Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Udang merupakan barang ekspor yang menarik dan cukup menjanjikan
bagi masyarakat indonesia yang terkenal dengan negara kepulauan atau maritim.
Adapun faktor yang membuat banyaknya warga indonesia tertarik
membudidayakan udang ialah dikarenakan harga yang cukup mahal jika dijual,
banyak diminati konsumen dikarenakan protein yang tinggi, peluang pasar yang
cukup baik terutama diluar negeri seperti China dan Jepang.
Tetapi udang yang diekspor keluar negeri adalah udang yang telah
mengalami pemisahan kepala dan kulit sehingga hanya menyisahkan badannya
saja untuk dikirim karena orang asing lebih menyukai udang tanpa ada kepala dan
kulit, keadaan inilah yang membuat semakin bertumpuknya limbah kulit udang
jika dibiarkan lama kelamaan dan akan mencemari lingkungan karena
menyebabkan bau yang menyengat dan dapat menimbulkan penyakit.
Pada perkembangan lebih lanjut kepala dan kulit udang dapat
dimanfaatkan untuk pembuatan kitin dan kitosan. Pemanfaatan kepala dan kulit
udang sebagai bahan baku kitin dan kitosan yang nantinya dapat digunakan
sebagai bahan dasar berbagai industri seperti industri kosmetik, makanan
kesehatan, pertanian, koagulasi untuk pengolahan limbah industri, kultur sel,
imobilisasi enzim, dan pembuatan membran dan bioplastik.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembuatan chitosan dari limbah kulit udang
2. Apa saja faktor yang dapat mengurangi kualitas dari produk chitosan
3. Apa saja manfaat chitosan agar menjadi produk yang lebih ekonomis
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pembuatan chitosan dari limbah kulit udang
2. Mengetahui faktor yang dapat mengurangi kualitas dari produk chitosan
3. Mengetahui manfaat dari chitosan agar menjadi produk yang lebih
ekonomis
1.4. Manfaat
1. Dapat mengetahui pembuatan chitosan dari limbah kulit udang
2. Dapat mengetahui faktor yang dapat mengurangi kualitas dari produk
chitosan
3. Dapat mengetahui manfaat dari chitosan agar menjadi produk yang lebih
ekonomis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Udang
Udang merupakan jenis hewan air payau, badan beruas berjumlah 13 (5
ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang
disebut eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar
terdiri dari udang laut. Hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air tawar,
terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang merupakan
salah satu bahan makanan sumber protein hewani yang bermutu tinggi.
Daerah penyebaran benih udang windu antara lain: Sulawesi Selatan
(Jeneponto, Tamanroya,Nassara, Suppa), Jawa Tengah (Sluke, Lasem), dan Jawa
Timur (Banyuwangi, Situbondo,Tuban, Bangkalan dan Sumenep), Aceh, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Timur, dan lain-lain. Limbah udang yang berupa
kulit, kepala dan ekor mengandung senyawa kimia berupa kitin, kitosan, protein,
kalsium karbamat, lemak, air, abu dan lain-lain. Senyawa ini dapat diolah dan
dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang dihasilkan oleh
limbah industri. Hal ini disebabkan karena senyawa kitin dan kitosan mempunyai
sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifikasi kimia yang tinggi
menghasilkan sifat polielektrilit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar
ion dan berfungsi sebagai adsorben terhadap logam berat dalam air limbah.
Dalam industri pembekuan udang ada dua jenis limbah. Pertama adalah
limbah padat yang berupa kepala udang. Limbah cair jika didiamkan akan
menimbulkan bau tidak sedap dan akan mencemari sungai atau areal persawahan
yang ada di dekatnya. Begitu juga limbah padat yang sarat akan bakteri jika
didiamkan merupakan sumber kontaminan yang mengganggu lingkungan. Limbah
yang berbentuk cair sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi sehingga penanganan
yang terbaik adalah menggunakan waste water treatment. Secara umum,
cangkang kulit udang mengandung beberapa senyawa contohnya protein sebanyak
34,9%, mineral CaCO3 sebanyak 27,6%, chitin sebanyak 18,1%, dan komponen
lain seperti zat terlarut, lemak dan protein tercerna sebesar 19, 4%.
Saat ini, budi daya udang dengan tambak telah berkembang dengan
pesat, karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam
meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang
bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam
bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya. Limbah
yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan
pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30-75% dari berat udang tersebut.
Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang
cukup tinggi limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari
protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan komposisi-komposisi lain.

2.2. Kulit Udang


Udang merupakan anggota filum Arthropoda, sub filum Mandibulata
dan tergolong dalam kelas Crustacea. Udang memiliki bagian-bagian seperti
kepala yang merupakan bagian terbesar dari seluruh bobot udang dapat mencapai
36-49%, bagian daging dapat mencapai 24-41%, serta bagian kulit dan ekor dapat
mencapai 17-23%. Proses pengolahan udang ini akan menghasilkan limbah padat,
antara lain adalah kepala udang, cangkang udang, kaki udang, dan ekor udang.
Limbah udang tersebut mudah sekali busuk akibat adanya mikroba
sehingga dapat menimbulkan pencemaran pada lingkungan. Penanganan limbah
udang memerlukan perhatian yang serius sehingga dapat mengurangi pencemaran
lingkungan yang terjadi. Di Indonesia, limbah dari industri pengolahan udang
umumnya dimanfaatkan sebagai bahan campuran ransum ternak, pupuk, bahan
campuran dalam pembuatan terasi, petis, dan kerupuk udang yang memiliki nilai
ekonomis yang relatif rendah. Maka dari itu, kebanyakan dalam proses
pengolahan limbah udang dilakukan secara manual dan tidak memakai mesin.
Seluruh tubuh kelompok krutasea terdiri dari ruas-ruas yang terbungkus
oleh kerangka luar atau eksoskeleton dari zat tanduk atau kitin dan diperkuat oleh
bahan kapur kalsium. Limbah udang yang berupa kulit, kepala, dan ekor dengan
mudah didapatkan mengandung senyawa kimia yang berupa kitin dan kitosan.
Senyawa kitin dan kitosan ini dapat diolah karena hal ini dimungkinkan karena
kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi,
reaktifikasi kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation
sehingga dapat berperan sebagai penukaran ion (ion exchanger) dan juga dapat
berfungsi sebagai absorben untuk logam berat dalam air limbah.
Fungsi kulit udang pada udang yaitu sebagai pelindung. Sebagian besar
limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala,
kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%)
dan kalsium karbonat (45%-50%). Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit
dibandingkan dengan kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah
kepiting mencapai 50%-60%, sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%,
sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40% dan 14%-35%. Namun
karena bahan baku yang mudah diperoleh dan banyak ditemukan seperti udang,
maka proses kitin dan kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang.
Selama ini limbah kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak
atau sebagai industri makanan seperti pembuatan kerupuk udang. Limbah kulit
udang dapat diolah untuk pembuatan chitin yang dapat diproses lebih lanjut untuk
menghasilkan produk chitosan yang memiliki banyak manfaat dalam bidang
industri, antara lain adalah sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (non
toxic) pengganti formalin. Chitosan adalah bahan alami yang direkomendasikan
untuk digunakan sebagai bahan pengawet makanan karena tidak beracun dan juga
aman bagi kesehatan. Secara umum, cangkang kulit udang mengandung protein
sebanyak 34,9%, mineral sebanyak CaCO3 27,6%, kitin sebanyak 18,1%, dan
komponen lain seperti zat terlarut, lemak dan protein tercerna sebesar 19,4%.
Chitin merupakan polisakarida yang bersifat non toxic atau tidak
beracun dan biodegradable sehingga chitin juga banyak dimanfaatkan dalam
berbagai bidang. Lebih lanjut lagi chitin dapat mengalami proses deasetilasi untuk
menghasilkan chitosan. Pembuatan chitosan sendiri dilakukan dengan cara
penghilangan gugus asetil (-COCH3) pada gugusan asetil amino kitin menjadi
gugus amino bebas chitosan dengan menggunakan larutan basa. Kitin sendiri
mempunyai struktur kristal yang panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen
dan gugus karboksil, sehingga pada proses deasetilasi digunakan senyawa seperti
NaOH atau menggunakan senyawa basa lainnya seperti HNO3.
2.3. Daur Hidup Udang
Daur hidup udang meliputi beberapa tahapan dan daur hidup udang
tersebut membutuhkan habitat yang berbeda pada setiap tahapan. Udang
melakukan pemijahan diperairan yang relatif dalam. Setelah menetas, larvanya
yangbersifat planktonis terapung-apung dibawa arus, kemudian berenang
mencari air dengan salinitas rendah disekitar pantai atau muara sungai.
Dikawasan pantai, larva udang tersebut berkembang. Menjelang dewasa, udang
tersebut berupaya kembali ke perairan yang lebih dalam dan memiliki tingkat
salinitas yang lebih tinggi, untuk kemudian memijah. Tahapan-tahapan tersebut
yang berulang untuk membentuk siklus hidup. Udang penaeid sendiri dalam
pertumbuhan dan perkembangannya mengalami beberapa fase diantaranya
nauplius, zoea, mysis, post larva, juvenile (udang muda), dan udang dewasa.
Setelah telur-telur menetas, larva hidup dilaut lepas menjadi bagian dari
zooplankton. Dikawasan pantai, larva udang tersebut berkembang. Menjelang
dewasa, udang tersebut berupaya kembali keperairan yang lebih dalam dan
memiliki tingkat salinitas yang lebih tinggi, untuk kemudian memijah. Saat
stadium post larva bergerak ke daerah dekat pantai dan perlahan-lahan turun ke
dasar didaerah estuary dangkal. Perairan dangkal ini memiliki kandungan-
kandungan nutrisi, salinitas dan juga suhu yang sangat bervariasi dibandingkan
dengan laut lepas. Setelah beberapa bulan hidup didaerah estuari atau muara,
udang dewasa akan kembali ke lingkungan laut. Hal ini dilakukan oleh udang
dimana kematangan sel kelamin, perkawinan dan pemijahan akan terjadi.

2.4. Penyebaran Udang dan Habitatnya


Di alam, udang galah dewasa dapat memijah dan bertelur di daerah air
tawar pada jarak maksimal 100 km dari muara. Sejak telur dibuahi hingga
menetas diperlukan waktu 16-20 hari. Larva baru dapat menetas memerlukan air
payau, lalu larvanya terbawa aliran sungai hingga ke laut. Larva yang menetas
dari telur paling lambat 3-5 hari harus mendapat air payau. Larva berkembang dan
memerlukan metamorfosis hingga mencapai pasca larva diperairan payau dengan
kadar garam berkisar antara 5-20%, setelah 45 hari udang dapat hidup diperairan
tawar, secara alami udang akan berupaya ke perairan yang lebih tawar.
Daerah penyebaran udang galah adalah daerah Indo-Pasifik, yaitu mulai
dari bagian timur Benua Afrika sampai dengan Semenanjung Malaka, termasuk
juga Indonesia. Di Indonesia, penyebaran udang tersebar dipenjuru wilayah
indonesia contohnya terdapaat di daerah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, Irian, sulawesi, kepulauan natuna dan juga maluku.
Udang hidup disemua jenis habitat perairan dengan 89% diantaranya
hidup di perairan laut, 10% diperairan air tawar dan 1% diperairan teresterial.
Udang laut merupakan tipe yang tidak mampu atau mempunyai kemampuan
terbatas dan mentolerir perubahan salinitas. Kelompok ini biasanya hidup
terbatas pada daerah terjauh pada estuary yang umumnya mempunyai salinitas
30% atau lebih. Kelompok yang mempunyai kemampuan untuk mentolerir variasi
penurunan salinitas sampai dibawah 30% hidup didaerah terrestrial dan
menembus hulu estuary atau muara dengan tingkat kejauhan bervariasi sesuai
dengan kemampuan spesies untuk mentolerir penurunan tingkat salinitas air.
Kelompok terakhir adalah udang air tawar. Udang dari kelompok ini
biasanya tidak dapat mentolerir salinitas diatas 5%. Udang menempati perairan
dengan berbagai tipe pantai seperti : pantai berpasir, berbatu ataupun berlumpur.
Spesies yang dijumpai pada ketiga tipe pantai ini berbeda-beda sesuai dengan
kemampuan masing-masing spesies menyesuaikan diri dengan kondisi fisik-
kimia perairan. Apabila diperhatikan tingkah laku dan kebiasaan hidupnya, fase
dewasa udang galah sebagian besar dijalani didasar perairan air tawar dan fase
larva bersifat planktonik yang sangat memerlukan air payau. Udang galah
mempunyai habitat diperairan umum, misalnya rawa, danau, dan juga muara
sungai yang langsung berhubungan dengan laut. Sebagai hewan yang bersifat
euryhaline mempunyai toleransi tinggi terhadap salinitas air, yaitu antara 0-20 per
mil. Hal ini berhubungan erat dengan siklus hidupnya.
Di alam, udang galah dewasa dapat memijah dan bertelur di daerah air
tawar pada jarak maksimal 100 km dari muara. Sejak telur dibuahi hingga sampai
menetas diperlukan waktu 16-20 hari. Larva baru dapat menetas memerlukan air
payau, lalu larvanya terbawa aliran sungai hingga menuju laut. Larva yang
menetas dari telur paling lambat 3-5 hari harus mendapat air payau.
2.5. Komposisi kimia yang terkandung dalam kulit udang
2.6.1 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan senyawa penting yang tersusun dari karbon,
hidrogen dan oksigen yang terdapat di alam. Karbohidrat merupakan suatu
senyawa yang memiliki rumus empiris CH2. Senyawa ini pernah disangka sebagai
hidra dari karbon sehingga disebut karbohidrat. Karbohidrat adalah suatu senyawa
yang sangat beraneka ragam sifatnya dan terdiri dari beberapa macam. Salah satu
perbedaan utama antara berbagai tipe karbohidrat ialah ukuran molekulnya.
Monosakarida adalah satuan karbohidat sederhana, mereka tidak dapat dihdrolisa
menjadi karbohidrat yang lebih kecil. Monosakarida dapat diikat secara bersama-
sama membentuk biner, trimet, dan polimer. Dimer-dimer tersebut disakarida.
Sukrosa adalah salah satu disakarida yang dapat dihidrolisa menjadi gugus
glukosa dan gugus fruktosa. Monosakarida dan disakarida dapat larut dalam air
dan umumnya rasanya manis. Karbohidrat merupakan suatu senyawa yang
tersusun dari dua sampai delapan satuan monosakarida dirujuk sebagai
oligasakarida. Jika lebih dari delapan gugus satuan monosakarida diperoleh dari
hidrolisis, maka karbohidrat tersebut akan disebut sebagai polisakarida.

2.6.2. Polisakarida
Suatu polisakarida adalah suatu senyawa dalam monomolekul-
monomolekul yang mengandung banyak satuan monosakarida yang dipersatukan
dengan ikatan glukosakarida. Hidrolisis lengkap akan mengubah susunan dari
polisakarida tersebut menjadi monosakarida. Terdapat variasi dalam komponen
dan sifat-sifat struktural dari polisakarida. Perbedaan sifat pada monosakarida
mempengaruhi sifat polisakarida karena terikat mempengaruhi polisakarida itu
secara umum. Bagian terbesar molekul karbohidrat dalam alam terdiri dari bentuk
polisakarida berbobot molekul tinggi, yang digunakan baik untuk keperluan
structural maupun untuk penimbunan energi kimia. Polisakarida memenuhi tiga
maksud dalam sistem kehidupan, sebagai bahan bangunan, bahan makanan, dan
sebagai zat spesifik. Polisakarida terdapat pada selulosa yang memberikan
kekuatan pada pohon kayu dan juga dahan kayu. Chitin terdapat pada kerangka
luar serangga, udang, kepiting, kerang dan binatang lain-lain.
2.6.3. Kitin
Kitin berasal dari bahasa yunani chitin, yang berarti kulit kuku. Yang
merupakan komponen utama dari eksoskeleton invertebrata, crustacea, insekta,
dimana komponen ini berfungsi sebagai komponen penyokong dan pelindung.
Adanya kitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini
kitin direaksikan dengan I2-KI yang memberikan warna coklat, kemudian jika
ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna dari
coklat hingga menjadi violet menunjukkan reaksi positif adanya kitin. Kitin
merupakan salah satu tiga besar dari polisakarida yang paling banyak di temukan
selain selulosa dan starch ( zat tepung). Kitin sendiri menduduki peringkat kedua
setelah selulosa sebagai komponen organik paling banyak yang terdapat di alam.
Selulosa dan starch merupakan zat penting bagi tumbuhan untuk membentuk
makanannya (zat karbohidrat) dan pembentukan dinding sel. Kitin banyak
ditemukan secara alamiah pada kulit jenis crustacea, antara lain kepiting, udang,
lobster. Kitin juga banyak di temukan di dalam rangka luar marine zoo-plankton
termasuk jenis coral dan jellyfish. Jenis serangga yaitu pada kupu-kupu, kumbang
mempunyai zat chitin terutama pada bagian lapisan kutikula luar.
Kitin atau Chitin merupakan polisakarida structural yang patut
mendapatkan perhatian karena berlimpah ruah di alam. Chitin sama dengan
selulosa, Chitin merupakan polisakarida hewan berkaki banyak. Diperkirakan 109
ton Chitin dibiosintesis tiap tahun. Chitin tidak larut dalam air, asam encer, alkali
encer/pekat dan juga pelarut organic lainnya, tetapi larut dalam larutan pekat asam
sulfat, asam klorida, asam fosfat. Selain itu tahan terhadap hidrolisa menjadi
komponen sakaridanya. Chitin pada umumnya sangat tahan terhadap hidrolisa,
walau enzim kitinase dapat melakukannya dengan mudah.
Chitin membentuk zat dasar yang tahan lama dari kulit spora lumut dan
eksokerangka dari serangga, udang, dan kerang-kerangan. Chitin adalah
polisakarida linier yang mengandung N-Asetil D-Glukosamina terikat β pada
hidrolisa, Chitin menghasilkan 2-Amino 2-Deoksin D-Glukosa. Dalam alam
Chitin terikat pada protein dan lemak. Chitin dapat dibentuk menjadi sustu bubuk
(powder) apabila sudah dipisahkan dari zat yang tercampur dengannya. Akan
tetapi tidak dapat larut dalam air. Reaksinya dalam asam-asam mineral dan alkali
akan menghasilkan suatu zat yang menyerupai selulosa. Pelarutan Chitin
tergantung dari konsentrasi asam mineral dan besarnya temperatur.
Di negara Jepang, Chitin sudah lama dikomersialkan dengan cara
memintalnya menjadi benang yang berfungsi sebagai penutup luka sehabis
operasi, karena didukung oleh sifatnya yang non alergi dan juga menunjukkan
aktifitas penyembuhan luka. Salah satu turunan Chitin yang luas pemakaiannya
adalah chitosan. Senyawa ini mudah didapat dari kitin dengan menambahkan
NaOH dan pemanasan sekitar 100o C dalam waktu tertentu.

2.6. Kitosan
Kitosan adalah serat makanan yang banyak terdapat pada tempurung
udang dan juga kepiting, terutama terdiri dari kitin yang sangat bermanfaat bagi
tubuh manusia, antara lain adalah dapat menurunkan kolesterol, memperkuat
fungsi liver, dan juga mencegah terjadinya penyakit jantung. Kitosan merupakan
sebutan dari kitin dan kitosan. Dimana kitin sendiri merupakan zat tempurung
yang tidak larut, sedangkan kitosan merupakan zat tempurung yang larut.

Tabel 2.6. Kualitas Standar Khitosan


Sifat-sifat Khitosan Nilai yang dikehendaki
Kadar air (% W/W) < 10
Kadar abu (% W/W) >2
Derajat Deasetilasi (% W/W) >70
Warna Putih
(Sumber: Protan Laboraturies Inc, 2004)

Kitosan adalah suatu polisakarida yang diperoleh dari hasil deasetilasi


kitin, yang umumnya berasal dari limbah kulit hewan Crustacea. Kitosan sendiri
memiliki sifat relatif lebih reaktif dari pada kitin dan juga mudah diproduksi
dalam bentuk serbuk seperti, pasta, film, serat. Kitosan merupakan bahan bioaktif
dan aktivitasnya dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang contohnya adalah
farmasi, pertanian dan juga lingkungan industri. Kitosan sebagai bahan bioaktif
dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan teri kering yang diasinkan.
Senyawa kitosan dapat membunuh bakteri dengan jalan merusak membran sel.
Aktivitas antibakteri kitosan dari ekstrak kulit udang dapat menghambat bakteri
pembusuk pada makanan lokal yang mengandung bakteri pathogen.

Kitosan memiliki sifat antimikroba, karena dapat menghambat bakteri


pathogen dan juga mikroorganisme pembusuk termasuk jamur juga bakteri gram-
positif dan juga bakteri garam negatif. Kitosan sendiri digunakan sebagai pelapis
(film) pada berbagai bahan pangan, tujuannya adalah menghalangi agar oksigen
dapat masuk dengan baik, sehingga dapat digunakan sebagai kemasan untuk
berbagai bahan pangan dan juga dapat dimakan langsung, karena kitosan tidak
berbahaya terhadap kesehatan. Senyawa chitosan mempunyai sifat mengganggu
aktivitas membran luar bakteri gram negatif. Pemakaian kitosan sebagai bahan
pengawet juga tidak menimbulkan perubahan warna dan aroma.
Dari segi ekonomi penggunaan kitosan dibanding formalin, kitosan lebih
baik. Untuk 100 kg ikan asin diperlukan satu liter kitosan seharga Rp12.000,
sedangkan pada formalin sebanyak Rp16.000. Senyawa kitosan yang berpotensi
sebagai bahan antimikrobial bisa ditambahkan pada bahan makanan karena tidak
berbahaya bagi manusia. Pada manusia kitosan tidak dapat dicerna sehingga tidak
punya nilai kalori dan langsung dikeluarkan oleh tubuh bersama feces. Kitosan
memiliki sifat penghalang metabolisme sel membran bagian luar.
Seperti selulosa dan kitin, kitosan merupakan polimer alamiah yang
sangat melimpah keberadaannya di alam Namun, hal tersebut menunjukkan
bahwa keterbatasannya dalam hal reaktivitas. Oleh karena itu, kitosan dapat
digunakan sebagai sumber material alami, sebab kitosan berfungsi sebagai
polimer alami yang mempunyai karakteristik yang baik, seperti dapat
terbiodegradasi, tak beracun, dapat mengadsorpsi, dan lain-lain.
Kitosan mempunyai bentuk spesifik mengandung gugus amino dalam
rantai karbonnya yang bermuatan positif, sehingga dalam keadaan cair sensitif
terhadap kekuatan ion tinggi. Kitosan memiliki gugus fungsional amina (–NH2)
yang bermuatan positif yang sangat reaktif, sehingga mampu berikatan dengan
dinding sel bakteri yang bermuatan negatif. Selain itu kitosan memiliki struktur
yang menyerupai dengan peptidoglikan yang merupakan struktur penyusun dari
90% dinding sel bakteri gram positif. Kitosan dan turunannya telah banyak
dimanfaatkan dalam berbagai bidang diantaranya adalah dalam bidang pangan,
bidang mikrobiologi, bidang pertanian, bidang farmasi, dan sebagainya.
Kitosan memiliki berbagai keunggulan, diantaranya adalah memiliki
struktur yang mirip dengan serat selulosa yang terdapat pada buah dan juga
sayuran. Keunggulan lain yang sangat penting adalah kemampuannya dalam
menghambat dan membunuh mikroba atau sebagai zat antibakteri, diantaranya
kitosan menghambat pertumbuhan berbagai mikroba penyebab penyakit tifus
yang resisten terhadap antibiotik yang ada. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini
masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai antibakteri adalah
sifat afinitas yang dimiliki oleh kitosan yang sangat kuat dengan DNA mikroba
sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan
sintesa protein. Sifat afinitas antimikroba dari kitosan dalam melawan bakteri atau
mikroorganisme tergantung dari berat molekul dan derajat deasetilasi.
Berat molekul dan juga derajat deasetilasi yang lebih besar menunjukkan
bahwa terdapat aktivitas dari antimikroba yang lebih besar. Kitosan sendiri
memiliki gugus fungsional amina (–NH2) yang bermuatan positif yang dimana
sangat reaktif, sehingga mampu berikatan dengan dinding sel bakteri yang
bermuatan negatif. Ikatan ini terjadi pada situs elektronegatif di permukaan
dinding sel bakteri. Selain itu, karena (amina) -NH2 juga memiliki pasangan
elektron bebas, maka gugus ini dapat menarik mineral Ca2+ yang terdapat pada
dinding sel bakteri dengan membentuk ikatan kovalen koordinasi.
Bakteri garam negatif dengan lipopolisakarida dalam lapisan luarnya
memiliki kutub negatif yang sangat sensitif terhadap kitosan. Dengan demikian,
kitosan juga dapat digunakan sebagai bahan anti bakteri atau pengawet pada
berbagai produk pangan karena aman, tidak berbahaya dan harganya juga relatif
lebih murah. Kitosan diketahui mempunyai banyak kemampuan untuk
membentuk gel, film, dan fiber karena berat molekul dari kitosan yang tinggi dan
solubilitasnya dalam larutan asam encer. Kitosan telah digunakan secara luas di
industri makanan, kosmetik, kesehatan, farmasi, dan pertanian.

Anda mungkin juga menyukai