Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah

yang mengenai parenkim paru (Mansjoer dkk, 2000). Menurut Prof. Dr.H.

Mardjanis, Sp.A(K), Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang

disebabkan terutama oleh bakteri; merupakan penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) yang paling sering menyebabkan kematian bayi

dan anak balita (Misnadiarly, 2008).

World Health Organisation (WHO) tahun 2008, menyatakan setiap

tahunnya lebih dari 10 juta anak yang berusia dibawah 5 tahun mengalami

kematian sebesar 73% yang disebabkan oleh 6 penyebab utama yaitu,

pneumonia 19%, diare 18%, infeksi pada darah atau pneumonia pada BBL

10%, premature 10%, asfiksia 8%, malaria 8%, berdasarkan data diatas

begitu tingginya kematian yang di hadapi balita yang terdiagnosa

pneumonia.

Berdasarkam hasil dari Departemen Kesehatan RI, cakupan

penemuan pneumonia pada balita tahun 2010 sebesar 23% dengan jumlah

kasus yang ditemukan sebanyak 499.259 kasus. Pada tahun 2011 terjadi

peningkatan sebanyak 521.911. Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa Timur,


laporan dari Kabupaten/Kota jumlah kasus pneumonia balita tahun 2012

sebesar 27,08% dengan jumlah penderita sebanyak 84.392 orang.

Berdasarkan data kasus pneumonia pada Kabupaten Madiun dari

15 Kecamatan yang ada di Kabupaten Madiun data kasus pneumonia yang

terbanyak terjadi di Puskesmas Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun.

Dari data yang diperoleh kejadian pneumonia ada 134 kasus. Jumlah

persentase penderita pneumonia balita di tiap kabupaten/kota di Jawa

Timur sangat beragam. Faktor geografis dan lingkungan merupakan salah

satu penyebab timbulnya variasi pneumonia di Jawa Timur. Dalam hal ini

faktor geografis dan lingkungan berpengaruh pada status gizi balita yang

bisa berdampak pada masalah kesehatan pada balita. Yang ditemukan pada

Puskesmas Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun terdapat 20 kasus status

gizi sangat kurang.

Untuk memperbaiki terjadinya angka kematian dilakukan dengan

adanya pembangunan kesehatan yang bertujuan dapat meningkatkan

kemauan dan kemampuan dalam memenuhi status gizi pada balita diduga

terkait erat dengan kejadian penyakit pneumonia pada balita. Tujuan yang

ingin dicapai dalam Pembangunan Menuju Indonesia Sehat merupakan

tujuan keempat Millenium Development Goals (MDGs) yaitu menurunkan

angka kematian anak dengan target menurunkan angka kematian balita

pada tahun 2015 dua per tiga dari tahun 1990. Salah satu upaya

menurunkan angka kematian balita adalah dengan menurunkan angka


kematian balita akibat Pneumonia sebagai penyebab utama kematian pada

balita (Buletin, 2010).

Pada anak – anak khususnya balita sampai sekarang gizi buruk

masih merupakan masalah yang memprihatinkan, bahkan balita dengan

gizi buruk akan menyebabkan angka mortalitas pneumonia pada balita

semakin tinggi (Said, 2008). Status gizi balita merupakan salah satu

indikator kesehatan yang dinilai keberhasilan pencapaiannya dalam MDGs

(Millenium Development Goals) (Depkes, 2012).

Status gizi balita disini ditentukan dari keadaan tubuh balita yang

dihitung dari berat badannya pada kelompok usia tertentu, yang

kategorinya (baik, sedang, dan buruk) ditentukan berdasarkan standar

WHO-NCHS (World Health Organization-National Center for Health

Statistics) (Jonny, 2005). Dan hasil keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor: 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang standar

antropometri penilaian status gizi anak mengacu pada standar World

Health Organization (WHO 2005).

Pada status gizi buruk pada penderita pneumonia perlu

mendapatkan perhatian dan perawatan yang khusus. Bila terbukti dalam

penelitian ini bahwa kejadian pneumonia berhubungan dengan status gizi

balita, maka perlu di tempuh beberapa solusi untuk peningkatan status gizi

dan peningkatan tentang pengetahuan pada pneumonia. Peningkatan status

gizi di Puskesmas Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun dilakukan

dengan cara memberikan pendidikan kesehatan tentang gizi pada balita


bagi ibu-ibu yang berobat, meliputi: pentingnya gizi balita, cara pemberian

asupan gizi yang baik dan benar. Peningkatan pengetahuan tentang

pneumonia dengan melakukan mengenali dan memahami gejala

pneumonia. Serta dilakukan dengan memberikan penyuluhan gizi dan

pneumonia sebagai bagian dari program Puskesmas.

Mengingat latar belakang diatas tersebut, peneliti tertarik

mengambil judul penelitian, “ Hubungan antara Status Gizi dengan

Kejadian Pneumonia pada Balita di Puskesmas Kecamatan Wungu

Kabupaten Madiun “.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara status gizi dengan kejadian

pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Wungu Kabupaten

Madiun?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan kejadian

pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Wungu Kabupaten

Madiun.

2. Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui status gizi pada balita di Puskesmas Kecamatan

Wungu Kabupaten Madiun


2) Untuk mengetahui kejadian pneumonia di Puskesmas Kecamatan

Wungu Kabupaten Madiun.

3) Untuk menganalisis hubungan antara status gizi dengan kejadian

pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Wungu

Kabupaten Madiun

D. Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan tambahan pemahaman tentang berbagai faktor

yang melatar belakangi pneumonia pada balita, sehingga dapat

mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi terkait asupan gizi

pada balita.

2. Dapat memberikan masukan bagi Puskesmas dalam membuat

kebijakan untuk peningkatan pelayanan kesehatan yang diberikan

kepada masyarakat, khususnya untuk mengatasi masalah pneumonia

dan peningkatan status gizi balita dengan mempermudah akses bagi

masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

3. Dapat memberikan kesadaran pada masyarakat akan pentingnya status

gizi, serta cepat tanggap dalam memberikan pertolongan dalam upaya

mencegah kondisi yang semakin memburuk pada anak yang

mengalami peradangan saluran nafas (pneumonia).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pneumonia

1) Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah Infeksi yang menyebabkan paru-paru

meradang. Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru-paru

yang mengakibatkan konsolidasi bagian paru-paru yang terkena.

(Morgan, 2003). Pneumonia adalah suatu radang paru yang

disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus,

jamur dan benda asing (Ngastiyah, 2005). Menurut Prof. Dr.H.

Mardjanis, Sp.A(K), Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru

yang disebabkan terutama oleh bakteri; merupakan penyakit Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang paling sering menyebabkan

kematian bayi dan anak balita (Misnadiarly, 2008). Pneumonia adalah

keradangan parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang,

dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam

interstitium (Wibisono, 2010).

2) Etiologi
Sebagian besar penyebab Pneumonia adalah mikroorganisme

(virus, bakteri), dan sebagian kecil oleh penyebab lain seperti

hidrokarbon (minyak tanah, bensin, atau sejenisnya) dan masuknya

makanan, minuman, susu, isi lambung ke dalam saluran pernapasan

(aspirasi). Berbagai penyebab pneumonia tersebut dikelompokkan

berdasarkan golongan umur, berat ringannya penyakit dan penyulit

yang menyerainya (komplikasi) (Misnadiarly, 2008).

Umumnya adalah bakteri, yaitu Streptococcus pneumoniae dan

Haemophillus influenzae. Pada bayi dan anak kecil ditemukan

Staphylococcus aureus sebagai penyebab pneumonia yang berat,

serius dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi (Mansjoer, 2000).

Klasifikasi pneumonia pada anak menurut etiologi :

(1) Bakteri :Pneumococcus, Streptococcus, Staphylococcus,

Haemophillus Influenzae, Klebsiella, M.

Tuberculosis, Mycoplasma pneumonieae.

(2) Virus : R.S.V (Respiratory Syncitial Virus), adenovirus,

parainfluenza virus, influenza virus, enterovirus.

(3) Fungi : Candida, Histoplasma, Coccidiordes dan lain-lain.

(4) Protozoa : Pneumocystis carinii, tosxoplasmosis.

(5) Bahan kimia : aspirasi makanan / susu, isi lambung, hydrocarbon.

3) Faktor Resiko Pneumonia

Faktor resiko yang meningkatkan insidens pneumonia adalah:


1. Umur

2. Jenis kelamin

3. Gizi yang kurang

4. Tidak mendapatkan ASI yang memadai

5. Tekanan Polusi Udara

6. Perubahan Iklim

7. Berat badan lahir rendah (BBLR)

8. Kepadatan tempat tinggal

9. Tingkat Ekonomi Rendah

4) Pembagian Anatomis

a) Pneumonia Lobaris

Pada pneumonia lobaris daerah yang terkena tampak

terbendung dan difusi oksigen tak berjalan. Kecepatan pernapasan

bertambah dalam usaha jaringan peru-paru untuk mengisi

kekurangan dari kegagalan-kegagalan pada bagian yang terkena

(Pearce E. C, 2009). Anak lebih suka tiduran pada dada yang

sakit. Batuk mula-mula kering kemudian menjadi produktif. Pada

pemeriksaan fisik, kelainan yang khas tampak setelah 1-2 hari.

Pada permulaan suara pernafasan melemah sedangkan pada

perkusi tidak jelas ada kelainan. (Ngastiyah, 2005)

b) Pneumonia lobularis (Bronkopneumonia)


Pneumonia lobularis atau bronkopneumonia menunjukkan

penyebaran daerah infeksi yang ditandai dengan bercak

berdiameter sekitar 3-4 cm mengelilingi dan mengenai bronkus

(Somantri, 2007). Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis

dengan pemeriksaan fisik tetapi dengan adanya napas dangkal dan

cepat, pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan

mulut dapat diduga adanya pneumonia. Hasil pemeriksaan fisik

tergantung daripada luas daerah auskultasi yang terkena, pada

perkusi sering tidak ditemukan kelainan dan pada auskultasi

mungkin hanya terdengar ronki basah, nyaring halus atau sedang.

Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin

pada perkusi terdengar keredupan dan suara pada suara

pernapasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium

resolusi, ronki terdengar lagi (Ngastiyah, 2005).

c) Pneumonia interstitialis (bronkiolitis)

Pneumonia interstitial mengacu pada proses inflamasi pada

interstisium yang terdiri dari dinding alveolus, kantung dan

duktus alveolar serta bronkiolus. Pneumonitis interstisial khas

pada infeksi virus akut tetapi dapat juga akibat dari proses infeksi

kronik (Saunders, 2011). Bronkiolitis akut ialah suatu sindrom

obstruksi bronkiolus yang sering diderita bayi atau anak berumur

kurang dari 2 tahun, paling sering pada usia 6 bulan. Bronkiolitis


akut sebagian besar disebabkan oleh respiratory syncyal virus

(50%) (Ngastiyah, 2005).

5) Patofisiologi

Aspirasi mikroorganisme yang mengkolonisasi sekresi

orofarinks merupakan rute infeksi yang paling sering. Rute inokulasi

lain meliputi inhalasi, penyebaran infeksi melalui darah (hematogen)

dari area infeksi yang jauh, dan penyebaran langsung dari tempat

penularan infeksi. Jalan napas atas merupakan garis pertahanan

pertama terhadap infeksi, tetapi, pembersihan mikroorganisme oleh air

liur, ekspulsi, mukosiliar, dan sekresi IgA dapat terhambat oleh

berbagai penyakit, penurunan imun, merokok, dan intubasi

endotrakeal. Pertahanan jalan napas bawah meliputi batuk, refleks

muntah, ekspulsi mukosiliar, surfaktan, fagositosis makrofag dan

polimorfonukleosit (PMN), dan imunitas selular dan humoral.

Pertahanan ini dapat dihambat oleh penurunan kesadaran, merokok,

produksi mukus yang abnormal (mis, kistik fibrosis atau bronkitis

kronis), penurunan imun, intubasi dan tirah baring berkepanjangan.

Makrofag alveolar merupakan pertahanan primer terhadap

invasi saluran pernapasan bawah dan setiap hari membersihkan jalan

napas dari mikroorganisme yang teraspirasi tanpa menyebabkan

inflamasi yang bermakna. Bila jumlah atau virulensi mikroorganisme

terlalu besar, maka makrofag akan merekrut PMN dan memulai


rangkaian inflamasi dengan berbagai pelepasan sitokin termasuk

leukotrien, faktor nekrosis tumor (TNF), interleukin, radikal oksigen,

dan protease. Inflamasi tersebut menyebabkan pengisian alveolus

mengalami ketidakcocokan ventilasi / perfusi dan hipoksemia. Terjadi

apoptosis sel-sel paru yang meluas, ini membantu membasmi

mikroorganisme intrasel seperti tuberkulosis atau klamidia, tetapi juga

turut andil dalam proses patologis kerusakan paru. Infeksi dan

inflamasi dapat tetap terlokalisir di paru atau dapat menyebabkan

bakteremia yang mengakibatkan meningitis atau endokarditis,

sindrom respons inflamasi sistemik (systemic inflamatory response

syndrome, SIRS), dan / atau sepsis. Faktor virulensi dari berbagai

mikroorganisme dapat memengaruhi patofisiologi dan perjalanan

klinis penyakit. Streptococcus pneumoniae (pneumococcus)

merupakan contoh yang sangat tepat,

Mikroorganisme terhirup atau tersebar melalui dari sumber yang

lain

Polisakarida kapsular melindungi mikroorganisme dari PMN dan

menghilangkan inflamasi sampai sistem imun teraktivasi

Antibodi menjalankan dinding sel yang ada dibawahnya; leukosit

direkrut ke paru
Sitokin diproduksi, permeabilitas epitel alveolus meningkat, dan

teichoic acid dari mikroorganisme memulai rangkaian pro-

koagulan

Saat mikroorganisme dihancurkan, komponen dinding sel akan

dilepaskan, dan lepaslah pneumolysin yang bersifat sitotoksik bagi

sel paru

Perubahan patologi paru yang besar meliputi pembendungan

(ekudasi cairan ke dalam alveolus), hepatisasi merah (kebocoran

eritrosit ke dalam alveolus), dan hepatisasi abu (migrasi leukosit ke

dalam alveolus)

Respons inflamasi intensif menyebabkan “krisis” klinis dan pada

akhirnya menurunkan demam

Fibrinisasi dengan resolusi

Gambar II.1 Patogenesis Pneumonia Pneumokokus (Brasher,

2007)

6) Manifestasi Klinis

Secara umum dapat dibagi menjadi:


a. Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam,

sakit kepala, iritabel, gelisah, malaise, nafsu makan kurang,

keluhan gastrointestinal

b. Gejala umum saluran pernafasan bawah berupa batuk, takipnu,

ekspektorasi sputum, napas cuping hidung, sesak napas, air

hunger, merintih, dan sianosis. Anak yang lebih besar dengan

pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi yang sakit

dengan lutut terlekuk karena nyeri dada.

c. Tanda pneumonia brupa retraksi (penarikan dinding dada

bagian bawah ke dalam saat bernapas bersama dengan

peningkatan frekuensi bernapas), perkusi pekak, fremitus

melemah, suara napas melemah, dan ronki.

d. Tanda efusi pleura atau empiema berupa gerak ekskursi dada

tertinggal di daerah efusi, perkusi pekak, fremitus melemah,

suara napas melemah, suara napas tubuler tepat di atas batas

cairan, friction rub, nyeri dada karena iritasi pleura (nyeri

berkurang bila efusi bertambah dan berubah menjadi nyeri

tumpul), kaku kuduk / meningismus (iritasi meningen tanpa

inflamasi) bila terdapat iritasi pleura lobus atas, nyeri abdomen

(kadang terjadi bila iritasi mengenai diafragma pada

pneumonia lobus kanan bawah) pada neonatus dan bayi kecil

tanda pneumonia tidak selalu jelas. Efusi pleura pada bayi

akan menimbulkan pekak perkusi.


e. Tanda infeksi ekstrapulmonal (Mansjoer, 2000).

7) Penatalaksanaan

Penderita pneumonia yang mempunyai gejala ringan dapat

ditangani dengan berobat jalan. Penderita yang mempunyai keadaan

klinis sakit berat (sesak napas, demam sangat tinggi, kesadaran

menurun) perlu dirawat di rumah sakit. Pemberian obat antibiotik

disesuaikan dengan pola infeksi di daerah, dan akan lebih tepat jika

obat antibiotik yang digunakan sesuai dengan hasil pemeriksaan

mikrobiologi (Djojodibroto, 2009).

Pengobatan di mulai dengan segera dan harus mengatasi

streptococcus pneumoniae. Pada pneumonia tanpa komplikasi,

pengobatan biasanya dimulai dengan amoksisilin oral atau makrolid

(eritromisin atau klaritromisin). Pengobatan pada pneumonia yang

berat diberikan intravena, seringkali menggunakan gabungan makrolid

(eritromisin) dan sefalosporin generasi kedua atau ketiga (sefuroksim

atau sefotaksim). Cairan intravena mungkin diperlukan, Analgesik

untuk nyeri pleuritik (David Rubenstein, 2007).

8) Pencegahan

Upaya pencegahan merupakan komponen strategis dalam

pemberantasan pneumonia pada anak terdiri atas pencegahan melalui


imunisasi dan upaya pencegahan non imunisasi. Program

Pembangunan Imunisasi (PPI) yang meliputi imunisasi DPT dan

campak yang telah dilaksanakan pemerintah selama ini dapat

menurunkan proporsi kematian balita akibat pneumonia. Hal ini dapat

dimengerti karena campak, pertusis dan juga difteri bisa juga

menyebabkan pneumonia atau merupakan penyakit penyerta pada

pneumonia balita. Disamping itu, sekarang telah tersedia vaksin Hib

dan vaksin pneumokokus konjugat untuk pencegahan tehadap infeksi

bakteri penyebab pneumonia dan penyakit berat lainnya seperti

meningitis. Namun vaksin ini belum masuk dalam Program

Pembangunan Imunisasi (PPI) Pemerintah.

Yang tidak kalah penting sebenarnya adalah upaya pencegahan

non-imunisasi ysng meliputi pemberian ASI eksklusif, pemberian

nutrisi yang baik, penghindaraan pajanan asap rokok, asap dapur, dan

lain-lain; perbaikan lingkungan hidup dan sikap hidup sehat; yang

semuanya itu dapt menghindarkan terhadap risiko teinfeksi penyakit

menular termasuk penghindaraan terhadap pneumonia (Misnadiarly,

2008).

9) Klasifikasi Kejadian Pneumonia

Berdasarkan pedoman WHO pneumonia dibedakan atas :

a) Pneumonia sangat berat


Bila ada sianosis sentral dan tidak sanggup minum, harus

dirawat di RS dan diberi antibiotik.

b) Pneumonia berat

Bila ada retraksi, tanpa sianosis, dan masih sanggup

minum, harus dirawat di RS dan diberi antibiotik

c) Pneumonia

Bila tidak ada retraksi, tetapi napas cepat :

>60x/menit pada bayi < 2 bulan

>50x/menit pada anak 2 bulan – 1 tahun

>40x/menit pada anak 1-5 tahun

Tidak perlu dirawat, cukup diberi antibiotik oral (Mansjoer,

2000).

10) Indikasi Pneumonia

1. Keluhan batuk

2. Adanya tarikan otot bantu pernafasan saat bernafas

3. Nafas cepat < 60x/menit

4. Terdapat sianosis serntral

5. Anak tidak bisa minum

6. Diberi Antibiotik

B. Konsep Status Gizi Balita

1. Pengertian Status Gizi


Status Gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk

variabel-variabel tertentu. Status gizi juga merupakan akibat dari

keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaaan

zat-zat gizi tersebut atau keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat

gizi dalam seluruh tubuh (Supriasa dkk, 2002). Status gizi adalah

keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan pengunaan zat-zat

gizi dibedakan antara status gizi buruk, gizi kurang, dan gizi baik

(Almatsier, 2001).

2. Faktor Penyebab Gizi Kurang

Adapun yang menjadi penyebab gizi kurang di masyarakat adalah

sebagai berikut :

a) Akses terhadap pangan rendah

b) Makanan ibu hamil kurang kalori dan protein, atau terserang

penyakit

c) Bayi baru lahir tidak diberi kolesterum

d) Bayi sudah diberi MP ASI sebelum usia 4 / 6 bulan

e) Pemberian makanan padat pada bayi terlalu lambat

f) Anak dibawah umur < 2 tahun, kurang diberi makanan atau densitas

energi kurang

g) Makanan tidak mempunyai zat gizi mikro yang cukup

h) Penanganan diare yang tidak benar

i) Makanan kotor / terkontamidasi

j) Kemiskinan (Alamsyah, 2013)


3. Pentingnya Gizi bagi Anak dengan Pneumonia

Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup

kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika

keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun

yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan

infeksi menjadi turun. Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi

sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan merupakan pertanda awal

dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi

(Notoadmodjo, 2011). Berdasarkan dari angka kematian bayi di berbagai

negara, Rohde menyimpulkan bahwa 60% - 70% kematian balita

disebabkan karena diare, pneumonia, dan penyakit infeksi menular

(Notoadmodjo, 2011).

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.

Status gizi baik atau optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat

gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan

pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan

secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi

bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial.

Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah

berlebih, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan

(Almatsier, 2001).

Menurut pendapat Scringhaw (1959) mengatakan bahwa ada

hubungan yang erat antara status gizi dengan penyakit Pneumonia,


sehingga anak yang status gizinya kurang atau buruk berada pada resiko

tinggi menderita Pneumonia. Energi dan protein sangat dibutuhkan anak

dalam masa pertumbuhan, protein digunakan sebagai zat pembangun dan

pengganti sel-sel tubuh yang rusak, sedangkan energi dijadikan sebagai

sumber tenaga (Supriasa dkk, 2002). Pada anak dengan gizi kurang atau

buruk, asupan energi dan proteinnya kurang sehingga dapat mengganggu

sistem dalam tubuh termasuk sistem imun, yang juga ikut menurun

membuat tubuh mudah terserang infeksi (Arisman, 2004).

Pada kasus gizi kurang atau buruk dimana asupan protein kurang,

glukosa dan silia pada saluran pernafasan tidak berfungsi normal dan

menyebabkan kuman masuk, pada saat itu kekuatan otot perut, sela iga,

bahu dan diafragma tidak berfungsi dan menyebabkan fungsi ventilasi

terganggu, kemampuan mengeluarkan dahak menjadi rusak. Hal ini

menyebabkan eksudat menumpuk dalam broncus sehingga kuman

bersarang dalam saluran pernafasan dan menyebabkan infeksi.(Arisman,

2004).

4. Penghitungan Status Gizi

Ada berbagai cara melakukan penilaian status gizi. Salah satunya

adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan

antropometri. Pengukuran antropometri yang dapat digunakan antara lain:

berat badan (BB), panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB), lingkar
lengan atas (LILA), lingkar kepala (LK), lingkar dada (LD), dan lapisan

lemak bawah kulit (LLBK). Namun disini pengukuran antropometri hanya

menggunakan berat badan dan panjang/ tinggi badan.

Dalam penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk

indeks yang dikaitkan dengan variable lain, seperti: berat badan menurut

umur (BB/U), panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau

TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan lain-lain. Masing-

masing indeks antropometri tersebut memiliki baku rujukan atau nilai

patokan untuk memperkirakan status gizi seseorang atau masyarakat. Baku

rujukan tersebut dapat menggunakan nilai mean dan standar deviasi,

persentil, persentase, maupun perhitungan z-score. Namun, untuk

mempermudahkan dalam penilaian status gizi terdapat grafik pertumbuhan

standar yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention

(CDC) tahun 2000 dengan menggunakan kurva persentil dan World

Health Organization (WHO) tahun 2005 dengan menggunakan kurva z-

score. Status gizi yang digambarkan oleh masing-masing indeks

mempunyai arti yang berbeda. Jika antropometri ditujukan untuk

mengukur seseorang yang kurus (wasting), pendek (stunting), atau

keterhambatan pertumbuhan, maka indeks BB/TB dan TB/U adalah yang

cocok digunakan. Kurus kering dan kecil pendek ini pada umumnya

menggambarkan keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan

akibat tidak sehat yang menahun.


Kategori ambang batas status gizi anak berdasar Keputusan

Menteri Kesehatan RI: No 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar

Antropometri Penilaian Status Gizi Anak adalah sebagai berikut:

Indeks Kategori Ambang Batas


Status gizi (Z score)
Berat Badan menurut Umur (BB/U) Gizi buruk < 3 SD
Anak umur 0 - 60 bulan Gizi kurang -3 SD s/d < 2 SD
Gizi baik -2 SD s/d 2 SD
Gizi lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Umur Sangat Pendek <-3 SD
(PB/U) atau Pendek -3 SD s/d -2 SD
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Normal -2 SD s/d 2 SD
Anak Umur 0 – 60 bulan Tinggi >2 SD

Berat Badan menurut Panjang Badan Sangat kurus <-3 SD


(BB/PB) atau Kurus -3 SD s/d <-2 SD
Berat Badan menurut Tinggi Badan Normal -2 SD s/d 2 SD
(BB/TB) Gemuk >2 SD
Anak Umur 0-60 bulan
Indeks Massa Tubuh menurut Umur Sangat kurus <-3 SD
( IMT/U) Kurus -3 SD s/d <-2 SD
Anak Umur 0 – 60 Bulan Normal -2 SD s/d 2 SD
Gemuk >2 SD

Indeks Massa Tubuh menurut Umur Sangat kurus <-3 SD


(IMT/U) kurus -3SD s/d <-2 SD
Anak Umur 5 – 18 tahun
Normal -2 SD s/d 1 SD
Gemuk >1 SD s/d 2 SD
Obesitas >2 SD

Gizi buruk dapat diketahui dengan kenaikan berat badan yang tidak

cukup (dibandingkan dengan umur atau tingginya), dan biasanya disertai

dengan penyakit infeksi.


Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat

Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan

Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).

Klasifikasi dari standar Harvard yang sudah dimodifikasi tersebut

adalah :

a) Gizi baik, adalah apabila berat badan bayi/anak menurut umurnya

lebih dari 89% standar Harvard.

b) Gizi Kurang, adalah apabila berat badan bayi/anak menurut umur

berada di antara 60,1% -80% standar Harvard.

c) Gizi buruk, adalah apabila berat badan bayi/anak menurut umurnya

60% atau kurang dari standar Harvard.

Pengukuran status gizi bayi dan anak balita berdasarkan tinggi badan

menurut umur, juga menggunakan modifikasi standar Harvard, dengan

klasifikasinya adalah:

a) Gizi baik, yakni apabila panjang tinggi badan bayi/anak menurut

umurnya lebih dari 80% standar Harvard.

b) Gizi kurang, apabila panjang/tinggi badan bayi/anak menurut

umurnya berada di antaraa 70,1%-80% dari standar Harvard.

c) Gizi buruk, apabila panjang/tinggi badan bayi/anak menurut

umurnya 70% atau kurang dari standar Harvard.

Pengukuran berat badan menurut tinggi badan ini di peroleh dengan

mengombinasikan berat badan dan tinggi badan per umur menurut

standar Harvard. Klasifikasinya adalah:


a) Gizi baik, apabila berat badan bayi/anak menurut

panjang/tingginya lebih dari 90% dari standar Harvard.

b) Gizi kurang, apabila berat bayi/anak menurut panjang/tingginya

berada di antara 70,1%-90% dari standar Harvard.

c) Gizi buruk, apabila berat bayi/anak menurut panjang/tingginya

70% atau kurang dari standar Harvard.


BAB III

KERANGKA KONSEP

1. Kerangka Konsep Penelitian

BALITA

Status Gizi Balita

Indikator :

1. Berat Badan

2. Panjang Badan atau

Tinggi Badan

Status Gizi Baik Status Gizi Kurang Status Gizi Buruk

Penurunan Sistem Kekebalan Tubuh

Peningkatan Infeksi Pneumonia

Balita Penderita Pneumonia

Pneumonia Pneumonia Berat Pneumonia Sangat Berat


Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual Hubungan antara Status Gizi dengan

Kejadian Pneumonia pada Balita di Puskesmas Gantrung

Kecamatan Kebonsari Kabupaten Madiun.

Status gizi buruk mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita.

Status gizi dapat diukur dengan berat badan dan panjang badan atau tinggi

badan. Status gizi yang kurang baik dapat menimbulkan penurunan sistem

kekebalan tubuh dan yang dapat meningkatkan infeksi pneumonia.

Kejadian pneumonia dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu, pneumonia,

pneumonia berat, dan pneumonia sangat berat. Berdasarkan dari tanda dan

gejala pneumonia tersebut.

2. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut :

Ha : Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada

balita di Puskesmas Gantrung Kecamatan Wungu Kabupaten

Madiun

Ho : Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia

pada balita di Puskesmas Gantrung Kecamatan Wungu Kabupaten

Madiun
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai tujuan

penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun

peneliti pada sebuah proses peneliti (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini

dilakukan dengan desain penelitian korelasional. Penelitian Korelasional

bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif antarvaribel. Hubungan

korelatif yang mengacu pada kecenderungan bahwa variasi suatu variabel

diikuti oleh variasi variabel yang lain. Penelitian ini menggunakan penelitian

cross sectional adalah jenis penelitian yang menekankan waktu

pengukuran/observasi data variabel independen dan dependen dinilai secara

simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah setiap subyek (dapat berupa manusia, binatang

percobaan, data laboratorium, dan lain-lain) yang memenuhi karakteristik

yang ditentukan (Sastroasmoro, 1995). Dalam penelitian ini populasinya

diambil dari balita yang berobat di Puskesmas Kecamatan Wungu Kabupaten

Madiun sejumlah 134 pasien .


2. Sampel

Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan

cara tertentu hingga dianggap mewakili populasinya (Sastroasmoro,

1995). Kriteria sampel dibedakan menjadi dua yaitu inklusi dan eksklusi.

1) Kriteria inklusi

Dalam penelitian ini peneliti membatasi subjek penelitian dengan

kriteria inklusi sebagai berikut:

a. Pasien balita usia 0 hari – 5 tahun

b. Didiagnosa pneumonia

c. Bersedia menjadi responden

2) Kriteria eksklusi

Dalam penelitian ini peneliti membatasi subjek penelitian dengan

kriteria eklusi yaitu :

a. Pasien usia diatas 5 tahun

b. Pasien menderita sakit selain pneumonia

3) Besar Sampel

Pada penelitian ini jumlah sampel ditentukan dengan

menggunakan rumus sebagai berikut (Soekidjo, 2008) :

𝑁
n=
1 + N (d)2

Keterangan :

n : Besar Sampel
N : Jumlah Populasi

d : Taraf signifikan, dalam penelitian ini sebesar 0,05

Sehingga besar sampel penelitian adalah

𝑁
n=
1 + N (d)2

134
=
1 + 134 (0,05)

Jadi sampel dalam penelitian ini adalah responden

4) Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi

untuk dapat mewakili populasi. Tehnik sampling merupakan cara-

cara yang ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh

sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subyek

peneliti (Nursalam, 2008). Tehnik sampling penelitian ini yaitu

non probability sampling dengan cara purposive sampling atau

“judgement sampling” adalah suatu teknik penetapan sampel

dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang

dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga

sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah

dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008) .


C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini akan direncanakan mulai bulan April - Meil

2014, tempat penelitian di Puskesmas Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun.

D. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan vaiabel, antara lain :

1. Variabel independen / variabel bebas

Variabel independen / variabel bebas pada penelitian ini adalah status gizi

2. Variabel dependen / variabel terikat

Variabel dependen / variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian

pneumonia.

E. Definisi Istilah / Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian
Pneumonia pada Balita di Puskesmas Kecamatan Wungu
Kabupaten Madiun

Varia Definisi Alat


Parameter Skala Skor
bel Operasional Ukur
Stat Ekspresi dari Parameter pengukuran observa Ordi Pengukura
us keseimbangan dengan menggunakan : si nal n : BB
gizi konsumsi dalam
1. Berat Badan (BB)
makanan balita gram
2. Panjang Badan
yang digunakan (PB) atau Tinggi
untuk pertumbu PB dalam
Badan (TB)
han kondisi centimeter
fisik balita dan atau TB
diukur Klasifikasi status gizi : dalam
menggunakan centimeter
1. Gizi baik
BB,PB/TB 2. Gizi kurang
balita. 3. Gizi buruk
Hasil di
kelompok
kan
menjadi :

 Gizi
baik jika
> 90%
standar
Harvard
 Gizi
buruk
jika
diantara
70,1% -
90%
standar
Harvard
 Gizi
buruk
<70%
standar
Harvard

Keja Merupakan Indikasi Pneumoni observa Ordi Ya score 1


dian tingkatan 7. Keluhan batuk si nal
pneu klasifikasi sakit 8. Adanya tarikan otot Tidak
mo pneumonia bantu pernafasan score 0
nia yang diketemu saat bernafas
kan pada balita 9. Nafas cepat >
sesuai dari 60x/menit Nilai
pedoman WHO 10. Terdapat sianosis diklasifika
serntral sikan
11. Anak tidak bisa dalam :
minum
 Pneumo
12. Diberi Antibiotik
nia
sangat
berat
jika :
score >
5
 Pneumo
nia
berat,
jika :
score 3
–4
 Pneumo
nia, jika
: score
<2

F. Prosedur Penelitian/Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan

menggunakan jenis data primer yaitu secara langsung dari objek

penelitian oleh perorangan atau kelompok. (Riwidikdo, 2007 :213).

Sedangkan untuk pengukuran kejadian pneumonia dikunakan kuesioner

berupa pertanyaan tertutup yang menggunakan dichotomy question yaitu

dengan memilih jawaban ya atau tidak (Nursalam, 2008). Jika jawaban

“Ya” diberikan score 1, dan jika jawaban “Tidak’ diberikan score 0.

Sedangkan untuk mengukur status gizi digunakan lembar observasi dari

hasil pengukuran Berat Badan dan Panjang Badan atau Tinggi Badan.

Data primer didapatkan dari mengukur Berat Badan dan Panjang

badan atau Tinggi badan balita di Puskesmas Kecamatan Wungu

Kabupaten Madiun. Kemudian memberikan penjelasan kepada calon

resonden dan apabila bersedia menjadi responden dipersilahkan untuk

menandatangani informed concent pasien : angket variabel dependen


yaitu kecemasan, dan peneliti observasi variabel independent yaitu

stressor lingkungan.

b. Pengolahan data.

Setelah data terkumpul selanjutnya dlakukan pengolahan data

dengan cara sebagai berikut:

1) Coding

Memberi kode adalah kegiatan untuk mengklasifikasi data/

jawaban menurut kategorinya masing-masing. Setiap kategori

jawaban yang berbeda diberi kode yang berbeda.

2) Scoring

Memberikan nilai pada masing-masing option angket sesuai

ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Skoring untuk variabel

kejadian pneumonia adalah jika tanda-tanda klasifikasi pneumonia

muncul atau “Ya” diberi score 1, jika tanda-tanda klasifikasi

pneumonia tidak muncul atau “Tidak” diberi score 0. Hasil nilai

variabel kejadian pneumonia diklasifikasikan dalam : pneumonia

sangat berat jika score > 5; pneumonia berat jika score 3 – 4 dan

Pneumonia jika score < 3. Sedangkan untuk variabel status gizi

diukur Panjang Badan atau tinggi Badan dengan satuan centimeter

dan BB dengan satuan gram. Hasil pengukuran variabel status gizi

ini dikelompokkan menjadi : gizi baik jika hasil pengukuran >90%

dari standar Harvard; gizi kurang jika hasil pengukuran diantara


70,1% - 90% dari standar harvard dan gizi buruk jika hasil

pengukuran < 70% dari standar Harvard.

3) Processing

Procesing adalah kegiatan untuk meringkas data yang masuk

ke dalam tabel-tabel yang telah dipersiapkan. Proses tabulasi

meliputi, pertam mempersiapkan tabel dengan kolom dan baris yang

disusun dengan cermat sesuai kebutuhan. Kedua, menghitung

banyaknya frekuensi untuk tiap kategori jawaban dan ketiga,

menyusun distribusi frekuensi dengan tujuan agar data dibaca dan

dianalisa (Djarwanto, 2001 : 234).

4) Cleaning

Merupakan kegiatan mengecek kembali data yang telah

dimasukan untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.data-data

yang salah diperbaiki kembali, sehingga hasil analisis mendekati

kebenaran.

G. Analisa Data

Analisa data merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai

tujuan, dimana tujuan pokok penelitian adalah menjawab pertanyaan-

pertanyaan penelitian dalam mengungkap fenomena (Nursalam, 2003 : 45).

Cara analisa data :

1. Analisis Univariat

2. Analisis Bivariat

Anda mungkin juga menyukai