Anda di halaman 1dari 19

5

BAB II
DASAR TEORI

2.1 Prinsip Kerja Roket


Roket merupakan wahana luar angkasa, peluru kendali, atau kendaraan
terbang yang mendapatkan dorongan melalui reaksi roket terhadap keluarnya
secara cepat bahan fluida dari keluaran mesin roket. Aksi dari keluaran dalam
ruang bakar dan nozle pengembang, mampu membuat gas mengalir dengan
kecepatan hipersonik sehingga menimbulkan dorongan reaktif yang besar untuk
roket. Seringkali definisi roket digunakan untuk merujuk kepada mesin roket.

Gambar 2.1 : Gaya pada roket


Sumber : (Benson, 2010)

Reaksi kimia dimulai di ruang bakar dengan bahan bakar (dengan udara
atau oksigen bila di ruang angkasa) dan gas panas yang dihasilkan mengalir
dengan tekanan tinggi keluar melalui saluran yang menuju ke arah belakang roket.
Tekanan gas yang menyembur keluar inilah yang menghasilkan gaya dorong bagi
roket sehingga roket dapat bergerak maju atau ke atas. Pada Roket seperti gambar
2.1 (Benson, 2010) ada empat gaya yang bekerja yaitu :
1. Lift (gaya angkat)
2. Drag (gaya seret/tahanan)
3. Thrust (gaya dorong)
6

4. Weight (gaya berat)

Geometri roket atmosfer secara umum dibagi dalam 4 bagian


1. Hidung (Nose)
Bagian paling depan yang biasanya diisi hulu ledak muatan ilmiah atau
peralatan indera/kendali
2. Tabung silindris (cylinder)
Badan utama roket yang biasanya diisi bahan bakar dan peralatan bakarnya
3. Ekor (tail)
Bagian paling belakang berisi saluran sumber pembakaran (nozzle)
mekanisme pengendalian
4. Sirip (fin/stabilizer)
Alat kendali aerodinamik, yang berfungsi sebagai pemberi kemudi maupun
kestabilan

Bentuk Nose Cone Roket


1. Parabolic (gambar 2.2c)
2. Kerucut /cone (gambar 2.2b)
3. Eliptical (gambar 2.2a)

(a) (b)

(c)

Gambar 2.2 : Bentuk nose pada roket (a) eliptical (b) cone, (c) parabolic
Sumber : (Crowell 1996)
7

Luas Permukaan Nose Cone (Crowell 1996):

S  R R 2  L2 ...............................................................................................(2.1)

Luas Permukaan Nose Elliptical (Crowell 1996) :

 R 2   1   
  ln  
   1    L2  R 2
S  L 
2
dimana  
2 L ......................................(2.2)

Luas Permukaan Nose Parabolic (Crowell 1996):

 2  L  
S  D     2  L2  sin    L  R 
 2   .................................................(2.3)

R 2  L2

2R

Dimana :
S = Luas Permukaan (m2)
R = Radius/ jari-jari (m)
L = Length/ panjang (m)

Ada tiga jenis bentuk ekor roket


1. Kerucut konvergen
2. Kerucut divergen (flares)
3. Parabolik konvergen

Pada pembuatan roket tingkat pemula dan tingkat lanjut fin/sirip yang
umum digunakan adalah bentuk delta, ada dua sirip bentuk delta yang umum
digunakan yaitu, simple delta dan cropped delta :
8

(a)

(b)

Gambar 2.3 Bentuk sirip delta, (a) simple delta, (b) cropped delta
Sumber : ( Anderson, 2007)

2.2 Kecepatan – Mach


Mach number merupakan perbandingan antara kecepatan aliran terhadap
sayap di udara terhadap kecepatan rambat suara di udara (medium/fluida yang
sama). Dari definisi ini, jenis kecepatan bisa dibagi berdasarkan Mach number
(M).
M<<1 kecepatan benda jauh kecil dari kecepatan rambat suara
(hiposonik)
M<1 kecepatan benda lebih kecil dari kecepatan rambat suara
(subsonik)
M=1 kecepatan benda sama dengan kecepatan rambat suara (sonik
atau transonik)
M>1 kecepatan benda lebih besar dari kecepatan rambat suara
(supersonik)

2.3 Kemunculan Shock


Pada aliran subsonik (M<0,8) visualisasi alirannya adalah sebagai berikut :

Gambar 2.4 : Aliran subsonic


Sumber : ( Anderson, 2007)
9

Di adalam zona lokal ini, kecepatannya lebih tinggi daripada


sekelilingnya. Bayangkan sebuah partikel udara yang melewati zona ini. Awalnya
dia berkecepatan 0,9M, lalu dia melewati keadaan transisi yang tiba-tiba dan
kecepatannya naik lebih dari kecepatan suara. Keadaan tiba-tiba ini disebut:
Shock. Setelah beberapa saat, partikel ini lalu mengalami penurunan kecepatan
lagi secara tiba-tiba dan keluar dari zona lokal ini.

Gambar 2.5 : Aliran Transonic


Sumber : (Anderson, 2007)

zona lokalnya memiliki kecepatan lebih rendah dari sekelilingnya.


Terbentuklah suatu shock berbentuk busur di depan profil sayap. Selain itu,
terbentuk pula shock berbentuk ekor ikan di ujung akhir: Trailing Edge namun
lebih lemah dari shock busur.

Gambar 2.6 : Munculnya shock pada airfoil


Sumber : (Anderson, 2007)

Setelah memasuki tahap kecepatan Supersonik,. Shock berbentuk busur di


pangkal kerucut mendekati pangkal kerucut. Ini disebut Shock Wave atau dikenal
dengan Oblique shock wave. Perlu dicatat bahwa setelah Oblique shock,
10

kecepatan tetap supersonik. Ada lagi istilah expansion wave, keadaan dimana
terbentuk sekumpulan shock lemah yang menyebabkan tekanan turun secara
bertahap.

Gambar 2.7 : Aliran supersonic


Sumber :( Anderson, 2007)

Pada kecepatan hipersonik, Oblique shock wave menjadi lebih terlekuk ke


dalam dan mendekati badan kerucut. Ini terjadi pada pesawat ulang alik yang
memasuki atmosfer. Jika Mach menjadi sangat tinggi, shock ini menjadi sangat
tipis dan pada lapisan shock ini suhunya sangat tinggi hingga menyebabkan
molekul oksigen dan nitrogen di atmosfer terpisah.

Gambar 2.8 : Aliran hypersonic


Sumber : (Anderson, 2007)
11

2.4 Aliran External


Aliran external adalah aliran yang melingkupi suatu body, dimana lapisan
batas (boundry layer) dapat berkembang secara bebas.

Gambar 2.9: Aliran external pada airfoil


Sumber : (Anderson, 2007)

Pada aliran external, aliran parallel pada pelat datar sering digunakan
dalam hal-hal teknik. Meskipun bentuknya sederhana, geometri ini sering
digunakan sebagai pendekatan yang baik tentang aliran di atas permukaaan yang
sedikit melengkungseperti airfoil, sudu turbin, dan bodi kendaraan.

2.5 Boundary Layer


Aliran fluida sejati (real fluid) manapun selalu menunjukkan adanya suatu
daerah yang alirannya terhambat. Daerah yang alirannya terhambat ini disebut
lapisan batas (boundary layer), sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan
oleh Prandtl pada tahun 1904. Boundary layer adalah lapisan tipis pada
permukaan padat (solid surface) tempat fluida mengalir dimana pengaruh
viskositas relative besar, sehingga profil kecepatan tidak uniform. Proses
pembentukan lapisan batas mungkin paling baik bila divisualisasikan dengan
membayangkan aliran sepanjang plat rata. Misalkan ada seragam fluida tak dapat
mampat mendekati dengan kecepatan arus bebas U. Ketika fluida mencapai tepi
12

sebelah depan, tegangan geser yang besar terbentuk dekat permukaan pelat karena
partikel-partikel fluida yang tiba disitu dan partikel-partikel yang cukup dekat dan
normal terhadap pelat dihambat oleh gesekan viscous dan daerah tempat aliran
mengalami hambatan disebut lapisan batas, dan ketebalannya dinyatakan
dengan δ.
Pada bagian luar boundry layer, tidak ada pengaruh viskositas sehingga
aliran dapat diperlakukan sebagai invisit flow (aliran yang tidak kelihatan). Seperti
aliran pada saluran, aliran yang terjadi pada boundry layer bisa laminar atau
turbulen. Hal-hal yang mempengaruhi sifat aliran adalah pressure gradient,
kekasaran permukaan, heat transfer, gaya-gaya bodi dan gangguan-gangguan pada
aliran bebas. Bentuk dari boundry layer pada pelat datar dapat dilihat pada gambar
2.10.

Gambar 2.10 Boundry layer pada pelat datar


Sumber : ( Cengel &. Cimbala 2006)

Dimana :

1. Aliran yang berada di ujung muka disebut leading edge.


2. Ujung bagian belakang disebut trailing edge.
3. Bagian ujung dari ujung muka (leading edge) pada pelat datar, lapisan
batas adalah lapisan laminar. Untuk lapisan laminar bentuk distribusi
kecepatannya adalah parabolik.
4. Ketebalan lapisan batas (δ) bertambah dari ujung muka sampai jarak x,
aliran fluida akan ke bawah perlahan-lahan karena batas kekentalan
13

(viscous) menjadi tidak stabil dan patah-patah yang merupakan daerah


transisi, sampai lapisan batas turbulen yang berada di atas daerah transisi.
5. Tebal lapisan batas (δ) dianggap sebagai focus atau tempat kedudukan
titik-titik yang kecepatannya dinyatakan dalam u, sejajar dengan dengan
lempeng dan mencapai 99% kecepatan luar U (u = 0,99U).

2.6 Airfoil
Airfoil merupakan lapisan udara yang melewati suatu benda, yang
terbentuk di sekitar permukaan benda karena adanya gerak dari benda terhadap
fluida atau sebaliknya yang mana arahnya berlawanan.
Bentuk dari airfoil salah satunya mengikuti standarisasi dari NACA
(National Advisory Committee for Aeronautic), salah satu contohnya adalah
NACA 0012. Angka - angka yang tertera pada NACA 0012 berarti :

o Satu angka pertama (0) menunjukkan nilai dari maximum chamber yang
nilainya 1/100 panjang chord
o Satu angka kedua (0) menunjukkan lokasi maximum chamber yang
nilainya 1/10 panjang chord dihitung dari leading edge.
o Dua angka terakhir (12) menunjukkan nilai dari maximum thickness yang
nilainya 1/100 panjang chord.

2.7 Pola Aliran di Permukaan Body


Karena adanya efek viskositas dari udara maka akan menyebabkan
timbulnya boundry layer di sepanjang permukaan kendaraan sehingga timbul
gradient kecepatan pada permukaan kendaraan. Adanya gradient kecepatan
menyebabkan kecepatan aliran udara pada permukaan kendaraan sangat bervariasi
tergantung dari bentuk roket tersebut. Dengan adanya gradient kecepatan maka
akan timbul distribusi tekanan di sepanjang permukaan body roket.
Distribusi tekanan diukur pada daerah gangguan aliran udara di
permukaan kendaraan. Tekanan yang terjadi diwakili oleh nilai koefisien pressure
(Cp). Pada posisi stagnasi (nilai Cp = 1)merupakan daerah tekanan tinggi dimana
14

energy kinetis aliran udara diubah menjadi energy potensial, kecepatan aliran nol
sehingga tekanannya tertinggi.
Koefisien pressure (Cp) ditentukan oleh besarnya tekanan statis pada titik
di permukaan body yang dirumuskan sebagai berikut (Anderson, 2007):

p  p
Cp  .....................................................................................................(2.4)
q

Dimana :

Cp = koefisien pressure

P = tekanan statis (N/m2)


p∞ = tekanan atmosfir (101,325 Pa)
q∞ = tekanan dinamis (N)

2.8 Tekanan Dinamis aliran bebas

Jika tekanan atmosfir dinotasikan dengan P, kecepatan aliran V dan massa


jenis ρ, maka didapat persamaan Bernoulli adalah sebagai berikut :

P V2
  gz  konstan …………………………………………................…..(2.5)
 2

Bila ketinggian pada permukaan tanah (Z=0)

V2
P  H ………………………………………………....…..........…….(2.6)
2

Dimana :
V2
 = tekanan dinamis
2
P = tekanan static (atmosfir)
15

H = tekanan total zat yang bernilai konstan

Harga dari konstanta H dapat diperoleh dari kondisi aliran udara yang jauh
di atas bodi kendaraan. Rumusan ini menyatakan bahwa jumlah dari tekanan
atmosfer (lingkungan) dan tekanan dinamis selalu konstan pada setiap titik pada
streamline yang sama.
Persamaan Bernoulli menunjukkan hubungan antara tekanan atmosfer P
dengan kecepatan aliran fluida sepanjang streamline. Bila terjadi variasi kecepatan
aliran udara local yang berarti juga terjadi variasi pada tekanan dinamis, maka
nilai tekanan atmosfer local juga akan bervariasi agar diperoleh H yang konstan.
Apabila kecepatan aliran udara local lebih kecil dari pada kecepatan aliran udara
yang tidak terganggu, harga dari tekanan dinamis juga lebih kecil. Dan sebagai
akibatnya, harga dari tekanan atmosfer local lebih tinggi dari aliran yang tidak
terganggu dan begitu pula sebaliknya.
Hubungan ini menunjukkan bahwa pola aliran yang terjadi di sekeliling
model roket. (Cengel & Cimbala, 2006)

1
q   V2 .....................................................................................................(2.7)
2

Dimana :

q∞ = tekanan dinamis (N/m2)


ρ∞ = densitas udara (kg/m3)
V∞ = kecepatan udara (m/s)

2.9 Pengukuran Tekanan Statis


Persamaan yang digunakan sebagai metode pendekatan untuk mengetahui
besarnya tekanan statis yang bekerja pada model test adalah :

Pstatis    g  h …………………………………….......………......................(2.8)
Dimana :
ρ = kerapatan udara (kg/m3)
16

g = percepatan gravitasi (9,81m/s2)


∆h = elevasi jarak (m)

2.10 Skin Friction koefisien :


Seperti telah diketahui, gaya drag ditentukan oleh aliran fluida yang
mengalir pada permukaan suatu bodi yang merupakan total koefisien pressure
dengan skin friction koefisien, dimana skin friction koefisien disebabkan oleh
frictional efek atau kekasaran permukaan suatu benda yang dilalui oleh suatu
fluida. (Cengel & Cimbala, 2006)

Koefisien Drag :

cd  cp  cf …………………………………………………….........…….... (2.9)

Fanning friction factor :

2 . τw
cf  …………………………………………………………............. (2.10)
ρ . v2

Darcy friction factor :

f . ρ . v2
τw  ……………………………………………………….........…
8
(2.11)

1   ε/d 2,51 
   2 log     ……………………………….......…….. (2.12)
  
f   3,7 Re . f 

Dimana :
cd : Koefisien seret.
cp : Koefisien tekanan.
cf : Koefisien gesekan.
cl : Koefisien angkat.
τw : Gesekan pada permukaan benda (N/m²).
ρ : Massa jenis fluida kontak (kg/m³).
v : Kecepatan benda atau fluida (m/s).
17

f : Faktor gesekan.
A : Luas bidang kontak (m²).
Re : Bilangan Reynolds.
d : Diameter benda (m).
ε/d : Relative roughness,
(untuk perencanaan ini, body roket akan dilapisi dengan resin kemudian akan
diamplas sampai permukaannya menjadi sangat halus sehingga ε/d = 0).
µ : viskositas (kg/ms).

Tabel 2.1 Equivalent roughness value


Material Roughness, ε
ft mm
Glass, plastic 0 (smooth)
Concrete 0,003-0.03 0.9-9
Wood stave 0.0016 0.5
Cooper or brass tubing 0.000005 0.0015
Rubber smoothed 0.000033 0.01
Cast iron 0.00085 0.26
Galvanized iron 0.0005 0.15
Wrought iron 0.00015 0.046
Stainless steel 0.000007 0.002
Commercial steel 0.00015 0.045
Sumber : (Cengel & Cimbala, 2006)

2.11 Gaya lift Fl dan Gaya drag Fd


Selain adanya gaya lift ada juga efek hambat dari profil. Gaya lift biasa
direpresentasikan dengan Koefisien Gaya lift biasa disingkat Cl dan untuk gaya
drag Cd. Cl bertambah begitu pula dengan Cd namun setelah sudut tertentu (pada
Cl maximal), Cl turun drastis. Ini keadaan yang disebut Stall dimana gaya lift
hilang sedangkan gaya drag terus naik dan bisa menyebabkan pesawat/roket jatuh
(Anderson, 2007).
18

(b)
Gambar 2.11 Gaya-gaya pada airfoil
Sumber : (Anderson, 2007)

Gaya Drag :

1 ...............................................................................(2.13)
Fd  Cd     V2  Af
2

Dimana :

Fd = gaya drag/gaya hambat (N)


Cd = koefisien drag
ρ = massa jenis udara (1,204 kg/m3)
V2∞ = kecepatan udara (m/s)
Af = Luas frontal permukaan model (m2)

Lift Koefisien

  V 2  As
CL 
2W ......................................................................................(2.14)

Dimana :
Cl = koefisien gaya lift
19

W = gaya berat (N)


As = luasan permukaan sirip model test (m2)
V = kecepatan relatif angin terhadap model test (m/s)
ρ = densitas udara (kg/m3)

Gaya Lift :

1
FL  Cl     V2  As......................................................................................(2.15)
2

Dimana :

FL = gaya lift/gaya angkat (N)


Cl = koefisien lift
ρ = massa jenis udara (1,204 kg/m3)
V2∞ = kecepatan udara (m/s)
A = Luas permukaan sirip model (m2)

2.12 Bilangan Reynold


Dari percobaan yang telah dilakukan oleh Reynold, menyatakan bahwa
aliran alami pada saluran terbuka tergantung pada berbagai factor yaitu :

1. Panjang permukaan (x)


2. Viskositas dinamik (μ)
3. Kecepatan aliran (∞)
4. Densitas Udara (ρ)
Sehingga dari percobaan tersebut dan gabungan dari factor-faktor di atas
didapat suatu bilangan yang tak berdimensi, yang selajutnya disebut bilangan
reynold. Bilangan reynold dapat dirumuskan sebagai berikut ( Cengel &. Cimbala
2006) :

V  x  
Rex  ……………………………........……………......…..(2.16)

20

Dimana :
Rex = Bilangan reynold (tak berdimensi)
V∞ = Kecepatan Udara (m/s)
x = panjang permukaan
ρ = Densitas udara (kg/m3)
μ = Viskositas dinamik (kg/m.s)

Bilangan reynold (Rex) juga dapat menyatakan bahwa aliran tersebut


laminar atau turbulen khususnya pada aliran terbuka (external). Aliran yang
memiliki Rex < 5 x 105 adalah aliran laminar, sedangkan aliran yang memiliki
Rex > 5 x 105 adalah aliran turbulen. Batas dimana aliran laminer berubah menjadi
aliran turbulen disebut dengan daerah transisi, aliran pada daerah transisi memiliki
bilangan reynold antara 5 x 105, dan disebut juga dengan bilangan reynold kritis
(critical reynold number).

2.13 Terowongan Angin (Wind Tunnel)


Terowongan Angin adalah suatu alat untuk melakukan studi dan penelitian
mengenai interaksi antara gerakan udara dengan benda-benda yang ada di dalam
aliran udara. Di dalam terowongan angin diperlihatkan bagaimana aliran udara
terbentuk akibat adanya benda-benda, di pihak lain ditunjukan pengaruh aliran
tersebut terhadap benda, yaitu berupa gaya-gaya udara; tekanan, gaya angkat dan
momen-momen.
Salah satu syarat yang penting dalam melakukan percobaan-percobaan
dalam pengukuran aliran udara pada instalasi terowongan angin, adalah
mengetahui dengan cermat distribusi kecepatan udara dan arah aliran udara
didalam seksi uji. Suatu aliran udara yang terbagi secara uniform dan arah aliran
yang lurus serta aliran yang stasioner merupakan kondisi yang dikehendaki.
Kondisi ini dapat diketahui dengan mengadakan pengukuran-pengukuran pada
berbagai lokasi, dengan menggunakan perlengkapan-perlengkapan instalasi
terowongan angin yang tersedia.
21

Gambar 2.12 : Wind tunnel


Sumber : (Soewarto , 2011)

Suatu benda yang mempunyai gerakan relatif terhadap udara sekitarnya,


akan mengalami gaya-gaya udara. Komponen gaya udara dalam arah aliran udara
dinamakan tahanan. Akibat adanya benda ini, karakteristik aliran udara dimuka
dan di belakang benda tidak serupa. Perbedaan momentum ini berkaitan dengan
gaya-gaya udara yang terjadi. Aliran udara disekitar suatu benda memiliki arah
dan kecepatan yang berubah. Bila diikuti streamline, maka perubahan kecepatan
akan berkaitan dengan perubahan tekanan, sesuai dengan persamaan energy
Bernoulli.

2.14 Kecepatan Udara Pada Wind Tunnel


Kecepatan udara pada wind tunnel dapat dicari dengan menggunakan alat
inclined manometer. Untuk mencari kecepatan fluida di dalam pipa didapat dari
penggunaan rumus Bernoulli, berdasarkan perbedaan tekanan stagnasi Po dengan
tekanan statis P adalah sebagai berikut :

P V2 P V2
  Z  o  o  Z o ………………………..............………(2.17)
  g 2 g   g 2 g
22

Gambar 2.13 : Aliran fluida dalam pipa


Sumber : ( Cengel &. Cimbala 2006)

Pada kondisi pengukuran tekanan di atas dimana titik O berhimpit dengan


titik A, titik O adalah titik stagnasi, sehingga persamaan 2.14 menjadi :

P V2 Po Vo2
  
  g 2 g   g 2 g

Dalam keadaan kondisi stagnasi Vo = 0, sehingga persamaannya menjadi :


P V2 P
  o
  g 2 g   g
V2 P P
 o 
2 g   g   g

P  P
Dimana  o   h , sehingga persamaannya menjadi :
 g 

V  2  g  h ………………………………………………............…........(2.18)

Untuk ∆h digunakan Inclined Manometer dengan sudut kemiringan 150,


dimana pertambahan panjang dinyatakan dengan ∆r, sehingga ∆h dapat dicari
23

Gambar 2.14 Inclined manometer


Sumber : ( Cengel &. Cimbala 2006)

Anda mungkin juga menyukai