Anda di halaman 1dari 3

Memilih Triase Emergency Severity Index

(ESI) di Indonesia
20 May 2014

Sebagai bagian persiapan akreditasi versi baru, rumah sakit memperbaiki sistem triase di
instalasi gawat darurat (IGD). Kondisi IGD yang padat dan tidak terprediksi kerap
menjadikan sumber daya yang ada terbenam dalam kepadatan pasien yang masuk (1).
Kepadatan ini menurut Institute of Medicine (IOM) di Amerika Serikat dianggap sebagai
krisis nasional. Kepadatan pasien IGD selain mengupayakan keselamatan pasien, juga
mengancam privasi pasien, dan membuat frustasi staf IGD (2) sehingga proses triase dirasa
sebagai kebutuhan dan bukan sekedar pemenuhan standar.

Triase adalah tingkatan klasifikasi pasien berdasarkan penyakit, keparahan, prognosis, dan
ketersediaan sumber daya (3). Definisi ini lebih tepat diaplikasikan pada keadaan bencana
atau korban masal. Dalam kegawatdaruratan sehari-hari, triase lebih tepat dikatakan sebagai
metode untuk secara cepat menilai keparahan kondisi, menetapkan prioritas, dan
memindahkan pasien ke tempat yang paling tepat untuk perawatan (1).

Sebagian besar rumah sakit di Indonesia masih menggunakan sistem triase "klasik". Sistem
triase ini sebenarnya mengadaptasi sistem triase bencana, dengan membuat kategori cepat
dengan warna hitam, merah, kuning, dan hijau. Hitam untuk pasien meninggal, merah untuk
pasien gawat (ada gangguan jalan nafas, pernafasan, atau sirkulasi), kuning untuk pasien
darurat, dan sisanya hijau. Sistem tiga level ini tidak cocok bagi IGD rumah sakit modern
yang perlu mempertimbangkan evidence-based medicine atau kedokteran berbasis bukti.

Sejauh penelusuran yang bisa dilakukan penulis, ada beberapa sistem triase berbasis bukti
yang bisa diacu. Sistem tersebut antara lain Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS) dari
Canada, Manchester Triage Scale (MTS) dari Inggris, Austraian Triage Scale (ATS) dari
Australia, dan Emergency Severity Index (ESI) dari Amerika Serikat. Berbeda dengan sistem
triase "klasik", sistem-sistem ini mengelompokkan pasien ke dalam lima level berjenjang.
Sistem penjenjangan lima level ini lebih terpercaya dibanding dengan pengelompokan tiga
level seperti pada sistem triase "klasik" (1,3).

Emergency Severity Index (ESI) dikembangkan sejak akhir tahun sembilan puluhan di
Amerika Serikat. Sistem ESI bersandar pada perawat dengan pelatihan triase secara spesifik.
Pasien yang masuk digolongkan dalam ESI 1 sampai ESI 5 sesuai pada kondisi pasien dan
sumber daya rumah sakit yang diperlukan oleh pasien (1,3,4). ESI tidak secara spesifik
mempertimbangkan diagnosis untuk penentuan level triase dan tidak memberikan batas
waktu tegas kapan pasien harus ditemui dokter.

Menarik untuk membahas ESI dalam konteks IGD rumah sakit di Indonesia. Ada sedikitnya
tiga alasan mengapa ESI lebih cocok diterapkan di sebagian besar IGD di Indonesia. Pertama,
perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu intervensi
dokter. Alasan kedua, pertimbangan pemakaian sumber daya memungkinkan IGD
memperkirakan utilisasi tempat tidur. Ketiga, sistem triase ESI menggunakan skala nyeri 1-
10 dan pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di Indonesia.
Triase ESI bersandar pada empat pertanyaan dasar (4) algoritme pada gambar 1. Kategorisasi
ESI 1, ESI 2, dan ESI 5 telah jelas. Kategori ESI 2 dan ESI 3 mensyaratkan perawat triase
mengetahui secara tepat sumber daya yang diperlukan. Contoh sumber daya adalah
pemeriksaan laboratorium, pencitraan, pemberian cairan intravena, nebulisasi, pemasangan
kateter urine, dan penjahitan luka laserasi. Pemeriksaan darah, urine, dan sputum yang
dilakukan bersamaan dihitung satu sumber daya. Demikian pula CT Scan kepala, foto polos
thorax, dan foto polos ekstremitas bersamaan dihitung sebagai satu sumber daya.

Anak-anak adalah populasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam triase. Bila pada sistem
yang lain belum jelas mengenai kriteria triase pasien pediatri, ESI mempunyai satu bagian
tersendiri mengenai triase pada anak-anak. Bagian ini memberikan petunjuk yang jelas
mengenai apa saja yang harus diperiksa ketika melakukan triase pasien anak-anak. Inilah
yang tidak dijumpai pada sistem triase yang lain.

Aslinya, ESI dibuat dalam konteks IGD sebagai antar muka EMS dan pelayanan rumah sakit.
Sebuah penelitian di Eropa (5) juga menambahkan fakta menarik mengenai ESI pada pasien
yang datang sendiri ke IGD, kondisi yang lebih mirip dengan Indonesia. Penelitian ini
menemukan bahwa sistem triase ESI ini dapat dipercaya dan diandalkan pada pasien-pasien
yang datang sendiri ke IGD. Tidak ada modifikasi yang perlu dilakukan pada algoritme
sistem triase ESI untuk pasien-pasien yang datang sendiri ke IGD.

Berbagai fakta di atas meyakinkan kita bahwa sistem triase ESI berpotensi diaplikasi di IGD
rumah sakit di Indonesia untuk meningkatkan keselamatan pasien dan efisiensi pelayanan.
Kepala IGD perlu merencanakan waktu dan strategi untuk dapat berpindah dari sistem triase
"klasik" menjadi sistem triase ESI ini. Namun, alasan efisiensi sumber daya dan keselamatan
pasien sudah cukup bagi IGD rumah sakit untuk merencanakan sistem yang lebih baik.
Salam!

Anda mungkin juga menyukai