Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Air merupakan unsur yang vital dalam kehidupan manusia. Seseorang tidak
dapat bertahan hidup tanpa air, karena itulah air merupakan salah satu penopang
hidup bagi manusia. Ketersediaan air di dunia ini begitu melimpah, namun yang
dapat dikonsumsi oleh manusia untuk keperluan air minum sangatlah sedikit. Dari
total jumlah air yang ada, hanya lima persen saja yang tersedia sebagai air minum,
sedangkan sisanya adalah air laut. Selain itu, kecenderungan yang terjadi sekarang
ini adalah ketersediaan air bersih itu kian hari kian berkurang. Semakin
meningkatnya populasi penduduk, semakin besar pula kebutuhan akan air minum,
sehingga ketersediaan air bersih pun semakin berkurang. Saat ini penggunaan air di
dunia naik dua kali lipat lebih dibandingkan dengan seabad silam, namun
ketersediaannya justru menurun. Akibatnya, terjadi kelangkaan air yang harus
ditanggung oleh lebih dari 40 persen penduduk bumi. Kondisi ini akan kian parah
menjelang tahun 2025 karena 1,8 miliar orang akan tinggal di kawasan yang
mengalami kelangkaan air secara absolut. Kekurangan air telah berdampak negatif
terhadap semua sektor, termasuk kesehatan. Tanpa akses air minum yang higienis
mengakibatkan 3.800 anak meninggal tiap hari oleh penyakit. Begitu peliknya
masalah ini sehingga para ahli berpendapat bahwa pada suatu saat nanti, akan
terjadi pertarungan untuk memperebutkan air bersih ini. Sama halnya dengan
pertarungan untuk memperebutkan sumber energi minyak dan gas bumi.
Indonesia merupakan negara terkaya keempat dalam hal sumberdaya air
bersih setelah Brazil, Rusia, dan Kanada. Meski demikian, distribusi air bersih ke
tiap rumah warga masih sangat minim. Akses terhadap air bersih dan sanitasi
merupakan salah satu pondasi inti dari masyarakat yang sehat, sejahtera dan damai.
Hampir 50 persen rumah tangga di wilayah perkotaan dan perdesaan di Indonesia
kekurangan layanan-layanan dasar seperti ini. Sistem air bersih dan sanitasi yang
baik akan menghasilkan manfaat ekonomi, melindungi lingkungan hidup, dan
sangat vital bagi kesehatan manusia.

1
Masyarakat tidak selalu menyadari pentingnya kebersihan diri maupun
lingkungan. Praktek kebersihan yang ada seringkali tidak kondusif bagi kesehatan
yang baik, dan jamban tidak dipelihara atau digunakan dengan baik. Tingginya
angka kejadian diare, penyakit kulit, penyakit usus dan penyakit-penyakit lain yang
disebabkan karena kondisi air dan sanitasi di kalangan masyarakat berpenghasilan
rendah tetap menjadi halangan yang seringkali terjadi dalam upaya meningkatkan
kesehatan masyarakat secara umum. Selain akses yang buruk terhadap air bersih,
kegagalan untuk mendorong perubahan perilaku -khususnya di kalangan keluarga
berpenghasilan rendah dan penduduk di daerah kumuh- telah memperburuk situasi
air bersih dan sanitasi di Indonesia (Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Proyek
WSLIC-2, 2005).
Salah satu upaya untuk mencegah kematian akibat diare dan penyakit lain
yang terkait dengan permasalahan air bersih dan sanitasi ialah meningkatkan akses
masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar. Akan tetapi, hampir di seluruh
provinsi, pemenuhan akan infrastruktur air bersih dan sanitasi belum tercapai. Pada
2007, hanya sebesar 48,72 persen rumah tangga di Indonesia yang telah
menggunakan air bersih. Sebanyak 32,98 persen di antaranya merupakan rumah
tangga miskin dan sebanyak 51,16 persen merupakan rumah tangga tidak miskin.
Jumlah rumah tangga miskin yang telah menggunakan air bersih di Jawa Barat
hanya sebesar 24,38 persen dan jumlah rumah tangga tidak miskin sebesar 44,11
persen. Data tersebut menunjukkan posisi Jawa Barat berada di bawah rata-rata
nasional (Badan Pusat Statistik RI 2009).
Akes terhadap air bersih dan sanitasi perlu ditetapkan sebagai salah satu
sektor prioritas pembangunan nasional karena pada kenyataanya dalam kehidupan
sehari-hari masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses air bersih dan
fasilitas sanitasi layak. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJM) Tahun 2004-2009, pemerintah telah memberikan perhatian di bidang
kesehatan dan sanitasi dengan menetapkan Open Defecation Free (tidak terdapat
lagi jamban terbuka) dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat. Hal ini
sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mencapai target Millenium
Development Goals (MDGs) tahun 2015, yaitu meningkatkan akses air bersih dan

2
sanitasi dasar secara berkesinambungan kepada separuh dari proporsi penduduk
yang belum mendapatkan akses.
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, pemerintah Republik
Indonesia mengupayakan berbagai cara melalui Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM), salah satunya adalah proyek di bidang air bersih dan sanitasi.
Proyek yang sudah dilaksanakan yaitu proyek Second Water Supply and Sanitation
for Low Income Communitiest (WSLIC-2). WSLIC-2 merupakan bagian dari
program pengurangan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup dengan
meningkatkan kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat
terhadap air bersih dan sanitasi.
Dengan komponen proyek yang begitu banyak, tentu diharapkan tujuan dari
proyek pun dapat tercapai. Namun dalam perjalanan waktu kondisinya sangat
beragam, ada komponen yang telah berfungsi secara optimal ada juga komponen
yang tidak berfungsi optimal bahkan tidak berjalan sama sekali. Dari sekian
komponen yang dibangun, salah satu komponen yang menarik perhatian untuk
diteliti lebih dalam adalah komponen sistem jaringan pipa sambungan rumah untuk
mengalirkan air bersih ke rumah penduduk. Sistem perpipaan ini terus mengalami
perkembangan dan merupakan salah satu komponen yang mempunyai efek paling
signifikan bagi masyarakat.
Untuk mengetahui kondisi dan permasalahan riil di lapangan pasca
konstruksi WSLIC-2, maka perlu dilaksanakan kegiatan penelitian sebagai upaya
penyediaan data dan informasi untuk masukan dalam proses penyusunan rencana
pendampingan dan pembinaan teknis serta menyusun rencana pengembangan
WSLIC-2. Penelitian ini diperlukan untuk menggambarkan kondisi terkini
implementasi proyek di desa yang terkait dengan prinsip pemberdayaan masyarakat
serta pengaruhnya terhadap masyarakat terutama dalam hal perekonomian dan
kesehatan.

1.2. Rumusan Masalah


Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya air
dengan ketersediaan air mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun, masih

3
jauh di atas ketersediaan air rata-rata di dunia yang hanya 8.000 meter kubik per
tahun. Meskipun begitu, Indonesia masih saja mengalami kelangkaan air bersih.
Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih. Adapun
yang memiliki akses, sebagian besar mendapatkan air bersih dari penyalur air,
usaha air secara komunitas serta sumur air dalam. Kondisi ini ironis mengingat
Indonesia termasuk kedalam 10 negara kaya sumber air tawar. Menurut laporan
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Indonesia, ketersediaan
air di Pulau Jawa hanya 1.750 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2000,
dan akan terus menurun hingga 1.200 meter kubik per kapita per tahun pada tahun
2020. Padahal, standar kecukupan minimal 2.000 meter kubik per kapita per tahun.
Penyediaan air bersih bagi masyarakat erat kaitannya dengan keluaran
kualitas pembangunan manusia, dan hubungannya dengan tingkat kesehatan
masyarakat, serta secara tidak langsung dampaknya dengan pertumbuhan ekonomi.
Namun, yang menjadi kendala sekarang adalah pengelolaan sumber daya air yang
buruk yang mengakibatkan tidak meratanya penyebaran air. Hal ini tentu saja
berdampak pada kemampuan masyarakat miskin untuk menikmati pelayanan air
bersih.
Berbagai program diupayakan baik oleh pemerintah melalui bantuan dari
Bank Dunia maupun berupa swadaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan
air bersih. Program-program yang berkaitan dnegan pemenuhan kebutuhan air
bersih tidak semuanya berjalan dengan lancar dan memberikan pengaruh yang
signifikan, terutama di kalangan masyarakat perdesaan berpenghasilan rendah.
Salah satu program yang dikhususkan untuk memudahkan akses masyarakat
berpenghasilan rendah terhadap air bersih adalah program Second Water Supply
And Sanitation For Low Income Communities (WSLIC-2).
Program WSLIC-2 ini merupakan tanggung jawab kementrian Kesehatan
RI yang bekerjasama dengan Kementrian Dalam Negeri, kementrian Pekerjaan
Umum dan Kementrian Pendidikan Nasional. Program WSLIC-2 dilaksanakan
mulai tanggal 16 November 2000 dan berakhir pada 20 Juni 2009 yang mencakup
36 Kabupaten.

4
Kabupaten Ciamis merupakan salah satu Kabupaten yang menjadi sasaran
program. Salah satu kecamatan di Kabupaten Ciamis yang menjadi sasaran
dilaksanakannya program adalah Kecamatan Pamarican dengan Desa Neglasari
salah satunya dan berlangsung mulai 2007 hingga 2009 (Petunjuk Pelaksanaan
Manajemen Proyek WSLIC-2, 2005).
Program yang sudah berjalan cukup lama ini, memang diharapkan dapat
mencapai tujuan yang telah dicanangkan dalam perencanaan yakni meningkatkan
status kesehatan, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat yang berpenghasilan
rendah di pedesaan, melalui: perbaikan perilaku hidup bersih dan sehat,
peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, penyediaan fasilitas air bersih dan
sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat sehingga diharapkan dapat memberikan
dampak pada peningkatan perekonomian masyarakat. Tidak dapat dipungkiri,
adanya program WSLIC-2 ini sedikit banyak memberikan dampak pada kehidupan
masyarakat di Desa Neglasari, baik dari segi kesehatan maupun tingkat
perekonomian. Namun, seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan dikaitkan
dengan keberhasilan program belum bisa diukur.
Penelitian ini berupaya untuk menjawab beberapa permasalahan tersebut
dengan cara mengukur tingkat kesehatan dan perekonomian masyarakat sebelum
dan setelah program berlangsung. Secara ringkas perumusan masalah dalam
penelitian ini antara lain:
1. seperti apa implementasi proyek WSLIC-2 di Desa Neglasari ?
2. sejauh mana pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian
masyarakat di Desa Neglasari ?.
3. sejauh mana pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat kesehatan
masyarakat di Desa Neglasari ?.

1.3. Tujuan Penelitian


Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah tentu memiliki
tujuan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. mendeskripsikan implementasi proyek WSLIC-2 di Desa Neglasari

5
2. mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian
masyarakat di Desa Neglasari
3. mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat kesehatan
masyarakat di Desa Neglasari

1.4. Kegunaan dan Manfaat Penelitian


Hasil penelitian mengenai “Pengaruh Proyek Second Water Supply And
Sanitation For Low Income Communities (WSLIC-2) Terhadap Tingkat
Perekonomian dan Kesehatan Masyarakat di Desa Neglasari Kecamatan Pamarican
Kabupaten Ciamis”, ini bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun
manfaatnya sebagai berikut:
1. sebagai sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan, khususnya bagi
institusi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan program WSLIC-2.
2. sebagai sumbangan akademis, baik bacaan, sumber ide, sumber diskusi di
kalangan pemerhati masalah pengelolaan sumberdaya air bersih di
perdesaan.

1.5. Tinjauan Pustaka


1.5.1. Ilmu Geografi
Manusia di muka bumi senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya.
Bintarto dan Surastopo (1982) menyatakan bahwa pada dasarnya hubungan antara
manusia dengan lingkungannya adalah dua arah. Hal ini berarti bahwa manusia
dapat dipengaruhi oleh lingkungannya dan sebaliknya, manusia dengan segala
kemampuannya dapat mengubah lingkungannya. Geografi merupakan suatu ilmu
yang mempelajari hubungan kausal gejala-gejala muka bumi baik yang fisik
maupun yang menyangkut makhluk hidup beserta permasalahannya melalui
pendekatan keruangan, ekologi dan regional/kompleks wilayah untuk kepentingan
program, proses dan keberhasilan pembangunan.
Hagget (1965, dalam Baiquni, 2007) menjelaskan bahwa Geografi
merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam mempelajari fenomena-
fenomena yang ada dipermukaan bumi adalah pendekatan keruangan (spatial
approach) yang sering digunakan untuk mempelajari variasi lokasi dari fenomena

6
dan karakteristiknya. Analisis semacam ini misalnya dapat digunakan dalam
distribusi kepadatan penduduk atau fenomena slump area di daerah pinggiran kota.
Pendekatan kedua adalah pendekatan ekologikal (ecological approach) yang
mengkaji dan memberikan interpretasi hubungan antara manusia dan lingkungan.
Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan kompleks wilayah (regional complex
approach) yang merupakan kombinasi dari pendekatan ekologikal dan pendekatan
keruangan. Analisis ini mengambil suatu batas wilayah administratif dan fungsional
seperti daerah aliran sungai, pulau, atau kepulauan dengan identifikasi perbedaan
dan kemudian menentukan hubungan dan aliran antar wilayah yang berkaitan

1.5.2. Pengertian Air dan Syarat-syarat Air Bersih


Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 7 Tahun 2004 dan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002, disebutkan beberapa
pengertian terkait dengan air, yaitu sebagai berikut :
a. sumber daya air adalah air, dan daya air yang terkandung didalamnya.
b. air adalah semua air yang terdapat pada diatas, ataupun di bawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan.
c. air bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-
hariyang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila
telah dimasak.
d. air minum (drinking water) adalah air yang melalui proses pengolahan atau
tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat
langsung diminum.
e. air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
f. air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
g. sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat
pada, diatas, ataupun di bawah permukaan tanah.
h. dalam referensi lain disebutkan bahwa air adalah adalah zat kimia yang
penting bagi semua bentuk kehidupan yang diketahui sampai saat ini di bumi,
tetapi tidak di planet lain. Air menutupi hampir 71% permukaan bumi.

7
Salah satu sumberdaya air yang diperoleh dari tanah adalah mata air. Mata
air adalah konsentrasi aliran air tanah yang tersingkap dan tampak di permukaan
bumi sebagai arus aliran air (Todd, 1980). Besar kecilnya debit mata air tidak sama,
ada mata air dengan debit berfluktuasi relatif kecil antara musim kemarau dan
musim penghujan serta terdapat mata air yang memiliki fluktuasi dengan debit yang
sangat berbeda. Mata air di setiap tempat berlainan dan tegantung pada kondisi
akifer di wilayah tangkapannya, intensitas curah hujan, topografi, karakteristik
hidrologi permukaan tanah dan struktur geologi.
Mata air di banyak wilayah dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air
bersih bagi masyarakat. Sumberdaya air yang berasal dari mata air lebih mudah
digunakan karena relatif mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan air
sungai atau air hujan. Meski demikian, masih banyak sumberdaya air bersih yang
belum dikelola dengan baik sehingga pemanfaatannya belum maksimal.
Pemerintah telah mengeluarkan Kepmenkes No 907/Menkes/SK/VII/2002
tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Syarat air minum sesuai
Permenkes yaitu harus bebas dari bahan-bahan anorganik dan organik. Dengan kata
lain kualitas air minum harus bebas bakteri, zat kimia, racun, limbah berbahaya dan
lain sebagainya.
Parameter kualitas air minum yang berhubungan langsung dengan
kesehatan sesuai Permenkes tersebut adalah berhubungan dengan mikrobiologi,
seperti bakteri E.Coli dan total koliform. Yang berhubungan dengan kimia organik
berupa arsenik, flourida, kromium, kadmium, nitrit, sianida dan selenium.
Sedangkan parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan, antara
lain berupa bau, warna, jumlah zat padat terlarut (TDS), kekeruhan, rasa, dan suhu.
Untuk parameter kimiawi berupa aluminium, besi, khlorida, mangan, pH, seng,
sulfat, tembaga, sisa khlor dan ammonia.

1.5.3. Proyek
Soeharto (2002) mendeskripsikan proyek sebagai suatu kegiatan sementara
yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumberdaya
tertentu, dan dimaksudkan untuk menghasilkan produk yang kriterianya telah

8
digariskan dengan jelas. Sehingga sasaran proyek yang utama ialah anggaran,
jadwal dan mutu. Anggaran berarti, sebuah proyek harus diselesaikan tanpa
melampaui batas anggaran yang telah ditetapkan. Jadwal, berarti sebuah proyek
harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu dan batas akhir waktu yang telah
ditentukan. Mutu berarti sebuah proyek harus memenuhi spesifikasi dan kriteria
yang dipersyaratkan. Ketiga hal ini memunculkan kendala dalam proyek yakni :
biaya, waktu dan kinerja SDM.
Oleh karena itu, suatu proyek harus direncanakan sedemikian rupa sehingga
logis untuk dilaksanakan. Sistematika tahapan proyek yang disusun oleh PMI
(Project Management Institute) yang secara umum adalah sebagai berikut:
1. tahap Konseptual,
2. tahap Pengembangan dan Perencanaan,
3. tahap Implementasi,
4. tahap Terminasi Proyek, dan
5. tahap Operasi atau Utilisasi.
Tahap konseptual merupakan tahapan yang mencoba menyoroti segala
aspek mengenai layak atau tidaknya suatu gagasan itu direalisasikan. Tahap
pengembangan dan perencanaan merupakan tahap mengidentifikasi dan
merumuskan gagasan menjadi pengkajian yang lebih spesifik terutama pada data,
kriteria, spesifikasi teknis, serta komersial, dan komposisi pendanaan yang
selanjutnya dipakai untuk membuat dokumen-dokumen serta kontrak proyek.
Dalam tahap ini termasuk juga dalam penentuan tim proyek (tim ahli), pemilik
kontraktor dan konsultan. Pada tahap ini, diharapkan perencanaan proyek memiliki
parameter yang jelas menyangkut sasaran, strategi dan sumberdaya yang
diperlukan. Tahap ketiga adalah tahap impementasi, yakni tahap proyek
dilaksanakan dengan cara mengkomunikasikan antaranggota tim proyek,
melakukan engineering-design terinci untuk proyek fisik, serta mengendalikan
aspek biaya, jadwal dan mutu. Kegiatan lain yang juga penting ialah memobilisasi
tenaga kerja dan melatihnya. Tahap terminasi merupakan tahap terakhir dalam
siklus proyek. Pada tahap ini, tim proyek dapat menyelesaikan tugas administrasi
dan keuangan proyek, mengkompilasi dokumen proyek untuk diserahkan kepada

9
pemrakarsa proyek, dan melaksankan demobilisasi peralatan maupun personil.
Untuk proyek engineering, harus dilakukan start-up instalasi/mesin/produk untuk
meyakinkan pemrakarsa proyek. Tahap kelima, tahap operasi atau utilisasi, tidak
termasuk dalam kegiatan proyek, namun merupakan kegiatan operasional.

1.5.4. Deskripsi Proyek WSLIC-2


Second Water and Sanitation for Low Income Community (WSLIC-2)
adalah proyek air bersih dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Proyek WSLIC-2 dijalankan oleh Kementerian Kesehatan dibantu oleh
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian
Pendidikan Republik Indonesia. Selain mencirikan sebagai proyek yang
berhubungan langsung dengan pengembangan masyarakat, hasil laporan LP3ES
(2007) menyebutkan proyek WSLIC-2 juga merupakan proyek yang menghabiskan
dana cukup besar, mencapai US $ 106,7 juta dengan target sampai ke kecamatan
dan pedesaan. Sumber dana proyek berasal dari pinjaman World Bank
(International Development Association/IDA Credit), hibah AusAID,
pendampingan pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta
kontribusi masyarakat. Kegiatan WSLIC-2 diselenggarakan di delapan provinsi
yang terdiri dari 36 kabupaten dan 2.461 desa. Proyek WSLIC-2 memiliki tujuan
untuk meningkatkan status kesehatan, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat
yang berpenghasilan rendah di pedesaan, melalui :
a. perbaikan perilaku hidup bersih dan sehat.
b. peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat.
c. penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi melalui pemberdayaan
masyarakat.
d. kesinambungan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif.
Adapun komponen kegiatan WSLIC-2 terdiri dari :
a. peningkatan kapasitas masyarakat dan institusi daerah.
b. peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat serta pelayanan kesehatan
masyarakat.

10
c. pembangunan dan pemeliharaan sarana air bersih dan sanitasi.
d. panajemen kegiatan
Jenis komponen sarana air bersih adalah sistem non perpipaan dan sistem
perpipaan. Komponen sanitasi meliputi Sanitasi Masyarakat (SANIMAS) yang
meliputi jamban keluarga dan jamban umum, sanitasi institusional, dan Saluran
Pembuangan Air Limbah (SPAL). Jamban keluarga diberikan kepada masyarakat
dalam dua metode yaitu jamban bergulir (bangunan jamban diberikan kepada
masyarakat yang mampu untuk membayar secara mengangsur dan pembayarannya
digunakan untuk membangun jamban bagi warga lainnya, demikian seterusnya
bergulir sampai semua warga memiliki jamban keluarga di rumahnya masing-
masing) dan jamban tidak bergulir (jamban yang dibangun bagi warga yang tidak
memiliki jamban dan tidak mampu untuk membayar angsuran).
Pelaksanaan pengelolaan sarana air bersih dan sanitasi memerlukan adanya
pembentukan organisasi yang bertugas melaksanakan operasi dan pemeliharaan
sarana air bersih. Organisasi dapat berasal dari lembaga lokal yang sudah ada atau
merupakan organisasi baru, yang kepengurusannya dibentuk berdasarkan hasil
musyawarah masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan sarana air bersih dan
sanitasi yang dibangun. Ada dua syarat untuk menjaga efektivitas organisasi operasi
dan pemeliharaan yaitu untuk tugas yang sangat penting perlu dilakukan oleh orang
yang cukup termotivasi dan dibayar untuk memastikan bahwa tugas itu
dilaksanakan dan organisasi tersebut harus diterima oleh masyarakat sehingga
persaingan konflik sosial dapat ditanggulangi (Sita dan Agusta, 2010).
Kegiatan peningkatan kapasitas (capacity building) masyarakat dan institusi
dalam program WSLIC-2 dilaksanakan melalui pelatihan dan pemberdayaan.
Program pelatihan dirancang sesuai kebutuhan yang diidentifikasi dan dianalisis
dengan metode yang sistematis dan partisipatif yaitu Methodology for Participatory
Assesment (MPA) dan dikombinasikan dengan pengamatan atau observasi,
wawancara, telaah dokumen yang berkaitan dengan tugas kelompok sasaran, tujuan
dan fase kegiatan (perencanaan, pelaksanaan dan pasca konstruksi).
Tujuan peningkatan kapasitas adalah supaya masyarakat dan institusi
mampu mengidentifikasi dan memecahkan masalah dibidang kesehatan, sarana air

11
bersih dan sanitasi, sehinggi kesehatan, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat
desa meningkat. Adapun tujuan khusus peningkatan kapasitas adalah :
a. semua lapisan masyarakat (kaya-miskin, laki-laki atau perempuan) memiliki
kesadaran hak dan tanggungjawab dalam menentukan masa depan
organisasi.
b. agar semua anggota masyarakat berpartisipasi aktif dalam pembentukan
TKM (Tim Kerja Masyarakat) dan berkontribusi dalam penyusunan RKM
(Rencana Kerja Masyarakat).
c. agar masyarakat berpartisipasi (mampu dan terlibat) dalam pelaksanaan
proyek.
d. agar masyarakat bertanggungjawab, mampu mengelola, dan memelihara
sarana air bersih dan sanitasi dengan kemampuan mengelola keuangan dan
administrasi secara transparan.
e. masyarakat berubah perilakunya menuju hidup bersih dan sehat.
Terdapat lima faktor yang perlu diperhatikan untuk menjaga keberlanjutan
sarana air bersih dan sanitasi yang telah dibangun masyarakat, yaitu :
1. kesinambungan teknis. Perencanaan yang dilakukan oleh masyarakat
mempertimbangkan jenis teknologi yang sesuai dengan kondisi masyarakat
setempat.
2. kesinambungan finansial. Semua kelompok masyarakat mampu menyediakan
biaya operasional, pemeliharaan dan perbaikan secara mandiri melalui iuran.
3. kesinambungan kelembagaan. Unit Pengelola Sarana (UPS) yang dibentuk
masyarakat memperhatikan kesetaraan gender dan keterlibatan kelompok
miskin dalam pengelolaan sarana.
4. kesinambungan sosial. Seluruh kelompok masyarakat ikut dalam menentukan
dan merencanakan kebutuhan berdasarkan Demand Responsive Approach
(DRA).
5. kesinambungan lingkungan. Pemanfaatan dan pemeliharaan sarana Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) memperhatikan aspek
lingkungan baik terhadap sarana itu sendiri maupun terhadap lingkungan
sekitar.

12
1.5.5. Evaluasi Proyek
Berbagai proyek dilakukan untuk megelola sumberdaya air yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Salah satu proyek tersebut
adalah WSLIC-2 (Water Supply and Sanitation for Low Income Communities
Project). Tiap program proyek yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun
swasta, semestinya dilakukan tahapan evaluasi proyek untuk mengetahui tingkat
keberhasilan proyek tersebut.
Dalam setiap rencana evaluasi yang baik diterapkan pertanyaan –
pertanyaan seperti kapan pelaksanaan evaluasi, mengapa melaksanakan evaluasi,
apa kegiatan utama yang dievaluasi, bagaimana metode yang digunakan dalam
mengevaluasi, siapa personalia yang akan mengevaluasi, dan berapa jumlah biaya
yang diperlukan untuk kegiatan evaluasi proyek WSLIC-2 ini. Dengan adanya
pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menjawab permasalahan seperti yang telah
diuraikan dimuka.
Pengertian evaluasi dalam perencanaan sangat bervariasi, Rakadi (1980,
dalam Conyers, Diana dan Hills, 1984) menyebutkan beberapa pengertian evaluasi,
di antaranya :
1. evaluasi adalah suatu penilaian dari suatu rencana/pelaksanaan proyek pada
suatu periode, selama tahap peaksanaan ini disebutnya sebagai On-goin
evaluation.
2. evaluasi adalah penilaian dari suatu rencana/pelaksanaan proyek, setelah
dilaksanakan untuk beberapa waktu, ini disebutnya sebagai Ex-post
evaluation.
3. evaluasi merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi seberapa besar obyek
yang telah dan akan dijangkau, impact pada target grup dan beberapa
konsekuensinya pada masa-masa yang akan datang.
Gittinger, Price dan Adler (1990) mengenalkan adanya enam analisa aspek
untuk kelayakan proyek, yaitu :
1. aspek teknis dari suatu proyek berhubungan dengan masalah input dan output
barang-barang dan jasa. Pada hakekatnya analisis ini merupakan analsis

13
mekanis walaupun semua aspek dari teknologi yang digunakan pada proyek
yang bersangkutan juga harus diperhitungkan.
2. aspek manajerial dan administratif menyangkut kemampuan staf proyek
untuk menjalankan administrasi aktifitas dalam ukuran besar, keahlian
manajemen hanya dapat dievaluasi secara subyektif.
3. aspek organisasi, perhatiannya terutama ditujukan pada hubungan antara
administrasi proyek dengan bagian administrasi pemerintah lainnya dan
untuk melihat apakah hubungan antara masing-masing wewenang dan
tanggungjawab dapat diketahui dengan jelas.
4. aspek komersil menyangkut penawaran input yang diperlukan proyek, baik
waktu membangun proyek maupun pada waktu proyek sudah berproduksi,
dan menganalisis pemasaran output yang akan diproduksi oleh proyek.
5. aspek finansial menyangkut terutama perbandingan antara pengeluaran uang
dengan revenue earning (keuntungan pendapatan) dari proyek, apakah
proyek itu akan terjamin dananya, apakah proyek akan mampu membayar
kembali dana tersebut dan apakah proyek itu akan berkembang sedemikian
rupa sehingga secara finansial dapat berdiri sendiri.
6. aspek ekonomis diperhatikan dalam rangka menentukan apakah proyek itu
akan memberi sumbangan atau mempunyai peranan yang positif dalam
pembangunan ekonomi seluruhnya dan apakah peranannya itu cukup besar
untuk meratakan penggunaan sumber-sumber langka yang dibutuhkan.
Sementara itu Curtis dan Watson (1982, dalam Conyers, Diana dan Hills
1984) menyatakan : evaluasi digunakan untuk mengetahui suatu pelaksanaan
proyek sehingga apa yang direncanakan untuk masa yang akan datang lebih baik
daripada yang telah berjalan sekarang.
Dari pengertian diatas, maka dapat diketahui bahwa evaluasi merupakan
pekerjaan yang kompleks. Dalam pelaksanaannya, evaluasi dapat dikerjakan oleh
dua pihak yang berbeda, yaitu :
1. secara internal, evaluasi cara ini dilakukan sendiri oleh pihak pengelola,
keuntungan dari evaluasi ini adalah lebih murah, karena dilaksanakan oleh
pihak pengelola, dan dapat sesuai dengan perencanaan yang sebenarnya,

14
karena pihak pengelola memiliki pengetahuan tentang pekerjaannya secara
nyata dan baik. Tetapi kelemahannya adalah ada kemungkinan pihak
pengelola menyembunyikan kesalahan pelaksanaan dan kemungkinan
mereka tidak memiliki perbedaan pengalaman.
2. secara eksternal, evaluasi cara ini dilakukan oleh pihak luar. Keuntungan dari
evaluasi ini adalah lebih obyektif dan memungkinkan timbul ide baru, karena
adanya perbedaan pandangan, namun demikian, kelemahannya adalah lebih
mahal, lambat dan kemungkinan terdapat kesalahan karena pihak pengelola
mungkin tidak memberikan semua informasi secara lengkap pada pihak yang
mengevaluasi. Hal ini disebabkan evaluator tidak berkaitan langsung dengan
program rencana/proyek maka memungkinkan terjadinya kesalahan dalam
menerjemahkan masalah.
Sterkenburg (1982) mendefinisikan evaluasi sebagai kegiatan yang
berkenaan dengan prosedur dan kegiatan yang ditujukan pada pengontrolan proses
perencanaan dan menilai apakah proses tersebut berjalan sesuai dengan rencana dan
apakah tujuan telah tercapai. Menurutnya juga pekerjaan evaluasi menyangkut tiga
hal yang mencerminkan intensitas dari evaluasi, yaitu :
a. efisiensi : melihat apakah program yang berjalan sudah terlaksana dengan
efisien
b. efektivitas : sejauh mana keberhasilan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
c. dampak : apakah dapat mencapai hasil yang lebih luas dan berjangka panjang
dari kegiatan, dalam kaitannya dengan tujuan pelaksanaan.
Curtis dan Watson (1983, dalam Conyers, Diana dan Hills 1984)
mengusulkan empat macam studi yang masuk dalam pekerjaan evaluasi, yakni :
1. menilai suatu pelaksanaan. Pada proses ini memberikan penilaian secara
formal pada besarnya pelaksaan dari suatu program/proyek.
2. analisis dampak. Digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesuksesan
program dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan.

15
3. mengadakan penaksiran. Ditujukan untuk mengetahui bagaimana sebaiknya
komponen program agar sesuai dengan kebutuhan dan unit yang menjadi
target grup.
4. evaluasi institusional, meliputi penilaian kebaikan institusi yang terkait dalam
proyek ini.
Berdasar pada teori di atas, maka proses evaluasi dalam penelitian ini
termasuk dalam kategori evaluasi eksternal karena dilakukan oleh pihak luar.
Sedangkan menurut waktunya, penelitian ini termasuk ex-post evaluation karena
saat penelitian ini dilaksanakan, proyek telah berakhir.

1.5.6. Masyarakat, Peran Serta Masyarakat, serta Pemberdayaan


Masyarakat
Menurut Mattessich dan Monsey (2004), masyarakat (community) diartikan
sebagai sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah geografis tertentu yang
memiliki ineraksi sosial dan psikologis satu sama lain serta dengan lingkungan
tempat mereka tinggal.
Pengertian diatas menjelaskan bahwa syarat terbentuknya suatu kelompok
masyarakat harus meliputi suatu wilayah di permukaan bumi (wilayah geografis)
yang didalamnya terjadi interaksi baik secara sosial maupun psikologis baik itu
antar individu maupun antara individu dengan lingkungannya.
Selain terdapat interaksi, dalam suatu kelompok masyarakat biasanya juga
dipersatukan oleh kepentingan umum bersama seperti yang dikemukakan oleh
National Research Council (1975, dalam Mattessich dan Monsey 2004) bahwa
masyarakat adalah Sekelompok orang yang tinggal saling berdekatan satu sama lain
dan dipersatukan oleh kepentingan umum dan kebutuhan untuk saling menolong.
Masyarakat dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang membentuk
sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), yang di dalamnya sebagian besar
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.
Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan
antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen
(saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk

16
mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang
teratur.

1.5.6.1. Peran Serta Masyarakat


Peran serta masyarakat didefinisikan beragam oleh para ahli. Beberapa
definisi tersebut di antaranya:
1. Hardjasoemantri (1998) menyatakan bahwa seseorang yang berpartisipasi
sebenarnya mengalami keterlibatan diri (egonya) yang sifatnya lebih dari
keterlibatannya dalam pekerjaan atau tugas.
2. Bambang (2003) menyatakan bahwa peran serta dapat didefinisikan sebagai
keterlibatan mental, pikiran, emosi atau perasaan pada diri seseorang di dalam
situasi kelompok, yang dapat mendorong untuk memberikan sumbangan
kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung
jawab bersama.
Masyarakat merupakan bagian dari kelompok manusia (sosial) yang ada di
wilayah tertentu. Manusia yang tinggal di suatu wilayah tentu diharapkan mampu
untuk berkarya untuk kepentingan hidup dan lingkungannya dengan memanfaatkan
sumberdaya yang ada. Dalam proses pembangunan atau pengelolaan sumberdaya
alam, peran serta masyarakat mutlak diperlukan. Pembangunan tidak akan berjalan
optimal tanpa peran serta masyarakat. Oleh karena itu, setiap individu mempunyai
hak dan kewajiban untuk dapat berperan serta dalam pengelolaan sumberdaya yang
ada di wilayahnya.
Bambang (2003) menjelaskan bahwa terdapat tiga unsur penting dalam
peran serta masyarakat, antara lain:
1. suatu partisipasi dalam bentuk mental dan perasaan, lebih dari semata-mata
hanya keterlibatan secara jasmani.
2. peran serta memberikan bantuan untuk mencapai tujuan kelompok yang
berarti terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok atau
masyarakat.
3. rasa tanggung jawab kepada kelompok atau masyarakat sebagai anggota.

17
1.5.6.2. Pemberdayaan Masyarakat
Upaya pembangunan sosial dapat berupa pemberdayaan masyarakat (Adi,
2003). Suatu proses pemberdayaan (empowerment) ditujukan guna membantu klien
dalam memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan
yang akan mereka lakukan terkait diri mereka sendiri, termasuk menghilangkan
efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini
dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk
menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari
lingkungannya (Payne, 1997 dalam Adi, 2003). Lebih lanjut, Adi (2003)
menerangkan inti pemberdayaan adalah bagaimana individu, kelompok, ataupun
komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan
untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka.
World Bank mengidentifikasi bahwa pemberdayaan masyarakat miskin
untuk berpartisipasi dalam pembangunan adalah salah satu pondasi utama dalam
program melawan kemiskinan. Operations Evaluation Department,
mengidentifikasi empat elemen kunci pemberdayaan, yaitu akses terhadap
informasi, partisipasi masyarakat miskin, pertanggungjawaban dan kapasitas
institusi lokal.
Perkembangan pendekatan pembangunan di Indonesia dipengaruhi oleh
pendekatan pembangunan dari dunia internasional, terutama oleh negara donor.
Salah satu pendekatan pembangunan yang menjadi andalan negara-negara
berkembang adalah Community Driven Development (CDD). CDD merupakan
pendekatan pembangunan produk World Bank yang menempatkan masyarakat
miskin dan kelembagaannya sebagai aset dan mitra dalam proses pembangunan.
CDD memberikan kontrol keputusan dan sumberdaya di tangan kelompok
masyarakat. Masyarakat bermitra dengan lembaga penyandang dana, pemerintah
setempat, LSM, perusahaan swasta dan lembaga pemerintah pusat. Pendekatan
CDD dilakukan dengan cara penyediaan layanan sosial dan infrastruktur,
pengorganisasian aktivitas ekonomi dan manajemen sumberdaya, pemberdayaan
masyarakat, perbaikan tata pemerintahan, dan peningkatan ketahanan masyarakat
miskin (Dongier et al., 2003).

18
Selanjutnya Dongier et al. (2003) menjelaskan untuk mendukung prinsip-
prinsip berkelanjutan dan efektivitas proyek pembangunan, CDD memiliki prinsip-
prinsip berikut ini.
1. Iklim kelembagaan dan kebijakan. Dalam aspek ini dikembangkan iklim yang
menunjang pengambilan keputusan oleh komunitas dalam bentuk
pengembangan kebijakan maupun kelembagaan yang sesuai, dan
pengembangan hubungan diantara pemerintah.
2. Investasi sesuai kebutuhan. Investasi yang dibutuhkan disini ialah investasi
yang sesuai dengan permintaan komunitas, kalau perlu komunitas dapat turut
berinvestasi.
3. Mekanisme partisipasi. Mekanisme ini tertuju pada peningkatan partisipasi
warga dan keikutsertaan seluruh stakeholder dalam kegiatan yang sama.
4. Keikutsertaan sesuai gender dan status sosial. Disini hendak diberi porsi
identifikasi yang diikuti dengan partisiapsi pihak-pihak yang selama ini
termarjinalkan.
5. Investasi pengembangan kapasitas Community-based organizations (CBOs).
Upaya-upaya pengembangan kemampuan CBOs, misalnya melalui pelatihan,
dimaknai sebagai investasi yang akan menuai hasil dalam jangka panjang,
terutama untuk menciptakan kemandirian.
6. Fasilitas komunitas untuk informasi. Informasi menjadi penting sebagai input
untuk memperoleh hasil keputusan yang sesuai dengan rumusan masalah
yang sebenarnya, mencakup informasi tentang proyek, tata cara berhubungan
dengan pemerintah dan swasta, serta dengan CBOs lainnya, dan informasi
untuk hal-hal teknis.
7. Aturan sederhana dan insentif/hadiah yang kuat. Aturan yang sederhana
memudahkan untuk dilaksanakan, sedangkan insentif memberikan stimulus
positif bagi stakeholder untuk melakukan tugasnya. Untuk menguatkan hal
ini maka dilaksanakan monitoring dan evaluasi.
8. Desain kerja fleksibel. Desain kerja perlu fleksibel sesuai dengan perubahan
konteks maupun lingkungan di sekitar kegiatan.

19
9. Scaling up. Hal ini dilakukan dengan melakukan pengelompokan proyek,
diikuti dengan pembentukan jaringan antar CBOs.
10. Exit strategy. Upaya perumusan exit strategy untuk mempersiapkan
kemandirian menjadi penting sebagai perwujudan perencanaan yang rasional.
Sebagai pendekatan yang menekankan pada pengembangan kapasitas
institusi lokal, CDD menetapkan alternatif kelembagaan sebagai berikut:
1. hubungan antara CBOs dengan pemerintah setempat atau yang dipilih.
2. hubungan antara CBOs dengan LSM atau swasta
3. hubungan langsung CBO dengan pemerintah pusat atau lembaga donor.
Uphoff (1986, dalam Sita dan Agusta, 2010) menyatakan bahwa dalam
proses implementasi pembangunan infrastruktur desa, upaya untuk memantapkan
infrastruktur harus dilakukan bersamaan dengan menciptakan atau menguatkan
institusi lokal untuk membangun dan memelihara infrastruktur. Pengetahuan lokal
dan sumberdaya lokal sangat dibutuhkan pada fase mendesain dan konstruksi
proyek, sama halnya seperti input lokal dan komitmen yang dibutuhkan untuk
pengoperasian dan pemeliharaan.

1.5.7. Perdesaan
Dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
kawasan perdesaan didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi. Meskipun pendekatan peraturan umumnya
menggunakan pendekatan administratif, pengertian dalam undang-undang tersebut
merujuk pada definisi secara fungsional. Sehingga, dalam lingkungan Direktorat
Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum sendiri, dikenal istilah
perkotaan kabupaten meskipun bentuk struktur pemerintahannya menggunakan
desa.
Menurut Suhardjo (2008), dalam beberapa dekade terakhir mulai terjadi
perubahan-perubahan definisi kawasan perdesaan. Hal tersebut dikarenakan mulai
berubahnya tipologi kawasan perdesaan dan perkembangan kawasan perdesaan

20
dalam beberapa waktu terakhir. Terutama setelah era globalisasi yang masuk ke
perdesaan, telah terjadi interaksi dan negosiasi sosial budaya masyarakat perdesaan
terhadap modernitas dan budaya luar. Faham dikotomi kawasan perdesaan dan
kawasan perkotaan mulai ditinggalkan dengan tidak relevannya pemahaman
tersebut dengan mulai biasnya perdesaan-perkotaan.
Dalam definisi klasik, secara ekonomi kawasan perdesaan dikategorikan
sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian sedangkan kawasan
perkotaan dikategorikan sebagai wilayah dengan kegiatan utama di sektor jasa dan
perdagangan. Definisi tersebut masih banyak digunakan hingga saat ini. Namun
munculnya kawasan perdesaan dengan perekonomian yang ditopang oleh kegiatan
industri kecil seperti kerajinan, pariwisata, definisi tersebut dirasa belum dapat
mewakili keseluruhan tipologi kawasan perdesaan. Oleh karenanya muncul istilah-
istilah seperti desa-kota yang berusaha mendefinisikan kawasan-kawasan
perdesaan yang dianggap memiliki ciri-ciri perkotaan baik secara fisik maupun
sosial dan ekonomi . Pendekatan klasik lainnya yang digunakan dalam
mendefinisikan kawasan perdesaan adalah pendekatan berdasarkan paradigma
modernisasi dan model dikotomi. Pendekatan tersebut muncul setelah masa
revolusi industri. Dengan munculnya kawasan-kawasan kota industri dengan segala
modernitasnya, kawasan perdesaan dianggap sebagai representasi masyarakat
tradisional (gemeinschaft) dan kawasan perkotaan dianggap sebagai representasi
masyarakat modern (gesellschaft). Model dikotomik lainnya adalah solidaritas
mekanik vs organik, serta kelompok primer vs kelompok sekunder (Suhardjo,
2008).
Lain halnya dengan paradigma lama, paradigma baru memandang kawasan
perdesaan bukan lagi sebagai kawasan yang harus didominasi oleh pertanian.
Perubahan mendasar di wilayah perdesaan terjadi dalam semua bidang sebagai
bentuk respon terhadap perubahan sosial, ekonomi, lingkungan, dan politik (Illbery,
1998 dalam Suhardjo, 2008). Akibatnya, terutama di negara maju dan negara
berkembang, telah terjadi perubahan dimana sektor non-pertanian tumbuh tidak
hanya di wilayah perkotaan tetapi juga di kawasan perdesaan sehingga
memunculkan desa-desa wisata, desa industri kerajinan, desa nelayan, dan

21
sebagainya. Selain itu, proses diversifikasi perdesaan juga menunjukkan
meningkatnya konsumsi di perdesaan sehingga kawasan perdesaan tidak lagi dapat
dianggap sebagai kawasan produksi dan kawasan perkotaan dianggap sebagai
konsentrasi konsumsi (Suhardjo, 2008)
Dengan menggunakan pendekatan yang lebih umum, Suhardjo (2008)
mendefinisikan kawasan perdesaan sebagai kesatuan wilayah sosial/budaya, atau
kesatuan wilayah administratif yang telah ditetapkan. Sedangkan untuk
menjelaskan kawasan perdesaan yang bias akibat mempunyai kemiripan dengan
sifat kota, Suhardjo (2008) mendefinisikan kawasan tersebut sebagai kawasan desa-
kota atau kawasan perdesaan yang mempunyai ciri kota, yang biasanya terdapat di
kawasan fringe area. Sedangkan dalam Kamus Tata Ruang 2008, desa-kota
didefinisikan sebagai desa yang mata pencahariannya mirip dengan di kota,
termasuk gaya hidup dan gaya perumahannya. Menggunakan pendekatan batasan
fungsional, kawasan tersebut dicirikan dengan kesamaan fisik (perumahan) dan
sosial budaya (mata pencaharian dan gaya hidup).
Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan beberapa penyesuaian
terhadap definisi kawasan perdesaan yang akan diangkat dalam penelitian.
Kawasan perdesaan dapat diartikan dengan dua pendekatan, yaitu menggunakan
batasan administratif dan batasan fungsional sebagai berikut:
1. dalam batasan administratif, kawasan perdesaan dapat diartikan sebagai suatu
kesatuan wilayah administratif yang telah ditetapkan secara hukum.
2. dalam pendekatan fungsional, kawasan perdesaan dapat diartikan sebagai suatu
kesatuan wilayah fungsional yang memiliki ciri fisik dan sosial budaya tertentu
dengan kegiatan ekonomi pertanian dan/atau pemanfaatan serta pengelolaan
sumber daya alam. Sehingga dalam definisi ini, kawasan sub-urban atau fringe
area dengan ciri fisik perkotaan bukan dianggap sebagai kawasan perdesaan.
Maka berdasarkan pendekatan tersebut, Desa Neglasari baik secara
administratif maupun fungsional dapat dikategorikan sebagai kawasan perdesaan.

22
1.5.8. Perkembangan Ekonomi Kawasan Perdesaan
Kawasan Perdesaan memiliki peran yang penting dalam mendukung
pembangunan nasional. Kemandirian pembangunan kawasan perdesaan merupakan
salah satu pendekatan dalam pembangunan kawasan perdesaan dalam mendorong
perkembangan ekonomi di kawasan desa dengan memanfaatkan potensi yang ada
di wilayah tersebut. Perkembangan ekonomi kawasan perdesaan diharapkan dapat
mengurangi ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kota, dan menguatkan
peran desa sebagai pusat produksi dan kebutuhan sumberdaya pembangunan.
Membangun hubungan keterkaitan antar desa-kota juga merupakan salah
satu cara yang ditempuh sebagai suatu upaya pembangunan wilayah perdesaan,
dimana peran desa dikuatkan sebagai pusat produksi dan sumberdaya. Keterkaitan
tersebut dapat mengurangi ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan
perkotaan, dan mengurangi angka urban masyarakat dari desa ke kota. Diharapkan
pola tersebut mendorong perkembangan ekonomi desa dan mendorong permerataan
ekonomi antara desa dan kota. Dalam hubungan yang lebih intensif, hubungan desa-
kota tersebut dapat berupa interaksi spasial antar subsistem rantai
agribisnis/agroindustri (Rustadi dan Pranoto, 2007).
Dalam mengukur perkembangan ekonomi kawasan perdesaan, Adisasmita
(2006) menawarkan beberapa pendekatan, yaitu (a) pendapatan desa per kapita, (b)
pendapatan masyarakat, (c) diversifikasi ekonomi.

A. Pendapatan Desa Per Kapita


Pendapatan desa perkapita digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk
melihat proporsi pendapatan suatu desa terhadap jumlah penduduk desa.
Pendapatan desa menggunakan prinsip pendapatan domestik bruto, dihitung
dengan jumlah produksi total. Jumlah produksi total tersebut dikonversi dalam nilai
total rupiah dan dibagi dengan jumlah pendapatan.

B. Pendapatan Masyarakat
Pendapatan masyarakat dalam pendekatan Adisasmita (2006) terkait dengan
ketimpangan pendapatan yang terjadi di masyarakat. Dengan kata lain,

23
perkembangan ekonomi perdesaan harus diikuti oleh pemerataan pendapatan di
masyarakat. Dalam keadaan ekstrim dimana pendapatan terdistribusi secara merata,
40 persen populasi terbawah akan menerima 40 persen pendapatan, dan 20 persen
populasi teratas menerima 40 persen total pendapatan.

C. Diversifisikasi Ekonomi
Diversifikasi ekonomi atau perubahan struktur perekonomian daerah
perdesaan dilihat berdasarkan perubahan struktur ekonomi perdesaan. Dalam
beberapa dekade terakhir, perluasan kawasan perkotaan dan pembukaan akses
kawasan perdesaan mengubah struktur ekonomi kawasan perdesaan tidak lagi berat
pada sektor pertanian. Hal tersebut tampak pada kawasan-kawasan perdesaan yang
mempunyai ciri perkotaan, atau biasa disebut sebagai desa kota.

1.5.9. Pengertian Kesehatan, Perilaku Kesehatan dan Faktor yang


Mempengaruhi Perilaku Kesehatan
1.5.9.1. Pengertian Kesehatan
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 dijelaskan bahwa pengertian
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Sedangkan
menurut Mu’rifah (2007) kesehatan pribadi adalah segala usaha dan tindakan
seseorang untuk menjaga, memelihara, dan meningkatkan derajat kesehatannya
sendiri dalam batas-batas kemampuannya, agar mendapatkan kesenangan hidup
dan mempunyai tenaga kerja yang sebaik-baiknya. Kesehatan seseorang tidak
hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari
produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara
ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia kerja, anak, dan remaja, atau bagi yang
sudah tidak bekerja (pensiun) atau usia lanjut, yakni mempunyai kegiatan, misal
sekolah atau kuliah bagi anak dan remaja, dan kegiatan pelayanan sosial bagi yang
lanjut usia (Notoatmodjo 2003).
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling
berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Banyak faktor

24
yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan
masyarakat. Secara ringkas ditunjukkan pada Gambar 1.1

Gambar 1. 1. Faktor yang Mempengaruhi Status Kesehatan


(Sumber: studi pustaka, 2012)

Keempat faktor tersebut (keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan


kesehatan) di samping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling
berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal,
bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang
optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu (tidak
optimal), maka status kesehatan akan tergeser ke arah di bawah optimal
(Notoatmodjo, 2003).

1.5.9.2. Perilaku Kesehatan


Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner seperti yang dikutip Notoadmodjo
(2003), maka perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme)

25
terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan.
Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3
kelompok, yakni:
1. perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintance), adalah perilaku atau
usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak
sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku
pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.
2. perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan,
atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).
3. perilaku kesehatan lingkungan, adalah sebagaimana seseorang merespon
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya,
sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan
perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak
mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya
bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan
sampah, pembuangan limbah, dan sebagainya.
Berdasarkan pembagian domain perilaku Bloom dikembangkan 3 tingkatan
ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmojdo, 2003):
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda. Secara
garis besarnya dibagi dalam 6 tingkatan pengetahuan, yaitu (Notoatmodjo, 2003):
a. Tahu (know). Tahu diartikan hanya sebagi recall (memanggil) memori yang
telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa
jamban adalah tempat membuang air besar.
b. Memahami (comprehension). Memahami suatu objek buka sekedar tahu
terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut

26
harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui
tersebut.
c. Aplikasi (application). Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami
objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi lain.
d. Analisis (analysis). Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan
dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antar komponen-
komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.
Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat
membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan)
terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
e. Sintesis (synthesis). Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-
komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang
telah ada.
f. Evaluasi (evaluation). Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian
ini dengan sendirinya atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

2. Sikap (atitude)
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan
(senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).
Menurut Allport (1954, dalam Notoadmodjo, 2003), sikap itu terdiri dari 3
komponen pokok, yaitu:
a. kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya,
bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.
b. kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana
penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap
objek.

27
c. kecenderungan untuk bertindak (trend to behave), artinya sikap adalah
merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.

Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka


(tindakan). Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat berdasarkan
intensitasnya, sebagai berikut:
a. menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau
menerima stimulus yang diberikan (objek).
b. menanggapi (responding). Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban
atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.
c. menghargai (valuing). Menghargai diartikan subjek, atau seseorang
memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti
membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi
atau menganjurkan orang lain merespons.
d. bertanggung jawab (responsible). Sikap yang paling tinggi tingkatannya
adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakini.

3. Tindakan atau Praktik (Practice)


Tingkat-tingkat Praktik (Notoatmodjo, 2003):
a. persepsi (Perception). Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.
b. praktik terpimpin (guided response). Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan
urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua.
c. praktik secara mekanisme (mechanism). Apabila seseorang telah melakukan
sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan
kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.
d. adopsi (adoption). Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah
berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri
tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

28
1.5.9.3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2003), ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap
perilaku kesehatan baik individu maupun masyarakat, yaitu:
a. faktor-faktor pemudah (predisposing factor), yaitu faktor-faktor yang
mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Adapun yang menjadi faktor
pemudah dalam penelitian ini adalah: pengetahuan, sikap, pekerjaan,
pendidikan, penghasilan, budaya.
b. faktor-faktor pendukung (enabling factor), adalah faktor-faktor yang
memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan yaitu sarana dan
prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan. Adapun yang
menjadi faktor pendukung dalam penelitian ini adalah: jarak rumah dari tempat
pembuangan tinja, dan biaya.
c. faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), adalah faktor-faktor yang
mendorong atau mempercepat terjadinya perilaku. Adapun yang menjadi
pendorong dalam penelitian ini adalah: perilaku petugas kesehatan/peran
petugas kesehatan.

1.5.10. Hubungan Air dan Sanitasi dengan Kesehatan


Selain memberikan manfaat yang menguntungkan bagi manusia, air juga
memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan manusia. Air yang sudah tercemar
oleh virus, bakteri, protozoa, dan cacing merupakan air yang tidak memenuhi
persyaratan kesehatan dan sangat berpotensi sebagai media penularan penyakit.
Menurut Feachem (1980), penyakit yang dapat ditularkan melalui media air dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu (1) water borne diseases, (2) water
washed diseases, (3) Water Based Diseases, (4) water related insect vector.

1. Water Borne Diseases


Water borne diseases adalah penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air
yang disebabkan oleh organisme-organisme yang sangat menular dan bisa menulari
seseorang hanya dengan jumlah sedikit saja. Hal ini tergantung tingkat polusi yang
terjadi. Dua penyebab utama yang menyebabkan kematian yang tinggi jika tidak

29
ada pengobatan, yaitu tifus dan kolera. Dua penyakit tersebut kejadiannya sangat
dramatis, karena sumber penularan umumnya merupakan sumber air masyarakat
yang tercemar oleh tinja penderita atau pembawa infeksi (carier).

2. Water Washed Diseases


Water Washed Diseases merupakan penyakit karena kurangnya air untuk
kebersihan perorangan. Air yang tidak mencukupi untuk membersihkan diri atau
mencuci alat-alat makan dan pakaian. Karena kebersihan yang kurang maka infeksi
kulit mudah berkembang. Begitu juga dengan penularan infeksi usus seperti diare
(disentri basiler) sangat mudah terjadi disebabkan karena tangan dan peralatan
rumah tangga/ makan yang tercemar.

3. Water Based Diseases


Water based diseases merupakan jenis penyakit yang ditularkan melalui
hewan-hewan air yang tidak bertulang belakang. Peranan hewan air yang tidak
bertulang belakang seperti siput sebagai perantara perkembangan hidup mikroba.
Mikroba yang semula dari telur atau larva kemudian hidup dalam siput dan menjadi
matang sehingga tersebar di perairan dan akan menjadi infektif terhadap manusia.
Contoh dari water based diseases adalah schtstosotasis.

4. Water Related Insect Vector


Water related insect vector merupakan infeksi yang ditlarkan oleh serangga
yang bergantung pada air. Contohnya nyamuk berkembang biak di air dan dapat
menularkan penyakit malaria, demam berdarah dan penyakit kaki gajah/filariasis
dan chikungunyah.
Selain penyakit yang penyebarannya berhubungan langsung dengan air,
terdapat pula penyakit yang penyebaran atau kejadiannya terkait dengan kondisi
kekurangan air dan sanitasi yang buruk, salah satunya karena kebiasaan BAB bukan
di jamban. BAB di sembarang tempat sperti di kebun, kolam atau sungai
menyebabkan terjadinya pencemaran tinja. Kotoran manusia adalah semua benda
atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam

30
tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (faeces),
air seni (urine) dan CO2 sebagai hasil dari proses pernafasan (Notoatmodjo, 2003).
Tinja merupakan bahan buangan yang sangat dihindari oleh manusia untuk
berkontak karena sifatnya yang menimbulkan kesan jijik pada setiap orang dan bau
yang sangat menyengat. Tinja juga merupakan bahan yang sangat menarik
perhatian serangga, khususnya lalat, dan berbagai hewan lainnya, misalnya anjing,
ayam, dan tikus, karena mengandung bahan-bahan yang dapat menjadi makanan
hewan itu.
Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area
pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi
kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah
yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Karena kotoran manusia (feces) adalah
sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yang
bersumber pada feces dapat melalui berbagai macam jalan atau cara (Notoatmodjo,
2003). Pembuangan tinja secara layak merupakan kebutuhan kesehatan yang paling
diutamakan. Pembuangan tinja secara tidak baik dan sembarangan dapat
mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, atau menjadi sumber infeksi, dan akan
mendatangkan bahaya bagi kesehatan, karena penyakit yang tergolong waterborne
disease akan mudah berjangkit. Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan
akibat pembuangan kotoran secara tidak baik adalah (1) pencemaran tanah,
pencemaran air, dan kontaminasi makanan, (2) perkembangbiakan lalat.

1.5.11. Kualitas Hidup


Menurut World Health Organization (WHO) (2000, dalam Lopez dan
Snyder, 2004), kualitas hidup di definisikaan sebagai persepsi individu mengenai
posisi hidup individu dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hiudp
dan hubungannya dengan tujuan, harapan, dan standar yang ditetapkan dan menjadi
perhatian seseorang.
Kreitler dan Ben (2004, dalam Nofitri, 2009) mengemukakan bahwa
kualitas hidup diartikan sebagai persepsi individu mengenai keberfungsian mereka
di dalam bidang kehidupan. Lebih spesifiknya adalah penilaian individu terhadap

31
posisi mereka di dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana
mereka hidup dalam kaitannya dengan tujuan individu, harapan, standar serta apa
yang menjadi perhatian individu. Menurut Post, Witte dan Schrijvers (1999), ada
tiga cara yang dapat digunakan untuk mengoperasionalisasikan konsep dari kualitas
hidup yaitu melihat kualitas hidup sebagai kesehatan, sebagai kesejahteraan dan
sebagai konstruk yang bersifat global (superordinate construct).

1.5.12. Penelitian Terdahulu


Beberapa penelitian terdahulu terkait dengan evaluasi serta pengaruh
proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian dan kesehatan masyarakat
maupun analisis dampak dan keberlanjutan proyek, antara lain:

a. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (2007)


Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) berupaya untuk mengevaluasi program
WSLIC-2 dan PAMSIMAS dan hasil evaluasi tersebut tertuang dalam “Laporan
Akhir Kajian Cepat Program-Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah
Indonesia: Program WSLIC-2 dan PAMSIMAS”. Salah satu upaya untuk
meningkatkan keberhasilan pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat, Bappenas ingin mengetahui sejauhmana effektivitas dari proyek-
proyek pemberdayaan masyarakat yang ada sekarang, sehingga diharapkan
pengalaman dan pembelajaran tersebut dapat dijadikan masukan untuk
implementasi Program PNPM ke depan. Salah satu program yang diharapkan dapat
memberikan kontribusi pembelajaran adalah program di bidang air bersih dan
sanitasi. Ada dua katagori program air bersih dan sanitasi, yaitu: a) Water Supply
and Sanitation for Low Income Communities Project (WSLIC2) yang
diimplementasikan oleh Departemen Kesehatan. Dan b) PAMSIMAS (baru dalam
tahap disain) yang diimplementasikan oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Sebagai upaya Untuk melihat pembelajaran dari proyek tersebut, LP3ES
diminta DSF Bank Dunia melakukan evaluasi terhadap kedua proyek tersebut.
Evaluasi ini bertujuan untuk a) melakukan penilaian efektifitas pelaksanaan dalam

32
mencapai tujuan yang telah dicanangkan pada programnya masing-masing, dan b)
Mempelajari cara-cara untuk perbaikan program dan pelajaran-pelajaran praktis
dalam pengembangan masyarakat yang lain dan program pengentasan kemiskinan.
Pendekatan yang digunakan untuk melakukan adalah (1) Review dan Analisis
Dokumen, (2) Wawancara dengan Informan Kunci; dan (3) Kunjungan Lapangan
untuk Rapid Appraisal. Sebagai salah satu metode yang digunakan untuk
pengumpulan data primer dari stakeholder di desa yang dikunjungi, dilakukan
Focus Group Discussion. Ruang lingkup studi menitik beratkan pada pencapaian
keberhasilan program proyek air bersih dan sanitasi meliputi: 1) Pencapaian hasil,
2) Pemilihan sasaran daerah miskin, 3) Peningkatan kapasitas, 4) Aliran dana dan
kebocoran, 5) Keberlanjutan program, 6) Organisasi masyarakat, 7) Kepuasan
terhadap program.
Lokasi evaluasi adalah, program WSLIC-2 yang operasi dan
pemeliharaannya sudah dilakukan oleh masyarakat. Sesuai hasil konsultasi dengan
CPMU DPMU dan PPMU terpilih 6 desa yaitu: Pangean, Kecamatan. Maduran,
dan Sidobogem, Kecamatan. Sugio, Kab. Lamongan, Prop. Jawa Timur. Kembang
Kuning, Kecamatan Sikur, dan desa Aikmel Utara, Kecamatan. Aikmel, Kab.
Lombok Timur, Prop. Nusa Tenggara Barat. Lagan Gadang Mudik, Kecamatan
Linggo Sari Baganti-Kanagarian Punggasan, dan Rawang, Kecamatan. Sutera,
Kanagarian Suranti, Kab. Pesisir Selatan, Prop. Sumatera Barat.
Hasil dokumen review dan temuan lapangan di 6 lokasi mengindikasikan
bahwa program WSLIC-2 telah mencapai tujuan yang dicanangkan dalam hal
penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi, dan keberhasilan ini dirasakan oleh
semua stakeholders mulai dari masyarakat penerima manfaat, pengelola
infrastruktur, anggota TKK, LSM, CF, DPMU dan PPMU. Meskipun tidak
dipungkiri bahwa dalam proses menuju pencapaian hasil ini juga ditemukan
permasalahan. Pencapaian hasil tersebut diukur dengan parameter sebagai berikut:

Kesesuaian antara tujuan dan hasil proyek: jika tujuan WSLIC-2


disederhanakan sebagai penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi, maka program
WSLIC-2 benar-benar telah menjawab sebagian besar kebutuhan masyarakat

33
pedesaan terhadap air bersih dan sanitasi. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara
dengan berbagai pihak antara lain pengelola dan pemanfaat sarana air bersih, dan
pelaksana proyek (PPMU, DPMU). Beberapa hal yang menjadi indikasi
keberhasilan tersebut yaitu; a) Meningkatnya ketersediaan sarana air bersih dan
sanitasi. b) Penurunan penyakit yang disebabkan oleh air dan sanitasi/lingkungan
yang kurang baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan aparat desa
serta petugas puskesmas atau polindes, diperoleh informasi bahwa terjadi
penurunan kejadian penyakit yang terkait dengan terpenuhinya kebutuhan air bersih
dan sanitasi tersebut. c) Terjadinya peningkatan prilaku hidup bersih dan sehat:
Secara umum di 6 desa yang dikunjungi telah terjadi perubahan PHBS menuju
tingkat yang lebih baik terkait pada indikator minum air yang sudah dimasak,
mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, mencuci dengan sabun setelah
buang air besar (BAB) dan tidak BAB di sembarang tempat. d) Kemudahan dalam
mencapai akses terhadap sarana air bersih dan sanitasi: Masyarakat desa yang
semula harus berjalan jauh ke sumber air atau harus antri lama di tempat penjual air
sebelum adanya program WSLIC-2, kini tinggal memutar kran yang ada di kran
umum atau di sambungan rumah masing-masing. Jarak terjauh KU dengan rumah
penduduk hanya sekitar 200 meter.

Pemilihan sasaran daerah miskin: berdasarkan hasil temuan lapangan di 6 lokasi


dan dokumen review, desa sasaran WSLIC-2 sudah tepat, yaitu mayoritas
penduduknya miskin (berpenghasilan rendah), tingginya penyakit yang disebabkan
oleh air dan lingkungan yang kurang sehat, ada potensi air bersih yang mudah untuk
dikembangkan, dan adanya kesediaan masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam
berbagai tahapan proyek. Diyakini dalam proses pembangunan sarana air bersih
dan sanitasi, partisipasi masyarakat (inkind 16%) bila dikonversikan dengan dana
untuk setiap lokasi partisipasi masyarakat melebihi 16%, namun sayang data
tertulisnya di setiap desa tidak ada, hal ini disebabkan data tidak tersimpan secara
baik, waktu pelaksanaan dan penyerahan relatif sudah cukup lama, dan terjadinya
penggantian pengurus.

34
Peningkatan kapasitas: Beberapa pelatihan yang dilaksanakan di setiap desa
untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di desa penerima program
WSLIC-2 adalah: 1) sistem manajemen keuangan SAB, 2) Pelatihan teknik
operasional dan pemeliharaan air bersih, 3) teknik penyuluhan kesehatan, 4) Pola
hidup sehat untuk masyarakat dan guru, 4) pelatihan dokter kecil (di Desa Rawang,
Pesisir Selatan), 5) Pelatihan SODIS (di Lombok Timur). Pelatihan tersebut diakui
telah mampu meningkatkan kapasitas SDM di desa terkait dalam bentuk:
meningkatnya keterampilan teknis pembangunan sarana air bersih bagi TKM,
meningkatnya kemampuan teknis operasi dan pemeliharaan sarana air bersih bagi
TKM, meningkatnya kemampuan pengelolaan prasarana air bersih bagi TKM, dan
meningkatnya perilaku hidup sehat di masyarakat.

Efektifitas Biaya, Struktur Pendanaan dan Aliran Dana: dengan merujuk pada
pencapaian hasil yang telah dirasakan oleh masyarakat yang mendapatkan layanan
air bersih dan sanitasi serta meningkatnya perilaku hidup bersih dan sehat dan
menurunnya kejadian penyakit diare, maka biaya yang dikeluarkan untuk
pengadaan sarana air bersih dan sanitasi serta pelatihan-pelatihan guna
meningkatkan kapasitas masyarakat sudah cukup sepadan. Namun berdasarkan
laporan audit teknis, menyimpulkan tentang efektifitas biaya sebagai berikut: a)
pembangunan sarana air bersih dengan dana sekitar Rp. 200juta disimpulkan belum
efektif karena rata-rata belum bisa menjangkau 80% dari target pelayanan. Hal ini
berlaku pada 3 kelompok sistem (non perpipaan, perpipaan gravitasi, dan perpipaan
pemompaan). b) Agar sarana bisa menjangkau minimal 80% dari target pelayanan,
direkomendasikan plafon dana untuk tiap desa dinaikkan menjadi Rp.375juta.
Meskipun dengan plafon yang dinaikkan ini, sistem perpipaan pemompaan hanya
bisa menjangkau sekitar 70% dari target pelayanan. c) Disimpulkan bahwa sistem
non perpipaan adalah yang paling murah dan perpipaan pemompaan adalah yang
paling mahal.

Keberlanjutan program: hasil temuan lapangan di 6 lokasi dan dokumen review


menunjukan bahwa: a) sarana air bersih dan sanitasi di enam desa tetap berfungsi

35
dan memenuhi tingkat kepuasan banyak pengguna. b) Cakupan pelayanan air bersih
dan sanitasi telah mencapai lebih dari 80% masyarakat sasaran program. c) Dari
hasil kunjungan lapangan ke 6 desa didapatkan kondisi bahwa masyarakat penerima
manfaat maupun pengelola infrastruktur dengan kearifan lokalnya telah
memikirkan cara dan tindakan untuk menjaga kesinambungan program WSLIC-2.
Yang mendorong masyarakat untuk melakukan hal tersebut adalah karena
munculnya rasa memiliki terhadap program WSLIC-2. Hal tersebut dipicu karena
mereka merasa turut merencanakan dan mengalami setiap tahapan proses dari sejak
perencanaan, konstruksi, dan operasi. Rasa memiliki ini juga muncul karena
masyarakat merasa turut menanamkan investasi berupa uang, tenaga dan material.

Organisasi masyarakat: Di setiap lokasi evaluasi telah terbentuk organisasi O&P


sarana air bersih dan sanitasi, bertanggung jawab terhadap operasional sarana air
bersih yang ada di desa. Sebagian besar pengurus muka baru (bukan berasal dari
TKM) kecuali untuk bagian teknis. Kesadaran untuk menjaga keberlangsungan
kelembagaan pengelola sarana ini sangat kuat di kabupaten Lamongan. Kebutuhan
akan keberlangsungan pengelola sarana sangat disadari dan tidak menginginkan
kelembagaan tersebut hilang seiring dengan selesainya program WSLIC-2 tahun
2009. Hal ini ditunjukan dengan dibentuknya lembaga HIPPAMS (Himpunan
Penduduk Pemakai Air Minum dan Sanitasi) di tiap desa. Mulai tahun 2004,
pembentukan HIPPAMS menjadi persyaratan dalam pencairan dana termin ke tiga.
Selain itu di tingkat kabupaten Lamongan telah dibentuk Asosiasi HIPPAMS
“Banyu Urip” telah memperoleh akte notaris. Asosiasi ini merupakan wadah
HIPPAMS untuk melakukan koordinasi, konsultasi dan saling tukar pengalaman
dalam pengelolaan sarana air minum dan sanitasi pedesaan. Asosiasi ini bertujuan
untuk meningkatkan profesionalisme anggota dalam pengelolaan sarana air minum
dan sanitasi pedesaan, melalui koordinasi, konsultasi, pemberdayaan dan saling
tukar pengalaman dalam rangka peningkatan dan penyetaraan kinerja anggota.

Kepuasan terhadap program: Berdasarkan kunjungan lapangan terhadap 6 desa


di tiga provinsi, mayoritas stakeholder di kabupaten sampai desa baik perangkat

36
desa, pengelola sarana maupun masyarakat penerima manfaat air bersih dan sanitasi
merasa puas terhadap Program WSLIC-2. Kepuasan terhadap program ini muncul
karena pencapaian hasil yang dirasakan oleh perangkat desa maupun masyarakat di
semua lapisan (kaya-miskin, laki-laki/perempuan). Program WSLIC-2 banyak
memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna di perdesaan misalnya:
kemudahan mendapatkan air, mengenal perilaku hidup bersih dan sehat, BAB pada
tempat-tempat tertentu (WC), efisiensi waktu dalam pengambilan air sehingga
dapat digunakan untuk kegiatan produktif lainnya seperti perkebunan, pertanian,
buruh tani, serta pembuangan limbah lebih mudah. Masyarakat cukup puas dengan
WSLIC-2 bila dibandingkan dengan program lainnya karena manfaatnya dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat, di sisi lain masyarakat terlibat dalam proses
kegiatan di desa termasuk pelaksanaan pembangunannya. Sedangkan dampak
buruk yang ditimbulkan dengan dibangunnya dan dimanfaatkannya infrastruktur
tersebut tidak ada sama sekali. Kepuasan terhadap program WSLIC-2 karena
masyarakat merasa memiliki kegiatan yang dilaksanakan dalam program WSLIC-
2.

b. Rismanimurti, Adihardjo dan Wiguna (2008)


Penelitian yang dilakukan berjudul “Pengaruh Partisipasi Masyarakat
Terhadap Pencapaian Tujuan Proyek Second Water and Sanitation for Low Income
Communities (WSLIC-2)”. Obyek penelitian adalah Kabupaten Pamekasan,
dengan memilih desa lokasi proyek WSLIC-2 yang memiliki tingkat keberhasilan
tinggi yaitu Pamoroh dan desa dengan tingkat keberhasilan rendah yaitu
Rangperang Daya. Pengambilan sampling menggunakan teknik total sampel
terhadap penerima manfaat proyek Pengumpulan data dilakukan dengan metode
kuisioner. Data dianalisis menggunakan structural equation modeling (SEM)
dengan variabel X adalah partisipasi masyarakat dan variabel Y adalah pencapaian
tujuan proyek.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kedua desa partisipasi berpengaruh
positif terhadap pencapaian tujuan proyek. Di Desa Pamoroh, yang paling
berpengaruh adalah variabel tingkat partisipasi sedangkan pencapaian tujuan

37
proyek yang paling dipengaruhi adalah peningkatan pelayanan kesehatan
masyarakat. Untuk Desa Rangperang, daya partisipasi yang paling berpengaruh
adalah variabel wujud partisipasi sedangkan pencapaian tujuan proyek yang paling
dipengaruhi adalah peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat.

c. Sita dan Agusta (2010)


Penelitian yang dilakukan berjudul “Evaluasi Efektivitas, Relevansi, Dan
Keberlanjutan Dampak Proyek Second Water Sanitation For Low Income
Communities (WSLIC-2) Di Desa Pangradin, Kecamatan Jasinga, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
sejauh mana desain proyek WSLIC-2 di Desa Pangradin sejalan dengan
pemberdayaan masyarakat serta mengevaluasi sejauh mana efektivitas, relevansi,
dan keberlanjutan dampak proyek WSLIC-2 yang dilaksanakan di Desa Pangradin.
Responden penelitian ini terdiri dari masyarakat, siswa SD (Sekolah Dasar) dan
anggota TKM (Tim Kerja Masyarakat) dengan total responden 244 orang yang
dipilih secara acak sederhana dan acak distratifikasi. Sementara itu, informan
penelitian adalah anggota TKM, anggota Unit Pengelola Sarana (UPS), dan anggota
TKKc (Tim Koordinasi Kecamatan) yang dipilih secara purposif. Pengumpulan
data dilakukan dengan survai dan wawancara mendalam serta penelusuran
dokumen yang terkait dengan proyek WSLIC-2. Analisis data menggunakan tabel
frekuensi, penyajian grafik, dan prosedur pengujian statistik baik parametrik (uji T-
berpasangan) maupun non-parametrik (uji Mc Nemar dan rangking bertanda
Wilcoxon).
Desain proyek WSLIC-2 dibandingkan dengan konsep pemberdayaan
berdasarkan 10 prinsip Community Driven Development (CDD). Berdasarkan pada
hasil analisis dokumen WSLIC-2 serta dengan melihat implementasi proyek di
lapangan, desain proyek WSLIC-2 yang dirancang sudah mendekati konsep
pemberdayaan berdasarkan 10 prinsip CDD pada fase konstruksi, namun belum
mengakar kuat pada fase pemeliharaan proyek. Hasil pengukuran terhadap
pencapaian keluaran, manfaat, dan dampak proyek menunjukkan bahwa proyek
cukup efektif dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap air bersih, namun

38
dalam aspek sanitasi, yakni membebaskan masyarakat dari perilaku BAB (Buang
Air Besar) di sembarang tempat, proyek WSLIC-2 dinilai masih belum efektif.
Sehingga proyek WSLIC-2 di Desa Pangradin dinilai belum sepenuhnya efektif
dalam menghasilkan manfaat yang diharapkan. Berdasarkan tingkat kebutuhan dan
tingkat pemanfaatan masyarakat terhadap keluaran proyek yang dihasilkan, proyek
WSLIC-2 cukup relevan, namun belum menjamin adanya keberlanjutan dampak
yang diharapkan proyek WSLIC-2.

d. Anandini (2011)
Penelitian yang dilakukan berjudul “Identifikasi Prospek Keberlanjutan
Kegiatan Penyediaan Air Bersih Berbasis Masyarakat Setelah Program Second
Water and sanitaTion for Low Income Community Berakhir (Studi Kasus:
Kabupaten Bogor)”. Salah satu program penyediaan air bersih yang dikembangkan
Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Bank Dunia dan Pemerintah Australia
adalah Program Second Water and Sanitation for Low Income Communities
(WSLIC 2) dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, yang terlibat secara
aktif sejak pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pengoperasian dan
pemeliharaan. Selain itu, program ini juga melibatkan warga perempuan dan
kelompok miskin dalam setiap kegiatan. Dengan adanya pelibatan masyarakat
dalam setiap kegiatan Program WSLIC 2 ini diharapkan dapat mewujudkan
keberlanjutan kegiatan yang kemudian dapat menanggulangi masalah kesehatan
dan ketersediaan air perdesaan. Keberlanjutan kegiatan masyarakat dalam Program
WSLIC-2 yang dimaksud dalam studi ini adalah selain masih berfungsinya sarana
air bersih dan sanitasi, masyarakat pun dapat mengelola secara mandiri sarana
tersebut. Penilaian keberlanjutan kegiatan masyarakat dalam Program WSLIC 2 di
masing-masing desa penelitian akan dipaparkan berdasarkan hasil penilaian secara
deskriptif terhadap kelima aspek beserta keterpenuhan tolok ukur yang telah
ditetapkan sebelumnya. Keterpenuhan tolok ukur menunjukkan bahwa nilai-nilai
yang ditanamkan oleh Program WSLIC-2 pada saat pelaksanaan program masih
berlanjut hingga saat ini.

39
Program WSLIC-2 merupakan program penyediaan air bersih yang
berasaskan partisipasi masyarakat, di mana salah satu keluaran yang diharapkan
adalah adanya peningkatan kapasitas lembaga dan masyarakat serta
keberlangsungan dari sistem sarana yang telah dibangun. Untuk mewujudkan hal
tersebut, Program WSLIC-2 memberikan pelatihan dan penyuluhan pada saat
program masih berlangsung untuk mempersiapkan lembaga dan masyarakat ketika
pasca program. Namun, kondisi yang ada pada lapangan adalah nilai-nilai yang
telah ditanamkan oleh program pada saat pelaksanaan ternyata tidak seluruhnya
berlanjut ketika program telah berakhir.
Berdasarkan analisis terhadap ketiga desa penelitian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa terdapat beberapa hal yang mempengaruhi keberlanjutan
kegiatan penyediaan air masyarakat di ketiga desa penelitian, yaitu:
1. Faktor kepemimpinan dan kapasitas lembaga. Hal ini dapat dilihat dari
perbedaan pada masing-masing desa, di mana desa yang memiliki
kelembagaan yang bagus, akan dapat menciptakan hasil yang bagus juga pada
aspek yang lainnya, sehingga prospek keberlanjutan program menjadi lebih
mudah untuk diwujudkan.
2. Kapasitas masyarakat. Pada akhirnya, keberhasilan program untuk dapat terus
berlanjut, kembali lagi kepada pribadi warga masing-masing. Pemahaman
warga terhadap kegunaan air akan mempengaruhi berlanjut atau tidaknya
sistem air bersih tersebut. Semakin tinggi pemahaman masyarakat, maka
masyarakat dengan sendirinya akan turut berpartisipasi, berusaha melestarikan
air dan menggunakan air dengan bijak.
Dari pengamatan kasus pada ketiga desa tersebut, kemudian dapat
disimpulkan pula bahwa program penyediaan air bersih perdesaan berbasis
partisipasi masyarakat, seperti Program WSLIC-2, belum tentu dapat berhasil
diterapkan pada seluruh desa dan menghasilkan keberlanjutan dalam jangka waktu
yang panjang. Program berbasis partisipasi masyarakat seperti ini akan lebih
berhasil jika diterapkan pada desa yang memiliki tokoh penggerak utama seperti di
Desa Cileungsi, atau memiliki pertalian masyarakat yang erat, seperti di Desa
Bojongmurni, namun sulit memperoleh keberhasilan jika diterapkan pada desa

40
yang memiliki karakteristik seperti Desa Cibedug di mana masyarakat dan lembaga
pengelola memiliki kepedulian yang minim.
Kesimpulan secara umum dari hasil pengamatan Program WSLIC-2 di
ketiga desa penerima program di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor adalah masih
banyaknya permasalahan yang menyebabkan keberlanjutan kegiatan penyediaan
air bersih dan sanitasi masyarakat yang diinisiasi oleh Program WSLIC-2 tersebut
sulit untuk terwujud.
Hasil Penelitian terdahulu oleh penulis kemudian dijadikan asumsi dasar
dalam penyusunan hipotesis penelitian.

1.6. Kerangka Pemikiran


Setiap makhluk hidup tentu memerlukan air untuk bertahan hidup dan
beraktivitas, terlebih lagi manusia. Kebutuhan akan air bersih mendorong manusia
untuk melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. Namun, kebutuhan air
bersih ini tidak selamanya dapat terpenuhi. Banyak faktor yang mempengaruhi
akses masyarakat terhadap air. Faktor yang paling utama adalah faktor alam
(geografis) dan faktor ekonomi. Akes terhadap air bersih dan sanitasi perlu
ditetapkan sebagai salah satu sektor prioritas pembangunan nasional karena pada
kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari masih banyak masyarakat yang belum
mendapatkan akses air bersih dan fasilitas sanitasi layak
Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dibantu
oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian
Pendidikan mencanangkan Proyek Air Bersih dan Sanitasi untuk Masyarakat
Berpenghasilan Rendah yang dinamakan proyek Second Water Supply and
Sanitation for Low Income Communities (WSLIC-2). Tujuan utama dari proyek
WSLIC-2 adalah meningkatkan status kesehatan, produktivitas dan kualitas hidup
masyarakat berpenghasilan rendah di perdesaan melalui pendekatan partisipatif dan
pemberdayaan masyarakat dengan membentuk Tim Kerja Masyarakat (TKM) pada
tahap perencanaan dan konstruksi, serta membentuk Unit Pengelola Sarana (UPS)
pasca konstruksi proyek. Prinsip pemberdayaan masyarakat yang diterapkan dalam
proyek WSLIC-2 kemudian dibandingkan kecocokannya dengan 10 prinsip

41
Community Driven Development (CDD). CDD merupakan pendekatan
pembangunan produk World Bank yang menempatkan masyarakat miskin dan
kelembagaannya sebagai aset dan mitra dalam proses pembangunan. CDD
memberikan kontrol keputusan dan sumberdaya di tangan kelompok masyarakat.
Proyek WSLIC-2 di Desa Neglasari konstruksinya berakhir pada 2009,
sehingga ketika penelitian ini dilaksanakan pada 2012, proyek sudah berjalan
selama 3 tahun. Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan implementasi
proyek WSLIC-2 di Desa Neglasari, serta mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2
terhadap tingkat perekonomian dan kesehatan masyarakat di Desa Neglasari,
dengan cara membandingkan kondisi ekonomi dan kesehatan masyarakat antara
sebelum dan setelah proyek dilaksanakan. Indikator yang digunakan untuk
mengetahui pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian masyarakat
di Desa Neglasari, antara lain: (a) mata pencaharian utama, (b) penghasilan, (c)
waktu yang digunakan oleh masyarakat untuk bekerja (produktivitas), (d) jarak
dengan sumber air, (e) diversifikasi jenis usaha yang dipengaruhi oleh ketersediaan
air bersih, serta (f) perubahan status kesejahteraan. Adapun indikator yang
digunakan untuk mengetahui pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat
kesehatan masyarakat di Desa Neglasari, antara lain: (a) perubahan sikap, perasaan
dan keinginan masyarakat terhadap perilaku hidup bersih dan sehat, (b) prevalensi
penyakit yang dipengaruhi oleh kondisi air dan sanitasi, (c) kondisi MCK, (d)
kondisi sanitasi, serta (e) perubahan status kesehatan.
Pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian dan kesehatan
masyarakat di Desa Neglasari dipengaruhi juga oleh faktor eksternal seperti
kesempatan dan kemauan masyarakat untuk berusaha atau bekerja maupun
malnutrisi atau wabah penyakit yang bersumber di luar sanitasi dan masalah air
bersih. Kedua hal tersebut bukan merupakan fokus pada penelitian ini. Secara
ringkas, kerangka pemikiran pada penelitian ini tersaji pada Gambar 1.2.

42
Pemenuhan Kebutuhan Air
Bersih dan Sanitasi

Desain Proyek WSLIC-2


Prinsip CDD :
1. Iklim Kelembagaan dan
TUJUAN PROGRAM Kebijakan
ORGANISASI
2. Investasi sesuai
Meningkatkan status kebutuhan
TKM dan UPS
kesehatan, produktivitas dan
3. Mekanisme partisipasi
kualitas hidup masyarakat
yang berpenghasilan rendah
4. Keikutsertaan sesuai
dipedesaan Gender dan Status
Sosial
5. Investasi Pengembangan
Kapasitas CBO
6. Fasilitas Informasi
7. Aturan Sederhana dan
Insentif
Kondisi Masyarakat sebelum dan 8. Desain Kerja Fleksibel
sesudah proyek 9. Scaling Up
10. Exit Strategy
EKONOMI KESEHATAN

 Pekerjaan utama  Sikap dan perilaku


 Penghasilan hidup bersih
 Waktu Bekerja  Jenis Penyakit Keterangan :
 Jarak sumber air  Kejadian Penyakit
 Diversifikasi  Kondisi MCK
jenis usaha  Kondisi Sanitasi : Fokus Penelitian
 Perubahan status  Perubahan status
kesejahteraan kesehatan : Bukan Fokus Penelitian

: Mempengaruhi

Kesempatan dan : Kesesuaian


kemauan masyarakat
: Menghasilkan
Malnutrisi atau wabah
penyakit bersumber
diluar sanitasi
Pengaruh proyek
terhadap tingkat
perekonomian dan
kesehatan masyarakat

Gambar 1. 2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

43
1.7. Hipotesis Penelitian
Sugiyono (2007) menjelaskan bahwa hipotesis penelitian merupakan
jawaban sementara terhadap rumusan masalah pada suatu penelitian. Pada
penelitian ini, hipotes disusun untuk menguji kesesuaian desain proyek WSLIC-2
serta implementasinya didasarkan pada 10 prinsip Community Driven Development
(CDD) dan signifikansi perubahan aspek-aspek mengenai pengaruh proyek
terhadap tingkat perekonomian dan kesehatan masyarakat di Desa Neglasari.
Berdasarkan landasan teoritis yang telah dipaparkan pada tinjauan pustaka, maka
dapat disusun Hipotesis uji, meliputi:

Tujuan I : mendeskripsikan implementasi proyek WSLIC-2 di Desa Neglasari


 Terdapat kesesuaian desain serta implementasi proyek WSLIC-2 dengan 10
prinsip Community Driven Development (CDD) (halaman 98).

Tujuan II : mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian


masyarakat di Desa Neglasari
1. Terdapat peningkatan akses masyarakat yang signifikan terhadap air bersih dan
sanitasi antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman
101).
2. Terdapat tingkat pemanfaatan yang signifikan terhadap sarana air bersih
WSLIC-2 (halaman 104).
3. Terdapat peningkatan produktivitas masyarakat dalam bekerja yang signifikan
setelah proyek WSLIC-2 (halaman 108).
4. Terdapat peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat yang signifikan setelah
proyek WSLIC-2 (halaman 110)
5. Terdapat diversifikasi jenis usaha terkait pemanfaatan sarana air bersih
WSLIC-2 (halaman 111).
6. Terdapat perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat yang signifikan antara
sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 112)

44
Tujuan III : mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat kesehatan
masyarakat di Desa Neglasari
1. Terdapat perubahan kecenderungan masyarakat yang signifikan terhadap
perilaku hidup bersih antara sebelum dan setelah pelaksanaan proyek WSLIC-
2, yang meliputi:
a. terdapat perubahan sikap masyarakat yang signifikan terhadap perilaku
hidup bersih antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2
(halaman 115).
b. terdapat perubahan sikap masyarakat yang signifikan terhadap perilaku
sanitasi sehat antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2
(halaman 117).
c. terdapat perubahan perasaan masyarakat yang signifikan terhadap
perilaku sanitasi sehat antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek
WSLIC-2 (halaman 119).
d. terdapat perubahan keinginan masyarakat yang signifikan untuk
berperilaku sanitasi sehat antara sebelum dan sesudah pelaksanaan
proyek WSLIC-2 (halaman 121)
2. Terdapat perubahan perilaku masyarakat yang signifikan terhadap hidup bersih
antara sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 123).
3. Terdapat peningkatan status kesehatan yang signifikan pada masyarakat antara
sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2, berupa perubahan
intensitas menderita penyakit yang signifikan pada masyarakat antara sebelum
dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 125).
4. Terdapat perubahan tingkat kesehatan masyarakat yang signifikan antara
sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek WSLIC-2 (halaman 127).

1.8. Keaslian Penelitian


Indah (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh industri air
minum dalam kemasan terhadap penghidupan masyarakat di Desa Wangen,
Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten”, memiliki tujuan Membandingkan

45
kondisi penghidupan masyarakat, khususnya karyawan PT. Tirta Investama (PT.
TI) di Desa Wangen, menggambarkan pentagon aset masyarakat sebelum dan
sesudah proyek serta untuk mengetahui sejauh mana kontribusi PT TI terhadap
Desa Wangon. Penelitian tersebut membantu peneliti untuk melihat pengaruh
proyek terhadap kondisi masyarakat sekitar serta untuk mengetahui gambaran
kondisi masyarakat antara sebelum dan setelah suatu proyek dilaksanakan.
Sita dan Agusta (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Evaluasi
efektivitas, relevansi dan keberlanjutan dampak proyek Second Water and
Sanitation for Low Income Communities (WSLIC-2) di Kecamatan Jasinga,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat”, memiliki tujuan mengevaluasi kesesuaian desain
proyek WSLIC-2 dengan konsep pemberdayaan masyarakat, mengevaluasi
efektivitas proyek WSLIC-2 dalam menghasilkan manfaat yang diharapkan,
mengevaluasi relevansi keluaran proyek WSLIC-2 dengan dampak yang
ditimbulkan serta mengevaluasi keberlanjutan dampak proyek. Penelitian tersebut
sangat erat kaitannya dengan proses evaluasi proyek yang terkait dengan
efektivitas, relevansi dan keberlanjutan dampak proyek WSLIC-2.
Fadhil (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Proyek
Second Water Supply And Sanitation For Low Income Communities-2 (WSLIC-
2) Terhadap Tingkat Perekonomian Dan Kesehatan Masyarakat di Desa
Neglasari”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi proyek
WSLIC-2 di Desa Neglasari, mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat
perekonomian masyarakat di Desa Neglasari, Kecamatan Pamarican, serta
mengkaji pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat kesehatan masyarakat di
Desa Neglasari, Kecamatan Pamarican. Adapun perbedaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya terletak pada pemilihan fokus penelitian yakni lebih
menekankan pada pengaruh proyek WSLIC-2 terhadap tingkat perekonomian dan
kesehatan masyarakat. Pengaruh lebih difokuskan kepada dua hal tersebut.
Sedangkan untuk lokasi penelitian sendiri jelas berbeda dengan penelitian
sebelumnya tentang proyek WSLIC-2 karena penelitian ini dilaksanakan di Desa
Neglasarai, Kecamatan pamarican, Kabupaten Ciamis. Adapun metode penelitian
yang digunakan memiliki kemiripan dengan penelitian sebelumnya yakni

46
menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif namun pendekatan yang digunakan
memiliki perbedaan yakni pendekatan before and after comparison, yakni
pendekatan untuk mencari perbandingan antara keadaan sebelum dan setelah
proyek dilaksanakan. Keaslian dengan penelitian sebelumnya, tertera pada Tabel
1. 1.

47
Tabel 1. 1. Keaslian Penelitian
Peneliti/
No Judul/Fokus Tujuan Metode Hasil
Tahun
1. Rai Sita evaluasi efektivitas, mengevaluasi kesesuaian Kualitatif dan desain proyek WSLIC-2 yang dirancang
(2010) relevansi dan desain proyek WSLIC-2 Kuantitatif sudah mendekati konsep pemberdayaan
keberlanjutan dampak dengan konsep masyarakat. proyek cukup efektif dalam
proyek Second Water pemberdayaan masyarakat, meningkatkan akses masyarakat terhadap
and Sanitation for mengevaluasi efektivitas air bersih. Namun dalam aspek sanitasi,
Low Income proyek WSLIC-2 dalam yakni membebaskan masyarakat dari
Communities menghasilkan manfaat yang perilaku buang air besar di sembarang
(WSLIC-2) di diharapkan, mengevaluasi tempat, proyek WSLIC-2 dinilai masih
Kecamatan Jasinga, relevansi keluaran proyek belum efektif.
Kabupaten Bogor, WSLIC-2 dengan dampak
Jawa Barat. yang ditimbulkan serta
mengevaluasi keberlanjutan
dampak proyek.
2. Nur Indah Pengaruh industri air Membandingkan kondisi Kualitatif Terjadi perubahan kondisi penghidupan
(2009) minum dalam penghidupan masyarakat, masyarakat setelah proyek berlangsung
kemasan terhadap khususnya karyawan PT. meliputi kenaikan aset fisik dan finansial,
penghidupan Tirta Investama (PT. TI) di namun terjadi penurunan dalam hal aset
masyarakat di Desa Desa Wangen, natural. keberadaan PT TI juga
Wangen, Kecamatan menggambarkan pentagon memberikan kontribusi bagi Desa
Polanharjo Kabupaten aset masyarakat sebelum Wangon dalam hal pemasukan rutin kas
Klaten. dan sesudah proyek serta desa dan jenis-jenis bantuan lainnya.
untuk mengetahui sejauh

48
Lanjutan Tabel 1.1. Keaslian Penelitian
Peneliti/
No Judul/Fokus Tujuan Metode Hasil
Tahun
mana kontribusi PT TI
terhadap Desa Wangon.
3 Icep Pengaruh Proyek Mendeskripsikan Mixed Methods  Analisis kesesuaian implementasi
Anwar Second Water Supply implementasi proyek (Kombinasi proyek WSLIC-2 dengan konsep
Fadhil And Sanitation For WSLIC-2 di Desa metode pemberdayaan berdasarkan 10 prinsip
(2012) Low Income Neglasari, mengkaji kualitatif dan CDD dinilai cukup sejalan.
Communities-2 pengaruh proyek WSLIC-2 kuantitatif)  Analisi pengaruh proyek WSLIC-2
(WSLIC-2) Terhadap terhadap tingkat terhadap tingkat perekonomian
Tingkat Perekonomian perekonomian masyarakat masyarakat di Desa Neglasari
Dan Kesehatan di Desa Neglasari, serta  Analisis pengaruh proyek WSLIC-2
Masyarakat di Desa mengkaji pengaruh proyek terhadap tingkat kesehatan masyarakat
Neglasari WSLIC-2 terhadap tingkat Desa Neglasari
kesehatan masyarakat di
Desa Neglasari.

49

Anda mungkin juga menyukai