Tutorial Obstetri - IUFD - Yonathan
Tutorial Obstetri - IUFD - Yonathan
DISUSUN OLEH :
42 16 0079
DOSEN PEMBIMBING :
1.2. Anamnesis
o Keluhan utama
Janin tidak bergerak selama 2 hari
o Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang tanggal 1 Juni 2017 pada pukul 22.40, G2P0A1 dengan usia
kehamilan 37+5 minggu. Pasien mengeluhkan tidak merasakan gerakan
janin sejak 2 hari lalu, sudah periksa ke bidan dan DJJ tidak ditemukan.
Suspect IUFD.
o Riwayat penyakit dahulu
Hipertensi : (-)
Diabetes Mellitus : (-)
Jantung : (-)
Tumor/kanker : (-)
ISK : (-)
o Riwayat penyakait keluarga
Hipertensi : (-)
Diabetes Mellitus : (-)
Jantung : (-)
Stroke : (-)
Tumor/kanker : (-)
1
o Riwayat kehamilan
G2P0A1
o Riwayat menstruasi
Usia menarche : 14 tahun
Lama haid : 7 hari
Jumlah darah : normal
Siklus tidak teratur
Setiap haid tidak mengeluhkan nyeri
Keputihan : pernah mengalami
HPHT : 10 September 2016
o Riwayat perkawinan
Status : 1 x menikah
Menikah pertama kali : 25 tahun usia pernikahan 1 tahun
o Riwayat kontrasepsi (-)
o Riwayat alergi
Alergi makanan : -
Alergi obat :-
1.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Cukup
Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/100 mmHg
Nadi : 90x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,7 ºC
STATUS GENERALIS
A. Kepala
Ukuran Kepala : Normocepali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Telinga : Dalam batas normal
2
B. Leher
Limfonodi tak teraba, nyeri tekan (-)
Tidak ada pembesaran massa tiroid
C. Thorax
Paru paru
Inspeksi : Deformitas (-), nyeri tekan (-), jejas (-), massa
(-), penggunaan otot bantu nafas (-)
Palpasi : Tidak ada ketinggalan gerak dada
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-), ronki (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus Cordis terletak di SIC 5 midklavikula
sinistra.
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Tidak ada bising jantung
D. Abdomen
Inspeksi : Tak tampak kelainan
Auskulasi : Peristaltik usus normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (+)
E. Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik
3
D. His
Frekuensi : 3x30 detik/60 menit
Kekuatan his : sedang
E. Pemeriksaan dalam
Vaginal Touche: Pembukaan 2 cm
: Vulva licin
: Portio tipis
: Presentasi kepala
: Selaput ketuban utuh
4
Monosit 2,5 % 2–8
Hematokrit 36 % 35 – 49
Eritrosit 4,47 Juta/mmk 4.2 – 5.4
RDW 13,4 % 11.5 – 14.5
MCV 80,6 fl 80 – 94
MCH 27,8 pg 26 – 32
MCHC 34,5 g/dl 32 – 36
Trombosit 255 ribu/mmk 150 – 450
MPV 6,8 fL 7,2 – 11,1
PDW 20,2 fL 9,0 - 13,0
Immunologi/serologi
HbsAG 0,43 S/CO Non Reaktif 0,0-0,99
Golongan darah O
o Pemeriksaan USG
Tidak dilakukan
1.5. Diagnosis
o Diagnosis
G2P0A1 hamil 37+5 minggu dengan IUFD
Perdarahan post partum oleh retensi sisa plasenta
o Diagnosis banding
- Solutio Plasenta
- Ruptur Uteri
- Missed abortion
- Gawat janin
1.6. Tatalaksana
o Farmakologi
Infus RL + induksi persalinan (syntocinon 5 IU 8 tpm)
Cefixim 2x1
Paracetamol 3x1
Estero 2x1
Vitamin A 1x1
5
o Non Farmakologi
Kuretase
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Insidensi
Janin saat ini dipandang sebagai pasien yang menghadapi resiko
mortalitas dan morbiditas yang cukup serius. Secara epidemiologi, angka
insidensi kematian janin di seluruh dunia diperkirakan mencapai rentang 2,14 –
3,82 juta jiwa. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2009, yaitu
7
sejumlah 14,5%. Kisaran angka tersebut adalah 18,9 lahir mati per 1000
kelahiran.
Pada tahun 2005, data dari Laporan Statistik Vital Nasional
menunjukkan tingkat nasional AS kelahiran mati rata-rata 6,2 per 1000
kelahiran. Pada tahun 2009, jumlah global diperkirakan saat dilahirkan adalah
2,64 juta (berkisar ketidakpastian, 2,14-3820000). Tingkat kelahiran mati di
seluruh dunia menurun 14,5% dari 22,1 bayi lahir mati per 1000 kelahiran pada
tahun 1995-18,9 lahir mati per 1000 kelahiran pada tahun 2009.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 2003
mengenai kegagalan yang terjadi selama masa kehamilan, didapatkan data
mortalitas perinatal di Indonesia berkisar 24 dari 1000 kehamilan. Kondisi
kesehatan janin memiliki kontribusi tertinggi dalam mengakibatkan mortalitas
perinatal (39%) dibandingkan dengan faktor maternal (5,1%). Resiko tingginya
angka kematian yang berkaitan dengan faktor maternal kebanyakan berupa
jarak 15 bulan kehamilan dari persalinan terakhir dan usia ibu hamil di atas 40
tahun (POGI, 2006).
2.1.3. Etiologi
Menurut Norwitz (2008), penyebab kematian janin dalam rahim yaitu :
1) 50 % kematian janin bersifat idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).
2) Kondisi medis ibu (hipertensi, pre-eklamsi, diabetes mellitus) berhubungan
dengan peningkatan insidensi kematian janin. Deteksi dini dan tata laksana
yang yang sesuai akan mengurangai risiko IUFD.
3) Komplikasi plasenta (plasenta previa, abruption plasenta) dapat
menyebabkan kematian janin. Peristiwa yang tidak diinginkan akibat tali
pusat sulit diramalkan, tetapi sebagian besar sering ditemukan pada
kehamilan kembar monokorionik/monoamniotik sebelum usia gestasi 32
minggu.
4) Penentuan kariotipe janin harus dipertimbangkan dalam semua kasus
kematian janin untuk mengidentifikasi abnormalitas kromosom, khususnya
dalam kasus ditemukannya abnormalitas struktural janin. Keberhasilan
analisis sitogenetik menurun pada saat periode laten meningkat. Kadang-
kadang, amniosentesis dilakukan untuk mengambil amniosit hidup untuk
keperluan analisis sitogenetik.
8
5) Perdarahan janin-ibu (aliran sel darah merah transplasental dari janin
menuju ibu) dapat menyebabkan kematian janin. Kondisi ini terjadi pada
semua kehamilan, tetapi biasanya dengan jumlah minimal (<0,1 mL). Pada
kondisi yang jarang, perdarahan janin-ibu mungkin bersifat masif. Uji
Kleuhauer-Betke (elusi asam) memungkinkan perhitungan estimasi volume
darah janin dalam sirkulasi ibu.
6) Sindrom antibodi antifosfolipid. Diagnosis ini memerlukan pengaturan
klinis yang benar (>3 kehilangan pada trimester pertama >1) kehilangan
kehamilan trimester kedua dengan penyebab yang tidak dapat dijelaskan,
peristiwa tromboembolik vena yang tidak dapat dijelaskan.
7) Infeksi intra-amnion yang mengakibatkan kematian janin biasanya jelas
terlihat pada pemeriksaan klinis. Kultur pemeriksaan histology terhadap
janin, plasenta/selaput janin, dan tali pusat akan membantu.
2.1.4. Patofisiologi
Janin mati dalam kandungan (IUFD) oleh karena beberapa faktor antara
lain gangguan gizi dan anemia dalam kehamilan, hal tersebut menjadi berbahaya
karena pasokan makanan yang di konsumsi ibu tidak mencukupi kebutuhan
janin, serta anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi akan berdampak
pada janin dan bersifat irreversibel. Kerja organ – organ maupun aliran darah
janin tidak seimbang dengan pertumbuhan janin.
2.1.5. Patologi
Janin yang meninggal intra uterin biasanya lahir dalam kondisi maserasi.
Kulitnya mengelupas dan terdapat bintik – bintik merah kecoklatan oleh karena
absorbsi pigmen darah. Sekuruh tubuhnya lemah atau lunak dan tidak
bertekstur. Tulang kranialnya sudah longgar dan sudah dapat digerakkan dengan
sangat mudah. Cairan amnion dan cairan yang ada dalam rongga mengandung
pigmen darah. Maserasi dapat terhadi cepat dan meningkat dalam waktu 24 jam
dari kematian janin.
Menurut Sastrowinata (2005), kematian janin dalam pada kehamilan
yang telah lanjut, maka akan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut:
1) Rigor mortis (tegang mati) berlangsung 2,5 jam setelah mati kemudian lemas
kembali.
9
2) Stadium maserasi I : timbulnya lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh ini mula-
mula terisi cairan jernih, tetapi kemudian menjadi merah coklat.
3) Stadium maserasi II : timbul lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban
menjadi merah coklat. Terjadi 48 jam setelah anak mati.
4) Stadium maserasi III : terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan
janin sangat lemas dan hubungan antara tulang-tulang sangat longgar edema
di bawah kulit.
10
Tanda Spalding menunjukkan adanya tulang tengkorak yang saling
tumpang tindih (overlapping) karena otak bayi yang sudah mencair, hal
ini terjadi setelah bayi meninggal beberapa hari dalam kandungan.
b) Tanda Nojosk
Tanda ini menunjukkan tulang belakang janin yang saling melenting
(hiperpleksi).
c) Tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah.
d) Tampak edema di sekitar tulang kepala
3) Pemeriksaan darah lengkap, jika dimungkinkan kadar fibrinogen
(Achadiat 2004).
2.1.8. Diagnosis
Menurut Norwitz (2008), diagnosis kematian janin dalam rahim
meliputi :
1) Gejala jika kematian janin terjadi terjadi di awal kehamilan, mungkin tidak
akan ditemukan gejala kecuali berhentinya gejala-gejala kehamilan yang
biasa dialami (mual, sering berkemih, kepekaan pada payudara). Di usia
kehamilan selanjutnya, kematian janin harus dicurigai jika janin tidak
bergerak dalam jangka waktu yang cukup lama.
2) Tanda-tanda ketidakmampuan mengidentifikasi denyut jantung janin pada
kunjungan ANC (antenatal care) setelah usia gestasi 12 minggu atau tidak
adanya pertumbuhan uterus dapat menjadi dasar diagnosis.
3) Pada pemeriksaan laboratorium terjadi penurunan kadar gonadotropin
korionik manusia (Human Chorionic Gonadotropin atau HCG) mungkin
dapat membantu diagnosis dini selama kehamilan.
4) Pada pemeriksaan radiologis. Secara historis, foto rontgen abdominal
digunakan untuk mengkonfirmasi IUFD. Tiga temuan sinar X yang dapat
menunjukkan adanya kematian janin meliputi penumpukan tulang tengkorak
janin (tanda spalding), tulang punggung janin melengkung secara berlebihan
dan adanya gas didalam janin. Meskipun demikian, foto rontgen sudah tidak
digunakan lagi. USG saat ini merupakan baku emas untuk mengkonfirmasi
IUFD dengan mendokumentasikan tidak adanya aktifitas jantung janin
setelah usia gestasi 6 minggu. Temuan sonografi lain mencakup edema kulit
kepala dan maserasi janin.
11
2.1.9. Diagnosis Banding
Solutio plasenta
Rupture uteri
Missed abortion
Gawat janin
2.1.10. Penatalaksanaan
Menurut Nugroho (2012), Janin yang mati dalam rahim sebaiknya segera
dikeluarkan secara:
1) Lahir spontan: 75% akan lahir spontan dalam 2 minggu.
2) Persalinan anjuran :
a) Dilatasi serviks dengan batang laminaria
Setelah dipasang 12-24 jam kemudian dilepas dan dilanjutkan dengan
infus oksitosin sampai terjadi pengeluaran janin dan plasenta.
b) Dilatasi serviks dengan kateter folley.
(1) Untuk umur kehamilan > 24 minggu.
(2) Kateter folley no 18, dimasukan dalam kanalis sevikalis diluar
kantong amnion.
(3) Diisi 50 ml aquades steril.
(4) Ujung kateter diikat dengan tali, kemudian lewat katrol, ujung tali
diberi beban sebesar 500 gram.
(5) Dilanjutkan infus oksitosin 10 u dalam dekstrose 5 % 500 ml, mulai
8 tetes/menit dinaikkan 4 tetes tiap 30 menit sampai his adekuat.
c) Infus oksitosin
(1) Keberhasilan sangat tergantung dengan kematangan serviks, dinilai
dengan Bishop Score, bila nilai = 5 akan lebih berhasil.
(2) Dipakai oksitosin 5-10 IU dalam dekstrose 5% 500 ml mulai 8 tpm
dinaikan 4 tetes tiap 15 sampaihis adekuat.
d) Induksi prostaglandin
(1) Dosis :
Pg-E 2 diberikan dalam bentuk suppositoria 20 mg, diulang 4-5 jam.
Pg-E 2 diberikan dalam bentuk suntikan im 400 mg.
Pg-E 2,5 mg/ml dalam larutan NaCL 0.9 %, dimulai 0,625 mg/ml
dalam infus.
(2) Kontra Indikasi: asma, alergi dan penyakit kardiovaskuler.
12
DAFTAR PUSTAKA
Achadiat, C.M. (2004), Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi, EGC. Jakarta.
Moechtar R. 1998. Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologis, jilid 1, Edisi
II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Norwith, Errol dan john O Schorge. 2008. At A Glande Obstetri & Ginekologi. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Nugroho. Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
POGI. 2006. Standar Pelayanan Medis Obstetri dan Ginekologi, edisi revisi.. Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Jakarta
Prawirohardjo, S. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta. Hal 785-790.
Saifuddin, AB. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sastrawinata, Sulaiman. Et al. 2005. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi. Edisi
2.Jakarta : EGC.
Winknjosastro, Hanifa. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
13