pencegahan terkontaminasinya makanan, air, atau

sumber-sumber lainnya oleh tinja. Kebersihan seperti mencuci tangan setelah buang

air besar atau sebelum makan, penggunaan piring dan alat makan sekali pakai, dan

menjaga kebersihan perorangan. Pemakaian disinfektan natrium hipoklorit 0,5%-

sangat penting dalam mencegah penyebaran (Jawetz, 1995). Orang yang dekat

dengan penderita mungkin memerlukan terapi imunoglobulin. Imunisasi Hepatitis A

bisa dilakukan dalam bentuk sendiri (Havrix) atau bentuk kombinasi dengan vaksin

Hepatitis B (Twinrix). imunisasi Hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu dasar, satu

bulan dan 6 bulan kemudian.

Patogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat diberi pengertian sebagai

proses perkembangan sebuah penyakit, yang melibatkan berbagai variabel di luar

subjek manusia. Kejadian penyakit yang menimpa sekelompok penduduk, bermula

dari sebuah agen penyakit yang dikeluarkan dari sumbernya. Agent penyakit dalam

media atau lazim disebut komponen lingkungan, seperti: air, udara, ataupun pangan

yang kemudian kontak dengan penduduk secara sendiri-sendiri maupun bersama,

dalam waktu yang bersamaan atau berbeda. Kejadian penyakit pada hakikatnya

dipengaruhi oleh variabel-variabel kependudukan dan variabel-variabel lingkungan.


3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Universal Precaution dalam
Pencegahan Hepatitis B

a. Pengetahuan

1). Definisi

Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca

indera manusia yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Sebagian pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,

2011).

Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan

panca inderanya. Yang berbeda sekali dengan kepercayaan (beliefes), takhayul

(superstition), dan penerangan-penerangan yang keliru (misinpormation) (Mubarak,

2006).

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan atau kognitif merupakan domain

yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour).

Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh

pengetahuan akan lebih lancar dari pada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan

bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi

proses yang berurutan, yakni :

a.1. Awareners (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).


a.2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.

a.3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut

bagi dirinya.

a.4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang

dikehendaki oleh stimulus.

a.5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan atau kognitif merupakan domain

yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, dimana untuk mengukur

tingkat pengetahuan seseorang secara terperinci terdiri dari 6 tingkatan yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di pelajari sebelumnya.

Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)

terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang di pelajari atau rangsangan yang

telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” merupakan tingkat pengetahuan yang paling

rendah.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang

objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).


d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke

dalam komponen-komponen, tetap masih dalam suatu struktur organisasi tersebut,

dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran kemampuan dapat

dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi

yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan

yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat

tersebut di atas.

2). Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan

b.1. Umur

Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan didalam penyelidikan

epidemiologi.
b.2. Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi

sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.

b.3. Pekerjaan

Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara

mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan.

b.4. Sumber Informasi

Informasi adalah data yang diproses kedalam suatu bentuk yang mempunyai arti

bagi si penerima dan mempunyai nilai nyata dan terasa bagi keputusan saat itu

atau keputusan mendatang (Mubarak, 2006).

Salah satu cara memperoleh pengetahuan yaitu dari sumber informasi,

semakin banyak seseorang memperoleh informasi dari berbagai sumber maka

semakin baik pengetahuannya (Notoatmodjo, 2003).

3) Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesediaan untuk bertindak dan

bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap tidak dapat dilihat tetapi hanya

dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup (Notoatmodjo, 2007).

Sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu:

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).


Menurut Notoatmodjo, (2007), dalam penentuan sikap yang utuh ini,

pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting dengan

berbagai tingkat sikap yaitu :

a. Menerima (receiving), artinya bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

b. Merespon (responding), adalah memberikan jawaban apabila ditanya,

mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari

tindakan.

c. Menghargai (valuing), adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah.

d. Bertanggung Jawab (responsible), adalah bertanggungjawab atas segala sesuatu

yang dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

3. Pelatihan Kerja

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,

meningkatkan dan mengembangkan keterampilan dan keahliankerja guna

meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja

(Sastrohadiwiryo, 2002). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 13 disebutkan bahwa pelatihan di

bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya:

a. Calon peserta pelatihan

b. Tenaga kepelatihan

c. Kurikulum
d. Sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan

pelatihan

e. Sarana dan prasarana.

Pasal 9 menyebutkan bahwa :

a. Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau

penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.

b. Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan

jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Selanjutnya pada pasal 10 disebutkan bahwa :

a. Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti

pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.

b. Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas

pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan.

Sesuai standar patogen yang ditularkan melalui darah dari OSHA pelatihan

awal dan tahunan yang berhubungan dengan standar harus tersedia untuk setiap

pekerja yang secara potensial terpapar selama jam-jam kerja, dan biaya tidak

dibebankan pada pekerja (pelatihan tahunan harus dilakukan dalam 12 bulan dari

pelatihan awal). Catatan harus tetap dipertahankan untuk sesi-sesi pelatihan (Schaffer,

dkk, 2000).

Anda mungkin juga menyukai