Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipoglikemia

2.1.1 Definisi Hipoglikemia

Hipoglikemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar glukosa plasma

lebih rendah dari 45 mg/dl– 50 mg/dl. Hipoglikemia juga diartikan sebagai keadaan

di mana kadar gula darah di bawah 60 mg/dl disertai adanya gelaja klinis pada

penderita. Pasien diabetes yang tidak terkontrol dapat mengalami gejala hipoglikemia

pada kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal,

sedangkan pada pasien diabetes dengan pengendalian gula darah yang ketat (sering

mengalami hipoglikemia) dapat mentoleransi kadar gula darah yang rendah tanpa

mengalami gejala hipoglikemia.2

Pendekatan diagnosis kejadian hipoglikemia juga dilakukan dengan bantuan

Whipple’s Triad yang meliputi: keluhan yang berhubungan dengan hipoglikemia,

kadar glukosa plasma yang rendah, dan perbaikan kondisi setelah perbaikan kadar

gula darah.1

Hipoglikemia akut diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat menurut

gejala klinis yang dialami oleh pasien. Berikut penjelasannya:7

Tabel 2.1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut

Ringan Dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari – hari yang
Simtomatik nyata
Sedang Dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari – hari

3
Simtomatik yang nyata
Sering tidak simtomatik, pasien tidak dapat mengatasi sendiri karena
adanya gangguan kognitif :
1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak membutuhkan terapi
Berat parenteral
2. Membutuhkan terapi parenteral (glukagon intramuskuler atau
intravena)
3. Disertai kejang atau koma .

American Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia

mengklasifikasikan kejadian hipoglikemia menjadi 5 kategori sebagai berikut:7

Tabel 2.2. Klasifikasi Hipoglikemia menurut American Diabetes Association

Workgroup on Hypoglycemia tahun 2005

Severe Kejadian hipoglikemia yang membutuhkan bantuan dari orang lain


hypoglycemia
Documented Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dl disertai gejala klinis
symptomatic hipoglikemia
hypoglycemia
Asymptomatic Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dl tanpa disertai gejala klinis
hypoglycemia hipoglikemia
Probable Gejala klinis hipoglikemia tanpa disertai pengukuran kadar gula
symptomatic darah plasma
hypoglycemia
Relative Gejala klinis hipoglikemia dengan pengukuran kadar gula darah
hypoglycemia plasma ≥ 70 mg/dl dan terjadi penurunan kadar gula darah

4
Hipoglikemi pada pasien diabetes merupakan hasil kelebihan baik secara
absolute maupun relative insulin. Hipoglikemia atau rendahnya kadar gula darah
secara tidak normal adalah komplikasi yang dapat terjadi pada semua pengobatan
DM. Hal ini dapat terjadi bila intake glukosa tidak seimbang dengan pengobatan.
Pasien dapat menjadi agitasi, keringatan, dan banyak gejala aktifitas simpatis.
Penurunan hingga hilang kesadaran terjadi pada kasus serius yang selanjutnya dapat
menjadi koma, kejang, atau terjadi kerusakan otak hingga kematian. Hal ini dapat
terjadi pada pasien DM karena berbagai faktor: kelebihan insulin, waktu pemberian
yg salah, waktu olah raga yang berlebihan, makanan yang tidak cukup. Pada banyak
kasus hipoglikemia diterapi dengan minum air gula atau makan. Pada kasus yang
berat dapat diberikan injeksi glukagon dan infus glukosa khususnya pada penderita
yang tidak sadar. Pengobatan hipoglikemia umumnya adalah pemberian glukosa 50%
intra vena (setiap cc glukosa 5% menaikan kadar glukosa kira-kira 2 mg/dL).11

2.1.2. Gejala dan Tanda Hipoglikemia

Gejala dan tanda dari hipoglikemia merupakan akibat dari aktivasi sistem

saraf otonom dan neuroglikopenia. Pada pasien dengan usia lajut dan pasien yang

mengalami hipoglikemia berulang, respon sistem saraf otonom dapat berkurang

sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak menyadari kalau kadar gula

darahnya rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat memperberat

akibat dari hipoglikemia karena penderita terlambat untuk mengkonsumsi glukosa

untuk meningkatkan kadar gula darahnya.2,4

Tabel 2.3. Gejala dan tanda yang muncul pada keadaan hipoglikemia

Kadar Gula Darah Gejala Neurogenik Gejala Neuroglikopenik

79,2 mg/dL gemetar, goyah, gelisah irritabilita, kebingungan

70,2 mg/dL gugup, berdebar – debar sulit berpikir, sulit berbicara

5
59,4 mg/dL berkeringat ataxia, paresthesia

50,4 mg/dL mulut kering, rasa kelaparan sakit kepala, stupor

39,6 mg/dL pucat, midriasis kejang, koma, kematian

2.1.3. Mekanisme Kontra Regulasi Kadar Gula Darah

Penurunan kadar gula darah dapat memicu serangkaian respon yang

bertujuan meningkatkan kadar gula darah. Pertahanan fisiologis yang pertama

terhadap hipoglikemia adalah penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

Pasien diabetes melitus tipe 1 yang menerima terapi substitusi insulin tidak memiliki

penurunan sekresi

insulin fisiologis (sekresi insulin berkurang saat kadar gula darah rendah) karena

insulin yag beredar dalam tubuh merupakan insulin penggantui yang berasal dari luar

(eksogen).4 Pertahanan fisiologis yang kedua terhadap hipoglikemia adalah

peningkatan sekresi glukagon. Sekresi glukagon meningkatkan produksi glukosa di

hepar dengan memacu glikogenolisis. Pertahanan fisiologis yang ketiga terhadap

hipoglikemia adalah peningkatan sekresi epinefrin adrenomedullar. Sekresi ini terjadi

apabila sekresi glukagon tidak cukup untuk meningkatkan kadar gula darah. Sekresi

epinefrin adrenomedullar meningkatkan kadar gula darah dengan cara stimulasi hepar

dan ginjal untuk memproduksi glukosa, membatasi penyerapan glukosa oleh jaringan

yang sensitif terhadap insulin, perpindahan substrat glukoneogenik (laktat dan asam

amino dari otot, dan gliserol dari jaringan lemak).4

6
Sekresi insulin dan glukagon dikendalikan oleh perubahan kadar gula darah

dalam pulau Langerhans di pankreas. Sedangkan pelepasan epinefrin (aktivitas

simpatoadrenal) dikendalikan secara langsung oleh sistem sara pusat. Bila pertahanan

fisiologis ini gagal mencegah terjadinya hipoglikemia, kadar glukosa plasma yang

rendah menyebabkan respon simpatoadrenal yang lebih hebat yang menyebabkan

gejala neurogenik sehingga penderita hipoglikemia menyadari keadaan hipoglikemia

dan bertujuan agar penderita segera mengkonsumsi karbohidrat. Seluruh mekanisme

pertahanan ini berkurang pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan pada advanced

diabetes mellitus tipe 2.1,2,4

2.1.4. Patofisiologi Hipoglikemia yang Berhubungan dengan Kegagalan Otonom


2

2.1.5. Identifikasi Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Hipoglikemia

Berikut dijelaskan factor-faktor yang mempengaruhi keadaan hipoglikemia:

7
1. Usia

Menurut Lefebvre, gejala (symptom) hipoglikemia muncul lebih berat dan terjadi

pada kadar gula darah yang lebih tinggi pada orang tua dibanding dengan usia yang

lebih muda. Sedangkan menurut Studenski dalam buku ajar Harrison’s Princle of

Internal Medicine 18th Ed dikemukankan bahwa hipoglikemia pada penderita

diabetes usia lanjut lebih sulit diidentifikas karena simptom autonomik dan

neurogenik terjadi pada kadar gula darah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan

penderita diabetes pada usia yang lebih muda. sedangkan reaksi metabolik dan efek

cedera neurologisnya sama saja antara pasien diabetes muda dan usia lanjut. 2,,4,7

Simptom autonom hipoglikemia sering tertutupi oleh penggunaan beta-

blocker. Penderita diabetes usia lanjut memiliki risiko yang lebih tinggi untuk

mengalami hipoglikemia daripada penderita diabetes usia lanjut yang sehat dan

memiliki fungsi yang baik.5

2. Kelebihan (ekses) insulin

 Dosis insulin atau obat penurun gula darah yang terlalu tinggi.

 Konsumsi glukosa yang berkurang.

 Produksi glukosa endogen berkurang, misal setelah konsumsi alkohol.

 Peningkatan penggunaan glukosa oleh tubuh, misal setelah

 berolahraga.

 Peningkatan sensitivitas terhadap insulin.

 Penurunan ekskresi insulin, misal pada gagal ginjal.

 Ekses insulin disertai mekanisme kontra regulasi glukosa yang terganggu.2

8
Hipoglikemi merupakan interaksi antara kelebihan (ekses) insulin dan

terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa. Kejadian ekses insulin saja belum

tentu menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Faktor risiko yang relevan dengan

terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa pada penderita diabetes melitus tipe

1 dan diabetes melitus tipe 2 tahap lanjut antara lain:2,4

a. Defisiensi insulin pancreas, menandakan bahwa insulin yang ada

merupakan insulin eksogen, sehingga apabila gula darah turun di bawah

batas normal, tidak terjadi penurunan sekresi insulin.

b. Riwayat hipoglikemia berat, ketidaksadaran hipoglikemia

(hypoglycemia unawareness), atau keduanya.

c. Terapi penurunan kadar gula darah yang agresif, ditandai dengan

kadar HbA1c yang rendah, target kadar gula darah yang rendah, atau

keduanya.

d. Frekuensi Hipoglikemia, pasien yang sering mengalami hipoglikemia

akan mentoleransi kadar gula darah yang rendah dan mengalami gejala

hipoglikemia pada kadar gula darah yang lebih rendah daripada orang

normal.

3. Obat hipoglikemik oral yang berisiko menyebabkan hipoglikemia

Penggunaan obat hipoglikemik oral yang memiliki cara kerja meningkatkan

sekresi insulin pada pankreas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Obat –

obat tersebut antara lain dipeptydil peptidase-4 inhibitor, glucagon-like peptide-1,

golongan glinide, golongan sulfonylurea: glibenclamide, glimepiride 8.5

9
 Sulfonylurea

Sulfonylurea bekerja dengan memacu pelepasan insulin dari sel beta pankreas

dengan cara berikatan dengan reseptor sulfonylurea pada sel beta pankreas yang

menyebabkan inhibisi efluks ion kalium dan menyebabkan depolarisasi dan

pelepasan insulin. Pemakaian sulfonylurea jangka panjang pada pasien DM tipe 2

dapat menurunkan kadar serum glukagon yang dapat meningkatkan risiko terjadinya

hipoglikemia. Mekanisme inhibisi glukagon ini terjadi karena stimulasi pelepasan

insulin dan somatostatin menghambat sekresi sel alfa pankreas.5

Obat golongan sulfonylurea yang saat ini cukup banyak digunakan merupakan

sulfonylurea generasi ke-2 yaitu glibenclamide dan glimepiride. Glibenclamide

(glyburide) dimetabolisme di hepar menjadi produk dengan aktivitas hipoglikemik

yang sangat rendah. Dosis awal pemberian Glibenclamide yaitu 2,5 mg per hari dan

dapat ditingkatkan hinga mencapai 5-10 mg dosis tunggal per hari dan diberikan pada

pagi hari. Pemberian dosis lebih dari 20 mg per hari tidak direkomendasikan.

Glibenclamide berisiko menyebabkan hipoglikemia. Efek samping glibenclamide

yang lain adalah dapat menyebabkan flushing apabila berinteraksi dengan alkohol.

Insufisiensi ginjal dan hepar merupakan kontraindikasi penggunaan glibenclamide.

Glimepiride digunakan dengan dosis sekali sehari, sebagai terapi tunggal ataupun

sebagai kombinasi dengan terapi insulin. Glimepiride mencapai pengendalian gula

darah pada dosis yang paling rendah bila dibandingkan dengan sulfonylurea yang

lain. Dosis tunggal 1 mg tiap hari dapat menunjukkan kerja yang efektif dan dapat

digunakan dosis hingga 8 mg per hari. Glimepiride memiliki waktu paruh selama 5

10
jam sehingga dapat diberikan dalam dosis tunggal sekali sehari. Glimepiride

dimetabolisme di hepar menjadi bentuk yag inaktif.5

 Meglitinide

Meglitinide bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin sel beta pankreas

dengan mengatur efluks kanal kalsium. Meglitinide memiliki tempat perlekatan

(binding sites) yang sama dengan yang dimiliki oleh golongan sulfonylurea. Obat

yang termasuk dalam golongan meglitinide yaitu repaglinide. Repaglinide memiliki

onset kerja sangat cepat, dengan konsentrasi puncak dan efek puncak kurang dari satu

jam setelah obat ditelan, sedangkan durasi kerja repaglinide selama 5–8 jam.

Repaglinide dimetabolisme di hepar oleh enzim CYP3A4 dengan waktu paruh

plasma selama 1 jam. Sifat kerja yang cepat ini membuat Repaglinide diindikasikan

untuk mengatasi peningkatan glukosa setelah makan (post-prandial). Repaglinide

diminum tepat sebelum makan, dengan dosis 0.25–4 mg (maksimum 16 mg per hari)

.5

Repaglinide berisiko menimbulkan hipoglikemia bila pasien tidak segera

makan setelah mengkonsumsi obat, atau makan dengan jumlah karbohidrat yang

tidak adekuat. Repaglinide perlu mendapat perhatian khusus pada pasien dengan

gangguan hepar dan ginjal. Repaglinide dapat digunakan sebagai terapi tungal

ataupun dikombinasikan dengan biguanide (metformin). Repaglinide dapat diberikan

pada pasien diabetes yang alergi dengan sulfonylurea karena repaglinide tidak

mengandung unsur sulfur.5

 Terapi Salisilat

11
Salisilat menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan sekresi insulin yang

distimulasi glukosa (glucose-stimulated insulin secretion) pada orang normal dan

pasien diabetes. Salisilat menghambat sintesis prostaglandin pada berbagai jaringan,

termasuk jaringan pankreas. Penurunan produksi prostaglandin di pankreas

berhubungan dengan peningkatan sekresi insulin, dibuktikan dalam penelitian

sebelumnya bahwa pada orang normal, infus prostaglandin E2 dan analog E2

termetilasi menghambat respon insulin akut setelah asupan glukosa.5

Pemberian aspirin dalam dosis 1,8g – 4,5g per hari dapat menurunkan

kebutuhan suntikan insulin pada pasien diabetes dan pemberian 6g aspirin per hari

selama 10 hari menurunkan rata-rata gula darah puasa dari 371mg/dl menjadi

128mg/dl.2,5

 Terapi Insulin

Terapi insulin dapat menyebabkan hipoglikemia karena apabila kadar gula

darah turun melampaui batas normal, tidak terjadi fisiologi penurunan kadar insulin

dan pelepasan glukagon, dan juga refleks simpatoadrenal. Berdasarkan berbagai

penelitian klinis, terbukti bahwa terapi insulin pada pasien hiperglikemia

memperbaiki luaran klinis. Insulin, selain dapat memperbaiki status metabolik

dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga memiliki efek lain yang

bermanfaat, antara lain perbaikan inflamasi. Pada awalnya, terapi insulin hanya

ditujukan bagi pasien diabetes melitus tipe 1 (DMT1). Namun demikian, pada

kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan oleh pasien DMT2 karena prevalensi

DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan DMT1. Pasien DMT2 yang memiliki kontrol

glukosa darah yang tidak baik dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu

12
dipertimbangkan untuk penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat

oral atau insulin tunggal.2,5

Berdasarkan onset kerjanya, terapi insulin diklasifikasikan sebagai berikut:

 Rapid acting insulin (insulin kerja sangat cepat)

Insulin kerja sangat cepat memiliki onset kerja dan puncak kerja yang

memungkinkan terapi insulin yang menyerupai fisiologi sekresi insulin post-prandial.

Insulin kerja sangat cepat dapat digunakan sesaat sebelum pasien makan. Durasi

kerja insulin kerja sangat cepat tidak lebih dari 4 – 5 jam, dengan demikian memiliki

risiko hipoglikemia pasca makan (late postmeal hypoglycemia) yang lebih kecil.

Yang termasuk insulin kerja sangat cepat antara lain insulin lispro, insulin aspart, dan

insulin glulisine.2,5

 Short acting insulin (insulin kerja singkat)

Insulin reguler adalah insulin kerja singkat yang larut dalam bentuk kristal

zinc. Efek kerja insulin kerja singkat muncul dalam 30 menit, mencapai puncak kerja

dalam 2-3 jam setelah injeksi subkutan, dan memiliki durasi kerja 5-8 jam. Dalam

konsentrasi yang tinggi, molekul insulin ini mengalamai aggregasi di sekitar ion zinc

sehingga membentuk molekul heksamer. Bentuk heksamer inilah yang menyebabkan

insulin reguler membutuhkan waktu untuk dapat bekerja aktif. Setelah injeksi

subkutan. molekul hexamer insulin akan mengalami pengenceran (dilusi) oleh cairan

interstitial jaringan dan terpecah menjadi molekul dimer dan monomer. Insulin kerja

singkat baru dapat bekerja optimal dalam bentuk monomer tersebut. Apabila insulin

13
disuntikan pada saat pasien makan, maka akan terjadi kenaikan kadar gula darah

setelah makan (early post-prandial hyperglycemia) karena insulin belum bekerja, dan

berisiko menimbulkan hipoglikemia pasca makan (late post-prandial hypoglycemia)

karena kerja insulin yang terlambat. Insulin kerja singkat harus disuntikkan 30 – 45

menit sebelum makan untuk mencapai penurunan kadar gula yang tepat. Insulin kerja

singkat bermanfaat dalam terapi intravena pada pasien ketoasidosis diabetes dan pada

pembedahan ataupun infeksi akut.2,5

 Intermediate acting insulin (insulin kerja sedang)

Neutral Protamine Hagedorn insulin (NPH) insulin kerja sedang yang

absorbsi dan kerjanya dihambat dengan cara mengkombinasikan insulin dengan

protamine dalam jumlah yang tepat. Setelah penyuntikan subkutan, enzim proteolitik

jaringan menguraikan protamin sehingga insulin dapat diabsorbsi dan diedarkan ke

seluruh tubuh. NPH memiliki onset kerja 2 – 5 jam dan masa kerja 4 – 12 jam. NPH

biasanya dicampur dengan rapid acting insulin (lispro, aspart, atau glulisin) dan

diberikan 2-4 kali sehari sebagai pengganti insulin endogen (replacement therapy).

Dosis NPH mempengaruhi profil kerja, misal dosis kecil memiliki puncak kerja yang

lebih rendah dan lebih cepat dan masa kerja yang singkat, dan terjadi sebaliknya pada

penambahan dosis yang lebih besar. Kerja NPH sangat sulit diprediksi dan memliki

variabilitas absorbsi yang tinggi.2,5

 Long acting insulin (insulin kerja panjang)

Insulin glargine adalah insulin kerja panjang yang tidak memliki puncak masa

kerja (peakless). Insulin glargine didesain untuk mencapai terpi insulin yang nyaman

14
dan stabil. Molekul Insulin glargine larut dalam suasana yang asam (pH pelarut = 4,0)

dan mengalami presipitasi sesaat setelah disuntikkan secara subkutan karena pH

tubuh yang netral. Monomer insulin secara perlahan-lahan dilepaskan dari kumpulan

presipitat insulin pada jaringan sekitar lokasi penyuntikan sehingga menghasilkan

profil insulin plasma yang rendah, stabil, dan kontinyu. Insulin glargine memiliki

onset kerja yang lambat (1 – 1,5 jam) dan mencapai kerja maksimum dalam 4-6 jam.

Kerja maksimum ini bertahan selama 11 – 24 jam. Glargine diberikan dalam suntikan

sekali sehari, atau dapat dibagi dalam 2 dosis untuk pasien dengan resistensi insulin

ataupun hipersensitivitas terhadap insulin. Glargine tidak dapat dicampur dengan

insulin jenis lain karena dapat menurunkan efikasinya karena glargine harus

dilarutkan dalam suasana asam. Pencampuran dengan insulin lain dalam spuit yang

sama juga harus dihindari dan harus disuntikkan dengan spuit yang berbeda. Pola

absorbsi insulin glargine tidak terikat dengan letak penyuntikan. Insulin detemir

adalah insulin kerja panjang yang dikembangkan paling baru dan memiliki efek

hipoglikemik yang lebih rendah daripada NPH insulin. Insulin detemir memiliki

onset kerja yang bergantung pada dosis (dose dependent) selama 1 – 2 jam dan durasi

kerja 24 jam. Insulin detemir diberikan dua kali sehari untuk mencapai kadar insulin

yang tepat.2,5

4. Aktivitas Fisik / Olahraga

Aktivitas fisik atau olahraga berperan dalam pencegahan dan penanganan diabetes.

Olahraga dapat memicu penurunan berat badan, meningkatkan sensitivitas insulin

pada jaringan hepar dan perifer, meningkatkan pemakaian glukosa, dan kesehatan

15
sistem kardiovaskuler. Namun pada penderita diabetes dengan pengendalian gula

darah yang intensif, olahraga dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia bila

tanpa disertai penyesuaian dosis terapi insulin, dan atau suplementasi karbohidrat.

Hipoglikemia dapat terjadi saat berolah raga, sesaat setelah berolahraga, ataupun

beberapa jam setelah berolahraga.2,7

Beberapa studi terakhir menemukan bahwa hipoglikemia setelah olah raga

dipengaruhi oleh kegagalan sistem otonom pada penderita diabetes. Pada saat olah

raga terjadi penurunan insulin secara fisiologis, sedangkan pada penderita diabetes

yang tergantung pada terapi insulin eksogen, penurunan insulin fisiologis ini tidak

terjadi karena insulin yang beredar di dalam tubuh adalah insulin eksogen dan tidak

dapat dikendalikan oleh pankreas. Berbeda dengan penurunan sekresi insulin yang

tidak terjadi pada penderita diabetes, pada saat berolah raga sekresi glukagon dari sel

– sel alfa pankreas tetap terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2.

Hilangnya penurunan kadar insulin juga menghambat proses glikogenolisis dan

glukoneogenesis karena kadar insulin yang relatif tinggi beredar dalam darah.2,7

Pada penderita diabetes juga terjadi kegagalan sekresi epinefrin. Secara

fisiologis, epinefrin berfungsi meningkatkan glikogenolisis dan menghambat

pemakaian glukosa pada saat olahraga. 2,7

5. Keterlambatan asupan glukosa

Berkurangnya asupan karbohidrat atau glukosa pada pasien hiperglikemia

karena terlambat makan atau menjalani puasa dengan tidak mengurangi dosis obat –

16
obatan antidiabetes, dapat terjadi hipoglikemia karena berkurangnya asupan glukosa

dari saluran cerna.2,4

6. Gangguan Ginjal

Hipoglikemia pada gangguan fungsi ginjal dapat diakibatkan oleh penurunan

glukoneogenesis, kerja insulin yang berlebih atau berkurangnya asupan kalori. Pada

gangguan fungsi ginjal dapat terjadi penurunan kebutuhan insulin karena perubahan

pada metabolisme dan ekskresi insulin (insulin clearance). Insulin eksogen secara

normal dimetabolisme oleh ginjal. Pada gangguan fungsi ginjal, waktu paruh insulin

memanjang karena proses degradasi insulin berlangsung lebih lambat.2,4

RESPON METABOLIK TERHADAP ANESTESI DAN PEMBEDAHAN

Pembedahan menginduksi banyak respon stress yang dimediasi oleh sistim

neuroendokrin yang kemudian melepaskan katekolamin,glukagon dan kortisol.

Pembedahan menyebakan kerusakan jaringan selanjutnya mengaktifkan lekosit,

fibroblast dan sel endotel menghasilkan cytokine. Cytokine terutama adalah

interleukin-6 yang meningkat dalam 30-60 menit setelah operasi. Interleukin-6

diketahui menstimulasi kelenjar pituitary menghasilkan ACTH yang menyebabkan

pelepasan cortisol. Hormon-hormon tersebut menginduksi hiperglikemia.Pasien

nondiabetik mampu mempertahankan homeostasis glukosa dengan mensekresi

insulin yg cukup untuk menyeimbangi peningkatan glukosa oleh respon stress.

17
Mekanisme kompensasi ini pada pasien diabetes mengalami gangguan baik pada DM

tipe 1 maupun tipe 2.

Obat anestesi dapat berpengaruh pada metabolisme glukosa melalui modulasi

tonus simpatis. Evidens invitro menunjukkan obat inhalasi menekan sekresi insulin.

Sudah diketahui dalam beberapa tahunbahwa opioid dapat menekan sekresi kelenjar

hipotalamus dan hipofisis sehingga mengurangi peningkatan hormon stress tmt

kortisol.

Defisiensi relatif insulin menyebabkan gangguan regulasi glukosa dan

hiperglikemia. Defisiensi tersebut ditambah dengan resistensi insulin menambah

resiko terjadinya ketoasidosis. Regional anestesi dan blok saraf perifer mengurangi

resiko ini, akan tetapi tidak ada data yang menyimpulkan jenis anestesi tersebut

memperbaiki ketahanan hidup pasien DM post operatif.12

Hiponatremia

Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar Sodium atau natrium dalam serum

lebih rendah dari 135 mEq/L. Meskipun sebagian besar pasien dengan hiponatremia

memiliki kadar sodium pada level 125-135 mEq/L dan asimptomatik, hiponatremia

yang berat dapat menyebabkan pergerakan cairan akibat perubahan tekanan osmotic

dari plasma ke dalam sel-sel otak, yang akan menyebabkan mual, muntah, sakit

kepala dan rasa lemah. Hiponatremia yang memburuk akan menyebabkan

kebingungan, refleks yang menurun, kejang bahkankoma. Pasien-pasien dengan

18
hiponatremia berat dan disertai gejala yang khas, biasanya memiliki kadar sodium

darah yang kurang dari 120 mEq/L. Penyebab dari hiponatremia yang berat adalah

termasuk intoksikasi air (keracunan air) dan sindrom sekresi Anti Diuretik Hormon

yang tidak tepat (inapropriate antidiuretic hormone secretion syndrome). Keracunan

air dapat bersifat tidak disengaja, sebagai contoh pada pelari maraton yang meminum

air secara berlebihan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang, namun tidak disertai

penggantian elektrolit (sodium danklorida) yang turut hilang melalui keringat. Contoh

lainnya adalah pada penggunaan obat terlarang MDMA (3,4-

methylenedioxymethamphetamine) atau yang lebih popular dengan ekstasi, yang

akan menyebabkan hidrasi berlebihan. Selain itu, intoksikasi air dapat juga ditemukan

pada pasien-pasien psikiatrik dengan keluhan polidipsia. Secara umum, hiponatremia

paling baik diterapi dengan cara menaikkan secara perlahan kadar sodium darah

pasien. Dan sebagian besar para ahli sepakat bahwa usaha penaikan kadar sodium

darah tersebut tidak boleh melebihi 10-12 mEq/L per harinya. Peningkatan kadar

sodium darah yang terlalu cepat justru akan menyebabkan komplikasi yang lebih

memperburuk keadaan (meski jarang terjadi) berupa myelinasi pons. Pasien yang

mengalami myelinasi pons ini akan menderita kelumpuhan, sindrom "terkunci"

(locked-in syndrome) dan bahkan kematian. Pasien dengan kadar sodium darah

diantara 100 hingga 110 mEq/L dan disertai gejala-gejala hiponatremia yang berat,

haruslah segera diterapi untuk mencegah kerusakan saraf yang permanen. Dengan

meningkatkan kadar sodium secara cepat, 3-6 mEq/L akan memberikan

keseimbangan elektrolit antara otak dan tubuh sehingga keadaan pasien dapat

terstabilkan. Sampai saat ini belum ada studi besar yang terkontrol baik yang khusus

19
mempelajari berbagaima cara terapi untuk hiponatremia simptomatik. Rekomendasi

saat ini berdasaratas berbagai kasus, hasil konsensus panel dan pendapat para ahli.

Berdasar atas informasi yang tersedia, larutan hipertonik mestilah disiap-sediakan

bagi individu-individu yang sebelumnya pernah mengalami kejang,

komaataukelainanneurologisfokallainnyadanjugabagimerekamemilikikadar sodium

darah kurang dari 120 mEq/L (beberapa ahli berpendapat kurang dari 110 mEq/L)

Direkomendasikan bagi kelompok pasien-pasien ini, menerima 1,5 mL/kg larutan

saline hipertonik 3% dalam jangka waktu kurang dar isatu jam dan juga ditambahkan

furosemide dosiskecil (20 mg) secara intravena untuk menjamin diuresis air dan

menghambat sekresi ADH akibat rangsangan cairan hipertonik tadi. Terapi seperti ini

akan meningkatkan kadar sodium darah pada level 1-2 mEq/L dalam satu jam. Infus

kedua dapat diberikan pada jam berikutnya bila pasien masih menunjukkan gejala-

gejala neurologis. Kejang dapat juga diterapi secara agresif dengan benzodiazepine.

Meskipun peningkatan 3-6 mEq/L akan dapat menstabilkan pasien dengan cepat,

peningkatan total kadar sodium dalam 24 jam pertama perawatan, tidak boleh

melampaui 10 - 12 mEq/L. Pemantauan kadar sodium darah ini harus dilakukan

secara seksama tiap 2 jam sekali dalam ruang perawatan ICU. Bila kadar sodium

serum meningkat terlalu cepat, pemberian infus D5W sementara dapat menolong.11

2.2 Pneumonia

2.2.1 Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus

respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat

20
mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru. Pada

perkembangannya , berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk

pneumonia, yaitu pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia/CAP),

apabila infeksinya terjadi di masyarakat; dan pneumonia-RS atau pneumonia

nosokomial (hospital-acquired pneumonia/HAP), bila infeksinya didapat di rumah

sakit.3

Pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia) adalah pneumonia

yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit , sedangkan pneumonia nosokomial

adalah pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit,

baik di ruang rawat umum ataupun di ICU tetapi tidak sedang menggunakan

ventilator. Pneumonia berhubungan dengan penggunaan ventilator (ventilator-

acquired pneumonia/VAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam atau

lebih setelah intubasi tracheal. Pneumonia yang didapat di pusat perawatan kesehatan

(healthcare-associated pneumonia) adalah pasien yang dirawat oleh perawatan akut di

rumah sakit selama 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari dari proses infeksi, tinggal

dirumah perawatan (nursing home atau long-term care facility), mendapatkan

antibiotik intravena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari proses

infeksi ataupun datang ke klinik rumah sakit atau klinik hemodialisa.3,8

2.2.2 Etiologi

Berikut dijelaskan beberapa organism penyebab pneumonia:8

21
a. Bakteri

Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu:8

a.1. Typical organisme

Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :

 Streptococcus pneumonia : merupakan bakteri anaerob facultatif. Bakteri

patogen ini di temukan pneumonia komunitas rawat inap di luar ICU sebanyak

20-60%, sedangkan pada pneumonia komunitas rawat inap di ICU sebanyak 33%.

 Staphylococcus aureus : bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang

diberikan obat secara intravena (intravena drug abusers) memungkan infeksi

kuman ini menyebar secara hematogen dari kontaminasi injeksi awal menuju ke

paru-paru. Kuman ini memiliki daya taman paling kuat, apabila suatu organ telah

terinfeksi kuman ini akan timbul tanda khas, yaitu peradangan, nekrosis dan

pembentukan abses.8 Methicillin-resistant S. Aureus (MRSA) memiliki dampak

yang besar dalam pemilihan antibiotik dimana kuman ini resisten terhadap

beberapa antibiotik.

 Enterococcus (E. faecalis, E faecium) : organisme streptococcus grup D yang

merupakan flora normal usus. Penyebab pneumonia berasal dari gram negatif

sering menyerang pada pasien defisiensi imun (immunocompromised) atau pasien

yang di rawat di rumah sakit, di rawat di rumah sakit dalam waktuyang lama dan

dilakukan pemasangan endotracheal tube. Contoh akteri gram negatif dibawah

adalah :

22
 Pseudomonas aeruginosa : bakteri anaerob, bentuk batang dan memiliki bau

yang sangat khas.

 Klebsiella pneumonia : bakteri anaerob fakultatif, bentuk batang tidak

berkapsul. Pada pasien alkoholisme kronik, diabetes atau PPOK (Penyakit Paru

Obstruktif Kronik) dapat meningkatkan resiko terserang kuman ini.

 Haemophilus influenza : bakteri bentuk batang anaerob dengan berkapsul atau

tidak berkapsul. Jenis kuman ini yang memiliki virulensi tinggu yaitu

encapsulated type B (HiB).

1.b. Atipikal organisme

Bakteri yang termasuk atipikal ada alah Mycoplasma sp. , chlamedia sp. , Legionella

sp.

b. Virus

Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet9, biasanya

menyerang pada pasien dengan imunodefisiensi. Diduga virus penyebabnya adalah

cytomegalivirus9, herpes simplex virus, varicella zooster virus.8

c. Fungi

Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur oportunistik,

dimana spora jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup udara. Organisme yang

menyerang adalah Candida sp. , Aspergillus sp. , Cryptococcus neoformans.8

2.2.3 Patofisiologi

23
Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada di

orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber patogen

yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Faktor risiko pada inang dan terapi

yaitu pemberian antibiotik, penyakit penyerta yang berat, dan tindakan invansif pada

saluran nafas. Faktor resiko kritis adalah ventilasi mekanik >48jam, lama perawatan

di ICU.

Faktor predisposisi lain seperti pada pasien dengan imunodefisien

menyebabkan tidak adanya pertahanan terhadap kuman patogen akibatnya terjadi

kolonisasi di paru dan menyebabkan infeksi. Proses infeksi dimana patogen tersebut

masuk ke saluran nafas bagian bawah setelah dapat melewati mekanisme pertahanan

inang berupa daya tahan mekanik ( epitel,cilia, dan mukosa), pertahanan humoral

(antibodi dan komplemen) dan seluler (leukosit, makrofag, limfosit dan sitokinin).

Kemudian infeksi menyebabkan peradangan membran paru ( bagian dari sawar-udara

alveoli) sehingga cairan plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk. Hal ini

menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen menurun. Pada

pemeriksaan dapat diketahui bahwa paru-paru akan dipenuhi sel radang dan cairan ,

dimana sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk membunuh patogen, akan tetapi

dengan adanya dahak dan fungsi paru menurun akan mengakibatkan kesulitan

bernafas12, dapat terjadi sianosis, asidosis respiratorik dan kematian.3,8

2.2.4 Manifestasi Klinik

Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif

atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit

24
dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka

berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan

fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas14,

takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak

menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan

bronkial, pleural friction rub.3,8

2.2.5 Klasifikasi Pneumonia

Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya:

a. Community-Acquired Pneumonia

Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini sering di

sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (Penicillin sensitive and

resistant strains ), Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant strains)

and Moraxella catarrhalis (all strains penicillin resistant). Ketiga bakteri tersebut

dijumpai hampir 85% kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk melalui

inhalasi atau aspirasi organisme patogen ke segmen paru atau lobus paru-paru. Pada

pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan karakteristik penyebab dari tipikal

bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau segmen paru. Tetapi apabila terjadi

konsolidasi akan terjadi peningkatan taktil fremitus, nafas bronkial. Komplikasi

berupa efusi pleura yang dapat terjadi akibat infeksi H. Influenza , emphyema terjadi

akibat infeksi Klebsiella , Streptococcus grup A, S. Pneumonia.9,10

Angka kesakitan dan kematian infeksi CAP tertinggi pada lanjut usia dan

pasien dengan imunokompromis. Resiko kematian akan meningkat pada CAP apabila

25
ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan respiratory rate, hipotensi, demam,

multilobar involvement, anemia dan hipoksia.9,10

b. Hospital-Acquired Pneumonia

Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia nosokomial (

lebih dikenal sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-associated

pneumonia ) didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul setelah lebih dari 48 jam

di rawat di rumah sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal . Terjadinya pneumonia

nosokomial akibat tidak seimbangnya pertahanan inang dan kemampuan kolonisasi

bakteri sehingga menginvasi traktus respiratorius bagian bawah. Bakteria yang

berperan dalam pneumonia nosokomial adalah P. Aeruginosa , Klebsiella sp, S.

Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara signifikan akan mempengaruhi biaya rawat

di rumah sakit dan lama rawat di rumah sakit.3

ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya muncul

selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya muncul setelah lebih

dari 5 hari perawatan di rumah sakit). Pada early onset pneumonia nosokomial

memili prognosis baik dibandingkan late onset pneumonia nosokomial; hal ini

dipengaruhi pada multidrug-resistant organism sehingga mempengaruhi peningkatan

mortalitas. Pada banyak kasus, diagnosis pneumonia nosokomial dapat diketahui

secara klinis, serta dibantu dengan kultur bakteri; termasuk kultur semikuantitatif dari

sample bronchoalveolar lavange (BAL).3

c. Ventilator-Acquired pneumonia

Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia yang

terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea. Ventilator adalah alat

26
yang dimasukan melalui mulut atau hidung, atau melalu lubang di depan leher.

Infeksi dapat muncul jika bakteri masuk melalui lubang intubasi dan masuk ke paru-

paru.3

2.2.8 Komplikasi Pneumonia

Komplikasi dari pneumonia adalah3

a. Pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi.

b. Pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru

dan infark miokard akut.

c. ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrom)

d. Komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial

e. Sepsis

f. Gagal pernafasan, syok, gagal multiorgan

g. Penjalaran infeksi (abses otak, endokarditis)

h. Abses paru

i. Efusi pleura

27

Anda mungkin juga menyukai